Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan


aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes pada tahun 1846.1

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai


hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan
resiko yang tidak diinginkan dari pasien. Anestesi umum dibagi menurut bentuk
fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu anastetik inhalasi dan anastetik intravena.
Terlepas dari cara penggunaanya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai Trias Anestesia,
yaitu efek hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan
lebih baik lagi kalau terjadi juga penekanan reflex otonom dan sensoris, seperti
yang diperlihatkan oleh eter.1,2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Umum


2.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversibel. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan
risiko yang tidak diinginkan dari pasien.1

Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:


a. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
b. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
c. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

2.1.2 Indikasi Anestesi Umum6


Pasien tidak kooperatif, seperti anak-anak
Dewasa yang memilih anestesi umum
Pembedahan yang luas
Pembedahan yang lama
Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
Alergi obat anestesi lokal
Penderita dengan pengobatan antikoagulantia

2.1.3 Tahapan dan Tindakan Anestesi Umum


a. Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya
dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu
pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan

2
tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi
biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.5

b. Penilaian pra bedah


Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-
muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah,
sehingga dapat dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik.
Beberapa penelitit menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan
masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya
halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan
diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya.5

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien.

Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun
ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.5

3
Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada
operasi sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan
resiko anestesia, karena efek samping anestesia tidak dapat
dipisahkan dari efek samping pembedahan.
a. ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
b. ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
c. ASA III :Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
d. ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
e. ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.5

Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai

4
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.5

c. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasiyaitu pemberian obat 1-2 jam sebeluminduksi
anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Mempelancarkan induksi anestesi
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6. Menciptakan amnesia
7. Mengurangi isi lambung
8. Mengurangi reflex yang membahayakan

Waktu dan cara pemberian premedikasi:


Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat
diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian
premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat
premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit
hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan
pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

5
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis 0,001
mg/kgBB
b. DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.

2.1.4 Teknik Anestesi


Induksi anestesi
Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:


S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.

6
T : Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa


hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.5

Induksi intravena5
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi
intravena dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60
detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
harsu diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.

Obat-obat induksi intravena:


a. Tiopental (pentotal, tiopenton)
Tiopental (pentotal, tiopenton) 1 amp 500 mg atau 1000 mg sebelum
digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1 ml
= 25 mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7
mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan
pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi
napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan

7
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 .
Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

b. Propofol (diprivan, recofol)


Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan
lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.

c. Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan
1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).

Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

Induksi Inhalasi
1. N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan

8
untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan
anastetik lain seperti halotan.

2. Halotan (fluotan) Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi,


asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan
dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
mininggikan kadar gula darah.

3. Enfluran (etran, aliran) Efek depresi napas lebih kuat dibanding


halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.

4. Isofluran (foran, aeran)


Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik
anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah
otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.

5. Desfluran (suprane) Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC


6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan
napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

9
6. Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

Induksi per rectal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.

Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa
hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita
berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup muka
kita tempelkan.

Rumatan
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan
cara mengatur konsentrasi obat anestesi dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi
obat tinggi, maka akan dihasilkan anestesi yang dalam. Sebaliknya, jika
konsentrasi obat rendah, maka didapatkan anestesi yang dangkal. Anestesi
yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu perlu dipantau secara ketat
indikator-indikator kedalaman anestesi.4,6
Rumatan anestesi (maintenance) dapat dikerjakan secara intravena atau
dengan inhalasi atau campuran keduanya. Rumatan anestesi mengacu pada
tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan
selama pasien dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.4,6
Rumatan intravena misalnya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil
10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan
analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena juga dapat menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien

10
ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/KgBB/jam. Bedah lama dengan
anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator.
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O
+ O2.4
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O + O2 3 :1
ditambah halotan 0,5-2vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol%
atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).4

2.1.5 Jenis-Jenis Anestesi


1. Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anestesi yang mudah menguap (volaitile agent) sebagai zat anestetik melalui
udara pernafasan. Zat anestetik yang digunakan berupa campuran gas
(dengan oksigen) dan konsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak akan menentukan
kekuatan daya anestesi, zat anestetika disebut kuat bila dengan tekanan
parsial yang rendah sudah dapat memberi anestesi yang adekuat.
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan
membangkitkan aktivitas neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai
anestesi inhalasi digunakan gas dan cairan terbang yang masing-masing
sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat melemaskan otot
maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang secepat-
cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang
kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan
antara pemberian dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi
dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat
lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi
dari gas / uap yang diinhalasi.4,6

11
Halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, desflurane, dan
methoxyflurane merupakan cairan yang mudah menguap. Obat-obat ini
diberikan sebagai uap melalui saluran napas.

Cara pemberian anestesi inhalasi:

Open drop method: zat anestesi diteteskan pada kapas yang diletakkan di
depan hidung penderita sehingga kadar zat anestesi yang dihisap tidak
diketahui dan pemakaiannya boros karena zat anestesi menguap ke udara
terbuka.
Semiopen drop method: cara ini hampir sama dengan open drop, hanya
untuk mengurangi terbuangnya zat anestesi maka digunakan masker.
Semiclosed method: udara yang dihisap diberikan bersamaan oksigen
yang dapat ditentukan kadarnya. Keuntungan cara ini adalah dalamnya
anestesi dapat diatur dengan memberikan zat anestesi dalam kadar tertentu
dan hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.
Closed method: hampir sama seperti semiclosed, hanya udara ekspirasi
dialirkan melalui NaOH yang dapat mengikat CO2, sehingga udara yang
mengandung anestesi dapat digunakan lagi. Cara ini lebih hemat, aman,
dan lebih mudah, tetapi harga alatnya cukup mahal.
Selain itu, tektik pemberian anestesi dapat dilakukan dengan cara

Inhalasi dengan Respirasi Spontan

Gambar 1.Sungkup wajah Intubasi endotrakeal

12
Gambar 2. Laryngeal mask airway (LMA)

Inhalasi dengan Respirasi kendali

a. Intubasi endotrakea
b. Laryngeal mask airway

Anestesi Intravena Total (TIVA)


a. Tanpa intubasi endotrakeal
b. Dengan intubasi endotrakeal

2. Anestesi Intravena
Beberapa obat digunakan secara intravena (baik sendiri atau
dikombinasikan dengan obat lain) untuk menimbulkan anestesi, atau
sebagai komponen anestesi berimbang (balanced anesthesia), atau untuk
menggunakan propofol. Digunakan untuk tindakan yang singkat atau
induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus
tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang
lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain.4

Pemakaian obat anstetik intravena, dilakukan untuk : induksi anestesi,


induksi dan pemeliharaan anestesi bedah singkat, suplementasi hipnosis
pada anestesia atau tambahan pada analgesia regional dan sedasi pada

13
beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik
misalnya tiopental, ketamin dan propofol.4

Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol


mempunyai mula kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap
senyawa gas inhalasi yang terbaru, misalnya desflurane dan sevoflurane.
Senyawa intravena ini umumnya digunakan untuk induksi anestesi.
Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa intravena juga sangat
cepat.6,7

2.1.6 Mempertahankan Anestesi dan Pengakhiran Anestesi


1. Mempertahankan Anestesi8
Pemantauan minimal harus dilakukan saat operasi : EKG, tekanan darah,
oksimetri nadi, kapnometri, gas napas, pengukuran gas anestesi
Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan
opioid (misalnya remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi
(misalnya 0,5 MAC defluran) atau sebagai anestesi intravena total
(TIVA) dengan opioid dan propofol.
Segera rencanakan terapi nyeri pasca operasi, bila perlu pemberian
analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kgmetamizol) dan pemberian
opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritamid)
Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
Peningkatan tekanan darah
Peningkatan frekuensi denyut jantung
Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai
Terdapat pergerakan
Berkeringat

2. Pengakhiran Anestesi8
Pengakhiran anestesi dlakukan sesaat sebelum operasi berakhir (pada
penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit)

14
FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dan relaksasi otot)
Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di
dalam ruangan pasca bedah.

2.2 Tonsilitis kronis


2.2.1 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
11,12,13
cincin waldeyer. Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang
menetap sebagai akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang. Ukuran
tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid
dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang
relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan
peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi
penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke
parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan
mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Padan tonsil yang normal jarang
ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa
ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap di dalam
kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap tonsil.

2.2.2 Etiopatogenesis
Penyebab tonsilitis menurut (Firman S, 2006) dan (Soepardi, Effiaty
Arsyad,dkk, 2007) adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus,
Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes. Dapat juga disebabkan
oleh infeksi virus. 9,10

15
a. Tonsilitis Akut
1. Tonsilitis viral
Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Jika terjadi
infeksivirus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri
dirasakan pasien.
2. Tonsilitis bakterial
Peradangan akut tonsil yang dapat disebabkan oleh kuman grup A
stereptococcus beta hemoliticus yang dikenal sebagai strept throat,
pneumococcus, streptococcus viridan dan streptococcus piogenes.
Haemophilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Masa inkubasi 2-4 hari.

b. Tonsilitis Membranosa
1. Tonsilitis difteri
Tonsilitis ini disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit.
Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer
antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3 golongan
besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama
seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan.
Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat endotoksin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada sarafkranial

16
dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan,
pesudomembran yang meluas ke faringolaring dapat menyebabkan
sumbatan jalan nafas atas yang merupakan keadaan gawat daruratserta
pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.

2. Tonsilitis septik
Penyebab tonsilitis septik adalah Streptococcus hemoliticus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga menimbulkan epidemi. Oleh karena
itu di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi
sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.

3. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)


Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C.

4. Penyakit keganasan
Pembesaran tonsil dapat merupakan manifestasi dari suatu keganasan
seperti limfoma maligna atau karsinoma tonsil.Biasanya ditemukan
pembesaran tonsil yang asimetris.

Berikut adalah faktor risiko tonsillitis:


Faktor usia, terutama pada anak
Penurunan daya tahan tubuh
Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu)
Higiene rongga mulut yang kurang baik.[3]

2.2.3 Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Kuman
akan menginfiltrasi lapisan epitel menimbulkan reaksi peradangan, hal ini
menimbulkan pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit PMN yang

17
disebut detritus. Peradangan pada tonsil palatina akan menimbulkan nyeri
tenggorok pada pasien, tergantung ukuran.
Pada tonsillitis kronik, proses peradangan terjadi berulang yang
menyebabkan terkikisnya epitel mukosa dan juga jaringan limfoid, sehingga
pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan digantikan oleh jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar dan diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris.
Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibular.

2.2.4 Manifestasi
Tonsilitis akut
Penderita tonsillitis akut awalnya mengeluh rasa kering di
tenggorokan, kemudian berubah menjadi rasa nyeri di tenggorokan dan
nyeri saat menelan.Rasa nyeri semakin lama semakin bertambah
sehingga anak menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat menyebar
sebagai referred pain ke sendi-sendi dan telinga. Nyeri pada telinga
(otalgia) tersebut tersebar melalui nervus glossofaringeus (IX).Keluhan
lainnya berupa demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan
kejang pada bayi dan anak-anak.Rasa nyeri kepala, badan lesu dan nafsu
makan berkurang sering menyertai pasien tonsilitis akut.Suara pasien
terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan
panas.Keadaan ini disebut plummy voice/ hot potato voice.Mulut berbau
(foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris akibat nyeri telan
yang hebat (ptialismus). Tonsilitis viral lebih menyerupai common cold
yang disertai rasa nyeri tenggorokan.[1,3]
Tonsilitis kronik
Pasien mengeluh ada penghalang/ mengganjal ditenggorokan,
tenggorokan terasa kering dan pernafasan berbau (halitosis). Halitosis

18
akibat debris yang tertahan di dalam kripta tonsil, yang kemudian dapat
menjadi sumber infeksi berikutnya.

Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)


Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi
dan kepala, sakit tenggorokan, badan lemah, gusi mudah berdarah dan
hipersalivasi.

2.2.5 Pemeriksaan fisik


Tonsilitis akut: pada pemeriksaan ditemukan tonsil yang udem (ukuran
membesar), hiperemis dan terdapat detritus yang memenuhi permukaan
tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau pseudomembran. Bentuk
tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis, bila
bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur alur maka akan
terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga
terbentuk membran semu (pseudomembran) yang menutupi ruang antara
kedua tonsil sehingga tampak menyempit. Palatum mole, arkus anterior dan
arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis. Kelenjar submandibula
yang terletak di belakang angulus mandibula terlihat membesar dan ada
nyeri tekan.
Tonsilitis kronik: pada pemeriksaan fisik ditemukan tampak tonsil
membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar, dan kriptus
berisi detritus. Tanda klinis pada Tonsilitis Kronis yang sering muncul
adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan
tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada
seluruhnya, minimal ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe
submandibular.
Tonsilitis difteri: pada pemeriksaan ditemukan tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk
pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah.

19
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi:
1. T0: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.
2. T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar
anterior uvula.
3. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaringatau
batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai
jarak pilar anterior-uvula.
4. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai
jarak pilar anterior-uvula.
5. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau
batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai
uvula atau lebih.

Gambar 3. Gradasi pembesaran tonsil

20
2.2.6 Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap
Kultur merupakan kriteria standar untuk mendeteksi Streptococcus
piogenes grup A beta haemolyticus

2.2.7 Penatalaksanaan Tonsilitis Kronis


a. Istirahat cukup
b.Makan makanan lunak dan menghindari makan makanan yang mengiritasi
c. Menjaga kebersihan mulut
d. Pemberian obat topikal dapat berupa obat kumur antiseptik
e. Pemberian obat oral sistemik
1.Pada tonsilitis viral istirahat, minum cukup, analgetika, antivirus
diberikan bila gejala berat. Antivirus metisoprinol
(isoprenosine)diberikan pada infeksi virus dengan dosis 60-
100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa
dan pada anak <5tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari.

2.Tonsilitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya Streptococcus


group A, diberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000
U/kgBB/IM dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/ kgBB dosis dibagi 3
kali/ hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x500 mg selama 6-10 hari
atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan
kortikosteroid karena steroid telah menunjukkan perbaikan klinis yang
dapat menekan reaksi inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa
deksametason 3x0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak
0,01 mg/kgBB/hari dibagi 3 kali pemberian selama 3 hari.

3.Pada tonsilitis difteri, Anti Difteri Serum diberikan segera tanpa


menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung
umur dan jenis kelamin. Antibiotik penisilin atau eritromisin 25-50

21
mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis dan pasien harus
diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2-3 minggu.

4. Pada Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) diberikan


antibiotik spektrum luas selama 1 minggu, dan pemberian vitamin C
serta vitamin B kompleks.

Penatalaksanaan tonsilitis kronik:


a. Diberikan obat-obatan simptomatik dan obat kumur yang mengandung
desinfektan.
b. Indikasi tonsilektomi
Menurut Health Technology Assessment, Kemenkes tahun 2004, indikasi
tonsilektomi, yaitu:
Indikasi Absolut:

1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran nafas,


disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonar

2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan


drainase

3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi


anatomi

Indikasi Relatif:
1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten.

22
Segera rujuk jika terjadi:
a. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis,
glomerulonephritis, demam rematik akut.
b. Adanya indikasi tonsilektomi.
c. Pasien dengan tonsilitis difteri.

Konseling dan Edukasi


Memberitahu individu dan keluarga untuk:
a. Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan cukup
tinggi.
b. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
d. Selalu menjaga kebersihan mulut.
e. Mencuci tangan secara teratur.
f. Menghindari makanan dan minuman yang mengiritasi.

23
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AI
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
BB : 65kg
TB : 170cm
Alamat : Pasir Sialang
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 6 Desember 2016
No.RM : 138480

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Nyeri tenggorokan

b. Riwayat Penyakit Sekarang:


Nyeri tenggorokan sejak 3 minggu yang lalu, nyeri dirasakan hilang
timbul, nyeri dirasakan terutama saat makan atau menelan. Pasien juga
mengeluhkan amandelnya membesar di sebelah kiri dan ada keluar
nanah dari amandel tersebut sejak 3 hari yang lalu. Pasien menyadari
hal tersebut saat berkaca. Pasien sudah berobat ke dokter dan sudah
diberi obat dan dianjurkan untuk dilakukan operasi. Pasien juga
memiliki kebiasaan suka makan dan minuman yang dingin seperti es
dan makan makanan yang pedas.

c. Riwayat Penyakit Dahulu:


- Tidak ada riwayat penyakit alergi
- Tidak ada riwayat penyakit asma

24
- Tidak ada riwayat trauma sebelumnya
- Tidak ada riwayat operasi sebelumnya

d. Riwayat Penyakit Keluarga:


- Tidak ada riwayat DM
- Tidak ada riwayat penyakit alergi
- Tidak ada riwayat penyakit asma

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis

Vital Sign
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Respirasi : 20 kali/menit
- Nadi : 80 /menit, isi dan tekanan penuh
- Suhu : 37C

Kepala : Dalam batas normal


Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Discharge (-), epistaksis (-), deviasi septum (-)
Mulut : Bibir kering(-), hiperemis(-), pembesaran tonsil(+)
Gigi : Gigi palsu (-)
Telinga : Discharge (-), deformitas (-)
Leher : Simestris, trakea ditengah, pembesaran tiroid dan
limfe (-)
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Vertebra : Tidak ada kelainan

25
b. Status Lokalis
Regio mulut
Inspeksi : Tonsil T1 : T3, faring hiperemis
Palpasi :-
Movement :-

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Tanggal 1 Desember 2016
Pemeriksaan darah lengkap :
Hb : 16,3 g% (12 16 g%)
LED : 5 mm/jam (0-20 mm/jam)
Leukosit : 6,5x103/mm3 (4 11x103/mm3)
Ht : 42,4 % (37 43 %)
Trombosit : 275x103 (150x103 500x103)
Hitung jenis leukosit:
Eosinofil : 3% (1-3%)
Basofil : 0% (0-1%)
Neutrofil stab : 2% (2-6%)
Neutrofil segmen : 42% (20-40%)
Limposit : 46% (40-60%)
Monosit : 7% (2-8%)
Fungsi Hati :
SGOT : 27U/L (<40 U/L)
SGPT : 41 U/L (<42 U/L)
CT : 7 menit (<15 menit)
BT : 3 menit (<5 menit)
Fungsi Ginjal:
Creatinin : 0,8 g/dl (0,5-1,4 g/dl)
Ureum : 17 g/dl (10-50 g/dl)
Glukosa darah sewaktu: 77g/dl (<150g/dl)

26
V. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis pra operasi: Tonsilitis
Diagnosis post operasi: Tonsilektomi

VI. STATUS ANASTESI


ASA II (Pasien bedah dengan gangguan sistemik ringan, perubahan
anatomi dan fisiologi)

VII. TINDAKAN
Dilakukan : Tonsilektomi
Tanggal : 7 Desember 2016

VIII. LAPORAN ANESTESI


a. Persiapan Anestesi
- Informed concent
- Puasa
Pengosongan lambung, penting untuk mencegah aspirasi isi
lambung karena regurgitasi. Untuk dewasa dipuasakan 6 jam
sebelum operasi
- Pemasangan IV line
Sudah terpasang jalur intravena menggunakan IV catheter ukuran
18
- Dilakukan pemasangan monitor tekanan darah, nadi dan saturasi
O2

b. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : Anestesi umum
Tanggal operasi : 7 Desember 2016
Mulai operasi : 10.00 WIB
Selesai operasi : 11.10 WIB
Lama operasi : 70 menit

27
Diagnosa pra bedah : Tonsillitis kronis
Macam operasi : Tonsilektomi
Ahli bedah : dr. Reynold, Sp. THT
Ahli anestesi : dr. Lasmaria Flora Sp.An
Teknik anestesi : General Anestesi
Intubasi : ETT non King 6,0

Premedikasi :
- Dexamethasone 2mg
- Ondansetron 4mg

Medikasi Intra Operatif:


- As. Traneksamat 500mg
- Sedacum 200mg
- Propofol 70 mg
- Fentanyl IV 0,0628 mg
- Atropine sulfat 0,15 mg

Medikasi Post Operatif:


- Tramadol IV 200 mg
- Ketorolac 30 mg

Teknik anestesi :
Pasien diposisikan tidur terlentang kemudian diinjeksi as.traneksamat
500mg dan sedacum 200mg untuk memberi efek sedasi. dipasang oro-
pharyngeal airway (OPA) dan diintubasi menggunakan ETT dengan
dengan mempertahankan jalan napas head tilt-chin-lift, jaw thrust,
serta diberikan anastesi intravena menggunakan sedacum dan propofol
serta fentanyl.
Jumlah cairan yang masuk : Kristaloid = 1500 cc
Cairan keluar selama operasi : 100 cc

28
Pemantauan selama anestesi :
Mulai anestesi : 10.00
Mulai operasi : 10.10
Selesai operasi: 11.20

Frekuensi nadi dan saturasi


Waktu Tekanan darah Saturasi oksigen Nadi
10.00 140/80 mmHg 98% 80 x / Menit
10.15 130/70 mmHg 99% 80 x / Menit
10.30 130/70 mmHg 100% 90 x / Menit
10.45 130/70 mmHg 100% 90 x / Menit
11.00 130/70 mmHg 100% 80 x / Menit
11.15 130/80 mmHg 100% 90 x / Menit

IX. PROGNOSA
Dubia ad bonam

29
BAB IV
PEMBAHASAN

A. PRE OPERATIF
Persiapan anestesi dan pembedahan harus lengkap karena dalam
pemberian anestesi selalu ada risiko dan efek yang ditimbulkan. Persiapan
yang dilakukan meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien,
dan persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan
penderita diantaranya meliputi :
- informasi penyakit
- anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
- riwayat alergi, riwayat sesak napas dan asthma, riwayat trauma, dan
riwayat operasi sebelumnya
- riwayat penyakit keluarga
- makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat anestesi)
- Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent,
suatu persetujuan medis untuk mendapatkan izin dari pasien sendiri
dan keluarga pasien untuk melakukan tindakan anestesi dan operasi,
sebelumnya pasien dan keluarga pasien diberikan penjelasan
mengenai risiko yang mungkin terjadi selama operasi dan post
operasi. Setelah dilakukan pemeriksaan pada pasien, maka pasien
termasuk dalam klasifikasi ASA II

B. INTRA OPERATIF
Anestesi pada pasien dengan usia 20 tahun ini menggunakan anastesi
intravena. Komponen trias anastesi yang dicapai adalah hipnotik, analgesi,
dan relaksasi otot ringan.
Anastesi menggunakan anastesi intravena dengan metode semiclosed
karena durasi operasi tidak lama. Pasien diposisikan tidur terlentang dan

30
diberikan anastesi intravena dan mempertahankan jalan nafas serta
diintubasi dengan ETT.
Pada pasien ini berikan cairan infus RL sebagai cairan fisiologis untuk
mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pasien sudah tidak makan dan
minum 10 jam, maka kebutuhan cairan pada pasien dengan BB = 65 kg:
Pemeliharaan cairan per jam: (4X 10) + (2 X 10) + (1 X 45) = 105 ml/jam
Pengganti defisit cairan puasa:10 X 105 mL = 1050 ml
Kebutuhan cairan saat pembedahan (stress operasi) 4 X 65 kg = 260 ml
Perkiraan darah yang hilang saat operasi : + 100cc (menggunakan
kristaloid banding 3, menjadi 300 ml)

Total kebutuhan cairan: 105+1050+260+300=1610 ml (3-4 kolf kristaloid)

C. POST OPERATIF
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang observasi. Pasien
berbaring dengan posisi terlentang karena efek obat anestesi masih ada dan
tungkai tetap lurus untuk menghindari edema. Observasi post operasi
dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan vital sign (tekanan
darah, nadi, suhu dan respiratory rate) setiap 60 menit selama 12 jam.
Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit. Setelah keadaan umum stabil,
maka pasien dibawa ke ruangan bedah untuk dilakukan tindakan
perawatan lanjutan.

31
BAB V
KESIMPULAN

Seorang laki-laki dengan usia 20 tahun datang ke poliklinik THT dengan


keluhan nyeri tenggorokan sejak 3 minggu, Nyeri tenggorokan sejak 3 minggu
yang lalu, nyeri dirasakan hilang timbul, nyeri dirasakan terutama saat makan atau
menelan. Pasien juga mengeluhkan amandelnya membesar di sebelah kiri dan ada
keluar nanah dari amandel tersebut sejak 3 hari yang lalu.
Selanjutnya dilakukan tindakan operasi tonsilektomi pada tanggal 7
Desember 2016 di ruangan operasi RSUD Bangkinang. Teknik anestesi adalah
dengan anestesi umum karena tindakan dilakukan di daerah mulut. Induksi
anestesi dengan menggunakan diinjeksi as.traneksamat 500mg dan sedacum
200mg untuk memberi efek sedasi. dipasang oro-pharyngeal airway (OPA) dan
diintubasi menggunakan ETT dengan dengan mempertahankan jalan napas head
tilt-chin-lift, jaw thrust, serta diberikan anastesi intravena menggunakan sedacum
dan propofol serta fentanyl.
Untuk mengatasi nyeri dilakukan injeksi I.V ketorolak dan digunakan
tramadol sebanyak 200 mg drip dalam Asering 500 ml. Kemudian pasien
dipindahkan dan diobservasi di ruang pemulihana selama 2 jam. Perawatan post
operatif dilakukan dibangsal dan dengan diawasi vital sign, keluhan, dan tanda-
tanda perdarahan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2010. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Ed.2. Cet.V. Jakarta: Bagian Anestesi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Dobson MB. 2011. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC.

3. Ganiswara, Silistia G. 2006. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy


Pharmacology). Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.

4. Sabiston, DC. 2009. Buku Ajar Bedah Bagian 1. Jakarta: EGC.

5. Soerasdi E.Satriyanto MD.Susanto E. 2010. Buku Saku Obat-Obat


Anesthesia Sehari-hari. Bandung.

6. Werth, M. 2010. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC.

7. Latief, Said. 2009. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis


Anestesiologi edisi II. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI.

8. Rusmarjono, Soepardi. E.A. 2007. Tonsilitis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan


THT-KL. FKUI.

9. HTA_Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 1-25

10. Wanri, A. 2007. Tonsilektomi. Palembang: Bagian THT FK Universitas


Sriwijaya.

11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restutu RD. 2012. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta:
Badan penerbit FKUI, hal 199.

33
12. Shah UK. 2015. Tonsilitis and Peritonsilar Abscess. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/871977/ [accessed 12
Desember 2016].

13. Bickley LS, Szilagyi PG. 2013. Bates Buku ajar pemeriksaan fisik &
riwayat kesehatan. 11th ed. Penerbit buku kedokteran EGC: 288.

14. CDC. 2002. 2000 CDC Growth Charts for yhe United States: Methods and
Development.

34

Anda mungkin juga menyukai