Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.1 Kejang demam

dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana dan kejang

demam kompleks.2 Di Asia sekitar 70%-90% dari seluruh kejang demam merupakan kejang

demam sederhana dan sisanya merupakan kejang demam kompleks.3

Penyebab demam pada pasien kejang demam biasanya adalah gastroenteritis (38,1%),

infeksi saluran nafas atas (20%), dan infeksi saluran kencing (16,2%).14 Sementara menurut

penelitian lain oleh Chung & Wong, infeksi saluran nafas (79,5%), gastroenteritis (5,5%),

roseola (2,9%), infeksi saluran kencing (1,1%) dan bakteriemia (0,9%) merupakan penyebab

demam pada pasien kejang demam.4

Dalam praktek sehari-hari, orang tua sering cemas bila anaknya mengalami kejang,

karena setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan epilepsi dan trauma pada otak.

Pengobatan antikonvulsan setiap hari yaitu dengan fenobarbital atau asam valproat

mengurangi kejadian kejang demam berulang. Obat intermiten dengan diazepam pada

permulaan pada kejang demam pertama memberikan hasil yang baik. Antipiretik bermanfaat

tetapi tidak dapat mencegah kejang demam serta berulangnya kejang demam.1

Kejang merupakan gangguan saraf yang paling sering dijumpai pada anak. Insiden

kejang demam yaitu 2,2-5% pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki lebih sering dari

pada perempuan dengan perbandingan 1,2-1,6 : 1, ditemukan 62,2% kemungkinan kejang

berulang pada 90 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun. Kejang demam

kompleks dan khususnya kejang demam fokal merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi.

Sebagian besar penelitian melaporkan angka kejadian epilepsi dikemudian hari sekitar 2-5%.2
Pemicu kejang umumnya adalah demam karena infeksi di organ tubuh seperti radang

saluran pernapasan (batuk dan pilek), saluran pencernaan (mencret) dan lain sebagainya.

Pemicu lain ialah demam akibat imunisasi antara lain imunisasi DPT dan campak. Penyebab

terjadinya kejang demam masih belum diketahui pasti. Keseimbangan suhu tubuh kita diatur

oleh organ yang terletak di otak disebut hipothalamus. Diduga pada anak-anak, fungsi

hipothalamus masih belum sempurna sehingga belum mampu menjaga keseimbangan suhu

tubuh dengan cermat. Kenaikan suhu tubuh yang tinggi akan memicu pelepasan muatan

listrik sehingga terjadi kejang. Secara statistik medis, 95-98% anak yang menderita kejang

demam akan sembuh sempurna tanpa cacat dan tidak berpotensi menjadi epilepsi. Dengan

bertambahnya usia, frekuensi terjadinya kejang demam juga akan berkurang.5

1.2. Batasan Penulisan

Penulisan case report ini dibatasi mengenai kejang demam dan tonsilofaringitis akut,

mencakup definisi, epidemiologi, patofisiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi,

manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis.

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan case report ini adalah membahas mengenai kejang demam dan

tonsilofaringitis, mencakup definisi, epidemiologi, patofisiologi, etiologi dan faktor risiko,

klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis.

1.4. Metode Penulisan

Metode penulisan case report ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan dari

berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan

sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38oC, dengan metode

pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.6 Definisi ini

menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau

ensefalopati. Kejang pada keadaan tersebut mempunyai prognosis berbeda dengan kejang

demam karena keadaan yang mendasari mengenai sistem saraf pusat.7

Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam

sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi

triggered of by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena studi prospektif epidemiologi

membuktikan bahwa resiko berkembangnya epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam

tidak sebanyak yang diperkirakan.7 Akhir-akhir ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2

golongan, yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum,

dan kejang demam kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multipel

(lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam).8 Derajat tingginya demam yang dianggap cukup

untuk diagnosis kejang demam ialah 38oC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya pada waktu

kejang sering tidak diketahui.5

Bila anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului

demam, perlu dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang

kebetulan terjadi bersama demam.9

2.2. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.1 Puncak umur

mulainya adalah sekitar 14-6 bulan.7 Studi populasi di Eropa dan Amerika melaporkan

insiden kejang demam sebesar 2-5% pada anak.9 Insiden di bagian lain dunia bervariasi,

antara 5-10 % (India), dan 8,8% (Jepang).

2.3. Klasifikasi 10

a. Kejang demam kompleks

 Kejang lama yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2

kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.

 Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial.

 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

b. Kejang demam sederhana

 Berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri.

 Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.

 Kejang tidak berulang dalam 24 jam.

2.4. Etiologi

Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran

pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan

suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat,

misalnya infeksi virus, tonsillitis, otitis media akut, ISK, Gastrointeritis, ISPA, furunkulosis,

meningitis, post imunisasi dan lain-lain.5,7,10

2.5. Faktor Risiko

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Faktor yang

memegang peranan penting dalam perlangsungan kejang demam adalah faktor genetik.

Pewarisannya autosomal dominan dengan minimal 3 lokus abnormal yaitu pada kromosam
8q13-q21 (FEB1), 19p (FEB2) dan 5q14-q15 (FEB4). Kejang demam plus adalah kejang demam

dengan riwayat epilepsi pada keluarga. Pada bayi atau anak dengan kejang demam plus ini

mempunyai resiko paling besar untuk terjadinya kejang demam, kemudian diikuti kejang

selanjutnya tanpa demam.11

Kejadian kejang demam pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan

dengan rasio 1,5 : 1. Jumlah episode serangan pada anak dengan riwayat epilepsi pada

keluarga 6 kali lebih tingi daripada tanpa riwayat epilepsi.

Dari penjelasan diatas, faktor resiko untuk terjadi kejang demam yaitu:11

- Umur.

- Keterlambatan perkembangan (contohnya cerebral palsy, retardasi mental)

- Riwayat kelainan kejang dalam keluarga.

- Sering demam (disebabkan infeksi virus atau bakteri).

- Demam tinggi (diatas 102°F).

- Saat kehamilan, ibu pasien merokok dan pengguna alkohol.

- Meningitis (inflamasi membran yang mengelilingi otak dan spinal cord).

- Riwayat kepribadian (misalnya ada riwayat kejang demam).

2.6. Patofisiologi

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1o C akan meningkatkan metabolisme

basal 10%–15% dan kebutuhan oksigen 20%. Untuk mempertahankan kelangsungan

hidup sebuah sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari

metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa.

Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi

paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Sumber energi otak adalah

glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi
oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan

luar adalah ionik.12

Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh

ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,

kecuali klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan

konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat konsentrasi K+ rendah

dan konsentrasi Na+ tinggi. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan

di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel

neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan

bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan

potensial membran ini dapat dapat dirubah oleh adanya:12

- Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.

- Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya; mekanis, kimiawi atau aliran

listrik dari sekitarnya.

- Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada seorang anak 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,

sehingga pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan

dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan

Natrium melalui membran sel neuron sehingga terjadi lepas muatan listrik. Lepas

muatan listrik yang besar dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel

tetangganya dengan bantuan neurotransmitter, hal ini yang menyebabkan kejang.12

Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu

38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat
terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terulangnya

kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah.12

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak

meninggalkan sequele. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) dapat

menimbulkan kerusakan neuron otak karena pada kejang lama disertai terjadinya apnea,

meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot rangka yang akhirnya

terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolism anaerobic,

hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat

disebabkan akibat aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.

Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang dapat mengakibatkan hipoksia

sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan

kerusakan sel neuron otak.12

2.7. Manifestasi Klinis

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan

kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf

pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan

kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan

sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik. Postur tonik

(kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik),

gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung

selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,

inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,

apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.8

Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi

apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak

berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15

menit) sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.10

2.8. Diagnosis

Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-

penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat,

perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi struktural

pada sistem saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis

ini.10,11,12

a) Anamnesis

– Waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang

– Sifat kejang (fokal atau umum)

– Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)

– Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis

meningoensefalitis)

– Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik

turun)

– Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)

– Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam

atau epilepsi)

– Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)

– Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan

– Trauma kepala

b) Pemeriksaan fisik
– Tanda vital terutama suhu

– Manifestasi kejang yang terjadi, misal: pada kejang multifokal yang berpindah-pindah

atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya kelainan struktur otak.

– Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan hipoventilasi, henti

nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif, dan

terdapatnya kuadriparesis flaksid mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.

– Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau molase kepala berlebihan yang

disebabkan oleh trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan membonjol menunjukkan

adanya peninggian tekanan intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan

subaraknoid atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu

dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel anterior yang disebabkan

karena kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.

– Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis dan bising

jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.

– Pemeriksaan tanda-tanda infeksi di luar SSP untuk menentukan penyakit yang

mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)

– Pemeriksaan refleks patologis

– Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis)

c) Pemeriksaan laboratorium

– Darah tepi lengkap mencari penyebab demam.

– Elektrolit, glukosa darah menyingkirkan diare, muntah, hal lain yang dapat

mengganggu keseimbangan elektrolit atau gula darah.

– Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal mencari gangguan metabolisme.


– Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS  meningkat pada ensefalitis

akut/ensefalopati.

d) Pemeriksaan penunjang lain

– Lumbal Pungsi  Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk

menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis

meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan

sebagai berikut:

o bayi < 12 bulan: diharuskan

o bayi antara 12-6 bulan: dianjurkan

o bayi > 6 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis

Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan pada anak dengan kejang demam

pertama kali dengan umur dibawah 6 bulan karena tidak tampaknya tanda meningeal

pada umur dibawah 6 bulan, sehingga sulit mendeteksi adanya meningitis maupun

infeksi intrakranial lain tanpa dilakukannya lumbal pungsi. Namun, jika yakin bukan

meningitis secara klinis tidak perlu lumbal pungsi.

- EEG  tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun memprediksi

terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan pada kejang demam

kompleks. Oleh sebab itu tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang

tidak khas (misalnya pada kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau

kejang demam fokal).

- CT-scan atau MRI tidak dilakukan pada kejang demam sederhana yang terjadi

pertama kali, akan tetapi dapat dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami

kejang demam kompleks untuk menentukan kelainan struktural berupa kompleks

tunggal atau multipel. CT scan atau MRI dilakukan atas indikasi seperti: kelainan

neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi


struktural di otak, terdapat peningkatan intrakranial (kesadaran menurun, muntah

berulang, ubun-ubun besar menonjol, paresis N. VI dan udem papil).

2.9. Diagnosa Banding

Diagnosis banding kejang demam antara lain penyakit infeksi pada sistem susunan

saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses otak.13

Ensefalitis Meningitis Meningitis Meningitis Kejang

Klinis/Lab Herpes bacterial/ TB virus demam

simpleks purulenta

Awitan Akut Akut Kronik Akut Akut

Demam <7 hari < 7hari >7hari <7hari <7hari

Tipe kejang Fokal/umum Umum Umum Umum Umum/fokal

Singkat/ singkat Singkat Singkat Lama >15 menit

lama

kesadaran Sopor-koma Apatis- Somnolen- Sadar-apatis Somnolen

somnolen sopor

Pemulihan Lama Cepat Lama Cepat Cepat

kesadaran

Tanda - ++/- ++/- +/- -

rangsangan

meningeal

Tekanan Sangat meningkat Sangat Normal Normal

intrakranial meningkat meningkat

Paresis +++/- +/- +++ - -

Pungsi Jernih Keruh/ Jernih/xanto Jernih Jernih


lumbal Normal/ opalesen Limfo/ normal Normal

Limfo Segmenter/ Segmen

limfo

Etiologi Virus VS Bakteri M. Virus Diluar SSP

tuberculosis Penyakit

dasar

Terapi Antivirus Antibiotik Simptomatik

2.10. Tatalaksana6

Tatalaksana saat kejang

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rata-rata 4 menit) dan pada waktu pasien

datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang

paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam

intravena adalah 0,2-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam

waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut

mengikuti algoritma kejang pada umumnya.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah

diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg

untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12

kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi

dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali

pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit

dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana
status epileptikus. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari

indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.

Pemberian obat saat demam

a) Antipiretik

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya

kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa

antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15

mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.

b) Antikonvulsan

Pemberian obat antikonvulsan intermiten : obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada

saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu

faktor risiko di bawah ini:

- Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral

- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun

- Usia <6 bulan

- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39°C

- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5

mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),

sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam

intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua

bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta

sedasi.
2.11. Prognosis6

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya

normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian

kecil kasus dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang

berulang baik umum atau fokal.

Kematian karena kejang tidak pernah dilaporkan. Kejang demam akan berulang

kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah:

• Riwayat kejang demam dalam keluarga

• Usia kurang dari 12 bulan

• Temperatur yang rendah saat kejang

• Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%

, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang 10–15%.

Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada tahun pertama.

Faktor risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari adalah :

• Perkembangan saraf terganggu

• Kejang demam kompleks

• Riwayat epilepsi dalam keluarga

• Lamanya demam

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-

6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi

menjadi 10–49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat

rumat pada kejang demam.


BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : DZ
Jenis kelamin : laki –laki
Umur : 3 tahun
Suku bangsa : Minangkabau
Alamat : Kitumbuak PK Kamis Kota Tilatang Kamang. Agam Sumatera Barat

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis (diberikan oleh ibu kandung)
Seorang pasien laki-laki umur 3 tahun dirawat di bangsal anak RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi sejak tanggal 15 Oktober 2017 dengan :
Keluhan utama :
Kejang berulang sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang :
- Batuk sejak 3 hari yang lalu, tidak berdahak dan tidak berdarah. Batuk hilang timbul dan
tidak disertai dengan pilek.
- Sesak nafas tidak ada, nafas bunyi menciut tidak ada.
- Demam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi, terus-menerus, tidak menggigil,
tidak berkeringat banyak. Pasien dibawa ke bidan dan mendapatkan obat berupa puyer,
setelah diberi obat, suhu pasien tetap tinggi.
- Kejang berulang sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Frekuensi 2 kali, kejang
pertama pada pukul 14.00 WIB selama 1 menit. Awalnya pasien sedang beraktivitas, lalu
tiba-tiba diam dan menghentikan aktivitasnya disertai dengan tatapan kosong dan melihat
keatas. Pasien sadar setelah kejang. Setelah 1 jam 30 menit pasien mengalami kejang
kedua yaitu pada pukul 15.30 WIB, selama 3 menit, kejang terjadi pada seluruh tubuh,
mata melihat keatas, lidah tidak tergigit, tidak mengompol serta bibir terlihat membiru.
Kejang berhenti sendiri dan anak sesudah kejang sadar. Ini merupakan episode kejang
ke-6. kejang pertama terjadi pada usia 2.5 tahun, setiap episode kejang didahului dengan
demam.
- Muntah 2 kali 1 jam sebelum masuk rumah sakit, jumlah ±¼- ½ gelas, berisi sisa
makanan, tidak menyemprot
- Bercak – bercak merah tidak ada, mimisan tidak ada, gusi berdarah tidak ada, mata
merah tidak ada
- Nyeri tenggorokan dan nyeri menelan tidak ada.
- Telinga terasa penuh tidak ada, nyeri pada telinga tidak ada dan keluar cairan dari telinga
tidak ada
- Riwayat trauma kepala tidak ada
- Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama tidak ada
- Riwayat kontak dengan unggas mati mendadak tidak ada
- BAB normal, konsistensi padat, warna kuning.
- BAK normal, warna kuning jernih.
Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat kejang sebelumnya sejak umur 2.5 tahun yang didahului oleh demam dan tidak
ada minum obat terartur.

Riwayat penyakit keluarga


- Ayah, ibu dan kakak kandung pasien pernah menderita kejang demam sebelumnya
Riwayat persalinan
Anak lahir spontan ditolong bidan, cukup bulan. Berat badan lahir 3000 gram, panjang lahir
50 cm, dan langsung menangis saat lahir.
Kesan : tidak ada masalah saat kelahiran

Riwayat makanan dan minuman


Bayi : ASI : 0-6 bulan

Susu formula : 6 bulan sampai sekarang, frekuensi 3 – 4x / hari.

Anak : Makanan utama 3x/hari, menghabiskan ½ porsi.

Daging : 3x/minggu

Ikan : 3x/minggu

Telur : 6x/minggu

Sayur : 5x/minggu

Buah : 3x/minggu
Kesan : asupan nutrisi secara kualitas dan kuantitas baik.

Riwayat imunisasi
BCG : 1 bulan, skar (+)
DPT : 2,3,4 bulan
Polio : 1,2,4,6 bulan
Hepatitis B : 1,2,4,6 bulan
Hib : 2,4,6 bulan
Campak : 9 bulan
Kesan : imunisasi dasar lengkap

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan


Riwayat pertumbuhan Umur Riwayat gangguan Umur
dan perkembangan perkembangan dan mental
Ketawa 2 bulan Isap jempol -
Miring 3 bulan Gigit kuku -
Tengkurap 3 bulan Sering mimpi -
Duduk 6-7 bulan Mengompol -
Merangkak 8 bulan Aktif sekali -
Berdiri 9 bulan Apatik -
Lari 18 bulan Membangkang -
Gigi pertama 6 bulan Ketakutan -
Bicara 12 bulan Pergaulan jelek -
Membaca - Kesukaan belajar -
Prestasi di sekolah - -
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan normal
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Ardiansyah Rina
Umur 36 tahun 32 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Sopir IRT
Penghasilan ± 1.500.000 – 2.000.000 -
Perkawinan Pernikahan pertama Pernikahan pertama
Penyakit yang pernah diderita Kejang demam Kejang demam

Riwayat perumahan dan lingkungan


Rumah tempat tinggal : permanen
Sumber air minum : sumur
Buang air besar : jamban dalam rumah
Perkarangan : cukup luas
Sampah : dibuang ke TPS
Kesan : higiene dan sanitasi lingkungan baik
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
- Keadaan umum : sakit sedang
- Kesadaran : sadar
- Tekanan darah : 100/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 112 x/menit
- Nafas : 32 x/menit
- Suhu : 38,5 C
- Berat badan : 14 kg
- Tinggi badan : 99 cm
- Status gizi
BB/U : 0 SD – (-2 SD)
TB/U : 0 SD – (-1SD)
BB/TB : 0SD – (-1SD)
Kesan : gizi baik
- Anemia : tidak ada
- Sianosis : tidak ada
- Edema : tidak ada
- Ikterus : tidak ada
- Kulit : tidak tampak pucat, teraba hangat
- Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran KGB
- Kepala : normochepal, bulat simetris, Lingkar kepala 49 cm
- Rambut : hitam, tidak mudah rontok
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, pupil isokor 2mm/2mm, refleks cahaya +/+
- Telinga : deformitas tidak ada, sekret tidak ada, keluar cairan
dari telinga tidak ada
- Hidung : nafas cuping hidung tidak ada
- Tenggorok : sulit dinilai
- Gigi dan mulut : mukosa bibir dan mulut basah, karies gigi tidak ada
- Leher : JVP 5-2 cmH2O, kaku kuduk (-)
- Thorax
Paru inspeksi : normochest, simetris kiri = kanan
palpasi : fremitus kiri = kanan
perkusi : sonor di kedua lapang paru
auskultasi : vesikuler, Rh -/-,Wh -/-
Jantung inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
palpasi : iktus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
perkusi : batas atas RIC II, batas kanan LSD, batas kiri 1 jari
medial LMCS RIC V
auskultasi : irama reguler, gallop (-), bising (-)
- Abdomen inspeksi : distensi (-)
palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor
kulit baik
perkusi : timpani
auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : tidak ada kelainan
Genitalia : tidak ada kelainan
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2’’
refleks fisiologis +/+
refleks patologis : Babinski -/-, Oppenheim
-/-, Chaddoks -/-, Gordon -/-, Schaeffer -/-
Tanda rangsangan meningeal : Kaku kuduk (-), Brudzinski I dan Brudzinski II (-),
Kernig sign (-)

3.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Hb : 12.1 g/dl
Ht : 35.5 %
Leukosit : 7.950/mm3
LED : 23 mm/jam
Kesan : LED meningkat

3.5 DIAGNOSA KERJA


Kejang demam kompleks
ISPA
3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan elektrolit

3.7 PENATALAKSANAAN
KAEN IB 15 tetes/ menit
Paracetamol 4x150 mg PO
Luminal 2x30 mg PO

3.8 FOLLOW UP
16 Oktober 2017 (08.00 WIB)
S/ Demam (+)
Kejang (-)
Sesak napas (-)
Batuk (+), berdahak
BAB dan BAK normal
O/ KU : Sakit sedang Kesadaran : sadar
HR : 124x/menit RR : 30x/menit
T : 39,1 C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-
Jantung : irama reguler, gallop (-), bising (-)
Abdomen : distensi (-) bising usus (+) normal
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2’’
Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I dan Brudzinski II (-),
Kernig sign (-)
A/ kejang demam kompleks

P/ ML 1200 kkal
Ambroxol 3 x 7 mg PO
Paracetamol 4 x150 mg PO
Luminal 2 x 30 mg PO
17 September 2017 (08.00 WIB)
S/ Demam berkurang
Kejang (-)
Sesak napas (-)
Batuk (+)
BAB dan BAK normal
O/ KU : Sakit sedang Kesadaran : sadar
HR : 98x/menit RR : 29x/menit
T : 39 C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-
Jantung : irama reguler, gallop (-), bising (-)
Abdomen : bising usus (+) normal
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2’’
Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I dan Brudzinski II (-),
Kernig sign (-)
A/ kejang demam kompleks

P/ ML 1200 kkal
Ambroxol 3x7 mg PO
Paracetamol 4 x150 mg PO
Luminal 2 x 30 mg PO
18 September 2017 (08.00 WIB)
S/ Demam berkurang
Kejang (-)
Sesak napas (-)
Batuk berdahak (+)
Muntah (-)
BAB dan BAK normal
O/ KU : Sakit sedang Kesadaran : sadar
HR : 100x/menit RR : 24x/menit
T : 36 C
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-
Jantung : irama reguler, gallop (-), bising (-)
Abdomen : bising usus (+) normal
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2’’
Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I dan Brudzinski II (-),
Kernig sign (-)
A/ kejang demam kompleks

P/ ML 1200 kkal
Ambroxol 3x7 mg PO
Paracetamol 4 x150 mg PO
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien anak laki-laki, usia 3 tahun dibawa orangtuanya ke IGD RSUD Achmad

Mochtar Bukittinggi dengan keluhan utama kejang berulang sejak 1 jam sebelum masuk

rumah sakit yang diawali dengan demam 1 hari yang lalu sebelum timbulnya kejang.

Frekuensi kejang 2 kali dengan durasi ± 1-3 menit tiap kejang, dengan interval antar kejang 1

jam 30 menit. Awalnya pasien sedang beraktivitas, lalu tiba-tiba diam dan menghentikan

aktivitasnya disertai dengan tatapan kosong dan melihat keatas. Pasien sadar setelah kejang.

Ini merupakan episode kejang ke-6. kejang pertama terjadi pada usia 2.5 tahun, setiap episode

kejang didahului dengan demam.

Pasien dicurigai dengan kejang demam karena beberapa faktor resiko yang dimilikinya

yaitu usia 3 tahun yang merupakan rentang usia yang sering terjadi serangan kejang demam

yaitu usia 6 bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2%-5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami

bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak berusia di

bawah 5 tahun, insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.16

Semakin kecil usia pertama kali terjadinya kejang demam akan memilki resiko terjadinya

kejang demam berulang lebih tinggi. Usia yang lebih dini berhubungan dengan maturitas

otak. Otak yang belum mengalami maturasi dengan sempurna yang ditandai dengan proses

develomental windows yang berhubungan dengan regulasi ion Na, K dan Ca belum sempurna

sehingga akan timbul gangguan repolarisasi pasca repolarisasi dan meningkatkan ekstabilitas

neuron. Pada usia yang lebih muda CRH pada hipokampus cukup tinggi yang berperan

sebagai prokonvulsan karena sebagai neuropeptida eksitator sehingga akan terjadi

ketidakseimbangan antara inhibisi dengan eksitator yang mengaibatkan mudahnya terjadi

kejang.16 Kejang demam terjadi lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan,
hal ini berhubungan dengan proses maturasi sel otak perempuan lebih cepat dibandingkan

laki-laki.16

Lalu pada pasien ini setiap cetusan kejang didahului dengan demam, dimana kejang

demam terjadi pada seorang anak yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38oC,

dengan metode pengukuran suhu apa pun), pada anak ini ketika di IGD didapatkan suhu

aksila 38.5oC.6 Selain itu faktor resiko lain yang dimiliki yaitu riwayat kejang demam

sebelumnya dan riwayat kelainan kejang dalam keluarga, dimana pada pasien ini terdapat

riwayat kejang demam pada ayah dan pasien ketika balita, saudara perempuan pasien yang

juga mengalami kejang sampai usia 5 tahun. Ini merupakan faktor yang memegang peranan

penting dalam berlangsungnya kejang demam yaitu faktor genetik yaitu pewarisannya secara

autosomal dominan dengan minimal 3 lokus abnormal yaitu pada kromosam 8q13-q21 (FEB1),

19p (FEB2) dan 5q14-q15 (FEB4).11 Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60%-

80%. Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka

risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat

pernah menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam

20%-22%. Apabila ke dua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita

kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-

64%. Kejang demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah, 27% berbanding

7%. Penelitian Hauser dkk, di Amerika menunjukkan bahwa kasus kejang dernam

mempunyai saudara pernah menderita kejang demam mempunyai risiko 2,7% (CI 95% 2.0-

3.6), sedangkan apabila pasien tersebut mempunyai salah satu orang tua dengan riwayat

pernah menderita kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam

meningkat menjadi 10% (CI 95% 6.3-15) dan apabila ke dua orang tua penderita tersebut

mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam risiko tersebut meningkat menjadi 20%.

Kejang demam yang berhubungan dengan pewarisan sifat baik secara autosomal dominan,
Suhu badan saat timbul bangkitan kejang demam pertama pada pasien dengan mutasi gen

adalah lebih rendah dibandingkan pasien tanpa mutasi gen (38°C dibanding 39°C). Pasien

dengan mutasi gen memiliki ambang kejang rendah akibat adanya channelopathy.17

Channelopathy dapat mengakibatkan temperature sensitive sehingga dengan suhu tidak tinggi

sudah terjadi bangkitan kejang demam. Oleh karena itu suhu tidak dapat dijadikan acuan

untuk terjadinya kejang demam sederhana. Suhu anak dapat tinggi atau rendah saat timbulnya

kejang demam, tergantung faktor yang mendasari seperti adanya mutasi gen. Faktor resiko

lainnya yaitu demam tinggi diatas 102oF atau setara dengan 38,8oC.12 Perubahan kenaikan

temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena

kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi

ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh 10C Celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat

10%-15%, sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan terjadi perubahan kenaikan

temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural, karena

kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP

. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada

keadaan metabolisme di siklus Creb normal, 1 molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP.

Sedangkan pada keadaan hipoksi jaringan metabolisme berjalan anaerob, satu molukul

glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksi akan kekurangan

energi dan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel g1ia.

Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan

asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan peningkatan

permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan ion Na+

masuk ke dalam sel. Ion Na+ ke dalam sel dipermudah pada keadaan demam, mobilitas dan

benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel

tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel
dalam keadaan depolarisasi.16,17 Disamping itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik

sehingga fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat

Na+ influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi, disamping itu demam tinggi dapat

menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron GABA-nergik. Pada penelitian

kami, kelompok kasus diketahui sebagian besar anak dengan bangkitan kejang demam

didahului lama mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion

Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel

neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu demam dapat

merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. Berdasarkan uraian tersebut

dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi perubahan konsentrasi ion

natrium intraselular akibat Na+ influx sehingga menimbulkan keadaan depolarisasi,

disamping itu demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibat kerusakan neuron

GABA-nergik. Pada penelitian kami, kelompok kasus diketahui sebagian besar anak dengan

bangkitan kejang demam didahului lamamobilitas dan benturan ion terhadap membran sel.

Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan

potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping

itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam tinggi dapat mempengaruhi

perubahan konsentrasi ion natrium intraselular akibat Na+ influx sehingga menimbulkan

keadaan depolarisasi, disamping demam tinggi dapat menurunkan kemampuan inhibisi akibat

kerusakan neuron GABA-nergik. Setiap kenaikan suhu 0,3°C secara cepat akan

menimbulkan discharge di daerah oksipital, discharge di daerah oksipital dapat dilihat dan

hasil rekaman EEG. Kenaikan mendadak suhu tubuh menyebabkan kenaikan kadar asam

glutamat dan menurunkan kadar glutamin tetapi sebaliknya kenaikan suhu tubuh secara pelan
tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamat. Perubahan glutamin menjadi asam

glutamat dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh. Asam glutamat merupakan eksitator,

sedangkan GABA sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.

Pola kejang demam yang terjadi memenuhi kriteria kejang demam kompleks yaitu terjadi

kejang berulang lebih dari satu kali dalam 24 jam.10 Pada pasien ini telah terjadi kejang

demam berulang, dan merupakan episode kejang demam ke-7. Pada anak dengan

ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38oC sedangkan pada

anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40 oC

atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering

terjadi pada anak dengan ambang kejang yang rendah.12 Terjadinya demam pada

seorang anak berusia 3 tahun yaitu karena sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh

tubuh, sehingga pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan

keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi

ion Kalium dan Natrium melalui membran sel neuron sehingga terjadi lepas muatan

listrik. Lepasnya muatan listrik yang besar dapat meluas ke seluruh sel maupun ke

membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter, hal ini yang menyebabkan

kejang.12

Pada pemeriksaan fisik secara umum didapatkan dalam batas normal. Tidak

didapatkan adanya peningkatan dari reflek fisiologis, tidak adanya reflek patologis ataupun

terdapatnya ransangan meningeal yang mengindikasikan kelainan intrakranial. Sesuai

dengan pengertian kejang demam, dimana kejang yang terjadi akibat peningkatan suhu tubuh

yang tidak disebabkan oleh masalah intrakranial. Pasien mengalami batuk-batuk tanpa pilek

dan tidak adanya sesak nafas serta tidak adanya retraksi dapat di golongkan kepada ISPA.

Jika dilihat klasifikasi ISPA berdasarkan usia 2 bulan sampai 5 tahun, ini termasuk kepada
bukan pneumonia yang tidak membutuhkan antibiotik dan cukup obati secara simtomatik

saja. Jika menggunakan klasifikasi menurut depkes RI, termasuk kepada ISPA ringan yang

tidak memerlukan antibiotik.

Pada pasien ini, diberikan infus KAEN 1B dengan perbandingan kandungan glukosa

dan NaCl 3:1 sehingga dapat memenuhi kebutuhan glukosa tubuh, pasien dengan berat badan

14 kg memerlukan cairan 1200 cc/hari diberikan dengan infus tetesan makro sebanyak 15

tetes per menit. Pasien mendapatkan paracetamol oral dengan pemberian 4x150 mg, dimana

dosis paracetamol pada anak yaitu 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 3-4x/hari, pada pasien ini

dapat diberikan paracetamol dengan rentang dosis 140 - 150 mg. Walaupun pasien tidak

mengalami kejang lagi, pasien tetap diberikan anti kejang berupa luminal 2 x 30 mg dengan

tujuan untuk mengurangi angka kejadian kejang berikutnya pada pasien sebab pasien masih

dalam kondisi demam yang potensial untuk mencetuskan kembali kejang

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.

Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya

normal. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko

berulangnya kejang demam yaitu apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam

kompleks, riwayat kejang demam, atau epilepsi dalam keluarga, usia kurang dari 12 bulan,

suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang dan interval waktu yang singkat antara awitan

demam dengan terjadinya kejang. Bila seluruh faktor diatas ada, kemusngkinan berulangnya

kejang adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut maka kemungkinan

berulangnya kejang demam hanya 10-15%.6


DAFTAR PUSTAKA

1. Duffner PK, Berman PH, Baumann RJ, Fisher PG, Green JL, Shneider S, dkk.

Neurodiagnostic evaluation of the child with a simple febile seizure. Pediatrics.

2011;127:389-94.

2. Taub KS & Abend NS. Schwartz’s: clinical handbppk of pediatrics, 5th ed, Bab 68

seizires. MW. Philadelpia: Wolters Kluwer;2013.h.711-725.

3. Karimzadeh P, Fahimzad A, dan Poormehdi MS. Febrile Convulsions: The role played by

paraclinical evaluation. Iran J Child Neurology;2008:21-24.

4. Chung B dan Wong V. Relationship between five common viruses and febrile seizure in

children. Arch Dis Child. 2007;9:589-593.

5. Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

1999.h.244-252.

6. Unit kerja koordinasi neurologi IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam.

Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2016.

7. Mikati MA. Neelson Textbook of Pediatrics, 19th Ed, bab 586.1 febrile seizures.

America: Elsevier. 2011.h.2017-2018.

8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, et al. Neurologi Anak, dalam Kapita Selekta

Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Jakarta: Media Aesculapius FK Universitas

Indonesia. 2000;48:434 – 437.

9. Hirtz DG dan Nelson KB. The natural history of febrile seizures. Annu Rev Med.

1983;34:453-471.

10. Pusponegoro HD. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I. Jakarta: Badan

Penerbi IDAI, 2005.


11. Sunartini. Simposium Ilmiah Manajemen Baru untuk Kejang Demam dan Epilepsi pada

Anak, di RS DR. Sardjito 27 Mei 2003. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada

Yogyakarta, 2003.

12. Staf Pengajar IKA FKUI. Kejang Demam. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian

IKA FKUI. 2005.h.847-8.

13. Lumban tobing, SM. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007.

14. Aliabad GM, Khajeh A, Fayyazi A, dan Safdari L. Clinical, epidemiological and

laboratory characteristics of patients with febrile convulsion. J Compr Ped 2013;4(3):134-

137.

15. Unit kerja koordinasi neurologi IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan status epileptikus.

Badan penerbit IDAI. Jakarta, 2016

16. Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi Noor. Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak.

Sari Pediatri 2010;12;3.

17. Nurindah D, Muid M, Retoprawiro . Hubungan antara Kadar Tumor Necrosis Factor-

Alpha (TNF-α) Plasma dengan Kejang Demam Sederhana pada Anak. Jurnal Kedokteran

Brawijaya. 2014; 28(2).

Anda mungkin juga menyukai