Pembimbing:
dr. Rachmad Aji S, M. Sc, Sp. PD
disusun oleh:
Verosa Siregar 1620221186
PRESENTASI KASUS
Disusun Oleh:
Dokter Pembimbing:
PENDAHULUAN
A. Identitas Pasien
Nama : Sdr. I
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Belum menikah
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Ds. Kranding RT 35/004, Cibuyur
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 6 Oktober 2017
Tanggal Periksa : 14 Oktober 2017
B. Anamnesis
C. Pemeriksaan Fisik
KU/Kes : Sedang/Compos Mentis
Vital Sign : TD : 120/70 mmHg RR : 20x/menit
N : 64 x/menit S : 36.4 C
Status Generalis
Kepala : Mesosefal, moon face (+)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Napas Cuping Hidung (-)
Mulut : Atrofi papil lidah (-), Sianosis (-), Glossitis (-),
Leher : Bull neck (+), buffallo humps (+),
deviasi Trakea (-), JVP 5+2 cmH2O
Status Lokalis
PULMO
Inspeksi : dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi intrakostal (-)
Palpasi : Vocal fremitus apex dan basal simetris (dekstra
sinistra)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikular di kedua lapang paru,
wheezing (-/-), ronkhi basah kasar (-/-), ronkhi
basah halus (-/-)
COR
Inspeksi : IC terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS
Pulsasi Parasternal (-), Pulsasi Epigastrium (-)
Palpasi : IC teraba di SIC V 2 jari medial LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Kanan atas di SIC II LPSD
Kiri atas di SIC II LPSS
Kanan bawah di SIC IV LPSD
Kiri bawah di SIC V, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, gallop (-), murmur (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Datar, supel, striae vaskularis (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran
EKSTREMITAS
Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+)
Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/+),
striae vaskularis (+/+)
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 6 Oktober 2017
1. Darah Lengkap
a. Hemoglobin : 13.5 g/dL (N= 11.2-17.3)
b. Leukosit : 14.090 /uL H (N= 4500-12500)
c. Hematokrit : 41 % (N= 40-52)
d. Eritrosit : 5.2 x 10^6/uL (N=4,4-5,9)
e. Trombosit : 185.000 /uL (N= 140.000-392.000)
f. MCV : 79.4 fL L (N= 80-100)
g. MCH : 26 pg (N= 26-34)
h. MCHC : 32.7 % (N= 32-35)
i. RDW : 15.5 % H (N= 11,5-14,5)
j. MPV : 9.3 fL L (N=9.4-12.4)
k. Hitung jenis :
1) Basofil : 0,1 % (N=0-1)
2) Eusinofil : 0,3 % L (N= 2-4)
3) Batang : 10.7 % H (N= 3-5)
4) Segmen : 75.6 % H (N= 50-70)
5) Limfosit : 8.4 % L (N= 25-40)
6) Monosit : 4.7 % (N= 2-8)
l. Ureum : 79.5 mg/dL H (N= 14.98-38.52)
m. Kreatinin : 1.24 mg/dL (N= 0.70-1.30)
n. GDS : 82 mg/dL (N= 200)
o. Natrium : 142 mmol/L (N= 134-146)
p. Kalium : 4.3 mmol/L (N= 3.4-4.5)
q. Klorida : 112 mmol /L H (N= 96-108)
2. Urinalisis
a. Urine lengkap
Warna : Kuning (N= Kng muda kng tua)
Kejernihan : Jernih (N= Jernih)
Bau : Khas (N= Khas)
Urobilinogen : Normal (N= Normal)
Glukosa : Normal (N= Negatif)
Bilirubin : Negatif (N= Negatif)
Berat Jenis : 1.015 (N= 1.010-1.030)
Eritrosit : 10 (N= Negatif)
pH : 6.0 (N= 4.6-7.8)
Protein : 30 (N= Negatif)
Leukosit : Negatif (N= Negatif)
b. Sedimen
Eritrosit : 1-2 (N= Negatif)
Leukosit : 0-1 (N= Negatif)
Epitel : 0-1 (N= Negatif)
S. Hialin : Negatif (N= Negatif)
S. Lilin : Negatif (N= Negatif)
S. Eritrosit : Negatif (N= Negatif)
S. Leukosit : Negatif (N= Negatif)
Granuler Halus : Negatif (N= Negatif)
Granuler Kasar : Negatif (N= Negatif)
Kristal : Negatif (N= Negatif)
Bakteri : 1-10 (N= Negatif)
Trikomonas : Negatif (N= Negatif)
Jamur : Negatif (N= Negatif)
a. Urine lengkap
Warna : Kuning (N= Kng muda kng tua)
Kejernihan : Agak Keruh (N= Jernih)
Bau : Khas (N= Khas)
Urobilinogen : Normal (N= Normal)
Glukosa : Normal (N= Negatif)
Bilirubin : Negatif (N= Negatif)
Berat Jenis : 1.015 (N= 1.010-1.030)
Eritrosit : 10 (N= Negatif)
pH : 6.0 (N= 4.6-7.8)
Protein : 30 (N= Negatif)
Leukosit : Negatif (N= Negatif)
b. Sedimen
Eritrosit : 1-2 (N= Negatif)
Leukosit : 0-1 (N= Negatif)
Epitel : 1-2 (N= Negatif)
S. Hialin : Negatif (N= Negatif)
S. Lilin : Negatif (N= Negatif)
S. Eritrosit : Negatif (N= Negatif)
S. Leukosit : Negatif (N= Negatif)
Granuler Halus : Negatif (N= Negatif)
Granuler Kasar : Negatif (N= Negatif)
Kristal : Negatif (N= Negatif)
Bakteri : 0-10 (N= Negatif)
Trikomonas : Negatif (N= Negatif)
Jamur : Negatif (N= Negatif)
Compressi Fraktura VL 2
Trabekulasi tulang tampak porotic
Penyempitan discus inter vertebrae L 1-2, 2-3
E. Diagnosis Kerja
1. Osteoporosis ec Induce Kortikoglukokortikoid
2. Hipertensi
3. Fraktur Corpus Vertebare Lumbal 2
4. Sindroma Nefrotik
5. Sindroma Cushing
F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. IFVD RL : aminofluid 10 tpm
b. Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
c. Inj. Methylprednisolon 4 mg 1x1 amp
d. Inj. Ranitidin 2x50 mg
e. Inj. Sandimmun 1x25 mg
f. Inj. Bondronat 1amp/24 jam
g. PO Asam folat 1x1
h. PO Adalat 1x1
i. PO Calos 3x1
j. PO Osteofel 3x1
2. Non Farmakologi
a. Rehabilitasi medik
b. Penggunaan korset lumbal
G. Prognosis
Ad fungtionam : ad malam
Ad vitam : ad malam
Ad sanationam : ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.1 Definisi
II.1.II Epidemiologi
Sindroma nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens sindroma nefrotik pada anak dalam kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris 2-7 kasus baru per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensinya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per
tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki dan
perempuan 2 : 1 (Prabowo, 2014).
II.I.III Etiologi
a. Glomerulonefritis Primer
- Glomerulonefritis lesi minimal
- Glomerulonefritis fokal segmental
- Glomerulonefritis membranosa
- Glomerulonefritis membranoproliferatif
- Glomerulonefritis proliferatif lain
b. Glomerulonefritis Sekunder
- Infeksi
HIV, hepatitis B dan C, sifilis, malaria, tuberkulosis dan lepra
- Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, mieloma
multipel, dan karsinoma ginjal
- Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, mixed connective tissue
disease (MCTD)
- Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-glukokortikoid, preparat emas, penisilamin,
probenesid, air raksa, captopril, heroin
- Lain lain
Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronis,
refluks vesikoureter atau sengatan lebah
a. Urinalisis
Biakan urine hanya dilakukan bila didaptkan gejala klinis yang mengarah
kepada infeksi saluran kemih
b. Protein urine kuantitatif
Dapat menggunakan urine 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
pertama pagi hari
c. Pemeriksaan Darah
- Darah tepi lengkap
Hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, laju
endap darah
- Albumin dan kolestrol serum
- Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti Nuclear
Antibody) dan anti ds-DNA
II.I.V Klasifikasi
II.I.VI Patogenesis
Pada saat ini patogenesis dasar timbulnya sindroma nefrotik yang banyak
dipakai ialah terutama berdasarkan kelainan imnulogis. Mekanisme reaksi
antigen-antibodi glomerulus endogen yang ditemukan pada membran basalis dan
menmbentuk deposit linier atau granuler bergantung pada distribusi lokal
merupakan proses yang mempunyai dasar patogenesis penting. Antigen yang
ditemukan mengendap pada membran basal tersebut bukan berasal dari jaringan
ginjal itu sendiri. Deposit granuler pada kerusakan glomerulus jenis kompleks
imun sebenarnya merupakan hasil reaksi in-situ antara antibodi dan antigen non-
renal yang terikat pada permukaan glomerulus bukan karena terperangkapnya
kompleks imun yang ditemukan pada sirkulasi. Beberapa faktor yang berperan
dalam mekanisme tersebut ialah besarnya ukuran kompleks imun, muatan sawar
glomerulus, dan perbedaan daya difusi (Raharja, 2014).
Komplemen Makrofag
Neutrofil
II.I.IX Komplikasi
Beberapa komplikasi akibat sindroma nefrotik, meliputi (Lidya & Marbun,
2014):
a. Keseimbangan nitrogen negatif
Proteinuria dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan nitrogen negatif
yang bermanifestasi kehilangan massa otot
b. Hiperkoagulasi
Akibat meningkatnya sintesis protein yang disertai dengan kehilangan
protein, risiko akan meningkat jika kadar albumin plasma <2 g/dL
c. Hiperlipidemia dan lipiduria
Sindroma nefrotik dapat menimbulkan hiperlipidemia yang meliputi
peningkatan kadar kolestrol sedangkan kadar trigliserida normal atau
meningkat, LDL plasma meningkat, VLDL meningkat, IDL meningkat,
sedangkan HDL normal atau menurun
d. Metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D didalam plasma berikatan dengan protein, sehingga jika terjadi
gangguan filtrasi yang mengakibatkan hilangnya protein melalui urine,
maka ekskresi vitamin D juga ikut meningkat
e. Efek metabolik
Sebagian besar hormon yang beredar di dalam plasma terikat dengan
protein, maka jika terjadi kehilangan protein akan diikuti dengan
penurunan kadar hormon yang dapat menimbulkan berbagai manifestasi
metabolik.
II.II.II Epidemiologi
Glukokortikoid memerankan peranan penting sebagai agen anti-inflamasi,
diperkirakan sekitar 1% populasi di Amerika memperoleh terapi glukokortikoid
jangka panjang (Fardet et al., 2015). Penggunaan glukokortikoid jangka panjang
dapat meningkatan risiko fraktur, lebih dari 10% pasien pengguna glukokortikoid
jangka panjang terdiagnosa fraktur, sedangkan 30-40% nya merupakan fraktur
vertebrae (Curtis et al., 2006). Risiko kerapuhan tulang mulai meningkat dalam 3-
6 bulan pertama terapi glukokortikoid, hal tersebut dipengaruhi oleh dosis, lama
terapi dan jenis tulang, risiko fraktur akan semakin meningkat pada tulang jenis
trabekular dibandingkan tulang kortikal (Hansen et al., 2014).
II.II.III Patofisiologi
Berbagai mekanisme yang menyebabkan osteoporosis akibat pemberian
glukokortikoid jangka panjang adalah (Permana, 2015):
a. Supresi fungsi osteoblas yang secara potensial menyebabkan peningkatan
apoptosis osteoblas
b. Peningkatan resorpsi osteoklas akibat stimulasi resorpsi tulang
c. Gangguan absorbsi kalsium di usus
d. Peningkatan ekskresi kalsium di urine dan induksi oleh
hiperparatiroidisme sekunder
e. Induksi miopati yang menyebabkan risiko jatuh
Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan antara pembentukan tulang
oleh osteoblas dan resorpsi tulang oleh osteoklas. Mekanisme bone loss pada
pengobatan glukokortikoid jangka panjang adalah akibat penurunan pembentukan
tulang dan meningkatnya resorpsi tulang. Pembentukan tulang menurun akibat
penekanan fungsi osteoblas dan kadang kadang menyebabkan hormon mediated
activity osteoclast yang ditandai dengan penekanan langsung fungsi osteoblas
(Fraser & Adachi, 2009).
Supresi osteoblas mengakibatkan penurunan sintesis matriks tulang
sehingga pembentukan tulang menurun. Glukokortikoid menekan proliferasi
osteoblas untuk melekat pada matriks tulang selain itu juga dapat menghambat
sintesis kolagen dan non-kolagen. Sebaliknya meningkatnya resorpsi tulang pada
pasien yang mendapat terapi glukokortikoid jangka panjang diakibatkan oleh
adanya hiperparatiroid sekunder (Fraser & Adachi, 2009).
Manifestasi kenaikan kadar hormon paratiroid adalah menurunnya kadar
kalsitonin yang dikeluarkan oleh kelenjar paratiroid sehingga efek penekanan
osteoklas menurun, resorpsi osteoklas meningkat, selain itu juga dapat
menyebabkan absorbsi kalsium di usus menurun (Briot & Roux, 2015).
Efek lain glukokortikoid adalah perubahan produksi prostaglandin, sitokin
dan faktor pertumbuhan. Secara farmakologis glukokortikoid menginhibisi
sintesis Insulin like Growth Factor (IGF-1), menstimulasi replikasi dan sintesis
kolagen. Glukokortikoid juga dapat mempengaruhi protein pengikat IGF-1 yang
akan menyebabkan inhibisi atau meningkatkan aktivitas IGF. Akibat gangguan
efek glukokortikoid akan menurunkan ikatan protein yang menyebabkan
menurunnya pembentukan tulang (Briot & Roux, 2015).
Pengobatan glukokortikoid jangka panjang akan menyebabkan gangguan
keseimbangan elektrolit, metabolisme karbohidrat, protein, lemak, sindroma
Cushing, katarak, pengecilan otot dan hilangnya massa tulang yang dapat
mengakibatkan fraktur (Briot & Roux, 2015).
Patogenesis osteoporosis diperkirakan sama antara laki-laki dan
perempuan. Glukokortikoid dapat menyebabkan penekanan produksi hormon seks
baik secara langsung maupun tudak langsung. Dalam suatu penelitian ditemukan
penggunaan penurunan kadar estradiol, dehidroepiandrosteron, androstendion dan
progesteron pada perempuan dan laki laki yang mendapatkan terapi
glukokortikoid jangka panjang. Defisiensi hormon anabolik ini akan
menyebabkan resorpsi tulang semakin meningkat (Briot & Roux, 2015).
Penggunaan Glukokortikoid
Gangguan
Pembentukan Resorpsi keseimbangan
tulang tulang kalsium
Risiko fraktur
II.II.VI Tatalaksana
Berdasarkan American College of Rheumatology Guideline terdapat
beberapa rekomendasi mengenai terapi inisial terhadap pasien pengguna
glukokortikoid yaitu sebagai berikut (Buckley et al., 2017).
a. Semua pasien dewasa yang diberikan prednison dengan dosis 2.5 mg/hari
selama 3 bulan
- Pemberian kalsium (1.000-1.200 mg/hari) dan vitamin D (600-800
IU/hari) serta modifikasi gaya hidup (diet seimbang, pertahankan berat
badan ideal, berhenti merokok, kurangi konsumsi alkohol)
b. Pasien dewasa 40 tahun dengan low risk of fracture
- Pemberian kalsium, vitamin dan modifikasi gaya hidup dapat diserta
dengan pemberian bifosfonat, teriparatide, denosumab atau raloxifene
c. Pasien dewasa 40tahun dengan moderate risk fraktur mayor
- Terapi dengan pemberian bifosfonat oral kemudian dapat diberikan
kalsium dan vitamin D
- Terapi dengan pemberian bifosfonat oral kemudian dapat diberikan
bifosfonat intravena, teriparatide, denosumab atau raloxifene
d. Pasien dewasa <40 tahun dengan low risk of fracture
- Terapi dengan pemberian kalsium, vitamin D dan modifikasi gaya hidup
kemudian dapat diberikan bifosfonat, teriparatide atau denosumab
e. Pasien dewasa <40 tahun dengan moderate to high risk of fracture
- Terapi dengan pemberian bifosfonat oral kemudian dapat diberikan
kalsium dan vitamin D
- Terapi dengan pemberian bifososfonat oral kemudian dapat diberikan
bifosfonat intravena, teriparatide atau denosumab
Kalsium, Vitamin D dan modifikasi gaya hidup
Low risk
Moderate to high risk
Usia 40 tahun
Curtis J, Westfall AO, Allison J, Bijlsma JW, Freeman A, George V et al. 2006,
Population based Assesment of Adverse Event associated Long-term
Glucocoticoid Use Arthritis Rheumatoid, Vol. 55, pp. 420-426
Feldstein AC, Elmer PJ, Nichols GA, Herson M 2005, Practice Patterns in
Patients at Risk for Glucocorticoid induced Osteoporosis Osteoporosis
International, Vol. 16, pp. 2168-2174
Gruppen MP, Davin JC, Oosterveld MJ, Schreuder MF, Dorresteijn EM, Kramer
SP & Bouts AH 2013, Prevention of Steroid induced Low Bone Mineral
Density in Children with Renal Disease: a Systematic Review Nephrol Dial
Transplant, Vol. 28, Mei 2013, pp. 2099-2106
IDAI 2012, Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak Ed. 2,
Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI
Lidya A & Marbun MB 2014, Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Ed. VI, Internal
Publishing, Jakarta
Lindsay R, Brauwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, 2008,
Harrisons Principle of Internal Medicine, Mc Grow Hill, USA
Nashirin AN 2015, Hubungan Nilai Indeks Massa Tubuh dengan Nilai Risiko
Fraktur Osteoporosis Berdasarkan Perhitungan FRAX tool pada Wanita
Usia 50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan Ciputat Tahun 2015, Laporan
Penelitian Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta
Raharja INA 2014, Profil Sindroma Nefrotik di Poliklinik Anak RSUP Fatmawati,
Laporan Penelitian Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Setiyohadi B 2014, Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Ed. VI, Internal Publishing,
Jakarta
Wardhana W 2012, Faktor faktor Risiko Osteoporosis pada Pasien dengan Usia
diatas 50 tahun, Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah Program Studi Sarjana
Kedokteran, Univesitas Diponegoro, Semarang
Wirya W 2002, Buku Ajar Nefrologi Anak Ed. 2, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta