PENDAHULUAN
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.1 Kejang demam
dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks.2 Di Asia sekitar 70%-90% dari seluruh kejang demam merupakan kejang
Penyebab demam pada pasien kejang demam biasanya adalah gastroenteritis (38,1%),
infeksi saluran nafas atas (20%), dan infeksi saluran kencing (16,2%).14 Sementara menurut
penelitian lain oleh Chung & Wong, infeksi saluran nafas (79,5%), gastroenteritis (5,5%),
roseola (2,9%), infeksi saluran kencing (1,1%) dan bakteriemia (0,9%) merupakan penyebab
Dalam praktek sehari-hari, orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang,
karena setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak.
Pengobatan antikonvulsan setiap hari yaitu dengan fenobarbital atau asam valproat
mengurangi kejadian kejang demam berulang. Obat intermiten dengan diazepam pada
permulaan pada kejang demam pertama memberikan hasil yang baik. Antipiretik bermanfaat
tetapi tidak dapat mencegah kejang demam serta berulangnya kejang demam.1
Kejang merupakan gangguan saraf yang paling sering dijumpai pada anak. Insiden
kejang demam yaitu 2,2-5% pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari
berulang pada 90 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam
kompleks dan khususnya kejang demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi.
Sebagian besar penelitian melaporkan angka kejadian epilepsi dikemudian hari sekitar 2-5%.2
Pemicu kejang umumnya adalah demam karena infeksi di organ tubuh seperti radang
saluran pernapasan (batuk dan pilek), saluran pencernaan (mencret) dan lain sebagainya.
Pemicu lain ialah demam akibat imunisasi antara lain imunisasi DPT dan campak. Penyebab
terjadinya kejang demam masih belum diketahui pasti. Keseimbangan suhu tubuh kita diatur
oleh organ yang terletak di otak disebut hipothalamus. Diduga pada anak-anak, fungsi
hipothalamus masih belum sempurna sehingga belum mampu menjaga keseimbangan suhu
tubuh dengan cermat. Kenaikan suhu tubuh yang tinggi akan memicu pelepasan muatan
listrik sehingga terjadi kejang. Secara statistik medis, 95-98% anak yang menderita kejang
demam akan sembuh sempurna tanpa cacat dan tidak berpotensi menjadi epilepsi. Dengan
Penulisan case report ini dibatasi mengenai kejang demam dan tonsilofaringitis akut,
Tujuan penulisan case report ini adalah membahas mengenai kejang demam dan
Metode penulisan case report ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan dari
berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38oC, dengan metode
pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.6 Definisi ini
menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau
ensefalopati. Kejang pada keadaan tersebut mempunyai prognosis berbeda dengan kejang
sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi
triggered of by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi
membuktikan bahwa resiko berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam
tidak sebanyak yang diperkirakan.7 Akhir-akhir ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2
golongan, yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum,
dan kejang demam kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multipel
(lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam).8 Derajat tingginya demam yang dianggap cukup
untuk diagnosis kejang demam ialah 38oC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya pada waktu
Bila anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, perlu dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang
2.2. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.1 Puncak umur
mulainya adalah sekitar 14-6 bulan.7 Studi populasi di Eropa dan Amerika melaporkan
insiden kejang demam sebesar 2-5% pada anak.9 Insiden di bagian lain dunia bervariasi,
2.3. Klasifikasi 10
Kejang lama yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2
Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial.
Berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri.
Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.
2.4. Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat,
misalnya infeksi virus, tonsillitis, otitis media akut, ISK, Gastrointeritis, ISPA, furunkulosis,
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Faktor yang
memegang peranan penting dalam perlangsungan kejang demam adalah faktor genetik.
Pewarisannya autosomal dominan dengan minimal 3 lokus abnormal yaitu pada kromosam
8q13-q21 (FEB1), 19p (FEB2) dan 5q14-q15 (FEB4). Kejang demam plus adalah kejang demam
dengan riwayat epilepsi pada keluarga. Pada bayi atau anak dengan kejang demam plus ini
mempunyai resiko paling besar untuk terjadinya kejang demam, kemudian diikuti kejang
Kejadian kejang demam pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan
dengan rasio 1,5 : 1. Jumlah episode serangan pada anak dengan riwayat epilepsi pada
Dari penjelasan diatas, faktor resiko untuk terjadi kejang demam yaitu:11
- Umur.
2.6. Patofisiologi
hidup sebuah sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari
metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa.
Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi
paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi
oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh
ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat konsentrasi K+ rendah
dan konsentrasi Na+ tinggi. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
Pada seorang anak 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
sehingga pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan
Natrium melalui membran sel neuron sehingga terjadi lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik yang besar dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu
38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat
terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terulangnya
kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah.12
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan sequele. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) dapat
menimbulkan kerusakan neuron otak karena pada kejang lama disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot rangka yang akhirnya
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat
disebabkan akibat aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang dapat mengakibatkan hipoksia
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf
pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan
kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik. Postur tonik
(kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik),
gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung
selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15
menit) sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.10
2.8. Diagnosis
penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat,
perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi struktural
pada sistem saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
ini.10,11,12
a) Anamnesis
meningoensefalitis)
– Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
– Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi)
– Trauma kepala
b) Pemeriksaan fisik
– Tanda vital terutama suhu
– Manifestasi kejang yang terjadi, misal: pada kejang multifokal yang berpindah-pindah
atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.
– Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti
nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan
– Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau molase kepala berlebihan yang
disebabkan oleh trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan membonjol menunjukkan
subaraknoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu
dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel anterior yang disebabkan
– Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising
c) Pemeriksaan laboratorium
– Elektrolit, glukosa darah menyingkirkan diare, muntah, hal lain yang dapat
akut/ensefalopati.
– Lumbal Pungsi Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk
meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
o bayi > 6 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis
pertama kali dengan umur dibawah 6 bulan karena tidak tampaknya tanda meningeal
pada umur dibawah 6 bulan, sehingga sulit mendeteksi adanya meningitis maupun
infeksi intrakranial lain tanpa dilakukannya lumbal pungsi. Namun, jika yakin bukan
terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan pada kejang demam
kompleks. Oleh sebab itu tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang
tidak khas (misalnya pada kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau
- CT-scan atau MRI tidak dilakukan pada kejang demam sederhana yang terjadi
pertama kali, akan tetapi dapat dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami
tunggal atau multipel. CT scan atau MRI dilakukan atas indikasi seperti: kelainan
Diagnosis banding kejang demam antara lain penyakit infeksi pada sistem susunan
simpleks purulenta
lama
somnolen sopor
kesadaran
rangsangan
meningeal
limfo
tuberculosis Penyakit
dasar
2.10. Tatalaksana6
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rata-rata 4 menit) dan pada waktu pasien
datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,2-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12
kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit
dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana
status epileptikus. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
a) Antipiretik
kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15
mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
b) Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten : obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada
saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu
- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua
bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta
sedasi.
2.11. Prognosis6
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kecil kasus dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
Kematian karena kejang tidak pernah dilaporkan. Kejang demam akan berulang
kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%
, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang 10–15%.
• Lamanya demam
6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
menjadi 10–49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
3.2 ANAMNESIS
Anamnesis (diberikan oleh ibu kandung)
Seorang pasien laki-laki umur 3 tahun dirawat di bangsal anak RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi sejak tanggal 15 Oktober 2017 dengan :
Keluhan utama :
Kejang berulang sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang :
- Batuk sejak 3 hari yang lalu, tidak berdahak dan tidak berdarah. Batuk hilang timbul dan
tidak disertai dengan pilek.
- Sesak nafas tidak ada, nafas bunyi menciut tidak ada.
- Demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, terus-menerus, tidak menggigil,
tidak berkeringat banyak. Pasien dibawa ke bidan dan mendapatkan obat berupa puyer,
setelah diberi obat, suhu pasien tetap tinggi.
- Kejang berulang sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Frekuensi 2 kali, kejang
pertama pada pukul 14.00 WIB selama 1 menit. Awalnya pasien sedang beraktivitas, lalu
tiba-tiba diam dan menghentikan aktivitasnya disertai dengan tatapan kosong dan melihat
keatas. Pasien sadar setelah kejang. Setelah 1 jam 30 menit pasien mengalami kejang
kedua yaitu pada pukul 15.30 WIB, selama 3 menit, kejang terjadi pada seluruh tubuh,
mata melihat keatas, lidah tidak tergigit, tidak mengompol serta bibir terlihat membiru.
Kejang berhenti sendiri dan anak sesudah kejang sadar. Ini merupakan episode kejang
ke-6. kejang pertama terjadi pada usia 2.5 tahun, setiap episode kejang didahului dengan
demam.
- Muntah 2 kali 1 jam sebelum masuk rumah sakit, jumlah ±¼- ½ gelas, berisi sisa
makanan, tidak menyemprot
- Bercak – bercak merah tidak ada, mimisan tidak ada, gusi berdarah tidak ada, mata
merah tidak ada
- Nyeri tenggorokan dan nyeri menelan tidak ada.
- Telinga terasa penuh tidak ada, nyeri pada telinga tidak ada dan keluar cairan dari telinga
tidak ada
- Riwayat trauma kepala tidak ada
- Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama tidak ada
- Riwayat kontak dengan unggas mati mendadak tidak ada
- BAB normal, konsistensi padat, warna kuning.
- BAK normal, warna kuning jernih.
Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat kejang sebelumnya sejak umur 2.5 tahun yang didahului oleh demam dan tidak
ada minum obat terartur.
Daging : 3x/minggu
Ikan : 3x/minggu
Telur : 6x/minggu
Sayur : 5x/minggu
Buah : 3x/minggu
Kesan : asupan nutrisi secara kualitas dan kuantitas baik.
Riwayat imunisasi
BCG : 1 bulan, skar (+)
DPT : 2,3,4 bulan
Polio : 1,2,4,6 bulan
Hepatitis B : 1,2,4,6 bulan
Hib : 2,4,6 bulan
Campak : 9 bulan
Kesan : imunisasi dasar lengkap
3.7 PENATALAKSANAAN
KAEN IB 15 tetes/ menit
Paracetamol 4x150 mg PO
Luminal 2x30 mg PO
3.8 FOLLOW UP
16 Oktober 2017 (08.00 WIB)
S/ Demam (+)
Kejang (-)
Sesak napas (-)
Batuk (+), berdahak
BAB dan BAK normal
O/ KU : Sakit sedang Kesadaran : sadar
HR : 124x/menit RR : 30x/menit
T : 39,1 C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-
Jantung : irama reguler, gallop (-), bising (-)
Abdomen : distensi (-) bising usus (+) normal
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2’’
Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I dan Brudzinski II (-),
Kernig sign (-)
A/ kejang demam kompleks
P/ ML 1200 kkal
Ambroxol 3 x 7 mg PO
Paracetamol 4 x150 mg PO
Luminal 2 x 30 mg PO
17 September 2017 (08.00 WIB)
S/ Demam berkurang
Kejang (-)
Sesak napas (-)
Batuk (+)
BAB dan BAK normal
O/ KU : Sakit sedang Kesadaran : sadar
HR : 98x/menit RR : 29x/menit
T : 39 C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-
Jantung : irama reguler, gallop (-), bising (-)
Abdomen : bising usus (+) normal
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2’’
Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I dan Brudzinski II (-),
Kernig sign (-)
A/ kejang demam kompleks
P/ ML 1200 kkal
Ambroxol 3x7 mg PO
Paracetamol 4 x150 mg PO
Luminal 2 x 30 mg PO
18 September 2017 (08.00 WIB)
S/ Demam berkurang
Kejang (-)
Sesak napas (-)
Batuk berdahak (+)
Muntah (-)
BAB dan BAK normal
O/ KU : Sakit sedang Kesadaran : sadar
HR : 100x/menit RR : 24x/menit
T : 36 C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-
Jantung : irama reguler, gallop (-), bising (-)
Abdomen : bising usus (+) normal
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2’’
Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I dan Brudzinski II (-),
Kernig sign (-)
A/ kejang demam kompleks
P/ ML 1200 kkal
Ambroxol 3x7 mg PO
Paracetamol 4 x150 mg PO
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien anak laki-laki, usia 3 tahun dibawa orangtuanya ke IGD RSUD Achmad
Mochtar Bukittinggi dengan keluhan utama kejang berulang sejak 1 jam sebelum masuk
rumah sakit yang diawali dengan demam 1 hari yang lalu sebelum timbulnya kejang.
Frekuensi kejang 2 kali dengan durasi ± 1-3 menit tiap kejang, dengan interval antar kejang 1
jam 30 menit. Awalnya pasien sedang beraktivitas, lalu tiba-tiba diam dan menghentikan
aktivitasnya disertai dengan tatapan kosong dan melihat keatas. Pasien sadar setelah kejang.
Ini merupakan episode kejang ke-6. kejang pertama terjadi pada usia 2.5 tahun, setiap episode
Pasien dicurigai dengan kejang demam karena beberapa faktor resiko yang dimilikinya
yaitu usia 3 tahun yang merupakan rentang usia yang sering terjadi serangan kejang demam
yaitu usia 6 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2%-5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami
bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di
bawah 5 tahun, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.16
Semakin kecil usia pertama kali terjadinya kejang demam akan memilki resiko terjadinya
kejang demam berulang lebih tinggi. Usia yang lebih dini berhubungan dengan maturitas
otak. Otak yang belum mengalami maturasi dengan sempurna yang ditandai dengan proses
develomental windows yang berhubungan dengan regulasi ion Na, K dan Ca belum sempurna
sehingga akan timbul gangguan repolarisasi pasca repolarisasi dan meningkatkan ekstabilitas
neuron. Pada usia yang lebih muda CRH pada hipokampus cukup tinggi yang berperan
kejang.16 Kejang demam terjadi lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan,
hal ini berhubungan dengan proses maturasi sel otak perempuan lebih cepat dibandingkan
laki-laki.16
Lalu pada pasien ini setiap cetusan kejang didahului dengan demam, dimana kejang
demam terjadi pada seorang anak yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38oC,
dengan metode pengukuran suhu apa pun), pada anak ini ketika di IGD didapatkan suhu
aksila 38.5oC.6 Selain itu faktor resiko lain yang dimiliki yaitu riwayat kejang demam
sebelumnya dan riwayat kelainan kejang dalam keluarga, dimana pada pasien ini terdapat
riwayat kejang demam pada ayah dan pasien ketika balita, saudara perempuan pasien yang
juga mengalami kejang sampai usia 5 tahun. Ini merupakan faktor yang memegang peranan
penting dalam berlangsungnya kejang demam yaitu faktor genetik yaitu pewarisannya secara
autosomal dominan dengan minimal 3 lokus abnormal yaitu pada kromosam 8q13-q21 (FEB1),
19p (FEB2) dan 5q14-q15 (FEB4).11 Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-
80%. Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka
risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat
pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam
20%-22%. Apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-
64%. Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding
7%. Penelitian Hauser dkk, di Amerika menunjukkan bahwa kasus kejang dernam
mempunyai saudara pernah menderita kejang demam mempunyai risiko 2,7% (CI 95% 2.0-
3.6), sedangkan apabila pasien tersebut mempunyai salah satu orang tua dengan riwayat
pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam
meningkat menjadi 10% (CI 95% 6.3-15) dan apabila ke dua orang tua penderita tersebut
mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam risiko tersebut meningkat menjadi 20%.
Kejang demam yang berhubungan dengan pewarisan sifat baik secara autosomal dominan,
Suhu badan saat timbul bangkitan kejang demam pertama pada pasien dengan mutasi gen
adalah lebih rendah dibandingkan pasien tanpa mutasi gen (38°C dibanding 39°C). Pasien
dengan mutasi gen memiliki ambang kejang rendah akibat adanya channelopathy.17
Channelopathy dapat mengakibatkan temperature sensitive sehingga dengan suhu tidak tinggi
sudah terjadi bangkitan kejang demam. Oleh karena itu suhu tidak dapat dijadikan acuan
untuk terjadinya kejang demam sederhana. Suhu anak dapat tinggi atau rendah saat timbulnya
kejang demam, tergantung faktor yang mendasari seperti adanya mutasi gen. Faktor resiko
lainnya yaitu demam tinggi diatas 102oF atau setara dengan 38,8oC.12 Perubahan kenaikan
temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena
kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi
ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh 10C Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat
10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan terjadi perubahan kenaikan
temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena
kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP
. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada
keadaan metabolisme di siklus Creb normal, 1 molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP.
Sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul
glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan
energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel g1ia.
Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan
asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+
masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam, mobilitas dan
benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel
tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel
dalam keadaan depolarisasi.16,17 Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik
sehingga fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat
Na+ influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat
kami, kelompok kasus diketahui sebagian besar anak dengan bangkitan kejang demam
didahului lama mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion
Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel
neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat
merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion
disamping itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron
GABA-nergik. Pada penelitian kami, kelompok kasus diketahui sebagian besar anak dengan
bangkitan kejang demam didahului lamamobilitas dan benturan ion terhadap membran sel.
Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan
potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping
itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi
perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx sehingga menimbulkan
keadaan depolarisasi, disamping demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibat
kerusakan neuron GABA-nergik. Setiap kenaikan suhu 0,3°C secara cepat akan
menimbulkan discharge di daerah oksipital, discharge di daerah oksipital dapat dilihat dan
hasil rekaman EEG. Kenaikan mendadak suhu tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam
glutamat dan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan
tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam
glutamat dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator,
sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.
Pola kejang demam yang terjadi memenuhi kriteria kejang demam kompleks yaitu terjadi
kejang berulang lebih dari satu kali dalam 24 jam.10 Pada pasien ini telah terjadi kejang
demam berulang, dan merupakan episode kejang demam ke-7. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38oC sedangkan pada
anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40 oC
atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah.12 Terjadinya demam pada
seorang anak berusia 3 tahun yaitu karena sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh, sehingga pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi
ion Kalium dan Natrium melalui membran sel neuron sehingga terjadi lepas muatan
listrik. Lepasnya muatan listrik yang besar dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter, hal ini yang menyebabkan
kejang.12
Pada pemeriksaan fisik secara umum didapatkan dalam batas normal. Tidak
didapatkan adanya peningkatan dari reflek fisiologis, tidak adanya reflek patologis ataupun
dengan pengertian kejang demam, dimana kejang yang terjadi akibat peningkatan suhu tubuh
yang tidak disebabkan oleh masalah intrakranial. Pasien mengalami batuk-batuk tanpa pilek
dan tidak adanya sesak nafas serta tidak adanya retraksi dapat di golongkan kepada ISPA.
Jika dilihat klasifikasi ISPA berdasarkan usia 2 bulan sampai 5 tahun, ini termasuk kepada
bukan pneumonia yang tidak membutuhkan antibiotik dan cukup obati secara simtomatik
saja. Jika menggunakan klasifikasi menurut depkes RI, termasuk kepada ISPA ringan yang
Pada pasien ini, diberikan infus KAEN 1B dengan perbandingan kandungan glukosa
dan NaCl 3:1 sehingga dapat memenuhi kebutuhan glukosa tubuh, pasien dengan berat badan
14 kg memerlukan cairan 1200 cc/hari diberikan dengan infus tetesan makro sebanyak 15
tetes per menit. Pasien mendapatkan paracetamol oral dengan pemberian 4x150 mg, dimana
dosis paracetamol pada anak yaitu 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 3-4x/hari, pada pasien ini
dapat diberikan paracetamol dengan rentang dosis 140 - 150 mg. Walaupun pasien tidak
mengalami kejang lagi, pasien tetap diberikan anti kejang berupa luminal 2 x 30 mg dengan
tujuan untuk mengurangi angka kejadian kejang berikutnya pada pasien sebab pasien masih
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam yaitu apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks, riwayat kejang demam, atau epilepsi dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan,
suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang dan interval waktu yang singkat antara awitan
demam dengan terjadinya kejang. Bila seluruh faktor diatas ada, kemusngkinan berulangnya
kejang adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut maka kemungkinan
1. Duffner PK, Berman PH, Baumann RJ, Fisher PG, Green JL, Shneider S, dkk.
2011;127:389-94.
2. Taub KS & Abend NS. Schwartz’s: clinical handbppk of pediatrics, 5th ed, Bab 68
3. Karimzadeh P, Fahimzad A, dan Poormehdi MS. Febrile Convulsions: The role played by
4. Chung B dan Wong V. Relationship between five common viruses and febrile seizure in
5. Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
1999.h.244-252.
7. Mikati MA. Neelson Textbook of Pediatrics, 19th Ed, bab 586.1 febrile seizures.
8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, et al. Neurologi Anak, dalam Kapita Selekta
9. Hirtz DG dan Nelson KB. The natural history of febrile seizures. Annu Rev Med.
1983;34:453-471.
10. Pusponegoro HD. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I. Jakarta: Badan
Anak, di RS DR. Sardjito 27 Mei 2003. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada
Yogyakarta, 2003.
12. Staf Pengajar IKA FKUI. Kejang Demam. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian
13. Lumban tobing, SM. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.
14. Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, dan Safdari L. Clinical, epidemiological and
137.
15. Unit kerja koordinasi neurologi IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan status epileptikus.
16. Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi Noor. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak.
17. Nurindah D, Muid M, Retoprawiro . Hubungan antara Kadar Tumor Necrosis Factor-
Alpha (TNF-α) Plasma dengan Kejang Demam Sederhana pada Anak. Jurnal Kedokteran