Jhptump A Bangunarip 377 2 Babii PDF
Jhptump A Bangunarip 377 2 Babii PDF
TINJAUAN PUSTAKA
3
air susu, hubungan kelamin, jarum suntik, transfusi darah, dan juga dapat
ditularkan melalui plasenta ibu hamil ke janinnya (Irianto, 2006).
Virus tidak dapat berkembang biak di luar sel inang. Untuk
membiakkan virus diperlukan sel atau jaringan hidup. Di laboratorium, virus
dapat dibiakkan dalam embrio telur ayam (Irianto, 2006).
2. Reproduksi virus
Karena virus tidak memiliki sistem enzim dan tidak dapat
bermetabolisme, maka virus tidak dapat melakukan reproduksi sendiri. Untuk
berkembang biak, mereka harus menginfeksi sel inang. Inang virus berupa
makhluk hidup lain yaitu bakteri, sel tumbuhan, maupun sel hewan/ sel
manusia (Irianto, 2006).
Menurut Irianto, 2006 bahwa berdasarkan tahapannya, daur hidup virus
dapat dibedakan menjadi daur litik dan daur lisogenik.
a. Daur litik
1) Fase adsorpsi
Fase ini ditandai dengan melekatnya ekor virus dengan dinding sel
bakteri. Virus dapat menempel pada sel-sel tertentu yang diinginkan
karena memiliki reseptor pada ujung-ujung serabut ekor. Setelah
menempel, virus mengeluarkan enzim lisozim (enzim penghancur)
sehingga terbentuk lubang pada dinding bakteri atau sel inang.
2) Fase injeksi
Setelah terbentuk lubang, kapsid virus berkontraksi untuk memompa
asam nukleatnya (DNA atau RNA) masuk ke dalam sel. Jadi, kapsid
virus tetap berada di luar sel bakteri. Jika telah kosong, kapsid
terlepas dan tidak berfungsi lagi.
3) Fase sintesis
Virus tidak memiliki mesin biosintetik sendiri. Virus akan
menggunakan mesin biosintetik inang untuk melakukan
kehidupannya. Karena itu, pengendali mesin biosintetik bakteri
yakni DNA bakteri harus dihancurkan. Untuk itu DNA virus
memproduksi enzim penghancur. Enzim penghancur akan
menghancurkan DNA bakteri, tapi tidak menghancurkan DNA virus.
Dengan demikian, bakteri tidak mampu mengendalikan mesin
biosintetiknya sendiri.
Sekarang, DNA virus yang berperan. DNA virus mereplikasi diri
berulang kali dengan jalan mengkopi diri membentuk DNA virus
dalam jumlah banyak. Selanjutnya DNA virus tersebut melakukan
sintesis protein virus yang akan dijadikan kapsid dengan
menggunakan ribosom bakteri dan enzim-enzim bakteri. Di dalam
sel bakteri yang tidak berdaya itu disintesis DNA virus dan protein
yang akan dijadikan sebagai kapsid virus, dalam kendali DNA virus.
4) Fase perakitan
Kapsid yang disintesis mula-mula terpisah-pisah antara Bagian
kepala, ekor dan serabut ekor. Bagian-bagian kapsid itu dirakit
menjadi kapsid virus yang utuh, kemudian DNA virus masuk
didalamnya. Kini terbentuklah tubuh virus yang utuh. Jumlah virus
yang terbentuk 100-200 buah.
5) Fase lisis
Ketika perakian virus selesai, virus telah memproduksi enzim
lisozim lagi, yakni enzim penghancur yang akan menghancurkan
dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri hancur, sel bakteri
mengalami lisis (pecah), dan virus-virus baru akan keluar untuk
mencari inang yang lain. Fase ini merupakan fase lisisnya sel bakteri
namun bagi virus merupakan fase penghamburan virus.
b. Daur lisogenik
1) Fase adsorpsi
Fase ini ditandai dengan melekatnya ekor virus dengan dinding sel
bakteri. Virus dapat menempel pada sel-sel tertentu yang diinginkan
karena memiliki reseptor pada ujung-ujung serabut ekor. Setelah
menempel, virus mengeluarkan enzim lisozim (enzim penghancur)
sehingga terbentuk lubang pada dinding bakteri atau sel inang.
2) Fase injeksi
Setelah terbentuk lubang, kapsid virus berkontraksi untuk memompa
asam nukleatnya (DNA atau RNA) masuk ke dalam sel. Jadi, kapsid
virus tetap berada di luar sel bakteri. Jika telah kosong, kapsid
terlepas dan tidak berfungsi lagi.
3) Fase penggabungan
Ketika memasuki fase injeksi, DNA virus masuk ke dalam tubuh
bakteri. Selanjutnya, DNA virus menyisip ke dalam DNA bakteri
atau melakukan penggabungan. DNA bakteri berbentuk sirkuler,
yakni seperti kalung yang tidak berujung dan berpangkal. DNA
tersebut berupa benang ganda yang berpilin.
Mula-mula DNA bakteri putus, kemudian DNA virus,
menggabungkan diri diantara benang yang putus tersebut, dan
akhirnya terbentuk DNA sirkuler baru yang telah disisipi DNA virus.
Dengan kata lain, didalam DNA bakteri terkandung materi genetik
virus.
4) Fase pembelahan
Dalam keadaan tersambung itu, DNA virus tidak aktif, yang dikenal
sebagai profag. Karena DNA virus menjadi satu dengan DNA
bakteri, maka jika DNA bakteri melakukan replikasi, profag juga
ikut melakukan replikasi. Terbentuklah dua sel bakteri sebagai hasil
pembelahan dan didalam setiap sel anak bakteri terkandung profag
yang identik. Demikian seterusnya hingga proses pembelahan
bakteri berlangsung berulang kali sehingga setiap sel bakteri yang
terbentuk didalamnya terkandung profag. Dengan demikian jumlah
profag mengikuti jumlah sel bakteri yang ditumpanginya.
5) Fase sintesis
Oleh karena suatu hal, misal karena radiasi atau pengaruh zat kimia
tertentu, profag tiba-tiba aktif. Profag tersebut memisahkan diri dari
DNA bakteri, kemudian menghancurkan DNA bakteri. Selanjutnya,
DNA virus mengadakan sintesis, yakni mensintesis protein untuk
digunakan sebagai kapsid bagi virus-virus baru dan juga melakukan
replikasi DNA, sehingga DNA virus menjadi banyak.
6) Fase perakitan
Kapsid-kapsid dirakit menjadi kapsid virus yang utuh, yang
berfungsi sebagai selubung virus. Kapsid virus yang terbentuk
mencapai 100-200 kapsid baru. Selanjutnya DNA hasil replikasi
masuk kedalam guna membentuk virus-virus baru.
7) Fase lisis
Setelah terbentuk virus-virus baru terjadilah lisis sel bakteri. Ketika
perakitan virus selesai, virus telah memproduksi enzim lisozim lagi,
yakni enzim penghancur yang akan menghancurkan dinding sel
bakteri. Dinding sel bakteri hancur, sel bakteri mengalami lisis
(pecah), dan virus-virus baru akan keluar untuk mencari inang yang
lain. Fase ini merupakan fase lisisnya sel bakteri namun bagi virus
merupakan fase penghamburan virus. Virus-virus yang terbentuk
berhamburan keluar sel bakteri guna menyerang bakteri baru. Dalam
daur selanjutnya virus dapat mengalami daur litik atau lisogenik.
Demikian seterusnya (Irianto, 2006).
Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Asterales
Suku : Asteraceae
Marga : Elephantopus
Jenis : Elephantopus scaber L.
(Pujowati, 2006)
Nama umum/dagang : Tapak liman
Sumatera : Tutup bumi (Melayu)
Jawa : Tapak liman
Sunda :Tapak liman
Madura :Tapaklana
Daun E. scaber berkhasiat sebagai obat mencret, obat batuk dan obat
sariawan. Untuk obat mencret dipakai 30 gram daun segar E. scaber, dicuci dan
direbus dengan 2 gelas air selama 15 menit. Hasil rebusan diminum sehari dua
kali 1/2 gelas pagi dan sore (Arisandi & Yovita, 2006). Daun dan akar E. scaber
mengandung seskuiterpen lakton, skabertopin, isodeoksi elefantopin dan 11, 13
dihidro elefantopin, asam isoklorogenat A dan B, stigmasterol, lupeol, flavonoid-
7-glukosil luteolin. Senyawa identitas pada tanaman tapak liman adalah
skabertopin dan isodeoksi elefantopin (Anonim, 2004).
E. Teknik Penyarian
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut
setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Anonim, 2000).
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak
keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-
lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian
cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna
(Anonim, 1986).
Cairan penyari yang dipilih harus mempertimbangkan banyak faktor, yaitu
harus memenuhi kriteria-kriteria yang ada yaitu: Murah dan mudah diperoleh,
stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak
mudah terbakar, selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki,
tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Anonim, 1986).
Cairan penyari yang sering digunakan untuk mengekstraksi suatu senyawa
yaitu etanol. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang
dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak beracun, netral,
absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan.
Sedangkan kerugiannya adalah bahwa etanol mahal harganya. Etanol dapat
melarutkan alkaloida basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin,
antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Lemak, malam, tanin dan
saponin hanya sedikit larut. Dengan demikian zat pengganggu yang larut hanya
terbatas (Anonim, 1986).
(Sastrohamidjojo, 2002).
Angka Rf berkisar antara 0,00-1,00 dan hanya dapat ditentukan dua decimal,
sedangkan hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h) menghasilkan nilai
berjarak antara 0 sampai 100 (Stahl, 1985).
Penjerap dan pengembang yang digunakan pada identifikasi flavonoid
dengan KLT umumnya sama dengan penjerap dan pengembang untuk
kromatografi kertas dan kromatografi kolom dan cara untuk mendeteksi bercak
sebagian besar seperti pada kromatografi kertas. Pemakaian selulosa ideal untuk
memisahkan glikosida yang satu dari glikosida yang lain, atau memisahkan
glikosida dari aglikon, serta untuk memisahkan aglikon yang kurang polar. Asam
asetat 5% digunakan untuk poliglikosida. Asam asetat 15% digunakan untuk
glikosida, baik untuk membedakan antara mono-, di-, dan triglikosida. Asam
asetat 50% digunakan untuk aglikon (Markham, 1988).
Uji saponin yang sederhana ialah mengocok ekstrak alkohol air dari
tumbuhan dalam tabung reaksi dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa tahan
lama pada permukaan cairan. Saponin dapat juga diperiksa dalam ekstrak kasar
berdasarkan kemampuannya menghemolisis darah. Tetapi, biasanya lebih baik
bila uji sederhana dipastikan dengan cara KLT dan pengukuran spectrum
(Harborne, 1987).
Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya, dan
lebih mudah dipisahkan dengan kromatografi kertas atau dengan KLT pada
selulosa. Tetapi, KLT pada silika gel berhasil juga dengan memakai pengembang
seperti butanol yang dijenuhkan dengan air atau kloroform metanol air (13 : 7
: 2; lapisan bawah) (Harborne, 1987).
Kloroform metanol air (64 : 50 : 10) juga merupakan cairan eluasi yang
cocok untuk memisahkan semua campuran saponin yang berasal dari simplisia.
Kloroform yang digunakan harus bermutu analitik, karena kloroform teknis
mengandung etanol. Setelah lempeng kromatografi berada 30 menit dalam bejana
kromatogrfi yang telah dijenuhkan, suhu 20oC harus tetap dijaga. Pada suhu yang
lebih tinggi, maka semua bercak akan berpindah kedaerah Rf yang lebih atas.
Pereaksi penampak vanilin asam sulfat LP akan membentuk bercak biru, violet
biru atau kadang-kadang kekuningan bila diamati pada sinar biasa (Anonim,
1987).
Deteksi sesquiterpen lakton dengan KLT dilakukan pada silika gel G
memakai CHCl3 eter (4 : 1), benzena aseton (4 : 1), kloroform metanol (99 :
1), benzena methanol (9 : 1), benzena eter (2 : 3), atau eter minyak bumi
CHCl3 etil asetat (2 : 2 : 1). Lakton dideteksi berupa bercak coklat bila pelat
yang telah dikembangkan diletakkan dalam bejana yang berisi kristal iodium.
Cara lain, lakton tampak berupa bercak hijau, coklat, kuning, merah atau biru bila
pelat disemprot dengan H2SO4 pekat dan dipanaskan pada 100 110oC selama
lima menit. Warna yang terbentuk dapat dipakai untuk menetapkan ciri struktur
tertentu pada senyawa lakton. Pereaksi penyemprot lain ialah larutan resorsinol
1% dalam metanol asam fosfat 5% (1 : 1), dan vanilin H2SO4 yang telah
dikembangkan untuk mendeteksi lakton ini secara selektif (Harborne, 1987).
Campuran rumit sterol dalam jaringan tumbuhan tertentu dan diperlukan
cara yang lebih rumit untuk memisahkan dan mengidentifikasinya. Misalnya
sitosterol, kolesterol, dan stigmasterol tidak mudah dipisahkan bila berada
bersama-sama. Tetapi ketiganya akan terpisah bila dikromatografi sebagai asetat
pada pelat anasil B dengan pengembang sinambung selama dua jam memakai
heksana eter (97 : 3) (Harborne, 1987).
Identifiksi steroid dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi
Liebermann burchard. Asam asetat anhidrat P sebanyak 5 ml dan 5 ml asam sulfat
P, ditambahkan hati-hati pada 50 ml etanol mutlak P sambil didinginkan di es.
Pada batas kedua larutan terjadi cincin merah kecoklatan atau ungu, sedangkan
larutan pada bagian atas menjadi hijau atau ungu. Hal ini menunjukkan adanya
steroid atau triterpenoid (Anonim, 1987).