Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan kelainan kongenital pada
jantung dimana ada defek pada septum ventrikel, sehingga ada hubungan antara
kedua ventrikel. VSD dapat muncul sebagai anomali primer dan bisa juga disertai
defek jantung lainnya. Ventricular septum defect merupakan defek jantung yang
paling sering terjadi, yaitu 20% dari seluruh defek jantung. Dimana VSD
mengenai 2%-7% kelahiran. VSD lebih sering terjadi pada perempuan dibanding
laki-laki ( 56% : 44%). Insidens tertinggi pada prematur dengan kejadian 2-3 kali
lebih sering dibanding bayi aterm.4,5,6
Pada VSD yang kecil prognosisnya baik. Pasien dengan defek sedang atau
besar menunjukan gejala semasa bayi. Bila dengan atau tanpa penanganan pasien
dapat hidup lebih dalam 2 tahun, pada umumya keluhan berkurang, mungkin
akibat mengecilnya defek. Sebagian kecil pasien akan mengalami gagal jantung
kronik dengan hambatan tumbuh kembang yang berat. Kira-kira 50% pasien
hipertensi pulmonal bervariasi ringan-sedang (hiperkinetik) akan menjadi
hipertensi pulmonal berat, tetapi hanya sebagian kecil (10%) terjadi pada masa
bayi dan anak kecil. Dikatakan dalam kepustakaan bahwa lebih kurang 1% pasien
mengalami kelainan obstruksi vaskular paru sejak lahir (hipertensi pulmonal
primer).8
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial. Bila parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi
hingga meliputi seluruh alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia
lobaris atau pneumonia klasik. Bila proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan
hanya di bronkiolus dengan pola bercak bercak yang tersebar bersebelahan
maka disebut bronkopneumonia. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia
yang sering dijumpai pada anak anak. 10,11,12
Campak/Morbili adalah suatu penyakit infeksi virus akut menular, ditandai
oleh tiga stadium: (1) stadium masa tunas sekitar 10-12 hari, (2) stadium
prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat dan ditemukan enantem
pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring dan peradangan mukosa konjungtiva,
dan (3) stadium akhir dengan keluarnya ruam mulai dari belakang telinga
menyebar ke muka, badan, lengan dan kaki.16
1
Angka kejadian campak di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002 masih
tinggi sekitar 3000-4000 per tahun demikian pula frekuensi terjadinya kejadian
luar biasa tampak meningkat dari 23 kali per tahun menjadi 174. Namun case
fatality rate telah dapat diturunkan dari 5,5% menjadi 1,2%. Transmisi campak
terjadi melalui udara, kontak langsung maupun melalui droplet dari penderita saat
gejala yang ada minimal bahkan tidak bergejala.17
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak
menduduki tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%)
dan tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama pada anak usia 1- 4
tahun (77%). Menurut kelompok umur kasus campak yang rawat inap di rumah
sakit selama kurun waktu 5 tahun (1984-1988) menunjukkan proporsi yang
terbesar dalam golongan umur balita dengan perincian 17,6% berumur < 1 tahun,
15,2% berumur 1 tahun, 20,3% berumur 2 tahun, 12,3% berumur 3 tahun dan
8,2% berumur 4 tahun.16
Campak merupakan penyakit self limiting sehingga bila tanpa disertai
dengan penyulit maka prognosisnya baik. Baik pada anak dengan keadaan umum
yang baik, tetapi prognosis buruk bila keadaan umum buruk, anak yang sedang
menderita penyakit kronis atau bila ada komplikasi.19

2
BAB II
DAFTAR PUSTAKA
2.1 Ventricular Septal Defect ( VSD )
2.1.1. Anatomi Jantung
Jantung merupakan organ utama sistem kardiovaskuler. Jantung
dibentuk oleh organ muscular, apex dan basis cordis, atrium kanan dan kiri
serta ventrikel kanan dan kiri. Ukuran jantung kira kira panjang 12 cm,
lebar 8 -9 cm dan tebal kira kira 6 cm. Posisi jantung terletak antar kedua
paru dan berada di tengah tengah dada, bertumpu pada diafragma thoracis
dan berada kira kira 5 cm di atas processus xiphoideus. Pada tepi kanan
diafragma thoracis dan berada kira kira 5 cm di atas processus
xiphoideus. Pada tepi kanan cranial berada pada tepi cranialis pars
cartilaginis costa III dextra, 1 cm dari tepi lateral sternum. Pada tepi kanan
caudal berada pada tepi cranialis pars cartilaginis costa VI dextra, 1 cm dari
tepi lateral sternum. Tepi kiri cranial jantung berada pada tepi caudal pars
cartilaginis costa II sinistra di tepi sternum, tepi caudal berada pada ruang
intercostralis 5, kira kira 9 cm di kiri linea medioclavicularis. Selaput
yang membungkus jantung disebut pericardium terdiri antara lapisan
fibrosa dan serosa, dalam cavum pericardi berisi 50 cc yang berfungsi
sebagai pelumas agar tidak ada gesekan antara pericardium dan
epikardium. Epicardium adalah lapisan paling luar jantung, lapisan
berikutnya adalah lapisan miokardium di mana lapisan ini adalah lapisan
paling tebal. Lapisan terakhir adalah lapisan endocardium.Jantung terdiri
dari 4 ruang, yaitu atrium kanan dan kiri, serta ventrikel kanan dan
kiri.Belahan kanan dan kiri dipisahkan oleh septum.1,2

3
Gambar 1. Anatomi dan sirkulasi jantung normal.
2.1.2. Sirkulasi Pada Janin Dan Bayi Baru Lahir
Perbedaan utama antara sirkulasi janin dan sirkulasi setelah lahir
adalah cara memperoleh O2. Janin memperoleh O2 dan mengeluarkan CO2
melalui pertukaran dengan darah ibu melalui plasenta. Pada sirkulasi janin
terdapat dua jalan pintas: (1) foramen ovale, suatu lubang di septum antara
atrium kanan dan kiri, dan (2) duktus arteriosus, suatu pembuluh yang
menghubungkan arteri pulmonalis dan aorta.3
Saat lahir, foramen ovale menutup dan menjadi jaringan parut kecil
yang dikenal sebagai fossa ovalis di septum atrium. Duktus arterious kolaps
dan akhirnya berdegenerasi menjadi untai ligamentum tipis yang dikenal
sebagai ligamentum arteriosum. Pada neonatus aterm normal, konstriksi
awal dari duktus arteriosus terjadi pada 10-15 jam pertama kehidupan, lalu
terjadi penutupan duktus arteriosus secara fungsional setelah 72 jam
postnatal. Kemudian disusul proses trombosis, proliferasi intimal dan
fibrosis setelah 3-4 minggu postnatal yang akhirnya terjadi penutupan
secara anatomis.3
Pada neonatus prematur, mekanisme penutupan duktus arteriosus ini
terjadi lebih lambat, bahkan bisa sampai usia 4-12 bulan. Penutupan duktus
venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale diawali penutupan secara
fungsional kemudian disusul adanya proses proliferasi endotel dan jaringan
fibrous yang mengakibatkan penutupan secara anatomis (permanen).3

4
Gambar 2. Sirkulasi pada janin.
2.1.3. Definisi
Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan kelainan kongenital
pada jantung dimana ada defek pada septum ventrikel, sehingga ada
hubungan antara kedua ventrikel. VSD dapat muncul sebagai anomali
primer dan bisa juga disertai defek jantung lainnya. Terdapat defek
dengan diameter 0,5 3 cm pada septum interventrikel sehingga terjadi
pirau antara ventrikel kanan dan kiri.
VSD merupakan defek jantung yang paling sering terjadi , yaitu
20% dari seluruh defek jantung. Dimana VSD mengenai 2%-7%
kelahiran. VSD lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki
(56% : 44%). Insidens tertinggi pada prematur dengan kejadian 2-3 kali
lebih sering dibanding bayi aterm.VSD merupakan salah satu lesi yang
sering muncul pada kelainan kromosomal, antara lain trisomi 13, trisomi
18, trisomi 21,dan kelainan sindrom lainnya, tetapi 95% pasien dengan
VSD tidak bersamaan dengan kelainan kromosomal.4,5,6
2.1.4. Klasifikasi
Ventricular Septal Defect (VSD) dapat diklasifikasikan berdasarkan
ukuran, lokasi, dan manifestasi klinis. Berdasarkan ukurannya, VSD
dibagi menjadi:8,9
VSD kecil : lesi < 1/3 dari diameter aorta ( <5mm)
VSD sedang : lesi 1/3 2/3 diameter aorta (5-10 mm)
VSD besar : lesi kira-kira sebesar diameter aorta ( >10mm)
Septum ventrikel dibagi menjadi 2 bagian, yaitu sebagian kecil
septum membranous dan sebagian besar septum muscular. Septum
muscular memiliki 3 komponen, yaitu inlet, trabecular septum, dan
outlet (infundibular septum):8,9

5
Tipe perimembranosa (80%) : merupakan defek yang paling sering
terjadi. Membranous septum merupakan septum yang kecil dan
berada di jantung bagian bawah diantara komponen inlet dan outlet
dari septum muscular.
Tipe inlet (5-8%) : berada di inferioposterior dari septum
membranous.
Tipe trabecular (5%-20%): septum trabecular merupakan bagian
terbesar dari septum interventrikuler, dikelilingin seluruhnya oleh
otot. Tipe ini dapat dibagi lagi berdasarkan lokasi, yaitu apical,
central, dan marginal. Ketika ada multiple muscular VSD dengan
ukuran yang besar maka disebut Swiss Cheese VSD.
Tipe outlet (5%-7%): berada di bawah katup pulmonal ( sinonim:
infundibular, supracristal, doubly commited)
2.1.5. Hemodinamik
Tergantung besarnya defek dan perbedaan tahanan antara kedua
ventrikel dapat terjadi pirau kiri ke kanan, pirau kanan ke kiri atau pirau
dua arah.
1) Pirau kiri ke kanan terjadi karena dalam keadaan normal terdapat
tekanan yang lebih besar pada ventrikel kiri daripada yang kanan pada
waktu sistolik.
2) Pirau kanan ke kiri bila tahanan vakuler paru paru menjadi lebih
besar daripada sistemik ( sindrom Eisenmenger ).4,5
2.1.6. Patofisiologi
Defek pada septum interventrikuler menyebabkan hubungan antara
sirkulasi sistemik dan pulmonar. Ukuran dari VSD, tekanan pada
ventrikel kanan dan kiri, serta resitensi pulmonar merupakan faktor-
faktor yang mempengaruhi hemodinamik pada VSD. Demikian, darah
akan mengalir dari tekanan yang tinggi ke rendah, yaitu dari ventrikel
kiri ke ventrikel kanan (pirau kiri ke kanan).
Darah mengalir melalui defek dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan
yang menyebabkan darah yang mengandung banyak oksigen masuk ke
arteri pulmoner. Penambahan darah ini menimbulkan peningkatan aliran
darah ke paru dan menyebabkan peningkatan pulmonary venous return
ke atrium kiri dan ke ventrikel kiri. Peningkatan volume ventrikel kiri
menyebabkan dilatasi dan akhirnya hipertrofi ventrikel kiri.

6
Volume darah dalam paru yang meningkat , menyebabkan naiknya
tahanan pulmoner. Jika tahanan ini besar maka tekanan ventrikel kanan
semakin meningkat terjadilah pirau kanan ke kiri, dimana darah yang
miskin oksigen mengalir ke ventrikel kiri menyebabkan sianosis.
Peningkatan aliran darah pulmoner menyebabkan peningkatan pulmonary
capillary pressure yang dapat menambah cairan interstisial pulmoner. Ketika
kondisi ini parah maka timbul oedem pulmonal.5,7

Gambar 3. Ventricular septum defect


2.1.7. Gejala Klinis
Manifestasi klinis pasien dengan VSD bervariasi, tergantung dari
ukuran, aliran darah pulmoner dan tekanan pulmoner. VSD kecil dengan
left-to-right shunt (pirau kiri ke kanan) dan tekanan arteri pulmoner yang
normal, merupakan kasus yang paling sering terjadi. Pada VSD kecil ini
biasanya asimtomatik. Lesi ditemukan ketika dilakukan pemeriksaan
fisik rutin. Pada auskultasi jantung akan terdengan bunyi murmur yang
keras, kasar atau disebut holosistolik murmur yang terdengar paling jelas
di lower left sternal border (LLSB) atau pada intercostal 4 sinistra
sebelah sternum dan biasanya disertai thrill. Selain itu juga pertumbuhan
dan perkembangan anak tidak ada gangguan. Murmur jantung mungkin
tidak dapat terdeteksi saat lahir karena tahanan pulmonal neonatus masih
tinggi dan rendahnya perbedaan tekanan ventrikel kanan dan kiri. Setelah
bayi berusia 2-6 minggu, seiring dengan menurunnya tahanan vaskuler
pulmoner, left-to-right shunting meningkat dan adanya turbulensi maka
timbul murmur jantung.

7
Pada VSD sedang hingga berat muncul gejala akibat meningkatnya
aliran darah pulmonal ( oedem pulmonal) dan menurunnya cardiac
output, sehingga menimbulkan takipneu, infeksi paru yang membutuhkan
waktu lebih lama untuk sembuh, failure to thrive, mudah lelah, dan
diaphoresis. Pada auskultasi juga terdengar holosistolik murmur.
Pada VSD besar dengan aliran darah pulmonal yang berlebihan dan
hipertensi pulmonal menunjukkan gejala dyspnea, sulit makan, failure to thrive,
infeksi pulmonal berulang, dan gagal jantung pada bayi. Walaupun VSD
merupakan PJB asianotik, tetapi ketika tekanan ventrikel kanan melebihi ventrikel
kiri, terjadi right to-left shunt ( Eisenmenger Syndrome) maka timbul gejala
sianosis dan clubbing finger. Holosistolik murmur pada VSD besar tidak sekasar
pada VSD kecil karena perbedaan tekanan gradient antar ventrikel yang tidak
signifikan.4

2.1.8. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
VSD antara lain rontgen thoraks, elektrokardiografi (EKG), dan
echocardiografi.
1. VSD kecil
Pada pemeriksaan rontgen thoraks biasanya normal. Pada hasil
EKG juga tidak menunjukkan kelainan. Pada echocardiografi 2
dimensi dapat menunjukkan lokasi dan ukuran defek. Pada VSD
kecil, terutama defek pada septum muscular, sulit untuk dipastikan.
Untuk melihat VSD kecil dapat dilakukan dengan Doppler berwarna
yang menunjukkan adanya arus dari ventrikel kiri ke ventrikel
kanan.8
2. VSD sedang
Pada pemeriksaan thoraks tampak kardiomegali akibat
hipertrofi ventrikel kiri, arteri pulmonalis menonjol, aorta menjadi
kecil, dan ada tanda-tanda peningkatan vaskularisasi pulmoner.
Jantung kanan relatif normal. Hal ini dapat terjadi karena darah yang
seharusnya mengalir ke aorta, sebagian mengalir kembali ke
ventrikel kanan. Atrium kiri yang menampung darah dari vena
pulmonalis yang jumlahnya banyak, akan melebar dari biasa dan
dapat mengalami dilatasi. Akibatnya, otot-otot ventrikel kiri akan
mengalami hipertrofi.4,8

8
Gambar 4. Foto Thorax PA VSD Sedang
Pada EKG ditemukan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pada
VSD sedang, dengan echocardiografi dapat mudah dideteksi.
Disamping lokasinya, besar defek juga dapat ditentukan.8
3. VSD besar
Pada rontgen thorax akan tampak kardiomegali yang massive
dengan kedua ventrikel, atrium kiri, dan arteri pulmonal yang
menonjol. Terdapat juga peningkatan corak vaskularisasi pulmonal,
dan oedem pulmonal, serta efusi pleura bisa juga nampak pada
rontgen thoraks.

Gambar 5. Foto Thoraks PA VSD Besar


Kateterisasi jantung dapat menunjukkan hemodinamik dari
VSD, walaupun sekarang kateterisasi dilakukan apabila data
laboratoris tidak cocok dengan gejala klinis atau ketika penyakit
vaskuler pulmonary dicurigai. Pemeriksaan ini berguna untuk
mengukur tekanan dan saturasi oksigen, serta besar defek.8
2.1.9. Terapi
Pada VSD kecil biasanya akan menutup secara spontan di usia 1-2
tahun. Walaupun tidak menutup, umumnya VSD ini tetap asimtomatik,
tidak ada pembesaran jantung, tidak ada peningkatan tekanan vaskuler

9
pulmonary, ataupun tahanan. The Council on Cardiovascular Disease in
the Young of the American Heart Association mengatakan VSD yang
kecil, terisolasi, dan hemodinamik yang tidak signifikan bukanlah
indikasi untuk dilakukan operasi. Sebagai perlindungan dari endocarditis,
kesehatan gigi harus dijaga. American Heart Association guidelines
mengatakan antibiotic profilaksis tidak lagi dianjurkan untuk kunjungan
ke dokter gigi maupun prosedur pembedahan. Pasien-pasien ini dapat
dimonitor dengan kombinasi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratoris yang non-invasif hingga VSD tertutup secara spontan.
Pada VSD sedang lebih jarang mengalami penutupan secara
spontan. Defek ini tidak perlu dilakukan pembedahan selama tahanan
pembuluh pulmonal normal dan jumlah shunting <2 kali aliran sistemik.
Sama dengan VSD sedang, VSD besar jarang menutup secara
spontan. Tetapi, walaupun defek yang besar yang mengakibatkan gagal
jantung dapat mengecil dan hingga 8% dapat menutup secara spontan.
Pada pasien dengan gagal jantung dapat diberikan diuretik untuk
mengurangi kongesti pulmonal, ACE inhibitor untuk mengurangi tekanan
pulmonal dan sistemik, serta digoksin diberikan apabila diuresis dan
pengurangan afterload tidak mengurangi gejala klinis. Tetapi, masih ada
beberapa kontroversi terhadap efek digoksin.
Indikasi untuk terapi pembedahan pada VSD yaitu pasien pada usia
berapapun dengan VSD besar dimana gejala klinis dan failure to thrive
tidak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa, bayi usia 6-12 bulan
dengan defek yang besar disertai hipertensi pulmonal, pasien usia >24
bulan dengan rasio Qp:Qs lebih dari 2:1, pasien dengan VSD tipe outlet
berapapun ukurannya juga dilakukan pembedahan karena resiko
terjadinya regurgitasi katup aorta.4,5,8

2.2 BRONKOPNEUMONIA
2.2.1. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstisial. Pneumonia biasanya disebabkan oleh
mikroorganisme, namun pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Bila parenkim paru terkena
10
infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh alveolus suatu
lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila
proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus
dengan pola bercak-bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut
bronkopneumonia. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia yang
sering dijumpai pada anak anak. 10,11,12
2.2.2. Etiologi
Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal
ibu-anak yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi
akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui
aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari serviks ibu. Pada bayi yang
lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan
Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan
remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae.4,13
Di negara maju, pneumonia pada anak tertuama disebabkan oleh
virus, di samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Daftar
etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang
bersumber dari data di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.13

Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di


negar maju
USIA ETIOLOGI YANG ETIOLOGI YANG
SERING JARANG
Lahir 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus
influenzae
Streptococcus
pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu 3 BAKTERI BAKTERI
11
bulan Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus Haemophillus
pneumoniae influenzae tipe B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, VIRUS
3
Respitatory Syncytical Virus Sitomegalo
Virus
4 bulan 5 BAKTERI BAKTERI
tahun Chlamydia pneumoniae Haemophillus
influenzae tipe B
Mycoplasma Moraxella catharalis
pneumoniae
Streptococcus Neisseria meningitidis
pneumoniae
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial
virus
5 tahun BAKTERI BAKTERI
remaja Chlamydia pneumoniae Haemophillus
influenzae
Mycoplasma Legionella sp
pneumoniae
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumoniae
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial
Virus
Virus Varisela-Zoster

2.2.3. Faktor Risiko


Faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang, antara lain:

12
- Pneumonia yang terjadi pada masa bayi
- Berat badan lahir rendah (bblr)
- Tidak mendapat imunisasi
- Tidak mendapat asi yang adekuat
- Malnutrisi
- Defisiensi vitamin A
- Tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring
- Tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap
rokok)
- Imunodefisiensi dan imunosupresi (hiv, penggunaan obat
imunisupresif)
- Adanya penyakit lain yang mendahului, seperti campak
- Intubasi, trakeostomi
- Abnormalitas anatomi 12,13

2.2.4. Patofisiologi11,12,13
Bakteri, virus, jamur, aspirasi

Saluran pernapasan

Paru-paru terinfeksi

Perubahan
pola napas 13
Kelelaha

2.2.5. Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompramised
2. Berdasarkan mikoorganisme penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal
b. Pneumonia atipikal : disebabkan Mycoplasma, Legionella,
dan Clamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder
dengan predileksi pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah
(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia interstisial 11,14

14
2.2.6. Manifestasi Klinis
a. Gambaran infeksi umum :
Demam: suhu bisa mencapai 39-40 oc
Sakit kepala
Gelisah
Malaise
Penurunan nafsu makan
Keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
Kadang kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
b. Gambaran gangguan respiratori:
Batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
Sesak nafas
Retraksi dada
Takipnea
Napas cuping hidung
Penggunaan otot pernafasan tambahan
Air hunger
Merintih
Sianosis
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas
bagian atas selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada
anak anak. Bila terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti vokal
fremitus yang meningkat pada daerah terkena, pekak perkusi atau perkusi
yang redup pada daerah yang terkena, suara napas melemah, suara napas
bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan
tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada
perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.13
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya
ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat.

15
Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang
berkisar antara 15.000 40.000 / mm3 dengan predominan
PMN.
Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan prognosis yang
buruk. Leukositosis hebat hampir selalu menunjukkan adanya
infeksi bakteri sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan
risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi.13
b. Rontgen Thorax
- Pneumonia/infiltrat interstisial : ditandai dengan
peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan
hiperaerasi. Biasanya disebabkan oleh virus atau Mycoplasma.
Bila berat dapat terjadi patchy consolidation karena atelektasis
- Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut
dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal yang
biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak
terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai
round pneumonia.
- Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata
pada kedua paru, berupa bercak bercak infiltrat halus yang
dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial

Gambar 6. Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Klasik

2.2.8. Tatalaksana 11,13,15


a. Pneumonia Rawat Jalan

16
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik
lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau
kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP dan 20 mg/kgBB sulfametoksazol
dua kali sehari selama 3 hari. Makrolid, baik eritromisin maupun
makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta
laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan
adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik.
Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Bila
pernapasannya membaik, demam berkurang, nafsu makan membaik,
lanjutkan pengobatan sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi
pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke
antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi. Jika
ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani
sesuai pedoman pneumonia berat.
b. Pneumonia Rawat Inap
1) Terapi Antibiotik
Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan
golongan beta-laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang
tidak responsif terhadap beta-laktam dan kloramfenikol, dapat
diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau
sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan.
Antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi.
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25-
50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24
jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang
baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan
di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral 15
mg/kgBB/kali tiga kali sehari untuk 5 hari berikutnya.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik beta-laktam dengan/tanpa
klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan beta-
laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru

17
intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah
tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan
antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau
terdapat keadaan yang berat maka ditambahkan kloramfenikol 25
mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien datang dengan
keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampisilin kloramfenikol atau ampisilin gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson 80 100 mg/kgBB IV atau IM
sekali sehari. Bila tidak membaik dalan 48 jam, maka bila
mungkin foto toraks.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik
dengan gentamisin 7,5 mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin
50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau klindamisin 15
mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak
membaik, lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali
sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu atau
klindamisin oral selama 2 minggu.

2) Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat.
Bila tersedia pulse oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk
terapi oksigen ( berikan pada anak dengan saturaso < 90%, anak
yang tidak stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap
stabil > 90%.
3) Terapi Penunjang
Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan
distres, beri antipiretik seperti parasetamol. Bila ditemukaan
adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat. Bila terdapat
sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh
anak, hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan
anak mendapatkan kebutuhan cairan runatan yang sesuai.

18
Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. Jika anak tidak dapat
minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan
dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral
mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk
meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko
pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan
cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang
sama.

2.3 MORBILI
2.3.1. Definisi
Campak/Morbili adalah suatu penyakit infeksi virus akut menular,
ditandai oleh tiga stadium: (1) stadium masa tunas sekitar 10-12 hari, (2)
stadium prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat dan
ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring dan
peradangan mukosa konjungtiva, dan (3) stadium akhir dengan keluarnya
ruam mulai dari belakang telinga menyebar ke muka, badan, lengan dan
kaki.16

2.3.2. Epidemiologi
Angka kejadian campak di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002
masih tinggi sekitar 3000-4000 per tahun demikian pula frekuensi
terjadinya kejadian luar biasa tampak meningkat dari 23 kali per tahun
menjadi 174. Namun case fatality rate telah dapat diturunkan dari 5,5%
menjadi 1,2%. Transmisi campak terjadi melalui udara, kontak langsung
maupun melalui droplet dari penderita saat gejala yang ada minimal
bahkan tidak bergejala. Penderita masih dapat menularkan penyakitnya
mulai hari ke-7 setelah terpajan hingga 5 hari setelah ruam muncul.
Biasanya seseorang akan mendapat kekebalan seumur hidup bila telah
sekali terinfeksi oleh campak.10,17

19
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
campak menduduki tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama
pada bayi (0,7%) dan tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyakit utama
pada anak usia 1- 4 tahun (0,77%). Menurut kelompok umur kasus campak
yang rawat inap di rumah sakit selama kurun waktu 5 tahun (1984-1988)
menunjukkan proporsi yang terbesar dalam golongan umur balita dengan
perincian 17,6% berumur < 1 tahun, 15,2% berumur 1 tahun, 20,3%
berumur 2 tahun, 12,3% berumur 3 tahun dan 8,2% berumur 4 tahun.16
Pengalaman menunjukkan bahwa epidemik campak di Indonesia
timbul secara tidak teratur. Di daerah perkotaan epidemik campak terjadi
setiap 2-4 tahun. Wabah terjadi pada kelompok anak yang rentan terhadap
campak, yaitu di daerah dengan populasi balita banyak mengidap gizi
buruk dan daya tahan tubuh yang lemah. Telah diketahui bahwa campak
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh secara umum, sehingga mudah
terjadi infeksi sekunder atau penyulit. Penyulit yang sering dijumpai
adalah bronkopneumonia (75,2%), gastroenteritis (7,1%), ensefalitis
(6,7%) dan lain-lain (7,9%).16
2.3.3. Etiologi
Virus campak merupakan virus RNA famili paramyxoviridae dengan
genus Morbili virus. Sampai saat ini hanya diketahui 1 tipe antigenik yang
mirip dengan virus Parainfluenza dan Mumps. Virus bisa ditemukan pada
sekret nasofaring, darah dan urin paling tidak selama masa prodromal
hingga beberapa saat setelah ruam muncul. Virus campak adalah
organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi apabila berada di luar
tubuh manusia. Pada temperatur kamar selama 3-5 hari virus kehilangan
60% sifat infektifitasnya. Virus tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur
kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu dalam
temperatur 35C, beberapa hari pada suhu 0C, dan tidak aktif pada pH
rendah.18
Measles, virus RNA beruntai tunggal negative yang berenvelope,
merupakan anggota genus Morbilivirus dari family Paramyxoviridae.
Hanya ada satu serotype. Virus ini mengkode enam protein structural,

20
termasuk dua glikoprotein transmembran, fusi (F), dan hemaglutinin (H),
yang memfasilitasi perlekatan ke sel penjamu dan masuknya virus.
Antibodi terhadap F dan H bersifat memberikan perlindungan.19

Gambar 7. Morbilivirus

Genus Morbilivirus terdiri dari virus campak (rubeola) pada manusia


dan virus canine distemper, virus rindepest pada lembu, dan morbilivirus
akuatik yang menginfeksi mamalia laut. Virus virus tersebut secara
antigen terkait satu sama lain tetapi tidak dengan anggota genus lain.
Protein F banyak terdapat pada morbilivirus, sedangkan protein H
menunjukkan variabilitas yang lebih luas. Virus campak mempunyai
hemaglutinin tapi tidak memiliki aktivitas neuramidase. Virus campak
menginduksi pembentukan inklusi intranuklear, sedangkan paramiksovirus
yang lain tidak.19

2.3.4. Patogenesis
Campak merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan
sedikit virus yang infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada
seseorang. Lokasi utama infeksi virus campak adalah epitel saluran nafas
nasofaring. Infeksi virus pertama pada saluran nafas sangat minimal.
Kejadian yang lebih penting adalah penyebaran pertama virus campak ke
jaringan limfatik regional yang menyebabkan terjadinya viremia primer.
Setelah viremia primer, terjadi multiplikasi ekstensif dari virus campak
yang terjadi pada jaringan limfatik regional maupun jaringan limfatik yang
lebih jauh. Multiplikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama infeksi.
Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi viremia sekunder
yang ekstensif dan menyebabkan terjadinya infeksi campak secara umum.

21
Kulit, konjungtiva, dan saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena
infeksi, tetapi organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari ke-11 hingga
14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain
mencapai puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun secara cepat
dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama infeksi virus campak akan
bereplikasi di dalam sel endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag.
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan
memberikan kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa
bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam keadaan tertentu,
adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak. 18
Tabel 1. Patogenesis infeksi campak tanpa penyulit
Hari Manifestasi
0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan
epitel nasofaring atau kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
1-2 Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di
tempat infeksi pertama, dan pada RES regional maupun
daerah yang jauh
5-7 Viremia sekunder
7-11 Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus,
termasuk saluran nafas
11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ
menghilang

2.3.5. Patofisiologi17
Virus morbili
Droplet infection
Eksudat yang serius, droliferasi sel mononukleus,
Polimorfonukleus
Reaksi Inflamasi : Demam, suhu naik,
metabolisme naik, RR naik, IWL naik

Penyebaran ke berbagai organ melalui


hematogen

22
2.3.6. Manifestasi klinis
Infeksi pada pejamu yang tidak kebal hampir selalu simptomatik.
Setelah masa inkubasi sekitar 8-12 hari, penyakit campak biasanya
berlangsung selama 7-11 hari (dengan fase prodromal 2-4 hari diikuti oleh
fase erupsi 5-8 hari).

Gambar 8. Karakteristik campak

Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima


atau keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang kurva suhu
menunjukkan gambaran bifasik, ruam awal pada 24-48 jam pertama diikuti
dengan turunnya suhu tubuh sampai normal selama periode satu hari,
kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuh yang cepat mencapai 40 0C
pada waktu ruam sudah timbul diseluruh tubuh. Pada kasus yang tanpa
komplikasi, suhu tubuh turun mencapai suhu normal.

23
Fase prodormal ditandai dengan demam, bersin, batuk, hidung
berair, amta merah, bercak Koplik, dan limfopenia. Batuk dan koriza
menggambarkan reaksi inflamasi berat yang mengenai mukosa saluran
pernapasan. Demam dan batuk menetap hingga muncul ruam dan
kemudian menghilang dalam 1-2 hari. Konjungtivitis umumnya disertai
fotofobia.
Dua hari sebelum ruam timbul, gejala Kopliks spot yang merupakan
tanda patognomonis dari penyakit campak, dapat dideteksi. Lesi ini telah
dideskripsikan oleh Koplik (1896) sebagai suatu bintik berbentuk tidak
teratur dan kecil berwarna merah terang, pada pertengahannya didapatkan
noda berwarna putih keabuan. Timbulnya Kopliks spot hanya berlangsung
sebentar kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput
pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.

Gambar 9. Kopliks spot

Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari
timbulnya demam. Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapular
eritematosa, dan mulai timbul pada bagian atas samping leher, daerah
belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi.
Kemudian menyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24
jam. Seterusnya menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut dan
punggung, mencapai kaki pada hari ketiga. Bagian yang pertama kena
mengandung lebih banyak lesi. Setelah tiga atau empat hari, lesi tersebut
berubah menjadi berwarna kecoklatan. Hal ini kemungkinan sebagai
akibat dari perdarahan kapiler, dan tidak memucat dengan penekanan.

24
Dengan menghilangnya ruam, timbul perubahan warna dari ruam menjadi
berwarna kehitaman atau lebih gelap. Dan kemudian disusul dengan
timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan.

Gambar 10. Ruam Makulopapular pada Campak

Campak yang termodifikasi biasanya terjadi pada individu dengan


imunitas yang belum sempurna, misalnya bayi dengan antibody maternal
residual. Masa inkubasi memanjang, gejala prodormal menghilang, bercak
Koplik biasanya tidak muncul, dan ruam ringan.16,20
2.3.7. Diagnosis
Diagnosis campak dapat dibuat berdasarkan kelompok gejala klinis
yang sangat berkaitan, yaitu koriza dan mata meradang disertai batuk dan
demam tinggi dalam beberapa hari, diikuti timbulnya ruam yang memiliki
ciri khas, yaitu diawali dari belakang telinga kemudian menyebar ke muka,
dada tubuh, lengan dan kaki bersamaan dengan meningkatnya suhu tubuh
dan selanjutnya mengalami hiperpigmentasi dan mengelupas. Pada
stadium prodromal dapat ditemukan enantema di mukosa pipi yang
merupakan tanda patognomonis campak (bercak Koplik).
Menentukan diagnosis juga perlu ditunjang data epidemiologi. Tidak
semua kasus manifestasinya sama dan jelas. Sebagai contoh, pasien yang
mengidap gizi kurang, ruamnya dapat sampai berdarah dan mengelupas
atau bahkan pasien sudah meninggal sebelum ruam timbul. Pada kasus gizi
kurang juga dapat terjadi diare yang berkelanjutan.16
Jadi, dapat disimpulkan bahwa diagnosis campak dapat ditegakkan
secara klinis sedangkan pemeriksaan penunjang hanya membantu, seperti
pada pemeriksaan sitologik ditemukan sel raksasa pada lapisan mukosa

25
hidung dan pipi, dan pada pemeriksaan serologi didapatkan IgM spesifik.
Campak yang bermanfestasi tidak khas disebut campak atipikal.16
Campak yang khas dapat didiagnosis berdasarkan latar belakang
klinis, diagnosis laboratorium mungkin diperlukan pada kasus campak
atipikal dan termodifikasi.16

1. Deteksi Antigen
Antigen campak dapat dideteksi langsung pada sel epitel dalam
secret repirasi dan urin. Antibodi terhadap nukleoprotein bermanfaat
karena merupakan protein virus yang paling banyak ditemukan pada sel
terinfeksi
2. Serologi
Pemastian infeksi campak secara serologis tergantung pada
peningkatan titer antbodi empat kali lipat antaraserum fase-akut dan
fase konvalensi atau terlihatnya antibody IgM spesifik campak di dalam
spesimen serum tunggal yang diambil antara 1 dan 2 minggu setelah
awitan ruam. ELISA, uji HI dan tes Nt semuanya dapat digunakan
untuk mengukur antibodi campak, walaupun ELISA merupakan metode
yang paling praktis. Bagian utama respons imun ditujukan untuk
melawan nucleoprotein virus. Pasien dengan panensefalitis sklerosa
subakut menunjukkan respon antibodi yang berlebihan, dengan titer 10-
100 kali lipat lebih tinggi dari peningkatan titer yang terlihat dalam
serum konvalensi yang khas.
2.3.8. Diagnosis banding16
1. Rubella
2. Demam skarlatina
3. Ruam akibat obat-obatan
4. Eksantema subitum
5. Infeksi Stafilokokus
2.3.9. Komplikasi
Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak
berumur lebih kecil. Kebanyakan penyulit campak terjadi bila ada infeksi
sekunder oleh bakteri. Beberapa penyulit campak adalah16 :
a. Laringitis akut
b. Bronkopneumonia
c. Kejang demam

26
d. Ensefalitis
e. SSPE (Subacute Sclerosing Panencephalitis)
f. Otitis media
g. Enteritis
h. Konjungtivitis
i. Sistem kardiovaskular
2.3.10. Penatalaksanaan
Pengobatan bersifat suportif dan simptomatis, terdiri dari istirahat,
pemberian cairan yang cukup, suplemen nutrisi, antibiotik diberikan bila
terjadi infeksi sekunder, anti konvulsi apabila terjadi kejang, antipiretik
bila demam, dan vitamin A 100.000 Unit untuk anak usia 6 bulan hingga
1 tahun dan 200.000 Unit untuk anak usia >1 tahun. Vitamin A diberikan
untuk membantu pertumbuhan epitel saluran nafas yang rusak,
menurunkan morbiditas campak juga berguna untuk meningkatkan titer
IgG dan jumlah limfosit total.
Indikasi rawat inap (di ruang isolasi) bila hiperpireksia (suhu
>39,0C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit atau adanya komplikasi.10
1. Tatalaksana campak tanpa komplikasi15,10
Pada umumnya tidak memerlukan indikasi rawat inap
Terapi vitamin A
Berikan 50.000 IU (jika umur anak < 6 bulan), 100.000 IU
(usia 6-11 bulan), atau 200.000 IU (usia 12 bulan 5 tahun)
diberikan secara oral pada semua anak. Jika anak menunjukkan
gejala pada mata akibat kekurangan vitamin A atau dalam
keadaan gizi buruk, vitamin A diberikan 3 kali (hari 1, hari 2, dan
2-4 minggu setelah dosis kedua).
Perawatan penunjang
Jika demam beri paracetamol. Berikan dukungan nutrisi dan
cairan sesuai dengan kebutuhan. Sementara itu, untuk
konjungtivitis ringan dengan cairan mata yang jernih, tidak perlu
diberikan pengobatan. Jika mata bernanah, bersihkan mata
dengan kain katun yang telah direbus dalam air mendidih, atau
lap bersih yang direndam dalam air bersih. Oleskan salep mata
kloramfenikol atau tetrasiklin, 3 kali sehari selama 7 hari. Jangan
menggunakan salep steroid. Kemudian jaga kebersihan mulut,
beri obat kumur antiseptic bila pasien dapat berkumur.

27
Kunjungan ulang
Minta ibu untuk segera membawa anaknya kembali dalam
waktu dua hari untuk melihat apakah luka pada mulut dan sakit
mata anak sembuh, atau apabila terdapat tanda bahaya.
2. Tatalaksana campak dengan komplikasi16
Apabila terdapat penyulit, maka dilakukan pengobatan untuk
mengatasi penyulit yang timbul, yaitu :
Bronkopneumonia
Diberikan antibiotic ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam
dosis intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 75
mg/kgBB/hari intravena dalam 4 dosis, sampai gejala sesak
berkurang dan pasien dapat minum obat peroral. Antibiotik
diberikan tiga hari demam reda. Apabila dicurigai infeksi spesifik,
maka uji tuberkulin dilakukan setelah anak sehat kembali (3-4
minggu kemudian) karena uji tuberkulin biasanya negatif pada
saat anak menderita campak. Gangguan reaksi delayed
hypersensitivity disebabkan oleh sel limfosit-T yang terganggu
fungsinya.
Enteritis
Pada keadaan berat anak mudah jatuh dalam dehidrasi.
Pemberian cairan intravena dapat dipertimbangkan apabila
terdapat enteritis + dehidrasi.
Otitis media
Seringkali disebabkan oleh infeksi sekunder, sehingga perlu
diberikan antibiotik kotrimoksazol-sulfametoksazol (TMP 4
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis).
Ensefalopati
Perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga kebutuhan
untuk mengurangi edema otak, disamping pemberian
kortikosteroid. Perlu dilakukan koreksi elektrolit dan gangguan
gas darah.
3. Pencegahan
Pencegahan campak dilakukan dengan pemberian imunisasi
aktif pada bayi berumur 9 bulan atau lebih.16
Imunisasi Campak20

28
Tahun 1954, Peenles dan Enders pertama kali berhasil
mengembangbiakkan virus campak pada kultur jaringan. Virus
campak tersebut berasal dari darah kasus campak bernama David
Edmoston. Saat ini ada beberapa macam vaksin campak : (1)
monovalen, (2) kombinasi vaksin campak dengan vaksin Rubela
(MR), (3) kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR), (4)
kombinasi dengan mumps, rubella, dan varisela (MMRV).
Di Indonesia, sejak tahun 2004 imunisasi campak juga
diberikan 2 kali, yang pertama pada umur 9 bulan dan yang kedua
pada program BIAS pada umur 6-7 tahun. Imunisasi tidak
dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer,
pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ,
pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak
immunocompromised yang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV
tanpa imunosupresi dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa
mendapat imunisasi campak.
Dosis dan Cara Pemberian20
Dosis vaksin campak sebanyak 0,5 ml
Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan
tapi dapat juga diberikan secara intramuscular
Imunisasi campak diberikan lagi pada saat masuk sekolah
SD (Program BIAS)
2.3.11. Prognosis19
Campak merupakan penyakit self limiting sehingga bila tanpa disertai
dengan penyulit maka prognosisnya baik. Baik pada anak dengan keadaan
umum yang baik, tetapi prognosis buruk bila keadaan umum buruk, anak
yang sedang menderita penyakit kronis atau bila ada komplikasi.
Pada anak yang sehat, mortalitas jarang terjadi kecuali pada pasien
immunocompromised (HIV) atau pada malnutrisi, terutama defisiensi vitamin
A. mortalitas tertinggi didapat pada anak berusia dibawah 2 tahun.

29
BAB III

STATUS PASIEN DAN FOLLOW-UP

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. M. Reihan
Umur : 3 tahun
Berat badan : 9 kg
Tinggi badan : - cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Nama ayah/ibu : Yohan Ahmad / Pitri Yani
Pekerjaan ayah/ibu : -
Alamat : Kumantan
Agama : Islam
No. RM : 105770
II. ANAMNESIS (Alloanamnesis)
a. Keluhan utama :
Demam
b. Riwayat penyakit sekarang :
Seorang anak datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu,
demam naik turun. Batuk berdahak (+) dan pilek (+) 3 bulan, mual
(+), muntah (+), BAK normal, BAB normal.
c. Riwayat penyakit dahulu :
Kelainan jantung
d. Riwayat penyakit keluarga :
-
e. Riwayat pengobatan :
-
f. Riwayat Imunisasi :
Tidak ada data
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Vital sign :
Tekanan darah : tidak ada data
Frekuensi nadi : 98 kali/menit
Frekuensi nafas : 40 kali/menit
Suhu o
: 38,1 C
c. Status gizi :
Berat badan : 9 kg
Tinggi badan : - cm
Umur : 3 tahun

30
Kesan : gizi buruk
d. Status generalisata :
Kepala : Normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
Mata : Cekung (-), sklera ikterik (-), conjungtiva anemis (-), pupil
isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga : Bentuk normal, sekret pada liang telinga (-), darah (-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-), napas cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir kering, pucat (-), sianosis (-), Lidah kotor (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
Thorax (pulmo) :
Inspeksi : Bentuk dan gerakan dinding dada simetris kanan
dan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki basah (+/+), Wheezing
(-/-)
31
Thorax (cor)
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba, ictus cordis kuat angkat, thrill tidak
ada
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Tampak datar
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Turgor kulit abdomen baik, hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Timpani pada kuadran abdomen
Ekstremitas :
- Superior : Akral hangat, edema (-), CRT <2 detik
- Inferior : Akral hangat, edema (-), CRT <2 detik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
21 Desember 2016
Hemoglobin 10,9 gr%
Leukosit 15.800 mm3
Hematokrit 30,8 %
Trombosit 552.000 mm3
V. DIAGNOSIS KERJA
- Suspect bronkopneumonia
- Penyakit jantung bawaan (VSD)
VI. USUL PEMERIKSAAN
- Rontgent
VII. PENATALAKSANAAN
Etiologi Ceftriaxone 2x225 mg
Simptomatik - Paracetamol syr 3xcth 1
- Ambroxol syr 2xcth
- Proris supp 1
Suportif - O2 2-4 lpm
- Ivfd RL 10 tpm (mikro)

VII. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Follow up
Tanggal SOAP
Subjek (S) Objek (O) Assesment (A) Planning (P)

32
22-12-2016 -Demam -Kesadaran: CM -Penyakit jantung - Ivfd kaen 1b 30
-Batuk berdahak -KU: tampak bawaan (VSD) tts/i/mikro
-Pilek sakit sedang -Bronkopneumonia - Inj. Ceftriaxone 450
-Mual dan -HR: 100x/ mg/12 jam
muntah menit - Inj. Gentamycin 45
-Sesak -RR: 68x/menit mg/12 jam
- Ambroxol 3xcth 1
-T: 37,8 oC
- Paracetamol 3xcth 1
- Furosemid 2x9 mg
- Spironolakton 2x6,25
23-12-2016 - Batuk -Kesadaran: CM - -
berdahak -KU: tampak Penyakit jantung Ivfd kaen 1b 30
- Demam sakit sedang bawaan (VSD) tts/i/mikro
- Muntah -HR: 104x/ - -
- Sesak Bronkopneumonia Inj. Ceftriaxone 450
menit
-RR: 56x/menit - mg/12 jam
-T: 39oC Morbili -
Inj. Gentamycin 45
mg/12 jam
-
Ambroxol 3xcth 1
-
Paracetamol 3xcth 1
-
Furosemid 2x9 mg
-
Spironolakton 2x6,25
24-12-2016 - Batuk -Kesadaran: CM - -
berdahak -KU: tampak Penyakit jantung Ivfd kaen 1b 30
- Demam sakit sedang bawaan (VSD) tts/i/mikro
malam -HR: 110x/ - -
- Menggig menit Bronkopneumonia Inj. Ceftriaxone 450
il -RR: 48x/menit - mg/12 jam
- Bintik Morbili -
-T: 36,2oC
merah Inj. Gentamycin 45
diseluruh mg/12 jam
tubuh -
- Sesak Ambroxol 3xcth 1
-
Paracetamol 3xcth 1
-
Furosemid 2x9 mg
-
Spironolakton 2x6,25
25-12-2016 - Batuk -Kesadaran: CM - -
33
berdahak -KU: tampak Penyakit jantung Ivfd kaen 1b 30
- Demam sakit sedang bawaan (VSD) tts/i/mikro
naik turun -HR: 100x/ - -
- Bintik menit Bronkopneumonia Inj. Ceftriaxone 450
merah -RR: 24x/menit - mg/12 jam
diseluruh -T: 36,8oC Morbili -
tubuh Inj. Gentamycin 45
- Sesak mg/12 jam
-
Ambroxol 3xcth 1
-
Paracetamol 3xcth 1
-
Furosemid 2x9 mg
-
Spironolakton 2x6,25
26-12-2016 - Batuk -Kesadaran: CM - -
berdahak -KU: tampak Penyakit jantung Ivfd kaen 1b 30
- Demam sakit sedang bawaan (VSD) tts/i/mikro
tidak ada -HR: 100x/ - -
- Bintik menit Bronkopneumonia Inj. Ceftriaxone 450
merah -RR: 28x/menit - mg/12 jam
diseluruh -T: 36,2oC Morbili -
tubuh Inj. Gentamycin 45
- Sesak mg/12 jam
-
Ambroxol 3xcth 1
-
Paracetamol 3xcth 1
-
Furosemid 2x9 mg
-
Spironolakton 2x6,25
27-12-2016 - Batuk -Kesadaran: CM - -
berdahak -KU: tampak Penyakit jantung Ivfd kaen 1b 30
- Demam sakit sedang bawaan (VSD) tts/i/mikro
tidak ada -HR: 136x/ - -
- Bintik menit Bronkopneumonia Inj. Ceftriaxone 450
merah -RR: 32x/menit - mg/12 jam
diseluruh -T: 36,6oC Morbili -
tubuh Inj. Gentamycin 45
- Sesak mg/12 jam
bila berjalan -
Puyer Ambroxol 2xp

34
1
-
Paracetamol 3xcth 1
-
Furosemid 2x9 mg
-
Spironolakton 2x6,25
28-12-2016 - Batuk -Kesadaran: CM - -
berdahak -KU: tampak Penyakit jantung Ivfd kaen 1b 30
- Demam sakit sedang bawaan (VSD) tts/i/mikro
tidak ada -HR: 138x/ - -
- Muntah menit Bronkopneumonia Inj. Ceftriaxone 450
malam hari 1x -RR: 26x/menit - mg/12 jam
- Bintik Morbili -
-T: 36,5oC
merah Inj. Gentamycin 45
diseluruh mg/12 jam
tubuh -
- Sesak Inj. Furosemid 9mg/8
jam
-
Puyer Ambroxol 2xp
1
-
Paracetamol 3xcth 1
-
Furosemid puyer
-
Spironolakton 2x6,25
-
Fisioterapi
29-12-2016 - Batuk -Kesadaran: CM - -
berdahak -KU: tampak Penyakit jantung Ivfd kaen 1b 30
- Demam sakit sedang bawaan (VSD) tts/i/mikro
tidak ada -HR: 100x/ - -
- Sesak menit Bronkopneumonia Inj. Ceftriaxone 450
- Berjalan perbaikan mg/12 jam
-RR: 36x/menit
sempoyongan - -
-T: 36,5oC
- Muntah Morbili stadium Inj. Gentamycin 45
1x berisi konvalensi mg/12 jam
makanan yang -
dimakan Puyer Ambroxol 2xp
1
-
Spironolaktam 2x6,25

35
30-12-2016 - Batuk -Kesadaran: CM - Pasien berobat jalan
berdahak sudah -KU: tampak Penyakit jantung -
berkurang sakit sedang bawaan (VSD) Furosemid 2x9 mg
- Demam -HR: 103x/ - -
tidak ada menit Bronkopneumonia Spironolaktam 2x6,25
- Sesak -RR: 34x/menit perbaikan -
ketika berjalan -T: 36,6oC - Puyer ambroxol 3xp 1
berkurang Morbili stadium
konvalensi

36
BAB IV

ANALISA KASUS

Pada kasus ini, pasien anak laki-laki berusia 3 tahun datang dengan keluhan
demam sejak kurang lebih 1 minggu, demam dirasakan naik turun. Selain demam,
pasien juga mengeluhkan batuk berdahak, pilek sejak 3 bulan ini, selain demam
dan batuk pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Dari kepustakaan gejala
bronkopneumonia yaitu demam, batuk (produktif/nonproduktif), mual, muntah,
malaise, penurunan nafsu makan, sakit kepala. Keluhan yang dirasakan pasien
sesuai dengan gejala dari bronkopneumonia.
Pada pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan pasien sesak, demam, dan
didapatkan rhonki basah pada bagian basal paru. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan pada pemeriksaan fisik pada bronkopneumonia. Dari pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium didapatkan, leukositosis dan
trombositosis. Leukositosis kemungkinan disebabkan karena adanya infeksi pada
pasien, dan trombositosis disebabkan oleh infeksi. Pada bronkopneumonia
umumnya leukosit normal atau sedikit meningkat, sedangkan trombosit
mengalami penurunan. Trombositosis pada pasien ini kemungkinan disebabkan
adanya infeksi atau penyakit lain yang sudah ada atau sedang diderita pasien.
Pada pasien juga ditegakkan diagnosis penyakit jantung bawaan
berdasarkan riwayat penyakit dahulu, hasil pemeriksaan ekokardiografi dan pasien
mengeluhkan sesak ketika beraktivitas seperti berjalan.
Pada pasien ditegakkan diagnosis morbili berdasarkan ditemukannya
keluhan demam sejak 8 hari, demam pada awalnya dirasakan naik turun,
kemudian dirasakan terus menerus. Keluhan demam disertai dengan batuk dan
pilek, dan kemudian muncul ruam kemerahan diseluruh tubuh. Hal ini sesuai
dengan manifestasi klinis dari morbili yaitu demam secara bertahap meningkat,
batuk, dan diikuti munculnya ruam dengan ciri khas diawali dari belakang telinga,
kemudian menyebar ke muka, dada, tubuh, lengan dan kaki, bersamaan dengan
meningkatnya suhu tubuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu

37
yaitu 39oC. Ditemukan ruam mukopapular di seluruh tubuh, dimulai dari wajah,
dada, abdomen, dan ekstremitas.
BAB V

KESIMPULAN

Ventricular Septal Defect (VSD) merupakan kelainan kongenital pada


jantung dimana ada defek pada septum ventrikel, sehingga ada hubungan antara
kedua ventrikel. VSD dapat muncul sebagai anomali primer dan bisa juga disertai
defek jantung lainnya. Terdapat defek dengan diameter 0,5 3 cm pada septum
interventrikel sehingga terjadi pirau antara ventrikel kanan dan kiri. VSD
merupakan defek jantung yang paling sering terjadi , yaitu 20% dari seluruh defek
jantung. Dimana VSD mengenai 2%-7% kelahiran. VSD lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki (56% : 44%). Insidens tertinggi pada prematur
dengan kejadian 2-3 kali lebih sering dibanding bayi aterm.
Penyebab Terjadinya VSD sampai saat ini masih belum jelas, namun
dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk genetik. Ada beberapa faktor yang
dapat menimbulkan gangguan jantung yang terjadi pada masa kehamilan
trimester pertama, antara lain paparan sinar rontgen, trauma fisik dan psikis, serta
minum jamu atau pil kontrasepsi. Kelainan jantung bawaan juga dapat terjadi jika
ibu dan janin berusia di atas 40 tahun, penderita DM, campak dan hipertensi, serta
jika orang tua merokok saat janin berusia 3 bulan dalam rahim.
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial. Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme,
namun pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu-
anak yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat
kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi
mekoneum, cairan amnion, atau dari serviks ibu. Pada bayi yang lebih besar dan
anak balita, pneumonia lebih sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus,
sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering
juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.

38
Campak/Morbili adalah suatu penyakit infeksi virus akut menular, ditandai
oleh tiga stadium: (1) stadium masa tunas sekitar 10-12 hari, (2) stadium
prodromal dengan gejala pilek dan batuk yang meningkat dan ditemukan enantem
pada mukosa pipi (bercak Koplik), faring dan peradangan mukosa konjungtiva,
dan (3) stadium akhir dengan keluarnya ruam mulai dari belakang telinga
menyebar ke muka, badan, lengan dan kaki.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Scanlon VC, Sanders T. 2007. Essentials of Anatomy & Physiology. Ed 5.


Philadelphia. Davis Company.
2. Sherwood, Lauralee. 2008. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 7.
Jakarta: ECG
3. Phibbs, Brendan. 2007. Human Heart, The : A Basic Guide to Heart
Disease, In: Conginetal Heart Disease. Ed. 2. Philadelphia. Lippicott
Williams & Wilkins.
4. Nelson, Berhman, Kliegman, et all. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.
Ed. 15. Jakarta : ECG
5. Ramaswarny, Prema. 2015 Ventricular septal defect. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/892980-overview.
6. Abdulla R, editor. 2011. Heart diseases in children. Chicago: Springer.
7. Minette MS, Sahn DJ. 2006.Ventricular Septal Defect. American Heart
Association Journal.114:2190-2197
8. Wahab AS. 2009. Kardiologi anak penyakit jantung yang tidak sianotik.
Jakarta: EGC
9. Minette MS, Sahn DJ. 2006.Ventricular Septal Defect. American Heart
Association Journal.114:2190-2197.
10. Pudjiadi AH, Hegar B handryastuti, S, et. al. 2009. Pedoman Pelayanan
Medis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
11. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al.
2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
12. Price S, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses
proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
13. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. 2010. Buku Ajar Respirologi
Anak. Ed. 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
14. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2007. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Ed. 4. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.
15. World Health Organisation. 2008. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

40
16. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, Herry Garna, et al. 2008. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis. Ed. 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
17. Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak. Ed. 2. Jakarta:
EGC
18. Soegijanto, Soegeng. 2002. Campak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I.Jakarta: Balai Penerbit FKUI
19. Gillespie, Stephen, Kathleen Bamford. 2009. At a Glance Mikrobiologi
Medis dan Infeksi. Ed. 3. Erlangga Medical Series
20. Soegijanto, Soegeng, Harsono Salimo. 2011. Campak dalam Pedoman
Imunisasi Di Indonesia. Ed. 4. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia
21. Pudjiadi, Antonius H, Badriul Hegar, et al. 2009. Campak dalam Pedoman
Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: IDAI

41

Anda mungkin juga menyukai