Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Tentang Virus


Virus merupakan parasit obligat intraseluler yang replikasinya bergantung
pada Deoxyribonucleic acid (DNA), Ribonucleic acid (RNA) dan proses sintesis
protein sel inang. Virus tidak dilengkapi dengan metabolisme sendiri dan hanya
dapat memperbanyak diri dalam sel inang. Dengan demikian obat-obatan yang
menghambat replikasi virus juga menghambat fungsi sel inang dan penyebab
utama toksisitas. Agar menjadi efektif, agen antivirus harus mampu memblokir
keluar masuknya virus dari dan ke dalam sel atau menjadi aktif di dalam sel inang
(Katzung, 1998).
Dalam berbagai infeksi virus, replikasi virus mencapai maksimum pada
waktu yang dekat jika gejala klinik pertama kali muncul atau bahkan lebih awal.
Karena itu untuk bekerja efektif secara klinik, obat-obat yang menghambat infeksi
virus harus diberikan jauh sebelum terjadinya penyakit, yaitu sebagai
kemoprofilaksis (Katzung, 1998).
1. Cara hidup virus
Virus tidak dapat hidup di alam secara bebas, melainkan harus berada di
dalam sel makhluk hidup yang lain. Berbagai makhluk hidup dapat diserang
virus misalnya manusia, hewan, tumbuhan dan bakteri (Irianto, 2006).
Virus yang menginfeksi manusia dan menyebabkan penyakit pada
manusia, misalnya cacar, polio, hepatitis, mata belek, influenza, demam
berdarah, dan diare. Termasuk, virus HIV (Human Immunodeficiency Virus)
yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan mengakibatkan penyakit
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sindrom runtuhnya
kekebalan tubuh. Virus ini dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun
tidak langsung dengan penderita. Polio dan hepatitis A dapat ditularkan
melalui air sumur yang tercemar, piring makan, sendok makan, dan lain-lain.
Cacar, mata belek, dan polio dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Virus AIDS ditularkan lewat darah, cairan sekresi vagina, semen (ejakulat),

3
air susu, hubungan kelamin, jarum suntik, transfusi darah, dan juga dapat
ditularkan melalui plasenta ibu hamil ke janinnya (Irianto, 2006).
Virus tidak dapat berkembang biak di luar sel inang. Untuk
membiakkan virus diperlukan sel atau jaringan hidup. Di laboratorium, virus
dapat dibiakkan dalam embrio telur ayam (Irianto, 2006).
2. Reproduksi virus
Karena virus tidak memiliki sistem enzim dan tidak dapat
bermetabolisme, maka virus tidak dapat melakukan reproduksi sendiri. Untuk
berkembang biak, mereka harus menginfeksi sel inang. Inang virus berupa
makhluk hidup lain yaitu bakteri, sel tumbuhan, maupun sel hewan/ sel
manusia (Irianto, 2006).
Menurut Irianto, 2006 bahwa berdasarkan tahapannya, daur hidup virus
dapat dibedakan menjadi daur litik dan daur lisogenik.
a. Daur litik
1) Fase adsorpsi
Fase ini ditandai dengan melekatnya ekor virus dengan dinding sel
bakteri. Virus dapat menempel pada sel-sel tertentu yang diinginkan
karena memiliki reseptor pada ujung-ujung serabut ekor. Setelah
menempel, virus mengeluarkan enzim lisozim (enzim penghancur)
sehingga terbentuk lubang pada dinding bakteri atau sel inang.
2) Fase injeksi
Setelah terbentuk lubang, kapsid virus berkontraksi untuk memompa
asam nukleatnya (DNA atau RNA) masuk ke dalam sel. Jadi, kapsid
virus tetap berada di luar sel bakteri. Jika telah kosong, kapsid
terlepas dan tidak berfungsi lagi.
3) Fase sintesis
Virus tidak memiliki mesin biosintetik sendiri. Virus akan
menggunakan mesin biosintetik inang untuk melakukan
kehidupannya. Karena itu, pengendali mesin biosintetik bakteri
yakni DNA bakteri harus dihancurkan. Untuk itu DNA virus
memproduksi enzim penghancur. Enzim penghancur akan
menghancurkan DNA bakteri, tapi tidak menghancurkan DNA virus.
Dengan demikian, bakteri tidak mampu mengendalikan mesin
biosintetiknya sendiri.
Sekarang, DNA virus yang berperan. DNA virus mereplikasi diri
berulang kali dengan jalan mengkopi diri membentuk DNA virus
dalam jumlah banyak. Selanjutnya DNA virus tersebut melakukan
sintesis protein virus yang akan dijadikan kapsid dengan
menggunakan ribosom bakteri dan enzim-enzim bakteri. Di dalam
sel bakteri yang tidak berdaya itu disintesis DNA virus dan protein
yang akan dijadikan sebagai kapsid virus, dalam kendali DNA virus.
4) Fase perakitan
Kapsid yang disintesis mula-mula terpisah-pisah antara Bagian
kepala, ekor dan serabut ekor. Bagian-bagian kapsid itu dirakit
menjadi kapsid virus yang utuh, kemudian DNA virus masuk
didalamnya. Kini terbentuklah tubuh virus yang utuh. Jumlah virus
yang terbentuk 100-200 buah.
5) Fase lisis
Ketika perakian virus selesai, virus telah memproduksi enzim
lisozim lagi, yakni enzim penghancur yang akan menghancurkan
dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri hancur, sel bakteri
mengalami lisis (pecah), dan virus-virus baru akan keluar untuk
mencari inang yang lain. Fase ini merupakan fase lisisnya sel bakteri
namun bagi virus merupakan fase penghamburan virus.
b. Daur lisogenik
1) Fase adsorpsi
Fase ini ditandai dengan melekatnya ekor virus dengan dinding sel
bakteri. Virus dapat menempel pada sel-sel tertentu yang diinginkan
karena memiliki reseptor pada ujung-ujung serabut ekor. Setelah
menempel, virus mengeluarkan enzim lisozim (enzim penghancur)
sehingga terbentuk lubang pada dinding bakteri atau sel inang.
2) Fase injeksi
Setelah terbentuk lubang, kapsid virus berkontraksi untuk memompa
asam nukleatnya (DNA atau RNA) masuk ke dalam sel. Jadi, kapsid
virus tetap berada di luar sel bakteri. Jika telah kosong, kapsid
terlepas dan tidak berfungsi lagi.
3) Fase penggabungan
Ketika memasuki fase injeksi, DNA virus masuk ke dalam tubuh
bakteri. Selanjutnya, DNA virus menyisip ke dalam DNA bakteri
atau melakukan penggabungan. DNA bakteri berbentuk sirkuler,
yakni seperti kalung yang tidak berujung dan berpangkal. DNA
tersebut berupa benang ganda yang berpilin.
Mula-mula DNA bakteri putus, kemudian DNA virus,
menggabungkan diri diantara benang yang putus tersebut, dan
akhirnya terbentuk DNA sirkuler baru yang telah disisipi DNA virus.
Dengan kata lain, didalam DNA bakteri terkandung materi genetik
virus.
4) Fase pembelahan
Dalam keadaan tersambung itu, DNA virus tidak aktif, yang dikenal
sebagai profag. Karena DNA virus menjadi satu dengan DNA
bakteri, maka jika DNA bakteri melakukan replikasi, profag juga
ikut melakukan replikasi. Terbentuklah dua sel bakteri sebagai hasil
pembelahan dan didalam setiap sel anak bakteri terkandung profag
yang identik. Demikian seterusnya hingga proses pembelahan
bakteri berlangsung berulang kali sehingga setiap sel bakteri yang
terbentuk didalamnya terkandung profag. Dengan demikian jumlah
profag mengikuti jumlah sel bakteri yang ditumpanginya.
5) Fase sintesis
Oleh karena suatu hal, misal karena radiasi atau pengaruh zat kimia
tertentu, profag tiba-tiba aktif. Profag tersebut memisahkan diri dari
DNA bakteri, kemudian menghancurkan DNA bakteri. Selanjutnya,
DNA virus mengadakan sintesis, yakni mensintesis protein untuk
digunakan sebagai kapsid bagi virus-virus baru dan juga melakukan
replikasi DNA, sehingga DNA virus menjadi banyak.
6) Fase perakitan
Kapsid-kapsid dirakit menjadi kapsid virus yang utuh, yang
berfungsi sebagai selubung virus. Kapsid virus yang terbentuk
mencapai 100-200 kapsid baru. Selanjutnya DNA hasil replikasi
masuk kedalam guna membentuk virus-virus baru.
7) Fase lisis
Setelah terbentuk virus-virus baru terjadilah lisis sel bakteri. Ketika
perakitan virus selesai, virus telah memproduksi enzim lisozim lagi,
yakni enzim penghancur yang akan menghancurkan dinding sel
bakteri. Dinding sel bakteri hancur, sel bakteri mengalami lisis
(pecah), dan virus-virus baru akan keluar untuk mencari inang yang
lain. Fase ini merupakan fase lisisnya sel bakteri namun bagi virus
merupakan fase penghamburan virus. Virus-virus yang terbentuk
berhamburan keluar sel bakteri guna menyerang bakteri baru. Dalam
daur selanjutnya virus dapat mengalami daur litik atau lisogenik.
Demikian seterusnya (Irianto, 2006).

Gambar 1. Daur litik dan lisogenik fage lamda () (Irianto, 2006).

B. Uraian Tentang Paramyxovirus


Paramyxovirus merupakan agen penting penginfeksi saluran pernapasan
pada bayi dan anak kecil (virus sinsitium pernapasan dan virus parainfluenza)
seperti juga agen penyebab dari dua penyakit menular yang tersering pada anak-
anak (gondong dan campak) (Brooks, 2005).
Semua anggota famili Paramyxoviridae memulai infeksi melalui saluran
pernapasan. Replikasi patogen pernapasan terbatas pada epitel pernapasan,
dimana gondong dan campak merata ke seluruh tubuh dan menimbulkan
generalisata (Brooks, 2005).
Famili Paramyxoviridae dibagi dalam dua subfamili dan empat genus.
Sebagian besar anggota bersifat monotipik (yaitu mengandung serotipe tunggal);
semua secara antigen stabil:
1. Genus Paramyxovirus
2. Genus Rubellavirus
3. Genus Morbillivirus
4. Genus Pneumovirus
Virus penyakit Newcastle adalah Paramyxovirus burung yang menyebabkan
pneumoensefalitis pada anak ayam dan influenza pada burung yang lebih tua.
Pada manusia bisa menyebabkan peradangan konjunctiva. Kesembuhan sempurna
dapat terjadi dalam 10-14 hari. Infeksi pada manusia merupakan suatu penyakit
yang terbatas menginfeksi pekerja laboratorium yang menangani burung terinfeksi
(Brooks, 2005).

Gambar 2. Struktur Paramyxovirus (Brooks, 2005).

Paramyxovirus mempunyai struktur protein terluar yaitu hemaglutinin dan


neuroaminidase yang digunakan untuk menempel pada reseptor nukleoprotein
yang terdapat pada eritrosit dan sel hospes (Sjahrurachman, 1994).
Gambar 3. Siklus replikasi paramyxovirus (Brooks, 2005).

Paramyxovirus berikatan dengan sel inang melalui glikoprotein


hemagglutinin. Kemudian, amplop virion berfusi dengan membran sel dan
mengalami pelepasan (uncoating) nukleokapsid virus ke dalam sel, dan
selanjutnya virus mengalami transkripsi (Brooks, 2005).
Replikasi RNA dari golongan Paramyxovirus dimulai dari sintesis mRNA
dengan bantuan transkriptasa virion. Dengan bantuan produk protein, mRNA
dibuat RNA cetakan RNA genom (Syahrurahman, 1994).

C. Uraian Tentang Newcastle Disease


Newcastle Disease juga di kenal dengan nama sampar ayam atau Tetelo
yaitu penyakit yang disebabkan oleh Virus Newcastle Disease dari golongan
Paramyxovirus. Virus ini biasanya berbentuk bola, meski tidak selalu (pleomorf)
dengan diameter 100-300 nm. Genom virus Newcastle Disease ini adalah suatu
rantai tunggal RNA. Virus ini menyerang alat pernapasan, susunan jaringan
syaraf, serta alat-alat reproduksi telur dan menyebar dengan cepat serta menular
pada banyak spesies unggas yang bersifat akut, epidemik (mewabah) dan sangat
patogen. Virus Newcastle Desease dibagi dua tipe yakni tipe Amerika dan tipe
Asia. Pembagian ini berdasarkan keganasannya dimana tipe Asia lebih ganas dan
biasanya terjadi pada musim hujan atau musim peralihan, dimana saat tersebut
stamina ayam menurun sehingga penyakit mudah masuk (Ganwarin, 2008).
Yang ganas cepat sekali menular, dan seringkali menimbulkan kematian
secara mendadak. Penyakit ini pertama ditemukan oleh Doyle pada tahun 1926 di
Newcastle (Inggris), dan mengidentifikasinya sebagai paramyxovirus-1 (PMV-1).
Saat ini dikenal empat strain PMV-1 yaitu, strain Viscerotropic velogenic bersifat
akut dan menginfeksi saluran pencernaan, dapat menimbulkan tingkat kematian
yang tinggi 90%, Neurotropic velogenic yang dapat menyebabkan paralisis kaki,
strain mesogenik dapat menyebabkan akut pernapasan dan menimbulkan
kematian lebih dari 50%, dan strain lentogenik yang kurang virulen. Penularannya
cepat dan kematian yang ditimbulkan sangat tinggi. Sampai sekarang ini belum
ditemukan obat untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi bagaimanapun dapat
digunakan vaksin untuk mencegah penyakit ini (Ganwarin, 2008).

Gambar 4. Morfologi virus Newcastle Disease (Ganwarin, 2008).

Klasifikasi Virus Newcastle Disease


Group : Group V ((-)ss RNA)
Order : Mononegavirales
Famili : Paramyxoviridae
Genus : Paramyxovirus
Species : Newcastle disease virus
(Ganwarin, 2008).
D. Tanaman Tapak Liman (E. scaber)
Tanaman tapak liman (E. scaber) termasuk dalam famili asteraceae
(compositae), tapak liman biasa tumbuh liar, kadang ditemukan dalam jumlah
banyak di lapangan rumput, tepi jalan atau pematang. Tapak liman dapat
ditemukan dari dataran rendah sampai ketinggian 1.200 m di atas permukaan air
laut (Pujowati, 2006).
Tanaman tapak liman biasanya tegak berumur panjang yang mempunyai
batang pendek dan kaku, tinggi 30-60 cm, dan berambut kasar. Daun tunggal
berkumpul pada permukaan tanah membentuk roset akar. Daun bentuknya jorong,
tepi melekuk, dan bergerigi tumpul, ujung tumpul, permukaan berambut kasar,
pertulangan menyirip, warnanya hijau tua, panjang 10-18 cm, lebar 3-5 cm.
tangkai bunga keluar dari tengah-tengah roset dengan tinggi 60-75 cm. batang
tangkai bunga kaku dan liat, berambut panjang dan rapat, bercabang dan beralur.
Daun pada tangkai bunga kecil, letaknya jarang, panjang 3-9 cm, lebar 1-3 cm.
bunga majemuk berbentuk bongkol, letaknya di ujung batang, berwarna ungu,
mekar pada siang hari sekitar pukul satu siang, dan menutup kembali pada sore
hari. Buah berupa buah Longkah yang keras, berambut, berwarna hitam. Akarnya
akar tunggang yang besar, warnanya putih (Pujowati, 2006).
Tapak liman dapat digunakan sebagai tanaman penutup tanah atau
groundcover, dapat ditanam di dalam pot atau bak-bak penanaman. Selain itu
tapak liman juga berkhasiat sebagai obat (Pujowati, 2006).

Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Asterales
Suku : Asteraceae
Marga : Elephantopus
Jenis : Elephantopus scaber L.
(Pujowati, 2006)
Nama umum/dagang : Tapak liman
Sumatera : Tutup bumi (Melayu)
Jawa : Tapak liman
Sunda :Tapak liman
Madura :Tapaklana
Daun E. scaber berkhasiat sebagai obat mencret, obat batuk dan obat
sariawan. Untuk obat mencret dipakai 30 gram daun segar E. scaber, dicuci dan
direbus dengan 2 gelas air selama 15 menit. Hasil rebusan diminum sehari dua
kali 1/2 gelas pagi dan sore (Arisandi & Yovita, 2006). Daun dan akar E. scaber
mengandung seskuiterpen lakton, skabertopin, isodeoksi elefantopin dan 11, 13
dihidro elefantopin, asam isoklorogenat A dan B, stigmasterol, lupeol, flavonoid-
7-glukosil luteolin. Senyawa identitas pada tanaman tapak liman adalah
skabertopin dan isodeoksi elefantopin (Anonim, 2004).

E. Teknik Penyarian
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut
setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Anonim, 2000).
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak
keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif
yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah
mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-
lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sedangkan kerugian
cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna
(Anonim, 1986).
Cairan penyari yang dipilih harus mempertimbangkan banyak faktor, yaitu
harus memenuhi kriteria-kriteria yang ada yaitu: Murah dan mudah diperoleh,
stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak
mudah terbakar, selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki,
tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Anonim, 1986).
Cairan penyari yang sering digunakan untuk mengekstraksi suatu senyawa
yaitu etanol. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang
dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak beracun, netral,
absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan.
Sedangkan kerugiannya adalah bahwa etanol mahal harganya. Etanol dapat
melarutkan alkaloida basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin,
antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Lemak, malam, tanin dan
saponin hanya sedikit larut. Dengan demikian zat pengganggu yang larut hanya
terbatas (Anonim, 1986).

F. Kandungan Kimia Tanaman


1. Golongan senyawa flavonoid
Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada
seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Pada
tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetative maupun
dalam bunga. Sebagai pigmen bunga flavonoid berperan jelas dalam menarik
burung dan serangga. Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid untuk
tumbuhan yang mengandungnya ialah pengaturan tumbuh, pengaturan
fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus, serta kerja terhadap serangga.
Efek flavonoid terhadap macam-macam organisme sangat banyak macamnya
dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid
dupakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid memiliki aktivitas
farmakologi antara lain sebagai inhibitor pernapasan, menghambat
fosfodiesterase, dan flavonoid lain juga menghambat aldoreduktase,
monoamina oksidase, protein kinase, reverse transkriptase, DNA polimerase,
dan lipooksigenase (Robinson, 1995).
2. Golongan senyawa saponin
Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa
jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan
hemolisis sel darah merah. Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat
beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan
sebagai racun ikan selama berates-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja
sebagai anti mikroba juga. Diantara banyak efek yang dilaporkan, efek yang
ditunjang dengan baik oleh bukti ialah penghambatan jalur ke steroid anak
ginjal, tetapi senyawa ini menghambat juga dehidrogenase jalur prostaglandin
(Robinson, 1995).
3. Golongan senyawa seskuiterpen lakton
Suku tumbuhan yang kaya minyak atsiri ialah suku Compositae (Matricaria),
Labiatae (misalnya mentha spp), Myrtaceae (Eucaliptus), Pinaceae (Pinus),
Rosaceae (bunga mawar), Rutaceae (Citrus), dan Umbelliferae (Pimpinella
anisum, Carvum carvi, Cuminum cyminum, Anethum, dan lain-lain). Secara
kimia, terpena minyak atsiri dapat dipilah menjadi dua golongan, yaitu
monoterpena dan seskuiterpena, berupa isoprenoid C10 dan C15 yang jangka
titik didihnya berbeda (titiki didih monoterpena 140-180 oC, titik didih
seskuiterpena > 200 oC) (Harborne, 1987).
Seskuiterpenoid adalah senyawa C15, biasanya dianggap berasal dari tiga
satuan isoprene. Seperti monoterpenoid, seskuiterpenoid terdapat sebagai
komponen minyak atsiri yang tersuling uap, dan berperan penting dalam
member aroma kepada buah dan bunga yang kita kenal. Banyak jenis
seskuiterpenoid diketehui mempunyai efek fisiologis yang nyata terhadap
tumbuhan dan hewan. Diantara senyawa yang aktif ini senyawa yang
mengandung gugus fungsi lakton menonjol. Senyawa yang bersifat semuanya
mengandung metilena -lakton (Robinson, 1995).
Peranan xantinum (yang terdapat dalam Xanthium pennsylvanicum) sebagai
antagonis auksin dalam fisiologi tumbuhan, kurang jelas. Tetapi, ia mewakili
golongan seskuiterpena yang penting, yang juga berupa senyawa lakton, dan
penyebarannya luas dalam Compositae. Sifat lain seskuiterpena lakton ini
ialah rasanya yang kadang-kadang pahit atau pedas dan kemampuannya untuk
berlaku sebagi alergen (Harborne, 1987).
Sementara beberapa seskuiterpenoid lakton berdaya racun, senyawa lain
bekerja sebagai penolak serangga dan insektisida, beberapa merangsang
pertumbuhan tumbuhan,dan yang lain lagi bekerja sebagai fungisida
(Robinson, 1995).
4. Golongan senyawa stigmasterol
Nama sterol dipakai khusus untuk steroid alkohol, tetapi karena praktis semua
steroid tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C-3, seringkali
semua disebut sterol. Stigmasterol, jenis 5-sterol, khas pada kebanyakan
tumbuhan tinggi, tetapi tumbuhan yang termasuk bangsa Caryophyllales
mengandung 7-sterol (Robinson, 1995).

G. Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi adalah cara pemisahan zat khasiat dan zat lain yang ada dalam
sediaan dengan jalan penyarian berfraksi, penyerapan, atau penukaran ion pada
zat berpori, menggunakan cairan atau gas yang mengalir. Zat yang diperoleh dapat
digunakan untuk uji identifikasi atau penetapan kadar (Anonim, 1979).
Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi cairan/ zat cair dimana sebagai
fase diamnya dilapiskan pada alumina, silika gel, atau bahan serbuk lain yang
dilekatkan pada lempeng kaca atau aluminium. Metode ini pada umumnya
dijadikan metode pilihan pertama pada pemisahan dengan kromatografi (Sudjadi,
1988).
1. Fase diam
Pada semua prosedur kromatografi, kondisi optimum untuk suatu
pemisahan merupakan hasil kecocokan antara fase diam dan fase gerak.
Dalam kromatografi lapis tipis (KLT), fase diam harus mudah didapat.
Keistimewaan KLT adalah lapisan tipis fase diam dan kemampuan
pemisahnya. Fase diam dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa hal,
misalnya berdasarkan sifat kimianya, dapat dikelompokkan dalam senyawa
organik dan anorganik. Jika dilihat mekanisme pemisahan, fase diam
dikelompokkan:
a. Kromatografi serapan (Silika gel, alumina, keiselguhr)
b. Kromatografi partisi (Selulosa, keiselguhr, silika gel)
c. Kromatografi penukar ion (Penukar ion selulosa, resin penukar ion)
d. Kromatografi gel (Sephadex, biogel).
Silika gel merupakan fase diam yang paling sering digunakan untuk
KLT. Untuk penggunaan dalam suatu tipe pemisahan perbedaannya tidak
hanya pada struktur, tapi juga pori-porinya dan struktur lubangnya menjadi
penting, disamping pemilihan fase gerak. Alumina merupakan fase diam yang
paling sering digunakan setelah silika gel. Alumina termasuk kelompok fase
diam dengan aktivitas tinggi. Alumina untuk KLT bersifat sedikit basa (pH
9), disamping itu ada juga alumina netral (pH 7), dan alumina asam (pH 4).
Keiselguhr merupakan penyerap dengan aktivitas rendah. Tidak banyak
digunakan dalam KLT. Penggunaan utama sebagai padatan pendukung untuk
fase diam dalam kromatografi partisi. Selulosa untuk KLT terdapat dalam dua
bentuk, selulosa serat asli misalnya MN 300 dan selulosa mikrokristal,
misalnya avicel. Pada KLT selulosa digunakan untuk pemisahan senyawa
hidrofil (Sudjadi, 1988).
2. Fase gerak
Pada proses serapan, yang terjadi jika menggunakan silika gel, alumina
dan fase diam lainnya, pemilihan pelarut mengikuti aturan kromatografi
kolom serapan (Sudjadi, 1988). Fase gerak merupakan medium angkut yang
terdiri dari satu atau gabungan beberapa pelarut. Fase ini bergerak di dalam
fase diam karena adanya gaya kapiler. Kombinasi pelarut yang berbeda sifat
memungkinkan mendapatkan system pelarut yang cocok (Stahl, 1985).

Identifikasi dari senyawa yang dipisahkan dengan menggunakan


kromatografi lapis tipis dapat dilakukan dengan pereaksi kimia, pereaksi warna
dan menggunakan harga Rf.

(Sastrohamidjojo, 2002).
Angka Rf berkisar antara 0,00-1,00 dan hanya dapat ditentukan dua decimal,
sedangkan hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h) menghasilkan nilai
berjarak antara 0 sampai 100 (Stahl, 1985).
Penjerap dan pengembang yang digunakan pada identifikasi flavonoid
dengan KLT umumnya sama dengan penjerap dan pengembang untuk
kromatografi kertas dan kromatografi kolom dan cara untuk mendeteksi bercak
sebagian besar seperti pada kromatografi kertas. Pemakaian selulosa ideal untuk
memisahkan glikosida yang satu dari glikosida yang lain, atau memisahkan
glikosida dari aglikon, serta untuk memisahkan aglikon yang kurang polar. Asam
asetat 5% digunakan untuk poliglikosida. Asam asetat 15% digunakan untuk
glikosida, baik untuk membedakan antara mono-, di-, dan triglikosida. Asam
asetat 50% digunakan untuk aglikon (Markham, 1988).
Uji saponin yang sederhana ialah mengocok ekstrak alkohol air dari
tumbuhan dalam tabung reaksi dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa tahan
lama pada permukaan cairan. Saponin dapat juga diperiksa dalam ekstrak kasar
berdasarkan kemampuannya menghemolisis darah. Tetapi, biasanya lebih baik
bila uji sederhana dipastikan dengan cara KLT dan pengukuran spectrum
(Harborne, 1987).
Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya, dan
lebih mudah dipisahkan dengan kromatografi kertas atau dengan KLT pada
selulosa. Tetapi, KLT pada silika gel berhasil juga dengan memakai pengembang
seperti butanol yang dijenuhkan dengan air atau kloroform metanol air (13 : 7
: 2; lapisan bawah) (Harborne, 1987).
Kloroform metanol air (64 : 50 : 10) juga merupakan cairan eluasi yang
cocok untuk memisahkan semua campuran saponin yang berasal dari simplisia.
Kloroform yang digunakan harus bermutu analitik, karena kloroform teknis
mengandung etanol. Setelah lempeng kromatografi berada 30 menit dalam bejana
kromatogrfi yang telah dijenuhkan, suhu 20oC harus tetap dijaga. Pada suhu yang
lebih tinggi, maka semua bercak akan berpindah kedaerah Rf yang lebih atas.
Pereaksi penampak vanilin asam sulfat LP akan membentuk bercak biru, violet
biru atau kadang-kadang kekuningan bila diamati pada sinar biasa (Anonim,
1987).
Deteksi sesquiterpen lakton dengan KLT dilakukan pada silika gel G
memakai CHCl3 eter (4 : 1), benzena aseton (4 : 1), kloroform metanol (99 :
1), benzena methanol (9 : 1), benzena eter (2 : 3), atau eter minyak bumi
CHCl3 etil asetat (2 : 2 : 1). Lakton dideteksi berupa bercak coklat bila pelat
yang telah dikembangkan diletakkan dalam bejana yang berisi kristal iodium.
Cara lain, lakton tampak berupa bercak hijau, coklat, kuning, merah atau biru bila
pelat disemprot dengan H2SO4 pekat dan dipanaskan pada 100 110oC selama
lima menit. Warna yang terbentuk dapat dipakai untuk menetapkan ciri struktur
tertentu pada senyawa lakton. Pereaksi penyemprot lain ialah larutan resorsinol
1% dalam metanol asam fosfat 5% (1 : 1), dan vanilin H2SO4 yang telah
dikembangkan untuk mendeteksi lakton ini secara selektif (Harborne, 1987).
Campuran rumit sterol dalam jaringan tumbuhan tertentu dan diperlukan
cara yang lebih rumit untuk memisahkan dan mengidentifikasinya. Misalnya
sitosterol, kolesterol, dan stigmasterol tidak mudah dipisahkan bila berada
bersama-sama. Tetapi ketiganya akan terpisah bila dikromatografi sebagai asetat
pada pelat anasil B dengan pengembang sinambung selama dua jam memakai
heksana eter (97 : 3) (Harborne, 1987).
Identifiksi steroid dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi
Liebermann burchard. Asam asetat anhidrat P sebanyak 5 ml dan 5 ml asam sulfat
P, ditambahkan hati-hati pada 50 ml etanol mutlak P sambil didinginkan di es.
Pada batas kedua larutan terjadi cincin merah kecoklatan atau ungu, sedangkan
larutan pada bagian atas menjadi hijau atau ungu. Hal ini menunjukkan adanya
steroid atau triterpenoid (Anonim, 1987).

Anda mungkin juga menyukai