Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

Osteoporosis akibat Penggunaan Glukokortikoid pada pasien


Sindroma Nefrotik

Pembimbing:
dr. Rachmad Aji S, M. Sc, Sp. PD

disusun oleh:
Verosa Siregar 1620221186

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN


SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2017
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

Osteoporosis akibat Penggunaan Glukokortikoid pada pasien


Sindroma Nefrotik

Disusun Oleh:

Verosa Siregar 1620221186

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal: November 2017

Dokter Pembimbing:

dr. Rachmad Aji S, M. Sc, Sp. PD


BAB I

PENDAHULUAN

Osteoporosis merupakan penyakit kronis progresif yang melibatkan


kelainan metabolisme tulang, yang ditandai dengan adanya penurunan massa
tulang dan kelainan mikroarsitektur jaringan tulang yang menyebabkan kerapuhan
tulang sehingga mudah terjadi fraktur. Keadaan ini mengakibatkan individu baik
laki laki maupun perempuan menimbulkan gejala, disability, dan keterbatasan
kualitas hidup. Beberapa tahun terakhir perhatian terhadap osteoporosis semakin
meningkat terutama akibat meningkatnya harapan hidup yang menyebabkan
manula semakin banyak serta pemakaian obat obat berjangka lama yang berefek
samping terhadap osteoprosis (Permana, 2015).

Terdapat dua jenis osteoporosis yaitu osteoporosis primer dan sekunder.


Dari beberapa penyebab osteoporosis sekunder, penggunaan glukokortikoid
merupakan penyebab sering yang ditemukan, yang berkaitan dengan penggunaan
jangka panjang terhadap beberapa penyakit seperti asma bronkhiale, penyakit paru
obstruksi, penyakit akibat inflamasi, penyakit endokrin, keganasan bahkan post
transplantasi (Permana, 2015).

Osteoporosis akibat glukokortikoid merupakan bentuk osteoporosis


sekunder yang paling umum dan paling sering mengenai anak muda.
Pengeroposan tulang dan dan peningkatan risiko fraktur akan terjadi lebih awal
setelah dimulainya terapi glukokortikoid. Kejadian osteoporosis pada pengguna
glukokortikoid dikaitkan dengan dosis dan lama pengobatan (Briot & Roux,
2015). Peningkatan risiko fraktur tidak sepenuhnya dinilai dengan pengukuran
kepadatan mineral tulang, karena juga terkait dengan perubahan kualitas tulang
dan peningkatan risiko jatuh (Briot & Roux, 2015).

Ketergantungan glukokortikoid pada pasien sindroma nefrotik merupakan


salah satu penyebab yang paling sering pasien dirujuk ke nefrologis.
Glukokortikoid secara langsung dan tidak langsung dapat mengakibatkan
gangguan deposisi kalsium dan metabolisme tulang dengan mekanisme hilangnya
vitamin D melalui urin (Basiratnia et al., 2006). Anak anak yang diterapi dengan
menggunakan glukokortikoid memiliki risiko tinggi untuk terjadi osteoporosis dan
fraktur. Namun belum ada strategi untuk pencegahan osteoporosis akibat
penggunaan glukokortikoid jangka panjang. Penelitian saat ini menyatakan bahwa
penggunaan kalsium, vitamin D, dan atau bifosfonat sebagai pencegahan bersifat
aman dan efektif pada anak anak dengan penyakit ginjal yang diterapi
menggunakan glukokortikoid (Gruppen et al., 2013).

Pentingnya informasi mengenai faktor risiko terjadinya fraktur dan


efektivitas terapi pada pengguna glukokortikoid dibutuhkan sebagai bahan
pertimbangan dan pengamatan terhadap efek glukokortikoid serta upaya
pencegahan terjadinya osteoprosis dan fraktur (Feldstein et al., 2005).
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama : Sdr. I
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Belum menikah
Suku Bangsa : Jawa
Alamat : Ds. Kranding RT 35/004, Cibuyur
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 6 Oktober 2017
Tanggal Periksa : 14 Oktober 2017

B. Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri pinggang

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien masuk dari IGD RSMS dengan keluhan pinggang terasa sangat
nyeri, pasien sulit untuk bangun, sulit untuk menggerakan kedua tungkai,
pasien sudah tidak mampu berjalan sejak 1 bulan SMRS.
Keluhan disertai dengan bengkak di wajah dan tungkai, mual (+),
muntah (-), BAB dan BAK lancar.
Pasien memiliki riwayat sindroma nefrotik, sering kontrol.
Sebelumnya pasien pernah dirawat di RSUD Pemalang karena bengkak di
wajah dan seluruh tubuh, bengkak dirasakan hilang timbul sudah sejak 2
tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama :disangkal
Riwayat sakit kuning :disangkal
Riwyat transfusi darah :disangkal
Riwayat penyakit jantung :disangkal
Riwayat hipertensi :disangkal
Riwayat DM :disangkal
Riwayat penyakit ginjal :Sindroma nefrotik
Riwayat asam urat :disangkal
Riwayat alergi :disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan yang sama :disangkal


Riwayat sakit kuning :disangkal
Riwayat penyakit jantung :disangkal
Riwayat penyakit stroke :disangkal
Riwayat hipertensi :disangkal
Riwayat DM :disangkal
Riwayat penyakit ginjal :disangkal
Riwayat asam urat : disangkal
Riwayat alergi :disangkal

Riwayat Sosial dan Ekonomi


1. Community
Pasien tinggal bersama ayah dan ibunya. Keluarga pasien berasal dari
keluarga ekonomi menengah ke bawah.
2. Occupational
Pasien bekerja sebagai mahasiswa di Jakarta, namun setelah menderita
penyakit pasien berhenti kuliah dan berdiam diri di rumah.
3. Personal Habit
Pasien menggemari olahraga pencak silat namun pasien merupakan
perokok sejak masuk kuliah, sering mengkonsumsi minuman bersoda dan
sering bergadang. Penggunaan minuman beralkohol, obat obatan
terlarang disangkal oleh pasien. Pasien juga tidak pernah melakukan
hubungan seks di luar nikah.
4. Drugs and Diet
Pasien makan tidak teratur 1 sampai 3 kali sehari, jarang makan nasi,
sayur dan buah buahan. Pasien lebih sering mengkonsumsi mie instan
dan snack/makanan ringan.

C. Pemeriksaan Fisik
KU/Kes : Sedang/Compos Mentis
Vital Sign : TD : 120/70 mmHg RR : 20x/menit
N : 64 x/menit S : 36.4 C
Status Generalis
Kepala : Mesosefal, moon face (+)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Napas Cuping Hidung (-)
Mulut : Atrofi papil lidah (-), Sianosis (-), Glossitis (-),
Leher : Bull neck (+), buffallo humps (+),
deviasi Trakea (-), JVP 5+2 cmH2O

Status Lokalis
PULMO
Inspeksi : dinding dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi intrakostal (-)
Palpasi : Vocal fremitus apex dan basal simetris (dekstra
sinistra)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikular di kedua lapang paru,
wheezing (-/-), ronkhi basah kasar (-/-), ronkhi
basah halus (-/-)

COR
Inspeksi : IC terlihat di SIC V 2 jari medial LMCS
Pulsasi Parasternal (-), Pulsasi Epigastrium (-)
Palpasi : IC teraba di SIC V 2 jari medial LMCS,
kuat angkat (-)
Perkusi : Kanan atas di SIC II LPSD
Kiri atas di SIC II LPSS
Kanan bawah di SIC IV LPSD
Kiri bawah di SIC V, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, gallop (-), murmur (-)

ABDOMEN
Inspeksi : Datar, supel, striae vaskularis (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran

EKSTREMITAS
Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+)
Inferior : Edema (-/-), akral hangat (+/+),
striae vaskularis (+/+)
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 6 Oktober 2017

1. Darah Lengkap
a. Hemoglobin : 13.5 g/dL (N= 11.2-17.3)
b. Leukosit : 14.090 /uL H (N= 4500-12500)
c. Hematokrit : 41 % (N= 40-52)
d. Eritrosit : 5.2 x 10^6/uL (N=4,4-5,9)
e. Trombosit : 185.000 /uL (N= 140.000-392.000)
f. MCV : 79.4 fL L (N= 80-100)
g. MCH : 26 pg (N= 26-34)
h. MCHC : 32.7 % (N= 32-35)
i. RDW : 15.5 % H (N= 11,5-14,5)
j. MPV : 9.3 fL L (N=9.4-12.4)
k. Hitung jenis :
1) Basofil : 0,1 % (N=0-1)
2) Eusinofil : 0,3 % L (N= 2-4)
3) Batang : 10.7 % H (N= 3-5)
4) Segmen : 75.6 % H (N= 50-70)
5) Limfosit : 8.4 % L (N= 25-40)
6) Monosit : 4.7 % (N= 2-8)
l. Ureum : 79.5 mg/dL H (N= 14.98-38.52)
m. Kreatinin : 1.24 mg/dL (N= 0.70-1.30)
n. GDS : 82 mg/dL (N= 200)
o. Natrium : 142 mmol/L (N= 134-146)
p. Kalium : 4.3 mmol/L (N= 3.4-4.5)
q. Klorida : 112 mmol /L H (N= 96-108)

2. Urinalisis
a. Urine lengkap
Warna : Kuning (N= Kng muda kng tua)
Kejernihan : Jernih (N= Jernih)
Bau : Khas (N= Khas)
Urobilinogen : Normal (N= Normal)
Glukosa : Normal (N= Negatif)
Bilirubin : Negatif (N= Negatif)
Berat Jenis : 1.015 (N= 1.010-1.030)
Eritrosit : 10 (N= Negatif)
pH : 6.0 (N= 4.6-7.8)
Protein : 30 (N= Negatif)
Leukosit : Negatif (N= Negatif)
b. Sedimen
Eritrosit : 1-2 (N= Negatif)
Leukosit : 0-1 (N= Negatif)
Epitel : 0-1 (N= Negatif)
S. Hialin : Negatif (N= Negatif)
S. Lilin : Negatif (N= Negatif)
S. Eritrosit : Negatif (N= Negatif)
S. Leukosit : Negatif (N= Negatif)
Granuler Halus : Negatif (N= Negatif)
Granuler Kasar : Negatif (N= Negatif)
Kristal : Negatif (N= Negatif)
Bakteri : 1-10 (N= Negatif)
Trikomonas : Negatif (N= Negatif)
Jamur : Negatif (N= Negatif)

Pemeriksaan Laboratorium 13 Oktober 2017

a. Urine lengkap
Warna : Kuning (N= Kng muda kng tua)
Kejernihan : Agak Keruh (N= Jernih)
Bau : Khas (N= Khas)
Urobilinogen : Normal (N= Normal)
Glukosa : Normal (N= Negatif)
Bilirubin : Negatif (N= Negatif)
Berat Jenis : 1.015 (N= 1.010-1.030)
Eritrosit : 10 (N= Negatif)
pH : 6.0 (N= 4.6-7.8)
Protein : 30 (N= Negatif)
Leukosit : Negatif (N= Negatif)
b. Sedimen
Eritrosit : 1-2 (N= Negatif)
Leukosit : 0-1 (N= Negatif)
Epitel : 1-2 (N= Negatif)
S. Hialin : Negatif (N= Negatif)
S. Lilin : Negatif (N= Negatif)
S. Eritrosit : Negatif (N= Negatif)
S. Leukosit : Negatif (N= Negatif)
Granuler Halus : Negatif (N= Negatif)
Granuler Kasar : Negatif (N= Negatif)
Kristal : Negatif (N= Negatif)
Bakteri : 0-10 (N= Negatif)
Trikomonas : Negatif (N= Negatif)
Jamur : Negatif (N= Negatif)

Pemeriksaan Rontgen Foto Lumbosacral AP/Lateral 7 Oktober 2017


Kesan:

Compressi Fraktura VL 2
Trabekulasi tulang tampak porotic
Penyempitan discus inter vertebrae L 1-2, 2-3

E. Diagnosis Kerja
1. Osteoporosis ec Induce Kortikoglukokortikoid
2. Hipertensi
3. Fraktur Corpus Vertebare Lumbal 2
4. Sindroma Nefrotik
5. Sindroma Cushing

F. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. IFVD RL : aminofluid 10 tpm
b. Inj. Furosemid 1 amp/12 jam
c. Inj. Methylprednisolon 4 mg 1x1 amp
d. Inj. Ranitidin 2x50 mg
e. Inj. Sandimmun 1x25 mg
f. Inj. Bondronat 1amp/24 jam
g. PO Asam folat 1x1
h. PO Adalat 1x1
i. PO Calos 3x1
j. PO Osteofel 3x1

2. Non Farmakologi
a. Rehabilitasi medik
b. Penggunaan korset lumbal

G. Prognosis
Ad fungtionam : ad malam
Ad vitam : ad malam
Ad sanationam : ad malam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Sindroma Nefrotik

II.1.1 Definisi

Sindroma nefrotik adalah tanda patognomonik penyakit glomerular yang


ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif >3,5 g/hari, hipoalbuminemia,
<3,5 g/hari, hiperkolestrolemia, dan lipiduria (Lidya & Marbun, 2014).

II.1.II Epidemiologi

Sindroma nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling
sering ditemukan. Insidens sindroma nefrotik pada anak dalam kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris 2-7 kasus baru per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensinya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per
tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki dan
perempuan 2 : 1 (Prabowo, 2014).

II.I.III Etiologi

Beberapa penyebab terjadinya sindroma nefrotik (Lidya & Marbun, 2014):

a. Glomerulonefritis Primer
- Glomerulonefritis lesi minimal
- Glomerulonefritis fokal segmental
- Glomerulonefritis membranosa
- Glomerulonefritis membranoproliferatif
- Glomerulonefritis proliferatif lain

b. Glomerulonefritis Sekunder
- Infeksi
HIV, hepatitis B dan C, sifilis, malaria, tuberkulosis dan lepra
- Keganasan
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, mieloma
multipel, dan karsinoma ginjal
- Penyakit jaringan penghubung
Lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, mixed connective tissue
disease (MCTD)
- Efek obat dan toksin
Obat antiinflamasi non-glukokortikoid, preparat emas, penisilamin,
probenesid, air raksa, captopril, heroin
- Lain lain
Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronis,
refluks vesikoureter atau sengatan lebah

II.I.IV Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain (Prabowo, 2014).

a. Urinalisis
Biakan urine hanya dilakukan bila didaptkan gejala klinis yang mengarah
kepada infeksi saluran kemih
b. Protein urine kuantitatif
Dapat menggunakan urine 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
pertama pagi hari
c. Pemeriksaan Darah
- Darah tepi lengkap
Hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, laju
endap darah
- Albumin dan kolestrol serum
- Ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti Nuclear
Antibody) dan anti ds-DNA
II.I.V Klasifikasi

Sindroma nefrotik diklasifikasan berdasarkan efek terhadap glukokortikoid yaitu:

a. Sindroma Nefrotik Sensitif Glukokortikoid


Tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2
mg/kgBB/hari selama 4 minggu
b. Sindroma Nefrotik Resisten Glukokortikoid
Remisi terjadi pada pemberian glukokortikoid dosis penuh selama 4 minggu

II.I.VI Patogenesis

Mekanisme patogenesis yang dianggap terjadi pada sindroma nefrotik


dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar (Wirya, 2002):

a. Akibat proses imunologis dengan faktor lingkungan serta endogen yang


berperan sebagai faktor pencetus dan risiko yang memperberat kelainan
glomerulus
b. Akibat kelainan biokimiawi, biasa pada kelainan kongenital seperti
gangguan metabolisme protein, lipid dan karbohidrat yang diturunkan
secara genetik
c. Akibat kelainan hemodinamik yang mengganggu integritas sirkulasi kapiler
glomerulus

Pada dasarnya ketiga proses tersebut menimbulkan gangguan integritas


fungsi kapiler glomerulus sehingga menyebabkan gangguan sawar selektif
terhadap muatannya, besarnya molekul menimbulkan gejala proteinuria. Faktor
lingkungan seperti infeksi atau konsumsi obat obatan tertentu dapat berperan
sebagai pencetus dan ikut menimbulkan kelainan glomerulus. Sementara faktor
faktor endogen seperti autoantibodi, kompleks imun bersirkulasi, fragmen
komplemen reaktif, dan protein koagulan dapat berperan sebagai faktor pencetus
serta berperan dalam menentukan karakter, luasnya, dan waktu terjadi kelainan.
Mengenai proses imunologis dapat disebutkan bahwa leukosit polimorfonukleus,
monosit, limfosit B, trombosit, aktivitas jalur komplemen klasik dan alternatif,
koagulasi, prostaglandin, kinin, angiotensin II, histamin, faktor agregasi
trombosit, interferon, interleukin, dan metabolit oksigen toksin, semua ikut
menentukan timbulnya gejala pada kelainan (Raharja, 2014).

Pada saat ini patogenesis dasar timbulnya sindroma nefrotik yang banyak
dipakai ialah terutama berdasarkan kelainan imnulogis. Mekanisme reaksi
antigen-antibodi glomerulus endogen yang ditemukan pada membran basalis dan
menmbentuk deposit linier atau granuler bergantung pada distribusi lokal
merupakan proses yang mempunyai dasar patogenesis penting. Antigen yang
ditemukan mengendap pada membran basal tersebut bukan berasal dari jaringan
ginjal itu sendiri. Deposit granuler pada kerusakan glomerulus jenis kompleks
imun sebenarnya merupakan hasil reaksi in-situ antara antibodi dan antigen non-
renal yang terikat pada permukaan glomerulus bukan karena terperangkapnya
kompleks imun yang ditemukan pada sirkulasi. Beberapa faktor yang berperan
dalam mekanisme tersebut ialah besarnya ukuran kompleks imun, muatan sawar
glomerulus, dan perbedaan daya difusi (Raharja, 2014).

Reaksi imun terhadap antigen glomerulus yang


terikat atau tertanam

Deposisi antigen glomerulus Sel T tersensitisasi

Komplemen Makrofag

Neutrofil

Permeabilitas dinding kapiler meningkat

Bagan 2.1 Patogenesis Reaksi Antigen-Antibodi pada Sindroma Nefrotik


II.1.VII Tatalaksana
Pasien dengan manifestasi sindroma nefrotik pertama kali sebaiknya di
rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan glukokortikoid dan
edukasi orang tua.
Sebelum pengobatan glukokortikoid dimulai, dilakukan pemeriksaan
pemeriksaan berikut:
a. Pengukuran berat badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik
d. Setiap infeksi perlu di eradikasi lebih dahulu sebelum terapi glukokortikoid
dimulai
e. Melakukan uji Mantoux, bila hasilnya positif diberikan profilaksis isoniazid
selama 6 bulan bersama glukokortikoid, dan bila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat anti-tuberkulosis.
Perawatan di rumah sakit pada sindroma nefrotik relaps hanya dilakukan
bila terdapat edema anasarka berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat,
gagal ginjal atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien (Raharja, 2014).

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap


penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diit rendah
garam (sekitar 2 gram natrium per hari) dan tirah baring dapat membantu
mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat
dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan/atau asetazolamid. Kontrol
proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko
komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kgBB/ hari
dapat mengurangi proteinuria (Lidya & Marbun, 2014).

Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting


enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II
receptor antagonist) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya
mempunyai efek aditif dalam mengurangi proteinuria. Risiko tromboemboli pada
sindroma nefrotik meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun
pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu
studi terbukti memberi keuntungan. Jika terjadi trombosis dapat diberikan
heparin dilanjutkan dengan warfarin selama pasien masih nefrotik. Dislipidemia
pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular, tetapi bukti klinis dalam populasi menyokong pendapat
perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti
simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,
trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL (Lidya & Marbun, 2014).

II.I.IX Komplikasi
Beberapa komplikasi akibat sindroma nefrotik, meliputi (Lidya & Marbun,
2014):
a. Keseimbangan nitrogen negatif
Proteinuria dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan nitrogen negatif
yang bermanifestasi kehilangan massa otot
b. Hiperkoagulasi
Akibat meningkatnya sintesis protein yang disertai dengan kehilangan
protein, risiko akan meningkat jika kadar albumin plasma <2 g/dL
c. Hiperlipidemia dan lipiduria
Sindroma nefrotik dapat menimbulkan hiperlipidemia yang meliputi
peningkatan kadar kolestrol sedangkan kadar trigliserida normal atau
meningkat, LDL plasma meningkat, VLDL meningkat, IDL meningkat,
sedangkan HDL normal atau menurun
d. Metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D didalam plasma berikatan dengan protein, sehingga jika terjadi
gangguan filtrasi yang mengakibatkan hilangnya protein melalui urine,
maka ekskresi vitamin D juga ikut meningkat
e. Efek metabolik
Sebagian besar hormon yang beredar di dalam plasma terikat dengan
protein, maka jika terjadi kehilangan protein akan diikuti dengan
penurunan kadar hormon yang dapat menimbulkan berbagai manifestasi
metabolik.

II.II Osteoporosis akibat Glukokortikoid


II.II.1 Definisi
Osteoporosis merupakan suatu kelainan berupa berkurangnya massa
tulang dan kelainan mikroarsitektur jaringan tulang, dengan akibat meningkatnya
kerapuhan tulang sebagai risiko terjadinya fraktur (Permana, 2015).
Osteoporosis akibat glukokortikoid merupakan penyebab terbanyak
osteoporosis sekunder dan menduduki posisi ketiga setelah osteoporosis post-
menopause dan usia lanjut. Keadaan ini berhubungan dengan meluasnya
pemakaian glukokortikoid sebagai anti-inflamasi dan imunosupresan (Permana,
2015).

II.II.II Epidemiologi
Glukokortikoid memerankan peranan penting sebagai agen anti-inflamasi,
diperkirakan sekitar 1% populasi di Amerika memperoleh terapi glukokortikoid
jangka panjang (Fardet et al., 2015). Penggunaan glukokortikoid jangka panjang
dapat meningkatan risiko fraktur, lebih dari 10% pasien pengguna glukokortikoid
jangka panjang terdiagnosa fraktur, sedangkan 30-40% nya merupakan fraktur
vertebrae (Curtis et al., 2006). Risiko kerapuhan tulang mulai meningkat dalam 3-
6 bulan pertama terapi glukokortikoid, hal tersebut dipengaruhi oleh dosis, lama
terapi dan jenis tulang, risiko fraktur akan semakin meningkat pada tulang jenis
trabekular dibandingkan tulang kortikal (Hansen et al., 2014).

II.II.III Patofisiologi
Berbagai mekanisme yang menyebabkan osteoporosis akibat pemberian
glukokortikoid jangka panjang adalah (Permana, 2015):
a. Supresi fungsi osteoblas yang secara potensial menyebabkan peningkatan
apoptosis osteoblas
b. Peningkatan resorpsi osteoklas akibat stimulasi resorpsi tulang
c. Gangguan absorbsi kalsium di usus
d. Peningkatan ekskresi kalsium di urine dan induksi oleh
hiperparatiroidisme sekunder
e. Induksi miopati yang menyebabkan risiko jatuh
Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan antara pembentukan tulang
oleh osteoblas dan resorpsi tulang oleh osteoklas. Mekanisme bone loss pada
pengobatan glukokortikoid jangka panjang adalah akibat penurunan pembentukan
tulang dan meningkatnya resorpsi tulang. Pembentukan tulang menurun akibat
penekanan fungsi osteoblas dan kadang kadang menyebabkan hormon mediated
activity osteoclast yang ditandai dengan penekanan langsung fungsi osteoblas
(Fraser & Adachi, 2009).
Supresi osteoblas mengakibatkan penurunan sintesis matriks tulang
sehingga pembentukan tulang menurun. Glukokortikoid menekan proliferasi
osteoblas untuk melekat pada matriks tulang selain itu juga dapat menghambat
sintesis kolagen dan non-kolagen. Sebaliknya meningkatnya resorpsi tulang pada
pasien yang mendapat terapi glukokortikoid jangka panjang diakibatkan oleh
adanya hiperparatiroid sekunder (Fraser & Adachi, 2009).
Manifestasi kenaikan kadar hormon paratiroid adalah menurunnya kadar
kalsitonin yang dikeluarkan oleh kelenjar paratiroid sehingga efek penekanan
osteoklas menurun, resorpsi osteoklas meningkat, selain itu juga dapat
menyebabkan absorbsi kalsium di usus menurun (Briot & Roux, 2015).
Efek lain glukokortikoid adalah perubahan produksi prostaglandin, sitokin
dan faktor pertumbuhan. Secara farmakologis glukokortikoid menginhibisi
sintesis Insulin like Growth Factor (IGF-1), menstimulasi replikasi dan sintesis
kolagen. Glukokortikoid juga dapat mempengaruhi protein pengikat IGF-1 yang
akan menyebabkan inhibisi atau meningkatkan aktivitas IGF. Akibat gangguan
efek glukokortikoid akan menurunkan ikatan protein yang menyebabkan
menurunnya pembentukan tulang (Briot & Roux, 2015).
Pengobatan glukokortikoid jangka panjang akan menyebabkan gangguan
keseimbangan elektrolit, metabolisme karbohidrat, protein, lemak, sindroma
Cushing, katarak, pengecilan otot dan hilangnya massa tulang yang dapat
mengakibatkan fraktur (Briot & Roux, 2015).
Patogenesis osteoporosis diperkirakan sama antara laki-laki dan
perempuan. Glukokortikoid dapat menyebabkan penekanan produksi hormon seks
baik secara langsung maupun tudak langsung. Dalam suatu penelitian ditemukan
penggunaan penurunan kadar estradiol, dehidroepiandrosteron, androstendion dan
progesteron pada perempuan dan laki laki yang mendapatkan terapi
glukokortikoid jangka panjang. Defisiensi hormon anabolik ini akan
menyebabkan resorpsi tulang semakin meningkat (Briot & Roux, 2015).

Penggunaan Glukokortikoid

Sitokin dan Metabolisme


Tulang Otot
sistem endokrin Kalsium

Osteosit Osteoblas Osteoklas TGF- Absorbsi usus Proteolisis


GH/IGF-1 Ekskresi renal
IGF-BPs
Fungsi Diferensiasi Diferensiasi
Apoptosis Fungsi Apoptosis
Apoptosis Sex Steroid
Miopati

Gangguan
Pembentukan Resorpsi keseimbangan
tulang tulang kalsium

Kualitas tulang Massa tulang


Risiko jatuh Kelemahan otot

Risiko fraktur

Bagan 2.2 Patogenesis Osteoporosis Akibat Penggunaan Glukokortikoid


(Canalis et al., 2007)
II.II.IV Diagnosis
Beberapa pemeriksaan petanda biokimiawi tulang dapat memprediksi
adanya kehilangan massa tulang dan risiko fraktur. Pemeriksaan biokimiawi yang
sering digunakan seperti kalsium total serum, ion kalsium, fosfor serum, kalsium
urin, osteokalsin serum, fosfat serum, piridinolin urin, dan bila perlu hormon
paratiroid dan vitamin D. Berdasarkan penelitian yang ada, saat ini dianggap
sebagain penanda yang baik adalah (Lindsay, 2008):
a. Sebagai penanda pembentukan tulang:
- Osteokalsin serum
- Isoenzim alkali fosfatase
b. Sebagai penanda resorpsi tulang:
- Piridinolin dan deoksi-piridinolin cross-link urin
- Hidroksipirolin urin
Pemeriksaan ion kalsium lebih bermakna dibandingkan dengan pemeriksaan
kadar kalsium total. Ion kalsium merupakan fraksi kalsium plasma yang penting
dalam proses fisiologis, seperti pada kontraksi otot, sekresi hormon paratiroid dan
mineralisasi tulang (Setiyohadi, 2014).
Osteokalsin merupakan salah satu dari tanda aktifitas osteoblas dan formasi
tulang. Selain sebagai petanda aktifitas formasi, osteokalsin juga dilepaskan pada
saat resorpsi tulang, sehingga kadarnya dalam serum tidak hanya menunjukan
aktifitas formasi melainkan juga resorpsi (Setiyohadi, 2014).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan petanda
biokimiawi tulang yaitu (Setiyohadi, 2014):
a. Petanda biokimiawi tulang diukur dalam urin, sehingga perlu untuk
memperhatikan kadar kreatinin dalam darah dan urin karena akan
mempengaruhi hasil pemeriksaan
b. Petanda biokimiawi tulang dipengaruhi umur, karena pada usia muda
terjadi peningkatan bone turn-over
c. Terdapat perbedaan hadil pada beberapa penyakit tertentu seperti
penyakit Paget , hasil alkali fosfatase akan ditemukan lebih tinggi
ditemukan osteokalsin.
Gambaran radiologis yang khas pada osteoporosis adalah adanya penipisan
korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak jelas pada
tulang tulang vertebrae yang memberikan gambaran picture frame vertebrae
(Wardhana, 2012).
Terdapat berbagai cara pemeriksaan densitas tulang, yaitu: foto rontgen
tulang absorpsiometri foton tunggal (SPA), absorbsi foton ganda (DPA), CT-
SCAN DPA dengan energi sinar X ganda (DEXA) atau dengan ultrasound
(Wardhana, 2012).
Pengukuran Dual Energy X-Ray Absorptiometri dari tulang pinggul dan
tulang belakang merupakan teknologi yang dipakai untuk menetapkan atau
mengkonfirmasi diagnosis osteoporosis, prediksi risiko fraktur yang akan datang
dan monitoring pasien. Hasil pengukuran DEXA berupa densitas mineral tulang
yang dinilai satuan bentuk gram per cm2, kandungan mineral dalam satuan gram,
perbandingan densitas tulang dengan nilai normal rata rata densitas tulang pada
orang seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam persentase, atau
perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata rata densitas
tulang pada orang seusia atau dewasa muda dinyatakan dalam skor standar deviasi
(Z-Score atau T-Score), (Wardhana, 2012).

Gambar 2.1 Interpretasi Pemeriksaan BMD


Pengukuran Bone Mineral Density (BMD) sering dilakukan dengan T-
Score yaitu angka deviasi antara BMD pasien dengan puncak BMD rata rata pada
subjek yang normal dengan jenis kelamin sama. Ukuran BMD lain yaitu Z-Score,
dimana ukuran standar deviasi pada pasien dengan BMD pada usia yang sama
(Wardhana, 2012).

Tabel 2.1 Kriteria Osteoporosis Menurut World Health Organization (WHO)


Diagnosis Batasan
Normal T-Score > -1
Low Bone Mass T-Score -1.0 s/d -2.5
(Osteopenia)
Osteoporosis T-Score < -2.5
(Nashrihin, 2015)

II.II.V Klasifikasi Faktor Risiko


Pasien yang diterapi menggunakan glukokortikoid jangka panjang berisiko
untuk terjadinya fraktur, berdasarkan risiko terjadinya fraktur maka pengguna
glukokortikoid dapat diklasifikasikan sesuai tabel dibawah ini (Buckley et al.,
2017).

Tabel 2.2 Klasifikasi Faktor Risiko pada Pasien Pengguna Glukokortikoid


Dewasa 40 tahun Dewasa < 40 tahun
High Risk - Riwayat fraktur osteoporosis - Riwayat fraktur osteoporosis
- BMD tulang pinggul / tulang
belakang, T-Score -2.5 pada
pasien laki-laki berusia 50
tahun dan wanita post-
menopause
- FRAX* risiko fraktur
osteoporosis mayor dalam 10
tahun 20%
- FRAX* risiko fraktur tulang
pinggul dalam 10 tahun 3%
Moderate Risk - FRAX* risiko fraktur - BMD tulang pinggul / tulang
osteoporosis mayor dalam 10 belakang Z-Score < -3
tahun 20% atau
- FRAX* risiko fraktur tulang pengeroposan tulang pinggul
pinggul dalam 10 tahun 3% / tulang belakang dengan
cepat (>10% dalam 1 tahun)
dan
Penggunaan glukokortikoid
7.5 mg/hari selama 6
bulan
Low Risk - FRAX* risiko fraktur Tidak terdapat faktor risiko
osteoporosis mayor dalam 10 selain terapi glukokortikoid
tahun <10%
- FRAX* risiko fraktur tulang
pinggul dalam 10 tahun <1%
Catatan:
*FRAX : Fracture Risk Assesment Tools
*Risiko terjadinya fraktur meningkat jika nilai FRAX bernilai 1.15 untuk fraktur
osteoporosis mayor dan 1.2 untuk fraktur tulang pinggul jika penggunaan terapi
glukokortikoid >7.5 mg/hari

II.II.VI Tatalaksana
Berdasarkan American College of Rheumatology Guideline terdapat
beberapa rekomendasi mengenai terapi inisial terhadap pasien pengguna
glukokortikoid yaitu sebagai berikut (Buckley et al., 2017).
a. Semua pasien dewasa yang diberikan prednison dengan dosis 2.5 mg/hari
selama 3 bulan
- Pemberian kalsium (1.000-1.200 mg/hari) dan vitamin D (600-800
IU/hari) serta modifikasi gaya hidup (diet seimbang, pertahankan berat
badan ideal, berhenti merokok, kurangi konsumsi alkohol)
b. Pasien dewasa 40 tahun dengan low risk of fracture
- Pemberian kalsium, vitamin dan modifikasi gaya hidup dapat diserta
dengan pemberian bifosfonat, teriparatide, denosumab atau raloxifene
c. Pasien dewasa 40tahun dengan moderate risk fraktur mayor
- Terapi dengan pemberian bifosfonat oral kemudian dapat diberikan
kalsium dan vitamin D
- Terapi dengan pemberian bifosfonat oral kemudian dapat diberikan
bifosfonat intravena, teriparatide, denosumab atau raloxifene
d. Pasien dewasa <40 tahun dengan low risk of fracture
- Terapi dengan pemberian kalsium, vitamin D dan modifikasi gaya hidup
kemudian dapat diberikan bifosfonat, teriparatide atau denosumab
e. Pasien dewasa <40 tahun dengan moderate to high risk of fracture
- Terapi dengan pemberian bifosfonat oral kemudian dapat diberikan
kalsium dan vitamin D
- Terapi dengan pemberian bifososfonat oral kemudian dapat diberikan
bifosfonat intravena, teriparatide atau denosumab
Kalsium, Vitamin D dan modifikasi gaya hidup

Low risk
Moderate to high risk

Tidak membutuhkan Usia <40 tahun


terapi lanjut:
- Riwayat fraktur osteoporosis atau
Monitoring faktor - Z-Score < -3 pada tulang pinggul / tulang belakang dan
risiko melalui test terapi prednison 7.5 mg/hari atau
BMD setiap 2-3 tahun - Pengeroposan tulang >10% pertahun pada tulang
pinggul / tulang belakang dan terapi prednison 7.5
mg/hari atau
- Terapi glukokortikoid dosis tinggi dan 30 tahun

Usia 40 tahun

- Riwayat fraktur osteoporosis atau


- Laki laki berusia 50 tahun dan perempuan post-
menopause dengan BMD T-Score -2.5 pada tulang
pinggul / tulang belakang atau
- FRAX risiko fraktur osteoporosis mayor 10%
- FRAX risiko fraktur tulang pinggul >1 % atau
- Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi

Tidak berencana hamil Laki laki dan wanita berencana hamil

Bifosfonat oral Bifosfonat oral


Teriparatide (lini ke-2) Terapi lain yang dianjurkan:
- Bifosfonat intravena
- Teriparatide
- Denosumab
- Raloxifene (pada wanita post-menopause
jika terapi lain tidak tersedia)

Bagan 2.3 Algoritma Terapi Inisial Pasien Pengguna terapi Gukokortikoid


Selain algoritma diatas, juga terdapat beberapa rekomendasi mengenai
pencegahan osteoporosis yang diakibatkan glukokortikoid, yaitu:
a. Perempuan yang tidak memiliki rencana hamil dengan risiko fraktur
moderate to high risk
- Terapi dengan bifosfonat oral yang kemudian dapat diberikan kalsium
dan vitamin D, teriparatide, bifosfonat intravena,atau denosumab
b. Usia 30 tahun yang mendapatkan terapi glukokortikoid dosis tinggi
(dosis inisial 30 mg/hari dan dosis kumulatif >5 g dalam 1 tahun)
- Terapi dengan pemberian bifosfonat oral kemudian dapat diberikan
kalsium dan vitamin D
- Terapi dengan pemberian bifosfonat oral kemudian dapat diberikan
bifosfonat intravena, teriparatide atau denosumab
c. Pasien dewasa dengan transplantasi organ, LFG 30 mg/menit dan
penyakit metabolik tulang yang melanjutkan terapi glukokortikoid
- Terapi disesuaikan dengan pasien dewasa tanpa transplantasi seperti
algoritma diatas
d. Anak usia 4-17 tahun yang diberikan glukokortikoid selama 3 bulan
- Terapi dengan pemberian kalsium 1.000 mg/hari dan vitamin D 600
IU/hari serta modifikasi gaya hidup
e. Anak usia 4-17 tahun dengan fraktur osteoporosis yang melanjutkan terapi
glukokortikoid dengan dosis 0.1 mg/kgBB/hari selama 3 bulan
- Terapi dengan pemberian bifosfonat oral (terapi dengan bifosfonat
intravena jika terdapat kontraindikasi) ditambahkan kalsium dan vitamin
D kemudian dilanjutkan kalsium dan vitamin D.
DAFTAR PUSTAKA

Basiratnia M, Fallahzadeh MH, Derakhsan A & Hosseini-Al-Hashemi G 2006,


Bone Mineral Density in Children with Relapsing Nephotic Syndrome
Iran Journal Medical Science, Vol. 31, No. 2, Juni 2006, pp. 82-86

Briot K & Roux C 2015, Glucocorticoid induced Osteoporosis Rheumatical &


Musculoskeletal Disease Open, Maret 2015, pp. 1-8

Buckley L, Guyatt G, Fink HA, Cannon M, Grossman J, Hansen KE, Humphrey


MB et al. 2017, 2017 Ameican College of Rheumatology Guideline for the
Prevention and Treatment of Glucocoticoid-Induced Osteoporosis
American College of Rheumatology, Vol. 69. No. 8, Agustus 2017, pp.
1521-1537

Canalis E, Mazzioti G, Giustina A et al. 2007, Glucocorticoid-Induced


Osteoporosis: Patophysiology and Therapy Osteoporosis Int. Vol. 18, pp.
1319-1328

Curtis J, Westfall AO, Allison J, Bijlsma JW, Freeman A, George V et al. 2006,
Population based Assesment of Adverse Event associated Long-term
Glucocoticoid Use Arthritis Rheumatoid, Vol. 55, pp. 420-426

Fardet L, Petersen I, Nazareth I 2015, Monitoring of Patients on Long-term


Glucocorticoid Therapy: a Population based on Cohort Study Medicine
(Baltimore), Vol. 94, p. 647

Feldstein AC, Elmer PJ, Nichols GA, Herson M 2005, Practice Patterns in
Patients at Risk for Glucocorticoid induced Osteoporosis Osteoporosis
International, Vol. 16, pp. 2168-2174

Frasser, LA & Adachi JD 2009, Glucocoticoid-induced Osteoporosis Treatment


Update and Review Therapeutic Advances in Musculoskeletal Disease,
Vol. 1, No. 2, pp. 71-85

Gruppen MP, Davin JC, Oosterveld MJ, Schreuder MF, Dorresteijn EM, Kramer
SP & Bouts AH 2013, Prevention of Steroid induced Low Bone Mineral
Density in Children with Renal Disease: a Systematic Review Nephrol Dial
Transplant, Vol. 28, Mei 2013, pp. 2099-2106

Hansen KE, Kleker B, Safdar N, Bartels CM 2014, A Systematic Review and


Meta-analysis of Glucocorticoid Induced Osteoporosis in Children Semin
Arthritis Rheumatoid, Vol. 44, pp. 47-54

IDAI 2012, Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak Ed. 2,
Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI
Lidya A & Marbun MB 2014, Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Ed. VI, Internal
Publishing, Jakarta

Lindsay R, Brauwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, 2008,
Harrisons Principle of Internal Medicine, Mc Grow Hill, USA

Nashirin AN 2015, Hubungan Nilai Indeks Massa Tubuh dengan Nilai Risiko
Fraktur Osteoporosis Berdasarkan Perhitungan FRAX tool pada Wanita
Usia 50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan Ciputat Tahun 2015, Laporan
Penelitian Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta

Permana H 2015, Patomekanisme Osteoporosis Sekunder akibat Steroid dan


Kondisi Lainnya, Sub bagian Endokrinologi dan Metabolisme Bagian Ilmu
Penyakit Dalam, RS Hasan Sadikin, Bandung

Prabowo AY 2014, Nephrotic Syndrome in Children Medula, Vol. 2, No. 4, Juni


2014, pp. 8-15

Raharja INA 2014, Profil Sindroma Nefrotik di Poliklinik Anak RSUP Fatmawati,
Laporan Penelitian Program Studi Pendidikan Dokter, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Setiyohadi B 2014, Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Ed. VI, Internal Publishing,
Jakarta

Wardhana W 2012, Faktor faktor Risiko Osteoporosis pada Pasien dengan Usia
diatas 50 tahun, Laporan Hasil Karya Tulis Ilmiah Program Studi Sarjana
Kedokteran, Univesitas Diponegoro, Semarang

Wirya W 2002, Buku Ajar Nefrologi Anak Ed. 2, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai