Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kata ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Haechekel, ahli Biologi Jermal pada

tahun 1869. Arti kata oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal dan logos bersifat telaah dan

studi. Jadi ekologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara

makhluk hidup dengan lingkungannya. Yang dimaksud makhluk hidup adalah kelompok dari

makhluk hidup itu sendiri (Resosoedarmo, et al.,1990).

Menurut Effendi (2003), air menutupi sekitar 7 % permukaan bumi dengan jumlah sekitar

1368 juta km3. Air terdapat berbagai bentuk, misalnya uap air, es, cairan dan salju. Air tawar

terutama terdapat di sungai, danau, air tanah dan gunung es. Semua badan air di daratan

dihubungkan dengan laut dan atmosfir melalui siklus hidrologi yang berlangsung secara kontinyu.

Ekosistem adalah kumpulan dari komunitas beserta faktor biotik (tumbuhan, hewan dan

manusia), dan abiotik (suhu, iklim, senyawa-senyawa organik dan anorganik). Menurut undang-

undang lingkungan hidup (UULH) tahun 1982 ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh

menyeluruh antara segenap unsur lingkungan yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan

tingkat yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan

lingkungannya dimana terjadi hubungan antar keduanya (Irwan, 1992).

Ekosistem sungai merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik

(fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi

membentuk suatu unit fungsional. Komponen-komponen tersebut (misalnya perubahan nilai

parameter fisika-kimia perairan), maka akan mmenyebabkan perubahan pada komponen lainnya

(misalnya perubahan kualitatif dan kuantitafif organismenya). Perubahan ini tentunya dapat
mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun

dalam keseimbangannya.

Sungai merupakan perairan yang mengalir (lotik), oleh karena itu sungai memiliki arus yang

berbeda-beda disetiap tempatnya. Dan disetiap aliran memiliki organisme yang berbeda pula.

Makrozoobenthos merupakan organisme yang hidup melata, menempel, memendam

dan meliang baik di dasar perairan maupun di permukaan dasar perairan. Makrozoob

enthos yang menetap di kawasan mangrove kebanyakan hidup pada substrat keras sampai lum

pur (Arief, 2003).

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ekologi perairan ini yakni untuk melatih keterampilan mahasiswa di

lapangan khususnya dalam pengukuran parameter perairan dan mengidentifikasi organisme

benthos di perairan.

1.3 Manfaat

Manfaat dari praktikum ini yakni agar mahasiswa dapat mengetahui ciri-ciri dan habitat dari

hewan yang hidup di substat khususnya organisme gastropoda.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Perairan

Sungai adalah torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alami

aliran air dan material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu daerah pengaliran ke

tempat yang lebih rendah dan akhirnya bermuara ke laut.


Sungai adalah badan air yang mengalir ke satu arah. Air sungai dingin dan jernih serta

mengandung sedikit sedimen makanan. Aliran air dan gelombang secara konstan memberikan

oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan ketinggian dan garis lintang (Fairuz et al.,2014).

Ekosistem sungai merupakan habitat bagi organisme akuatik yang keberadaanya sangat

dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya.

Organisme akuatik tersebut di antaranya tumbuhan air, plankton, perifiton, bentos, dan ikan.

Sungai juga merupakan sumber air bagi masyarakat yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan

dan kegiatan, seperti kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri, sumber mineral, dan

pemanfaatan lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut bila tidak dikelola dengan baik akan berdampak

negatif terhadap sumberdaya air, di antaranya adalah menurunnya kualitas air. (Soewarno 1991: 20

dalam Faza, 2012). Secara umum, alur sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, bagian hulu, bagian

tengah dan bagian hilir. Bagian hulu merupakan daerah sumber erosi karena pada umumnya alur

sungai melalui daerah pegunungan atau perbukitan yang mempunyai cukup ketinggian dari

permukaan laut. Substrat permukaan pada bagian hulu pada umumnya berupa bebatuan dan pasir

(Soewarno 1991: 26 dalam Faza, 2012). Hulu sungai merupakan zona antara ekosistem daratan

dengan ekosistem perairan dan sering kali merupakan daerah yang kaya akan biodiversitas (Louhi

dkk. 2010: 1315 dalam Faza, 2012). Alur sungai di bagi an hulu mempunyai kecepatan aliran yang

lebih besar dari bagian hilir, sehingga pada saat banjir material hasil erosi yang diangkut tidak saja

partikel sedimen halus akan tetapi juga pasir, kerikil bahkan batu (Soewarno 1991: 26 dalam Faza,

2012).

Bagian tengah merupakan daerah peralihan dari bagian hulu dan hilir. Kemiringan dasar

sungai lebih landai sehingga kecepatan aliran relatif lebih kecil pada bagian hulu. Permukaan dasar

bagian tengah umumnya berupa pasir atau lumpur (Soewarno 1991: 2728 dalam Faza, 2012).
Bagian hilir merupakan daerah aliran sungai yang akan bermuara ke laut atau sungai lainnya.

Bagian tersebut umumnya melalui daerah dengan substrat permukaan berupa endapan pasir halus

sampai kasar, lumpur, endapan organik dan jenis endapan lainnya yang sangat labil. Alur sungai

bagian hilir mempunyai bentuk yang berkelok-kelok. Bentuk alur tersebut dinamakan meander

(Soewarno 1991: 28 dalam Faza, 2012). Struktur fisik sungai menyediakan relung biologi yang

melimpah terhadap organisme-organisme akuatik. Daerah di bawah batu pada dasar perairan

terdapat tempat yang gelap untuk bersembunyi bagi organisme akuatik berukuran kecil, sedangkan

pada permukaan atas batu yang terpapar cahaya matahari merupakan tempat bagi alga yang

menempel (Goldman & Horne 1983: 20 dalam Faza, 2012). Dua karakteristik utama dari

ekosistem adalah aliran energi dan siklus materi yang terjadi di dalam ekosistem tersebut. Energi

yang berasal dari luar digunakan di dalam suatu ekosistem, seperti cahaya matahari dimanfaatkan

oleh tumbuhan dan diubah menjadi panas oleh organisme heterotropik. Aktivitas organisme

heterotropik juga melepaskan substansi esensial, seperti karbondioksida yang dapat digunakan

kembali dalam fiksasi energi oleh tumbuhan (Lampert & Sommer 2007: 247 dalam Faza, 2012).

2.2 Makrozoobenthos

Zoobentos adalah hewan yang melekat atau beristirahat pada dasar atau hidup di dasar

endapan (Odum, 1993 dalam Darojah, 2005). Hewan ini merupakan organisme kunci dalam jaring

makanan karena dalam sistem perairan berfungsi sebagai pedator, suspension feeder, detritivor,

scavenger dan parasit. Makrobentos merupakan salah satu kelompok penting dalam ekosistem

perairan. Pada umumnya mereka hidup sebagai suspension feeder, pemakan detritus, karnivor

atau sebagai pemakan plankton.

Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal dalam sedimen dasar

perairan. Benthos mencakup organisme nabati yang disebut fitobenthos dan organisme hewani
yang disebut zoobenthos (Odum, 1993 dalam Marfaung (2013). Ketika air surut, organisme akan

kembali ke dasar perairan untuk mencari makan. Beberapa makrozoobenthos yang umum ditemui

di kawasan mangrove Indonesia adalah makrozoobenthos dari kelas Gastropoda, Bivalvia,

Crustacea, dan Polychaeta (Arief, 2003 dalam Marfaung, 2013).

Berdasarkan cara makannya, makrobentos dikelompokkan menjadi 2.

a. Filter feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan menyaring air.

b. Deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat dasar.

Kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder) umumnya tedapat dominan

disubstrat berpasir misalnya moluska bivalva, beberapa jenis echinodermata dan crustacea.

Sedangkan pemakan deposit banyak tedapat pada substrat berlumpur seperti jenis polychaeta.

Berdasarkan keberadaannya di perairan, makrobentos digolongkan menjadi kelompok

epifauna, yaitu hewan bentos yang hidup melekat pada permukaan dasar perairan, sedangkan

hewan bentos yang hidup didalam dasar perairan disebut infauna. Tidak semua hewan dasar hidup

selamanya sebagai bentos pada stadia lanjut dalam siklus hidupnya. Hewan bentos yang

mendiami daerah dasar misalnya, kelas polychaeta, echinodermata dan moluska mempunyai

stadium larva yang seringkali ikut terambil pada saat melakukan pengambilan contoh plankton.

Komunitas bentos dapat juga dibedakan berdasarkan pergerakannya, yaitu kelompok hewan

bentos yang hidupnya menetap (bentos sesile), dan hewan bentos yang hidupnya berpindah-

pindah (motile). Hewan bentos yang hidup sesile seringkali digunakan sebagai indikator kondisi

perairan (Setyobudiandi, 1997 dalam Darojah, 2005).

Distribusi bentos dalam ekonom perairan alam mempunyai peranan penting dari segi aspek

kualitatif dan kuantitatif. Untuk distribusi kualitatif,keadaan jenis dasar berbeda terdapat aksi

gelombang dan modifikasi lain yang membawa keanekaragaman fauna pada zona litoral. Zona
litoral mendukung banyak jumlah keanekaragaman fauna yang lebih besar daripada zona sublitoral

dan profundal. Populasi litoral dan sublitoral, khususnya bentuk mikroskopik. Terdapat banyak

serangga dan moluska, dua kelompok ini biasanya sebanyak 70% atau lebih dari jumlah

komponen spesies yang ada. Dengan peningkatan kedalaman yang melebihi zona litoral, jumlah

spesies bentik biasanya berkurang. Pengaruh perbedaan jenis substrat dasar dimodifikasi oleh

massa alga filamen yang menutupi luas area. Substrat dasar lumpur sering digambarkan sebagai

pendukung jumlah spesies (Welch, 1952 dalam Darojah, 2005).

2.3 Pengelompokan Ukuran Benthos

Berdasarkan ukurannya, Lind (1979) dalam Marfaung (2013) mengklasifikasikan

zoobenthos menjadi dua kelompok besar yaitu mikrozoobenthos dan makrozoobenthos.

Hutabarat dan Evans (1985) dalam Marfaung (2013), juga mengklasifikasikan zoobenthos ke

dalam tiga kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu :

1. Mikrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih kecil dari 0,1 mm yang digolongkan

ke dalam protozoa dan bakteri.

2. Meiofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran 0,1 hingga 1,0 mm. Digolongkan ke dalam

beberapa kelas protozoa berukuran besar dan kelas krustasea yang sangat kecil serta cacing

dan larva invertebrata.

3. Makrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih besar dari 1,0 mm. Digolongkan

ke dalam hewan moluska, echinodermata, krustasea dan beberapa filum annelida.

Berdasarkan tempat hidupnya, zoobenthos dibagi atas dua kelompok, yaitu:

a) epifauna yaitu organisme bentik yang hidup dan berasosiasi dengan permukaan substrat

dan,
b) infauna yaitu organisme bentik yang hidup di dalam sedimen (substrat) dengan cara

menggali lubang (Hutabarat dan Evans, 1985; Nybakken 1992 dalam Marfaung, 2013).

2.4 Parameter Lingkungan Makrozoobenthos

1. Substrat (sedimen)

Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan nutrien dalam

sedimen. Pada substrat berpasir, kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan dengan

substrat yang halus, karena pada substrat berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan

terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya. Namun demikian, nutrien tidak

banyak terdapat dalam substrat berpasir. Sebaliknya pada substrat yang halus, oksigen tidak

begitu banyak tetapi biasanya nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup besar (Bengen, 2004

dalam Marfaung, 2013).

Substrat lumpur dan pasir merupakan habitat yang paling disukai

makrozoobenthos (Lind 1979 dalam Marfaung, 2013). Benthos tidak menyenangi dasar

perairan berupa batuan, tetapi jika dasar batuan tersebut memiliki bahan organik yang

tinggi, maka habitat tersebut akan kaya dengan benthos (Nichol, 1981 dalam Marfaung, 2013).

Makrozoobenthos (terutama molluska) terdapat dalam jumlah yang sedikit pada tipe

tanah liat. Hal ini dikarena substrat liat dapat menekan perkembangan dan kehidupan

makrozoobenthos, karena partikel-partikel liat sulit ditembus oleh makrozoobenthos

untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Selain itu, tanah liat juga mempunyai kandungan

unsur hara yang sedikit (Arief, 2003 dalam Marfaung, 2013).

2. Suhu

Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda. Suhu biasa

digambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat berperan dalam
mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Suhu sangat memengaruhi segala proses

yang terjadi di perairan baik fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga mengatur

proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992 dalam Marfaung, 2013).

Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya.

Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen yang terkandung di dalamnya.

Suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos adalah yang lebih kurang dari 350 C. (Retnowati,

2003 dalam Marfaung, 2013).

3. pH

Organisme perairan mempunyai kemampuan berbeda dalam menolerir pH perairan.

Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain

suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadia

organisme (Pescod, 1973 dalam Marfaung, 2013).

Sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0 hal ini menunjukkan

adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos, dimana sebagian besar organisme dasar

perairan seperti polychaeta, moluska dan bivalvia memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat

keasaman yang berbeda-beda (Hawkes, 1978 dalam Marfaung, 2013).

4. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di

dalam air. Menurut APHA (1989) dalam Marfaung (2013), oksigen terlarut di dalam

air dapat berasal dari hasil fotosintesis organisme laut atau tumbuhan air serta difusi

dari udara. Konsentrasi O2 terlarut di dalam air dapat dipengaruhi oleh koloidal yang

melayang di dalam air maupun oleh jumlah larutan limbah yang terlarut di dalam air.
Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan oksigennya sangat

rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen

terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan

konsumsi O2 sekitar 10% (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003 dalam Marfaung, 2013).

Oksigen terlarut sangat pentingbagi pernapasan hewan benthos dan organisme-

organisme akuatik lainnya (Odum, 1993 dalam Marfaung, 2013). Retnowati (2003), dalam

Marfaung (2013) menyatakan bahwa keberadaan O2 terlarut di dalam substrat dapat berkurang,

hal ini disebabkan oleh banyaknya plankton diperairan tersebut. Tingginya kandungan bahan

organik dan tingginya populasi bakteri pada sedimen menyebabkan besarnya kebutuhan akan O2

terlarut. Kadar O2 terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/LI (Effendi, 2003

dalam Marfaung, 2013).

5. Salinitas

Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh organisme melalui

perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin tinggi salinitas, semakin

besar tekanan osmosisnya sehingga organisme harus memiliki kemampuan beradaptasi

terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu melalui mekanisme osmoregulasi

(Koesoebiono, 1979 dalam Marfaung, 2013), yaitu kemampuan mengatur konsentrasi garam

atau air di cairan internal.

Selanjutnya Nybakken (1992) dalam Marfaung (2013), menjelaskan bahwa fluktuasi

salinitas di daerah intertidal dapat disebabkan oleh dua hal, pertama akibat hujan lebat sehingga

salinitas akan sangat turun dan kedua akibat penguapan yang sangat tinggi pada siang hari

sehingga salinitas akan sangat tinggi. Organisme yang hidup di daerah intertidal biasanya telah

beradaptasi untuk menoleri perubahan salinitas hingga 15.


Menurut Mudjiman (1981) dalam Marfaung (2013), kisaran salinitas yang dianggap layak

bagi kehidupan makrozoobentos berkisar 15-45, karena pada perairan yang bersalinitas rendah

maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-

kerangan.

6. BOT (Bahan Organik Total)

Bahan organik pada sedimen merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang

yang sebagian telah mengalami pelapukan (Soepardi, 1986 dalam Marfaung 2013).

Sedimen pasir kasar umumnya memiliki jumlah bahan organik yang sedikit dibandingkan

jenis sedimen yang halus, karena sedimen pasir kasar kurang memiliki kemampuan untuk

mengikat bahan organik yang lebih banyak. Sebaliknya, jenis sedimen halus memiliki kemampuan

cukup besar untuk mengikat bahan organik. Karena bahan organik sedimen memerlukan proses

aerasi. Standar bahan organik total yang diperbolehkan agar organisme dapat hidup berkisar

0,68-17ppm (Soepardi, 1989 dalam Marfaung 2013).

BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum Ekologi Perairan mengenai hewan benthos yang berada substrat perairan tawar

dilaksanakan pada hari minggu tanggal 10 April 2016. Praktikum ini dimulai pukul 08.30 WITA
sampai selesai. Bertempat di sungai bone kelurahan Talumolo, Kecamatan Dumbo Raya

kabupaten Gorontalo.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat di lihat pada tabel berikut:

No Alat dan Bahan Fungsi


1. Kamera Untuk mengambil dokumentasi
2. Untuk mengambil sampel dari
Transek ayakan
hewan bentos
3. Tali raffia Untuk mengikat botol
4. ATK Untuk alat tulis menulis
5. Botol aqua Untuk media pengukuran arus
6. Thermometer air Untuk mengukur suhu air
7. Plastik sampel Untuk meletakan hewan bentos
8.Stopwatch Untuk menghitung laju arus
9. Daerah perairan
Sebagai bahan untuk praktikum
sungai
3.3 Prosedur kerja

3.3.1 Pengukuran Kecepatan Arus

a. Mengukur tali rafia sepanjang 10 meter

b. Menyiapkan botol akua yang di isi deangan air dan di ikatkan tali sepanjang 10 meter

c. Menyiapkan tali dan botol akua dan dibiarkan hanyut tegak lurus ujung tali di ikatkan pada patok

atau dipegang

d. Mencatat berapa waktu yang ditempuh sepanjang 10 meter

3.3.2 Pengukuran Suhu

a. Menyiapkan termometer batang

b. Termometer batang dicelupkan kedalam air

c. Kemudian dicatat berapa suhu perairan tersebut

3.3.3 Organisme
a. Mengambil organisme benthos pada tiga titik yang berbeda

b. Mencatat hasil yang ditemukan

c. Kemudian diambil gambarnya

3.3.4 Menentukan perairan

a. Menentukan perairan dengan merasakannya

b. Dicatat apakah termasuk perairan sungai, estuary atau laut


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

Hasil yang ditemukan pada lokasi praktikum dapat dilihat pada tabel berikut:
4.2 Pembahasan

4.2.1. Suhu

Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh hasil 26 oC. Suhu air adalah parameter fisika

yang dipengaruhi oleh kecerahan dan kedalaman.Air yang dangkal dan daya tembus cahaya

matahari yang tinggi dapat meningkatkan suhu perairan (Erikarianto, 2008).

Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan

laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman

badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, biologi badan air. Suhu juga

sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran

suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai biasa pertumbuhannya. Peningkatan suhu

mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia,evaporasi dan volatisasi. Peningkatan suhu

juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O 2, CO2, N2, CH4, dan

sebagainya (Haslan, 1995).

Pengukuran suhu dilakukan dengan cara membersihkan terlebih termometer dengan air

bersih kemudian dikeringkan dengan tisu. Setelah termometer dibersihkan kemudian dicelupkan

ke air sungai untuk beberapa menit dan hasil dari pengukuran tersebut 26 oc.

4.2.2. Pengukuran Arus

Berdasarkan data yang diperoleh pada praktikum ekologi perairan bahwa hasil pengukuran

kecepatan arus sampai tali merenggang yaitu 8,2 detik.

Kecepatan arus (velocity/ flow rate) suatu badan air sangat berpengaruh terhadap

kemampuan badan air tersebut untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar.

Pengetahuan akan kecepatan arus digunakan untuk memperkirkan kapan bahan pencemar akan

mencapai suatu lokasi tertentu, apabila bagian hulu suatu badan air mengalami pencemaran.
Kecepatan arus dinyatakan dalam satuan m/detik. Disamping itu, arus sering kali amat menentukan

distribusi gas yang vital, garam dan organisme kecil (Odum, 1996).

Pengukuran arus yang dilakukan pada saat praktikum. Karena arus sungai sebelah kanan

ditempat praktikum memiliki arus yang cukup kuat sehingga tali sepanjang 10 m terentang

sempurna pada waktu 82 sekon sehingga kecapatan arusnya adalah 8,2 m/s.

4.2.3. Organisme

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan ditemukan organisme benthos yang termasuk

klass gastropoda 1 individu jenis Faunus Ater Dan 3 individu Bursa Achinata di titik ke 3, untuk

titik 1 dan 2 tidak ditemukan adanya organisme.

a. Klasifikasi faunus ater

Kingdom : Animalia

Phylum : Mollusca

Kelas : Gastropoda

Family : Pachychilidae

Genus : faunus ater

Ekologi spesies Faunus ater ini kurang dikenal. Data yang diterbitkan dari catatan museum

menunjukkan bahwa spesies ini hidup di mulut dan hilir sungai air tawar dan sungai dengan

pengaruh payau (Houbrick, 1991). Brandt (1974) melaporkan takson ini sebagai mendiami air

tawar serta air sedikit payau dekat pantai di sungai.

b. Klasifikasi bursa echinata

Kingdom : Animalia

Phylum : mollusca

Class : Gastropoda
Family : Bursidae

Genus : Bufonaria

Molusca termasuk binatang yang sangat berhasil menyesuaikan diri untuk hidup di beberapa

tempat dengan cuaca yang berbeda-beda. Siput air tawar biasanya ditemukan di aerah yang

bertemperatur rata-rata -12 oC dan bisa mencapai 51o C. Siput air tawar juga biasanya hidup di

daerah hot springs dan bertemperatur 20o 50o.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum dapat disimpulkan :

a. Pengukuran suhu yang dilakukan di sungai bone kelurahan talumolo didapatkan hasil 26 0 c hal

ini menunjukan bahwa suhu perairan tersebut optimal.

b. Pengukuran arus yang dilakukan pada saat praktikum di sungai bone kelurahan talumolo

didapatkan hasil kecepatan arusnya 16,4 m/s

c. Organisme yang kami dapatkan disekitar sungai bone kelurahan talumolo antara lain Faunus Ater

Dan Bursa Achinata hanya pada titik 3 dari ketiga titik yang kami observasi.

5.2 Saran
Dalam menyusun laporan ini, tentunya penyusun tidak lepas dari kesalahan-kesalahan dan

kekurangan. Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh

karenanya penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna dalam

kesempurnaan dalam pembuatan laporan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Darojah, Yuyun. 2005. Keanekaragaman jenis Makrozoobenthos di Ekosistem perairan Rawa Pening di
Kabupaten Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Semarang

Fairuz, Navisa.,H, Sitorus.,I, Lesmana. 2014. Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Sungai
Bingai Kecamatan Binjai Barat Kota Binjai. Jurnal. Progran Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia

Faza, M, F. 2012. Stuktur Komunitas Plankton di Sungai Pesanggaran dari Bagian Hulu (Bogor, Jawa
Barat) Hingga Bagian Hilir (Kembangan, DKI Jakarta). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Departemen Biologi Depok. Universitas Indonesia

Marfaung, A, A, F. 2013. Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem mangrove Silvofishery dan


mangrove Alami kawasan Ekowisata pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Skripsi.
Program Studi Ilmu Kelautan. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.
Universitas Hasanuddin Makassar

Anda mungkin juga menyukai