Aesthētos, "Persepsi, Kemampuan Untuk Merasa"), Secara Umum Berarti Suatu
Aesthētos, "Persepsi, Kemampuan Untuk Merasa"), Secara Umum Berarti Suatu
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi
biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.5
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun
ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.5
3
Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada
operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai
4
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.5
c. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasiyaitu pemberian obat 1-2 jam sebeluminduksi
anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Mempelancarkan induksi anestesi
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi lambung
8. Mengurangi reflex yang membahayakan
5
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis 0,001
mg/kgBB
b. DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.
6
T : Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
Induksi intravena5
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi
intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60
detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
7
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 .
Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
c. Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan
1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi Inhalasi
1. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan
8
untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan
anastetik lain seperti halotan.
9
6. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa
hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita
berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka
kita tempelkan.
Rumatan
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan
cara mengatur konsentrasi obat anestesi dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi
obat tinggi, maka akan dihasilkan anestesi yang dalam. Sebaliknya, jika
konsentrasi obat rendah, maka didapatkan anestesi yang dangkal. Anestesi
yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu perlu dipantau secara ketat
indikator-indikator kedalaman anestesi.4,6
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan secara intravena atau
dengan inhalasi atau campuran keduanya. Rumatan anestesi mengacu pada
tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan
selama pasien dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.4,6
Rumatan intravena misalnya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil
10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena juga dapat menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
10
ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/KgBB/jam. Bedah lama dengan
anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator.
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O
+ O2.4
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O + O2 3 :1
ditambah halotan 0,5-2vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol%
atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).4
11
Halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desflurane, dan
methoxyflurane merupakan cairan yang mudah menguap. Obat-obat ini
diberikan sebagai uap melalui saluran napas.
Open drop method: zat anestesi diteteskan pada kapas yang diletakkan di
depan hidung penderita sehingga kadar zat anestesi yang dihisap tidak
diketahui dan pemakaiannya boros karena zat anestesi menguap ke udara
terbuka.
Semiopen drop method: cara ini hampir sama dengan open drop, hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestesi maka digunakan masker.
Semiclosed method: udara yang dihisap diberikan bersamaan oksigen
yang dapat ditentukan kadarnya. Keuntungan cara ini adalah dalamnya
anestesi dapat diatur dengan memberikan zat anestesi dalam kadar tertentu
dan hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.
Closed method: hampir sama seperti semiclosed, hanya udara ekspirasi
dialirkan melalui NaOH yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang
mengandung anestesi dapat digunakan lagi. Cara ini lebih hemat, aman,
dan lebih mudah, tetapi harga alatnya cukup mahal.
Selain itu, tektik pemberian anestesi dapat dilakukan dengan cara
12
Gambar 2. Laryngeal mask airway (LMA)
a. Intubasi endotrakea
b. Laryngeal mask airway
2. Anestesi Intravena
Beberapa obat digunakan secara intravena (baik sendiri atau
dikombinasikan dengan obat lain) untuk menimbulkan anestesi, atau
sebagai komponen anestesi berimbang (balanced anesthesia), atau untuk
menggunakan propofol. Digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus
tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang
lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain.4
13
beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik
misalnya tiopental, ketamin dan propofol.4
2. Pengakhiran Anestesi8
Pengakhiran anestesi dlakukan sesaat sebelum operasi berakhir (pada
penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit)
14
FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dan relaksasi otot)
Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di
dalam ruangan pasca bedah.
2.2.2 Etiopatogenesis
Penyebab tonsilitis menurut (Firman S, 2006) dan (Soepardi, Effiaty
Arsyad,dkk, 2007) adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus,
Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes. Dapat juga disebabkan
oleh infeksi virus. 9,10
15
a. Tonsilitis Akut
1. Tonsilitis viral
Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Jika terjadi
infeksivirus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri
dirasakan pasien.
2. Tonsilitis bakterial
Peradangan akut tonsil yang dapat disebabkan oleh kuman grup A
stereptococcus beta hemoliticus yang dikenal sebagai strept throat,
pneumococcus, streptococcus viridan dan streptococcus piogenes.
Haemophilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Masa inkubasi 2-4 hari.
b. Tonsilitis Membranosa
1. Tonsilitis difteri
Tonsilitis ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit.
Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer
antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan
besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama
seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat endotoksin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada sarafkranial
16
dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan,
pesudomembran yang meluas ke faringolaring dapat menyebabkan
sumbatan jalan nafas atas yang merupakan keadaan gawat daruratserta
pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
2. Tonsilitis septik
Penyebab tonsilitis septik adalah Streptococcus hemoliticus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga menimbulkan epidemi. Oleh karena
itu di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi
sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.
4. Penyakit keganasan
Pembesaran tonsil dapat merupakan manifestasi dari suatu keganasan
seperti limfoma maligna atau karsinoma tonsil.Biasanya ditemukan
pembesaran tonsil yang asimetris.
2.2.3 Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Kuman
akan menginfiltrasi lapisan epitel menimbulkan reaksi peradangan, hal ini
menimbulkan pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit PMN yang
17
disebut detritus. Peradangan pada tonsil palatina akan menimbulkan nyeri
tenggorok pada pasien, tergantung ukuran.
Pada tonsillitis kronik, proses peradangan terjadi berulang yang
menyebabkan terkikisnya epitel mukosa dan juga jaringan limfoid, sehingga
pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan digantikan oleh jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar dan diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibular.
2.2.4 Manifestasi
Tonsilitis akut
Penderita tonsillitis akut awalnya mengeluh rasa kering di
tenggorokan, kemudian berubah menjadi rasa nyeri di tenggorokan dan
nyeri saat menelan.Rasa nyeri semakin lama semakin bertambah
sehingga anak menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menyebar
sebagai referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga
(otalgia) tersebut tersebar melalui nervus glossofaringeus (IX).Keluhan
lainnya berupa demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan
kejang pada bayi dan anak-anak.Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu
makan berkurang sering menyertai pasien tonsilitis akut.Suara pasien
terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan
panas.Keadaan ini disebut plummy voice/ hot potato voice.Mulut berbau
(foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan
yang hebat (ptialismus). Tonsilitis viral lebih menyerupai common cold
yang disertai rasa nyeri tenggorokan.[1,3]
Tonsilitis kronik
Pasien mengeluh ada penghalang/ mengganjal ditenggorokan,
tenggorokan terasa kering dan pernafasan berbau (halitosis). Halitosis
18
akibat debris yang tertahan di dalam kripta tonsil, yang kemudian dapat
menjadi sumber infeksi berikutnya.
19
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi:
1. T0: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.
2. T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar
anterior uvula.
3. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaringatau
batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai
jarak pilar anterior-uvula.
4. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai
jarak pilar anterior-uvula.
5. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai
uvula atau lebih.
20
2.2.6 Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap
Kultur merupakan kriteria standar untuk mendeteksi Streptococcus
piogenes grup A beta haemolyticus
21
mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis dan pasien harus
diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.
Indikasi Relatif:
1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten.
22
Segera rujuk jika terjadi:
a. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis,
glomerulonephritis, demam rematik akut.
b. Adanya indikasi tonsilektomi.
c. Pasien dengan tonsilitis difteri.
23
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AI
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
BB : 65kg
TB : 170cm
Alamat : Pasir Sialang
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 6 Desember 2016
No.RM : 138480
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri tenggorokan
24
- Tidak ada riwayat trauma sebelumnya
- Tidak ada riwayat operasi sebelumnya
Vital Sign
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Respirasi : 20 kali/menit
- Nadi : 80 /menit, isi dan tekanan penuh
- Suhu : 37C
25
b. Status Lokalis
Regio mulut
Inspeksi : Tonsil T1 : T3, faring hiperemis
Palpasi :-
Movement :-
26
V. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis pra operasi: Tonsilitis
Diagnosis post operasi: Tonsilektomi
VII. TINDAKAN
Dilakukan : Tonsilektomi
Tanggal : 7 Desember 2016
b. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : Anestesi umum
Tanggal operasi : 7 Desember 2016
Mulai operasi : 10.00 WIB
Selesai operasi : 11.10 WIB
Lama operasi : 70 menit
27
Diagnosa pra bedah : Tonsillitis kronis
Macam operasi : Tonsilektomi
Ahli bedah : dr. Reynold, Sp. THT
Ahli anestesi : dr. Lasmaria Flora Sp.An
Teknik anestesi : General Anestesi
Intubasi : ETT non King 6,0
Premedikasi :
- Dexamethasone 2mg
- Ondansetron 4mg
Teknik anestesi :
Pasien diposisikan tidur terlentang kemudian diinjeksi as.traneksamat
500mg dan sedacum 200mg untuk memberi efek sedasi. dipasang oro-
pharyngeal airway (OPA) dan diintubasi menggunakan ETT dengan
dengan mempertahankan jalan napas head tilt-chin-lift, jaw thrust,
serta diberikan anastesi intravena menggunakan sedacum dan propofol
serta fentanyl.
Jumlah cairan yang masuk : Kristaloid = 1500 cc
Cairan keluar selama operasi : 100 cc
28
Pemantauan selama anestesi :
Mulai anestesi : 10.00
Mulai operasi : 10.10
Selesai operasi: 11.20
IX. PROGNOSA
Dubia ad bonam
29
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PRE OPERATIF
Persiapan anestesi dan pembedahan harus lengkap karena dalam
pemberian anestesi selalu ada risiko dan efek yang ditimbulkan. Persiapan
yang dilakukan meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien,
dan persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan
penderita diantaranya meliputi :
- informasi penyakit
- anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
- riwayat alergi, riwayat sesak napas dan asthma, riwayat trauma, dan
riwayat operasi sebelumnya
- riwayat penyakit keluarga
- makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat anestesi)
- Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent,
suatu persetujuan medis untuk mendapatkan izin dari pasien sendiri
dan keluarga pasien untuk melakukan tindakan anestesi dan operasi,
sebelumnya pasien dan keluarga pasien diberikan penjelasan
mengenai risiko yang mungkin terjadi selama operasi dan post
operasi. Setelah dilakukan pemeriksaan pada pasien, maka pasien
termasuk dalam klasifikasi ASA II
B. INTRA OPERATIF
Anestesi pada pasien dengan usia 20 tahun ini menggunakan anastesi
intravena. Komponen trias anastesi yang dicapai adalah hipnotik, analgesi,
dan relaksasi otot ringan.
Anastesi menggunakan anastesi intravena dengan metode semiclosed
karena durasi operasi tidak lama. Pasien diposisikan tidur terlentang dan
30
diberikan anastesi intravena dan mempertahankan jalan nafas serta
diintubasi dengan ETT.
Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien sudah tidak makan dan
minum 10 jam, maka kebutuhan cairan pada pasien dengan BB = 65 kg:
Pemeliharaan cairan per jam: (4X 10) + (2 X 10) + (1 X 45) = 105 ml/jam
Pengganti defisit cairan puasa:10 X 105 mL = 1050 ml
Kebutuhan cairan saat pembedahan (stress operasi) 4 X 65 kg = 260 ml
Perkiraan darah yang hilang saat operasi : + 100cc (menggunakan
kristaloid banding 3, menjadi 300 ml)
C. POST OPERATIF
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang observasi. Pasien
berbaring dengan posisi terlentang karena efek obat anestesi masih ada dan
tungkai tetap lurus untuk menghindari edema. Observasi post operasi
dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respiratory rate) setiap 60 menit selama 12 jam.
Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit. Setelah keadaan umum stabil,
maka pasien dibawa ke ruangan bedah untuk dilakukan tindakan
perawatan lanjutan.
31
BAB V
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restutu RD. 2012. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta:
Badan penerbit FKUI, hal 199.
33
12. Shah UK. 2015. Tonsilitis and Peritonsilar Abscess. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/871977/ [accessed 12
Desember 2016].
13. Bickley LS, Szilagyi PG. 2013. Bates Buku ajar pemeriksaan fisik &
riwayat kesehatan. 11th ed. Penerbit buku kedokteran EGC: 288.
14. CDC. 2002. 2000 CDC Growth Charts for yhe United States: Methods and
Development.
34