Istilah self esteem (harga diri) pertama kali dikenalkan oleh William James (1983-1890) seorang Psikolog berkebangsaan Amerika. Self esteem merupakan tema sosial yang paling tua dan paling banyak ditulis. Kenyataan ini berdasarkan database dari PsychINFO yang mengungkapkan bahwa lebih dari 23.215 artikel, chapter, dan buku membahas self esteem sebagai faktor krusial dalam perilaku manusia. Rodewalt dan Tragakis (2003) menyatakan bahwa self esteem merupakan top three covariates dalam penelitian psikologi dan sosial bersama dengan gender dan efektivitas negatif (Mruk, 2006). Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu melalui tahap-tahap perkembangan mulai dari periode pranatal sampai pada masa usia lanjut (Hurlock, 1996). Individu yang mengalami masa tua atau proses penuaan disebut juga lanjut usia atau disingkat lansia. Upaya untuk mempelajari proses penuaan ini telah dimulai sejak lama, mulai dari daftar manusia tertua, mekanisme penuaan, sampai pada penelitian medis serta psikologis modern untuk memperbaiki kesehatan manusia.
Self-efficacydan konsep diri merupakan bagian dari self-esteem, atau harga
diri. Menurut Christia (2007) self-esteemmerupakan proses evaluasi diri seseorang terhadap kualitas-kualitas dalam dirinya dan terjadi terus menerus dalam diri manusia. Coopersmith (dalam Handayani dkk, 1998) menambahkan bahwa self- esteemmerupakan proses evaluasi diri seseorang terhadap kualitas-kualitas dalam dirinya dan terjadi terus menerus dalam diri manusia.
Self-esteemberkembang sesuai dengan kualitas interaksi individu dengan
lingkungannya, baik itu yang meningkatkan harga diri maupun yang menurunkan harga diri (Handayani dkk, 1998).Self-esteemyang tinggi ditandai dengan kepercayaan diri yang tinggi, rasa puas, memiliki tujuanyang jelas, dan selalu berpikir positif, sedangkan self-esteemyang rendah ditandai dengan rasatakut, cemas, depresi, dan tidak percaya diri (Robson, 1988). Dengan semakin besar proporsi populasi orang-orang lanjut usia (lansia) beserta heterogenitas, pengalaman hidup yang kompleks, dan perubahan demografis dalam populasi, penting bagi professional kesehatan mental untuk bersiap-siap mengakses dan menagngani klien-klien lansia. Terlepas dari kecenderungan untuk memandang lansia sebagai populasi yang homogen dilihat dari nilai-nilai, motif, status social psikologis serta perilakunya, penelitian menunjukkan bahwa lansia adalah populasi yang sangat beragam dan heterogen (Jackson, Chatter, dan Taylor, 1993; Williams, Lavizzo-Mourey, dan Warren, 1994). Mereka memiliki karakteristik- karakteristik yang sama dan yang berbeda dengan kelompok-kelompok usia lainnya.
Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua
adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas dewasa ini. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti. Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan , penolakan, dan keputusasaan. Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.