Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai fungsi yang
berbeda dan saling mempengaruhi. Sistem saraf mengatur kegiatan tubuh yang cepat seperti
kontraksi otot atau peristiwa viseral yang berubah dengan cepat. Sistem saraf menerima
ribuan informasi dari berbagai organ sensoris dan kemudian mengintegrasikannya untuk
menentukan reaksi yang harus dilakukan tubuh (Syaifuddin, 2011). Kerja sistem saraf adalah
mengatur aktivitas sensorik dan motorik, perilaku instriktif dan dipelajari, organ dalam dan
sitem-sistem

dalam tubuh. Pentingnya fungsi ini menjadi jelas saat individu menderita misalnya kebutaan,
kelumpuhan, atau kesulitan lain setelah trauma spinal ataupun stroke (Mardiati, 2010).
Gangguan sistem saraf bisa terjadi pada sistem saraf pusat dan perifer. Dengan kata lain,
otak, sumsum tulang belakang, saraf kranial, saraf perifer, akar saraf, sistem saraf otonom,
neuromuscular junction, dan otot. Gangguan ini termasuk epilepsi, penyakit Alzheimer dan
demensia lainnya, penyakit serebrovaskular termasuk stroke, migrain dan gangguan sakit
kepala lainnya, multipel sklerosis, penyakit Parkinson, neuroinfections, tumor otak, gangguan

traumatis dari sistem saraf seperti trauma otak, dan gangguan neurologis sebagai hasilnya
kekurangan gizi (WHO, 2014). Ratusan juta orang di seluruh dunia menderita gangguan
neurologis. Sekitar 6,2 juta orang meninggal karena stroke setiap tahun; lebih dari 80%
kematian Universitas Sumatera Utara2 terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia memiliki epilepsi. Diperkirakan ada
global 35.600.000 orang dengan demensia dengan 7,7 juta kasus baru setiap tahun. Penyakit
Alzheimer adalah penyebab paling umum dari demensia dan dapat berkontribusi 60-70%
kasus. Prevalensi migrain lebih dari 10% di seluruh dunia (WHO, 2014). Berdasarkan
estimasi dari data statistik, sekitar 40% dari populasi Negara maju, pada usia dewasa
mengalami atau menderita kelainan terkait dengan saraf seperti dementia, stroke, epilepsi,
parkinson, tumor dan penyakit lainnya (Journal of Neuroscience, 2013). Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (2011) mencatat Indonesia sebagai negara dengan jumlah
penderita gangguan sistem saraf terbesar di Asia. Setiap 7 orang meninggal di Indonesia, 1

1
diantaranya karena mengalami gangguan sistem saraf yaitu stroke. Catatan Riskesdas tahun
2013 menyatakan bahwa

jumlah penderita gangguan sistem saraf yaitu penderita stroke sebanyak 500.000 penduduk
setiap tahunnya dan sekitar 2,5% orang meninggal, penderita cedera kepala 2,18%, dan
demensia 7,58%.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dengan Proses
Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Saraf.

3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengkajian sistem Persarafan
1. Untuk mengetahui gangguan akibat peradangan
2. Untuk mengetahui kelainan vaskularisasi (Stroke)
3. Untuk mengetahui Gangguan akibat degeneratif
4. Untuk mengetahui gangguan sistem keganasan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengkajian Keperawatan Sistem Persarafan


Pengkajian keperawatan sistem persarafan meliputi usaha pengumpulan data,
membuktikan data tentang status kesehatan klien, baik fisik, emosi, pertumbuhan, sosial,
kebudayaan, intelektual maupun spritual. Keahlian dalam melakukan observasi, komunikasi,
wawancara dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mewujudkan seluruh fase pada
asuhan keperawatan.

Gambar A.1 Skema pengkajian keperawatan sistem persarafan

1. Anamnesis

Anamnesis secara umum meliputi pengumpulan informasi tentang status kesehatan


klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, tingkat
perkembangan, dan gaya hidup klien. Pengkajian neurologis secara umum meliputi

3
identitas umum, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyaklit dahulu, dan
penyakit keluarga yang berhubungan dengan gangguan neurologis klien.

a. Identitas Klien
Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor
register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama pada klien gangguan sistem persarafan biasanya akan terlihat bila
sudah terjadi disfungsi neurologis. Meliputi kelemahan anggota gerak sebelah
badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, kejang, sakit kepala hebat, nyeri
otot, kaku kuduk, sakit punggung, tingkat kesadaran menurun, akral dingin, dan
ekspresi rasa takut.
c. Riwayat Penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan serangkaian wawancara yang
dilakukan perawat untuk menggali permasalahan klien dari timbulnya keluhan
utama pada gangguan sistem persarafan sampai pada saat pengkajian.
2) Riwayat penyakit dahulu
Beberapa pertanyaan yang mengarah pada riwayat penyakit dahulu dalam
pengkajian neurologi.
Apakah klien menggunakan obat-obat, seperti analgesik, sedatif, hipnotis,
antipsikotik, antidepresi, atau perangsang sistem persarafan.
Apakah klien pernah mengeluhkan gejala sakit kepala, kejang, tremor,
pusing, atau kesemutan pada bagian tubuh.
Bila klien telah mengalami salah satu gejala diatas, gali lebih detail.
Diskusikan dengan pasangan klien, anggota keluarga, atau teman klien
mengenai perubahan perilaku klien akhir-akhir ini.
Perawat sebaiknya bertanya mengenai riwayat perubahan penglihatan,
pendengaran, pengecapan dan perabaan.
Riwayat trauma kepala, atau batang spinal, meningitis, kelainan
konginetal, penyakit neurologis, atau konseling psikiatri.
Riwayat peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah tinggi.
Riwayat tumor, baik ganas maupun jinak perlu ditanyakan.

4
3) Riwayat penyakit keluarga
Anamnesis akan adanya riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun
diabetes melitus yang memberikan hubungan dengan beberapa masalah
disfungsi neurologis seperti masalah stroke hemoragis dan neuropati perifer.
d. Pengkajian Psikososial
Pengkajian psikologis klien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif,
dan perilaku klien saat ini. Pengkajian status emosional dan mental secara fisik
lebih banyak termasuk pengkajian fungsi serebral meliputi tingkat kesadaran
klien, perilaku dan penampilan, bahasa, fungsi intelektual, termasuk ingatan,
pengetahuan, asosiasi dan penilaian.
e. Pengkajian Sosioekonomispiritual
Oleh karena klien harus menjalani rawat inap maka perawat harus mengkaji
apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien sebab biaya
perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang
diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien.
2. Pemeriksaaan Diagnostik
a. Foto Rontgen
Foto rontgen polos tengkorak dan medula spinalis seringkali digunakan untuk
mengidentifikasi adanya fraktur, dislokasi, dan abnormalitas tulang lainnya,
terutama dalam penatalaksanaan trauma akut. Selain itu, foto rontgen polos
mungkin menjadi diagnostik bila kelenjar pineal yang mengalami penyimpangan
letak terletak pada hasil foto rontgen, yang merupakan petunjuk dini tentang
adanya SOL.
Adanya udara dalam tulang tengkorak juga merpakan suatu indikasi
adanya fraktur kepala terbuka, seperti fraktur tengkorak frontal atau basilar, yang
mungkin tidak nampak secara jelas dari luar. Foto rontgen polos kepala juga dapat
memperlihatkan adanya infeksi atau neoplasma yang ditandai oleh perubahan
kepadatan tulang. Prosedur pembuatan foto polos kepala dan medula spinalis
mengharuskan klien dalam posisi yang cermat dan secara relatif tidak
menimbulkan nyeri. Peran perawat mencakup pemantauan klien dan peralatan
yang digunakan selama prosedur dan selalu mewaspadai terhadap komplikasi
yang berhubungan dengan posisi klien dan lamanya prosedur.

5
b. Computed Tomography
Computed tomography (CT) merupakan suatu teknik diagnostik dengan
menggunakan sinar sempit dari sinar-x untuk memindai kepala dalam lapisan
yang berurutan. Bayangan yang dihasilkan memberi gambaran potongan
melintang dari otak, dengan membandingkan perbedaan jaringan padat pada
tulang kepala, korteks, struktur subkortikal, dan ventrikel. Gambaran yang jelas
pada masing-masing bagian atau irisan otak, pada bayangan ahir merupakan
proporsi dari derajat sinar-x diabsorpsi. Bayangan ditunjukan pada osiloskop atau
monitor TV dan foto.
CT Scan selalu dilakukan pertama tanpa zat kontras dan jika dengan zat
kontras, maka zat kontras dimasukan melalui intravena. Klien berbaring diatas
meja yang dapat disesuaikan dengan kepala pada posisi terfiksasi, sementara
sistem pemindaian berputar disekitar kepala klien. Klien harus dibaringkan
dengan kepala pada posisi yang sangat mantap dan dengan hati-hati untuk tidak
bicara dengan menggerakan wajah, karena gerakan kepala menyebabkan
penyimpangan pada bayangan.
c. PET (Positron emission tomography)
PET adalah teknik pencitraan nuklir berdasarkan komputer yang dapat
menghasilkan bayangan fungsi organ secara aktual. Klien menghirup gas
radioaktif yang memberikan partikel bermuatan positif. Bila positron ini
berkombinasi dengan elektron-elektron bermuatan negatif, resultan gama dapat
dideteksi oleh alat pemindai. Dalam alat-alat pemindai, detektor tersusun dalam
sebuah cincin dan seri-seri yang dihasilkan berupa gambar dua dimensi pada
berbagai tingkatan otak. Informasi ini terintegrasi oleh komputer dan memberikan
sebuah komposisi bayangan kerja otak.
d. MRI (Magnetic resonance imaging)
MRI menggunakan medan magnetik untuk mendapatkan gambaran daerah yang
berbeda pada tubuh. Foto magnetik di dalam tubuh seperti magnet-magnet kecil di
dalam medan magnet. Setelah pemberian getaran radiofrekuensi, foto
memancarkan sinyal-sinyal, yang diubah menjadi bayangan. MRI mempunyai
potensial untuk mengidentifikasi keadaan abnormal serebral dengan mudah dan
lebih jelas dari tes diagnostik lainnya. MRI dapat memberikan informasi tentang
perubahan kimia dalam sel, juga memberikan informasi kepada dokter dalam

6
memantau respon tumor terhadap pengobatan. Pemindaian MRI tidak
menyebabkan radiasi ion.
Pemindaian MRI memberikan gambaran grafik dari struktur tulang, cairan,
dan jaringan lunak. MRI ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang detail
anatomi dan dapat membantu seseorang mendiagnosis tumor yang kecil atau
sindrom infrak dini.
e. Angiografi Serebral
Angiografi serebral adalah proses pemeriksaan dengan menggunakan sinar-x
terhadap sirkulasi serebral setelah zat kontras disuntikan ke dalam arteri yang
dipilih.
Angiografi serebral adalah alat yang digunakan untuk menyelidiki
penyakit vaskular, aneurisma, dan malformasi arteriovena. Hal ini sering
dilakukan sebelum klien menjalani kraniotomi sehingga arteri dan vena serebral
terlihat dan untuk menentukan letak, ukuran, dan proses patologis. Juga digunakan
untuk mengkaji keadaan yang baik dan adekuatnya sirkulasi serebral. Angiografi
merupakan pilihan terahir jika dengan pemeriksaan CT scan dan MRI, diagnosis
masih belum bisa ditegakan (Hacke W. dan Kramer H. 1991).
f. Mielogram
Mielogram adalah sinar-x yang digunakan untuk melihat ruang subaraknoid spinal
dengan menyuntikan zat kontras atau udara ke ruang subaraknoid spinal melalui
fungsi spinal. Mielogram menggambarkan ruang subaraknoid spinal dan
menunjukan adanya penyimpangan medulla spinalis dan sakus dural spinal yang
disebabka oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain.
g. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktivitas umum elektrik di otak, dengan
meletakan elektroda pada area kulit kepala atau dengan menempatkan
mikroelektroda dalam jaringan otak. Pemeriksaan ini memberikan pengkajian
fisiologis aktivitas serebral. EEG adalah uji yang bermanfaat untuk mendiagnosis
gangguan kejang seperti epilepsi dan merupakan prosedur pemindaian untuk klien
koma atau mengalami sindrom otak organik. EEG juga bertindak sebagai
indikator kematian otak. Tumor, abses, jaringan parut otak, bekuan darah, dan
infeksi dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan
kecepatan.
h. Pemeriksaan Laboratorium Klinik
7
Pemeriksaan laboratorium klinik merupakan hal yang rutin untuk dilaksanakan
sebagai media untuk menonton reaksi pengobatan dan dampak klinis yang
memerlukan penanganan lanjut. Tujuannya sebagai berikut.
1) Membantu menegakan diagnosis berbagai macam penyakit serebral
2) Melakukan kontrol untuk klien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
penyakit serebral (misalnya pemeriksaan kolesterol darah).
3) Mengukur abnormalitas kimia darah yang dapat memengaruhi prognosis klien
gangguann serebral.
4) Mengkaji derajat proses inflamasi.
5) Mengkaji kadar serum obat.
6) Mengkaji efek pengobatan.
7) Menetapkan data dasar klien sebelum intervensi terapeutik.
8) Skrining terhadap setiap abnormalitas. Oleh karena terdapat berbagai metode
pengukuran yang berbeda, maka nilai normal dapat berbeda antara satu tes dengan
tes lainnya.
9) Menentukan hal-hal yang dapat memengaruhi upaya intervensi (misalnya diabetes
melitus, gangguan keseimbangan elektrolit).

B. Asuhan Keperawatan Klien dengan Meningitis

Secara singkat, pengertian dari meningitis adalah inflamasi pada membran (selaput)
yang mengelilingi otak dan medula spinalis. Penyebab meningitis meliputi 1) bakteri,
piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama meningokokus,
pneumokokus, dan basil influensa. 2) virus, yang disebabkan oleh agens-agens virus yang
sangat bervariasi. 3) organisme jamur.

1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Biasanya suhu badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan biasanya berhubungan dengan akibat infeksi dan peningkatan TIK.
Keluhan tersebut diantaranya sakit kepala dan demam adalah gejala awal yang
sering terjadi. Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan

8
sebagai akibat iritasi meningen. Perubahan yang terjadi tergantung pada beratnya
penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsif dan koma.
2) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel
sabit dan hemoglobin lain. Riwayat TB paru perlu ditanyakan kepada klien
terutama jika ada keluhan batuk produktif dan pernah mengalami pengobatan obat
anti tuberkolosis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi meningitis
tuberkolosa.
c. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikososiospiritual klien meningitis meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien.
d. Pemeriksaan Fisik

Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-4
C, dimulai pada fase sistemik, kemerahan, panas, kulit kering, dan berkeringat. Keadaan ini
biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah menunggu
pusat pengatur suhu tubuh. Jika peningkatan frekuensi nafas sering kali berhubungan
dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan
sebelum mengalami meningitis. Tekanan darah biasanya normal atau meningkat dan
berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK.

1) BI (Breathing)
Inpeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu
napas dan peningkatan frekuensi napas yang sering didapatkan pada klien
meningitis yang disertai dengan adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi
toraks hanya dilakukan jika terdapat deformitas pada tulang dada klien dengan
efusi pleura massif. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien
dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru.

9
Gambar B.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan meningitis

10
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular terutama dilakukan pada klien meningitis
pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami syok. Infeksi fulminasi
terjadi pada sekitar 10% klien dengan meningitis meningokokus, dengan tanda-
tanda septikema: demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang
menyebar sekitar wajah dan ekstremitas. Kematian mungkin terjadi dalam
beberapa jam setelah serangan infeksi.
3) B3 (Brain)
Pengkajian tingkat kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien
meningitis biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa.
Pengkajian fungsi serebral. Status mental : observasi penampilan, tingkah
laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien
meningitis tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Pengkajian saraf kranial.
Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kodisi normal. Pemeriksaan
papildema mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai
abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan
TIK berlangsung lama.
Saraf III, IV dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien
meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan.
Pada tahap lanjut meningitas yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda
perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan.
Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot
wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastosideus dan trapezius. Adanya
usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecap normal.

11
Pengkajian sistem motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan,
dan koordinasi pada meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.
Pengkajian refleks. Pemeriksaan reflesks profunda, pengertukan pada tendon,
ligamentum derajat refleks pada respon normal. Refleks patologis akan didapatkan
pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma.
Gerakan involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, tic dan distonia.
Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada
anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi.
Pengkajian sistem sensorik. Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya
didapatkan sensasi raba, nyeri, suhu yang normal, tidak ada perasaan abnormal
dipermukaan tubuh, sensasi propriosefsi dan diskriminatif normal.
Adanya ruam merupakan salah satu ciri mencolok pada meningitis
meningokokus. Sekitar setengah dari semua klien mengalami lesi-lesi pada kulit
diantaranya ruam petekie dengan lesi purpura sampai ekimosis pada daerah yang
luas. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali, tanda
tersebut diantaranya :
Kaku kuduk
Kaku kuduk merupakan tanda awal. Adanya upaya untuk fleksi kepala
mengalami kesulitan karena adanya spasme otot-otot leher. Fleksi paksaan
menyebabkan nyeri berat
Tanda kerning positif
Ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi ke arah abdomen,
kaki tidak dapat diekstensikan sempurna.
Tanda brudzinski
Tanda ini didapatkan jika leher klien difleksikan, terjadi fleksi lutut dan
pinggul. Jika dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu
sisi, gerakan yang sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume
pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)

12
Mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya
kejang.
6) B6 (Bone)
Adanya bengkak dan nyeri pada sensi-sendi besar. Petekia dan lesi purpura yang
didahului oleh ruam. Pada penyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang
besar pada wajah dan ekstremitas. Klien sering mengalami penurunan kekuatan
otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu ADL.
e. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik rutin pada klien meningitis, meliputi laboratorium klinik rutin
(HB, Leukosit, LED, Trombosit, Retikulosit dan dan Glukosa). Pemeriksaan faal
hemostasis diperlukan untuk mengetahui secara dini adanya DIC. Serum elektrolit
dan glukosa dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit
terutama hiponatremi.
Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisis cairan
otak. Lumbal pungsi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanana
intrakarnial. Analisis cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi
glukosa. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak.
Normalnya, kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada
pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
Untuk lebih spesifik mengetahui jenis mikroba, organisme penyebab infeksi
dapat diidentifikasi melalui kultur kuman pada cairan serebrospinal dan darah.
Counter Immuno Electrophoresis (CIE) digunakan secara luas untuk mendeteksi
antigen bakteri pada cairan tubuh, umumnya cairan serebrospinal dan urine.
Pemeriksaan lainnya diperlukan sesuai klinis klien, meliputi foto rontgen paru,
dan CT scan kepala. CT Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema serebal
atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang
sudah sangat parah.
f. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi. Secara ringkas
penatalaksanaan pengobatan meningitis, meliputi pemberian antibiotik yang mampu
melewati darah-barier otak ke dalam ruang subraknoid dalam konsentrasi yang cukup
untuk menghentikan perkembangbiakan bakteri. Biasanya menggunakan

13
sefaloposforin generasi keempat atau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotik agar
pemberian antimikroba lebih efektif digunakan.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Resiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intrkarnial,
penekanan jaringan otak, dan edema serebal
b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan inflamasi dan edema pada
otak meningen.
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang dengan akumulasi sekret, penurunan
kemampuan batuk, dan perubahan tingkat kesadaran .
d. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan perubahan tingkat kesadaran,
depresi pada pusat napas di otak.
e. Gangguan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan infeksi meningokokus.
f. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi pada meninges dan jaringan otak.
g. Hipertermia yang berhubungan dengan dengan inflamasi pada meninges, peningkatan
metabolisme umum.
h. Resiko tinggi defisit cairan yang berhubungan dengan muntah dan demam.
i. Resiko tinggi pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan
asupan nutrisi tidak adekuat, mual dan muntah.
j. Resiko tinggi trauma yang berhubungan dengan kejang berulang, fiksasi kurang
optimal.
k. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum
l. Resiko tinggi koping individu dan keluarga tidak efektif yang berhubungan prognosis
penyakit.
m. Ansietas yang berhubungan dengan parahaya kondisi.

3. Perencanaan

Resiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume


intrakarnial, penekanan jaringan otak, dan edema serebal
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK.
Kriteria: klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan
muntah, GCS: 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi

14
Kaji faktor penyebab dari Deteksi dini untuk memprioritaskan
situasi/keadaan individu/penyebeb intervensi, mengkaji status
koma/penurunan perfusi jaringan dan neurologis/tanda-tanda kegagalan untuk
kemungkinan penyebab menentukan perawatan kegawatan atau
peningkatanTIK. tindakan pembedahan.
Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam. Suatu keadaan normal jika sirkulasi
serebal terpelihara dengan baik atu
fluktuasi ditandai dengan tekanan darah
sistemik, penurunan dari outoregulator
kebanyakan merupakan tanda penurun
difusi lokal vaskularisasi darah serebal.
Dengan peningkatan tekanan darah
(diasolik) maka diikuti dengan
peningkatan tekanan darah intrakarnial.
Adanya peningkatan tekanan darah,
brakardia, distrimia, dispneu merupakan
tanda terjadinya peningkatan TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, Reaksi pupil dan pergerakan ulang dari
ketajaman, dan reaksi terhaap cahaya. bola mata merupakan tanda dari gangguan
jika batang otak terkoyak . reaksi pupil
diatur oleh saraf ketiga kranial
(okulomorik) yang menunjukan keutuhan
batang otak, ukuran pupil menunjukkan
keseimbangan antara prasimpatis dan
simpatis. Respons terhadap cahaya
merupakan kombinasi fungsi dari saraf
kedua dari ketiga kranial.
Monitor temperatur dan pengaturan Panas merupakan refleks dari
suhu lingkungan. hipotalamus. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan 02 akan menunjang
peningkatan TIK.
Pertahankan kepala/leher pada posisi Perubahan kepal pada satu sisi dapat
yang netral, usahakan dengan sedikit menimbulkan penekanan pada vena

15
bantal. Hindari penggunaan bantal jugularis dan menghambat aliran darah
yang tinggi pada kepala. otak (menghambat drainage pada vena
serebal), sehingga dapat meningkatkan
tekanan intakranial.
Berikan periode istirahat antara Tindakan yang terus-menerus dapat
tindakan perawat dan batasi lamanya meningkatkan TIK akibat efek rangsangan
prosedur. kumulatif
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan Memberikan suasana yang tenang dapat
rasa nyaman seperti masase punggung, mengurangi respons psikologis dan
lingkungan yang tenang, sentuhan yang memberikan istirahat untuk
ramah dan suasana/ pembicaraan yang mempertahankan TIK yang rendah.
tidak gaduh.
Bantu klien jika batuk, muntah. Aktivitas ini dapat meningkatkan
intratoraksdan tekanan intra-abdomen,
yang dapat meningkatkan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkah Tingkah nonverbal ini dapat merupakan
laku pada pagi nhari. indikasi peningkatan TIK atau
memberikan refleks nyeri, yaitu pasien
tidak mampu mengungkapkan keluhan
secara verbal, nyeri yang tidak menurun
dapat meningkatkan TIK.
Palpasi pembesaran/kandung kemih, Dapat meningkatkan respons automatik
pertahankan drainase urine secara yang potensial meningkatkan TIK.
paten digunakan dan juga monitor
terdapatnya konstipasi.
Berikan penjelasan kepada klien (jika Meningkatkan kerja sama dalam
sadar) dan keluarga tentang sebab- meningkatkan perawatan klien dan
akibat TIK meningkat. mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan Perubahan kesadaran menunjukan
GCS. peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi: Mengurangi hipoksemia, yang dapat

16
Pemberian O2 sesuai induksi; meningkatkan vasodilatasi serebal dan
volume darah sehingga meningkatkan
TIK.
Berikan cairan intravena sesuai dengan Pemberian cairan mungkin diinginkan
yang diindikasikan; untuk mengurangi edema serebal,
peningkatan minimum pada pembuluh
darah, tekanan darah dan TIK.
Berikan obat osmotik diuresis, Diuretik mungkin diinginkan pada fase
contohnya manitol, furoside; akut untuk mengalirkanair dari sel otak,
dan menurunkan edema serebal dan TIK.
Berikan steroid, contohnya Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan
deksametason, metil prednisolon; mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesik narkotik, contohnya Mungikn diindikasikan untuk mengurangi
codein; nyeri dan obat ini berefek negatif pada
TIK tetapi dapat digunakan dengan tujuan
untuk mencegah dan menurunkan sensasi
nyeri.
Berikan antipretik, contohnya Mengurangi/mengontrol hari dan pada
asetaminopen; metabolisme serebal/oksigen yang
diinginkan.
Monitor hasil laboratorium sesuai Membantu memberikan informasi tentang
dengan indikasi seperti protombin, efektivitas pemberian obat.
LED.

C. Asuhan Keperawatan Klien dengan Enfesilitas


Ensifilitas adalah infeksi yang mengenai sistem saraf pusat (SSP) yang disebabkan
oleh virus atau mikroorganisme lain yang nonpurulen. Penyebab tersering dari ensifilitas
adalah virus kemudian, herpes simpleks, arbovirus dan jarang disebabkan oleh enterovirus,
gondongan, dan adenovirus. Ensifilitas bisa juga terjadi pada pascainfeksi campak, influenza,
varisella, dan pascavaksinasi pertusis.
Patofisiologinya virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran napas dan saluran
cerna, setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan secara
likal: aliran virus terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ tertentu,

17
penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah, kemudian menyebar ke organ
dan berkembang biak di organ tersebut dan menyebar melalui saraf: virus berkembang biak
di permukaan selaput lendir dan menyebar melelui sistem persarafan.
Setelah terjadi penyebaran ke otak, timbul manifestasi klinis ensefalitis. Masa
prodormal berlangsung selama1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah,
nyeri tenggorok, malaise, nyeri ekstremitas, dan pucat. Suhu badan meningkatkan, fotobia,
sakit kepala, muntah letargi, kadang disertai kaku kuduk jika infeksi mengenai meningen.
(Gambar C.1).
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Biasanya kejang disertai penurunan tingkat kesadaran.
b. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian klien ensefalitis biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan
dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.
2) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami
campak, cacar air, herpes, dan bronkopneumonia.
c. Pengkajian psikosiospiritual
Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien
selama masa stres, meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah
kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
d. Pemeriksaan Fisik
Pada klien ensefalitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal
39-41C. keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dari selaput otak
yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi
berhubungan dengan tandatanda peningkatan TIK. Jika disertai peningkatan
frekuensi napas sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan
adanya infeksi pada sistem pernapasan sebelum mengalami ensefalitis.

18
Faktor-faktor predisposisi pernah
mengalami campak, cacar air, herpens dan
bronchopneumonia
Virus/bakteri masuk jaringan otak secara
lokal, hematogen dan melalui saraf-saraf

Peradangan di otak

Pembentukan Reaksi kuman Iritasi kortek Kerusakan saraf Kerusakan saraf


transudat dan patogen serebal area V IX
eksudat fokal

Edema Suhu tubuh Kejang. Kesulitan Sulit makan


mengunyah
serebal Nyeri kepala

1. Gangguan Defisit cairan 5. resiko tinggi 4. pemenuhan nutrisi kurang dari


perfusi dan trauma kebutuhan
Jaringan hipovolemik
serebal 6. resiko
kejang
berulang
3. resiko tinggi
defisit cairan 7. nyeri
dan
kesadaran 8. Gangguan mobilitas fisik

Penumpukan 9. Gangguan persepsi


sekret sensori

2. gangguan 10. koping individu tidak


bersihan jalan efektif
napas
11. kecemasan

Gambar C.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan ensefalitis

19
Tekanan darah biasanya normal atau meningkat karena tanda tanda peningkatan
TIK.
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas dan peningkatan frekuensi napas yang sering di dapatkan pada klien
ensefalitis yang disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi
biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Aukultasi bunyi napas seperti
ronkhi pada klien dengan ensefalitis karena akumulasi sekret dari penurunan
kesadaran.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik)
yang sering terjadi pada klien ensefalitis yang telah mengganggu autoregulasi dari
sistem kardiovaskular.
3) B3 (Brain)
Pengkajian tingkat kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran
klien ensefalitis biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.
Jika klien sudah mengalami koma, penilaian GCS sangat penting untuk menilai
tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan.
Pengkajian fungsi serebal. Status mental: observasi penampilan, tingkah
laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien
ensefalitis tahap lanjut biasanya status mrntal klien mengalami perubahan.
Pengkajian saraf kranial. Pemeriksaan saraf kranial. Pemeriksaan ini
meliputi pemeriksaan saraf I-XII.
Saraf I. Biasanya pada klien ensefalitis tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan
papiledema mungkin didapatkan terutama pada ensefalitis supuratif disertai
abses serebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan
TIK.
Saraf III, IV dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien ensefalitis
yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap
lanjut ensefalitis yang telah mengganggu kesdaran, tanda-tanda perubahan dari
fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui,

20
klien klien ensefalitis mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya.
Saraf V. Pada klien ensefalitis didapatkan paralisis pada otot sehingga
mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada otot strenokleidomastoideus dan trape zius. Adanya usaha
dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
faskulasi. Indra pengecapan normal.

Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol


keseimbangan dan koordinasi pada ensefalitis tahap lanjut mengalami
perubahan.

Pengkajian Refleks. Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada


tendon, ligamentrum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
Refleks patologis akan didapatkan pada klien ensefalitis dengan tingkat
kesadaran koma.

Gerakan Involunter. Tidak adanya tremor, tic, dan distonia. Pada


keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pad anak
dengan ensefalitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan
peningkatan TIK juga berhubungan dengan ensefalitis. Kejang terjadi
sekunder akibat area fokal kortikal peka.

Pengkajian Sistem Sensorik. Pemeriksaan sensorik pada ensefalitis


biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri, dan suhu yang normal, tidak ada
sensasi abnormal di permukaan tubuh, sensasi propriosefsi dan diskriminatif
normal. Inflamasi pasa selaput otak mengakibatkan sejumlah tanda yang
mudah dikenali pada ensefalitis. Tanda tersebut adalah kaku kuduk, yaitu
adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesulitan karena adanya spasme
otot-otot leher.

21
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kemih biasanya didapatkan penurunan volume urine
output, yang berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien ensefalitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas
klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebih banyak dibantu orang lain.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan perfusi jaringan serebal yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakarnial.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
kemempuan batuk menurun batuk menurun akibat penurunan kesadaran.
c. Resiko pemenuhan kebutuhan nutris: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
d. Resiko tinggi trauma yang berhubungan dengan adanya kejang, perubahan ststus
mental dan penurunan tingkat kesadaran.
e. Nyeri yang berhubungan dengan iritasi lapisan otak.
f. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan-kerusakan persepsi/
kognitif.
g. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang
sensori, transmisi sensori, dan integrasi sensori.
3. Perencanaan

Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi


sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan jalan napas kembali
efektif.
Kriteria: secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 kali/menit. Tidak
menggunakan otot bantu napas, retraksi ICS (-), ronkhi (-/-) mengi (-/-). Dapat

22
mendemostrasikan cara batuk efektif.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi Memantau dan mengatasi komplikasi
napas tambahan, perubahan irama potensial. Pengkajian fungsi pernapasan
dan kedalaman, penggunaan otot- dengan interval yang teratur adalah penting
otot aksesori, warna dan karena pernapasan yang tidak efektif dan
kekentalan sputum. adanya kegagalan, karena adanya kelemahan
atau paralisis pada otot-otot interkostal dan
diafragma yang berkembang dengan cepat.
Atur posisi fowler dan Peninggian kepala tempat tidur memudahkan
semifowler. pernapasan, meningkatkan ekspansi dada dan
meningkatkan batuk lebih efektif.
Ajarkan cara batuk efektif. Klien berada pada resiko tinggi jika tidak
batuk dengan efektif untuk membersihkan
jalan napas dan mengalami kesulitan dalam
menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi
saliva dan mencetuskan gagal napas akut.
Lakukan fisioterapi dada; vibrasi Terapi fisik dada membantu meningkatkan
dada. batuk lebih efektif
Penuhi hidrasi cairan via oral, Pemenuhan cairan dapat mengencerkan
seperti minum air putih, dan mukus yang kental dan dapat membantu
pertahankan asupan cairan 2.500 pemenuhan cairan yang banyak keluar dari
ml/hari. tubuh.
Lakukan pengisapan lendir jalan Pengisapan mungkin diperlukan untuk
napas. mempertahankan kepatenan jalan napas
menjadi bersih.

D. Asuhan Keperawatan Klien dengan Sindrom Guillain Barre


Sindrom Guillare-Barre merupakan sindrom klinis yang ditunjukan oleh onset atau
dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup
demielinasi dan degenerasi selaput mielin dari saraf perifer dan kranial (Sylvia A. Price Dan
Lorraine M. Wilson 1995)

23
Etiologinya tidak diketahui, tetapi respons alergi atau respons autoimun sangat
mungkin sekali. Pada beberapa keadaan dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi
imun dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis
menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang saraf
perifer. Mielin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti akson-aksonn saraf
dan berperan penting pada transmisi impuls saraf.
Akson bermielin impuls saraf lebih cepat dibanding akson tidak bermielin. Sepanjang
perjalanan serabut bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam
selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan
ekstraselular. Membran sangat permiabel pada nodus tersebur, sehingga konduksi menjadi
baik.

Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak pada nodus
Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus
ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput tidak mungkin
terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.

1. Pengkajian
Pengkajian terhadap komplikasi Sindrom Guillain-Barre meliputi pemantauan terus-
menerus terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan.
Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan EKG dan
mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan emboli paru-paru, yang
sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan berhubungan dengan
kelemahan otot, baik kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokal
seperti melemahnya otot pernapasan.
b. Riwayat Penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan
dengan proses demieliniasi. Keluhan tersebut di antaranya gejala-gejala
neurologis diawali dengan parestesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot
wajah. Kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh, dan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.

24
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat klien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul,
mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir
sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien yang terdapat pada klien
stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari fungsi kardiovaskular,yang
memungkinkan terjadinya gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang
dapat mengakibatkan disritmia atau perubahan drastis yang mengancam
kehidupan dalam tanda-tanda vital.

2) Riwayat penyakit dahulu


Pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah
saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya
(untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah komprehensifnya
pengkajian.
c. Pengkajian psikososiopiritual
d. Pemeriksaan fisik
Pada klien sindrom Guillain Barre biasanya didapatkan suhu tubuh normal.
Penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi napas berhubungan dengan
peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan serta
akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan. Tekanan darah didapatkan ortostatik
hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
1) B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan obat bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan karena
infeksi saluran pernapasan dan yang paling sering didapatkan pada klien
sindrom Guillain Barre adalah penurunan frekuensi pernapasan karena
melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi
pada klien dengan sindrom Guillain Barre berhubungan akumulasi sekret dari
infeksi saluran napas.

25
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular pada klien sindrom Guillain Barre
menunjukan bradikardia akibat penurunan perfusi perifer. Tekanan darah
didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) akibat
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.

26
Faktor-faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset, meliputi
adanya ISPA, infeksi gastrointesnital, dan tindakan bedah saraf

Selaput mielin hilang akibat dari respons alergi, respons


autoimun, hipoksemia, toksik kimia, dan insufisiensi vaskular

Proses dimielinasi

Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak


ada transmisi impuls saraf
Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial

Gangguan saraf perifer dan


Gangguan fungsi neuromuskular Disfungsi
saraf kranial: III, IV, otonom
V,VI, VII, IX danX Parestesia (kesemutan
kebas) dan kelemahan
Paralisis lengkap, otot
Paralisis pada okular, otot kaki, yang dapat pernapasan terkena, Kurang bereaksinya
wajah dan otot orofaring, berkembang ke sistem saraf simpatis
mengakibatkan
kesulitan berbicara, ekstremitas atas, batang dan parasimpatis,
insufisiensi pernapasan
mengunyah, dan menelan tubuh, dan otot wajah perubahan sensori

Gangguan frekuensi jantung


Gangguan Kelemahan fisik Resiko tinggi gagal
dan ritme, perubahan tekanan
pernapasan (ARDS)
pemenuhan nutrisi umum, paralisis penurunan kemampuan
darah(hipertensi transien,
hipotensi ortostatik), dan
dan cairan otot wajah batuk, peningkatan
gangguan vasomotor
sekresi mukus
4. resiko tinggi defisit Penurunan tonus 3. resiko tinggi
cairan tubuh otot seluruh tubuh,
penurunan
perubahan ekstetika
5. resiko tinggi
wajah
perfusi perifer

1. Ketidakefektifan 2. Ketidakefektifan Penurunan curah


6. gangguan pemenuhan bersihan jalan pola napas jantung ke ginjal
ADL napas

7. kerusakan mobilitas fisik Penurunan curah


Sekresi mukus Gagal fungsi
jantung ke ginjal
masuk lebih ke pernapasan

Resiko tinggi infeksi saluran napas Penurunan filtrasi


bawah dan parenkim paru
koma
glomerulus

pneumonia kematian
anuna
9. kecemasan Prognosis Gawat
Gagal ginjal
keluarga penyakit kardiovaskular
akut
kurang baik

Gambar D.1 Patofisiologi dan masalah keperawatan GBS

3) B3 (Brain)

27
Pengkajian Tingkat Kesadaran. Pada klien sindrom Guillain Barre
biasanya kesadaran klien komposmetis. Apabila klien mengalami penurunan
tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan.
Pengkajian Fungsi Serebal. Status mental: observasi penampilan,
tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.
Pada klien sindrom Guillain Barre tahap lanjut disertai penurunan tingkat
kesadaran biasanya ststus mental klien mengalami perubahan.
Pengkajian Saraf Kranial. Pengkajian saraf kranial meliputi
pengkajian saraf krania I-XII.
Saraf I. Biasanya pada klien sindrom Guillain Barre tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralisis okular.
Saraf V. Pada klien sindrom Guillain Barre didapatkan paralisis pada otot
wajah sehingga mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah,
dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapzeus.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.

Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol


keseimbangan dan koordinasi pada sindrom Guillain Barre tahap lanjut
mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum
sehingga mengganggu mobilitas fisik.

28
Pengkajian Refleks. Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada
tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
Gerakan Involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, tic dan distonia.

Pengkajian Sistem Sensorik. Parestesia (kesemutan kebas) dan


kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.

4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya
volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia
dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
6) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan
mobilitas klien secara umum.
e. Pemeriksaan Diagnostik
Lumbal fungsi dapat menunjukan kadar protein normal pada awalnya dengan
kenaikan pada minggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal. Pemeriksaan
konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pengujian
elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk lambatnya laju konduksi saraf.
f. Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dapat merawat klien dengan GBS adalah untuk memberikan
pemeliharaan fungsi sistem tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang
mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, serta memberikan
dukungan psikologis untuk klien dan keluarga.
Sindrom Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan klien
diatasi di unit perawatan intensif. Klien mengalami masalah pernapasan yang
memerlukan ventilator, kadang untuk periode yang lama. Plasmaferesis (perubahan

29
plasma) yang menyebebkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, yang
dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk
pada klien dan demielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk
kemungkinan adanya perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung
dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol
untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari
episode bradikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan melemahnya otot-otot pernapasan.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
kemampuan batuk menurun akibat penururnan kesadaran.
c. Resiko tinggi penururnan curah jantung yang berhubungan dengan perubahan
frekuensi jantung ritme dan irama bradikardia.
d. Resiko perubahan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
e. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuskular,
penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan persepsi/kognitif.
f. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang
sensori, transmisi sensori, dan integrasi sensori.
g. Ansietas yang berhubungan dengan kondisi sakit prognosis penyakit yang jelek.
3. Perencanaan

Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat
otot-otot pernapasan, dan ancaman gagal napas
Tujuan: dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.
Kriteria: secara subjektif sesak napas (-), frekuensi napas 16-20 kali/menit. Tidak
menggunakan obat bantu napas, gerakan dada normal.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi Menjadi bahan parameter monitoring
napas tambahan, perubahan irama serangan gagal napas dan menjadi data dasar
dan kedalaman, penggunaan otot- intervensi selanjutnya.
otot aksesori.

30
Evaluasi keluhan sesak napas, baik Tanda dan gejala meliputi adanya kesulitan
secara verbal dan nonverbal. bernapas saat bicara, pernapasan dangkal dan
iregular, menggunakan otot-otot aksesoris,
takikardia dan perubahan pola napas.
Beri ventilasi mekanik. Ventilasi menaik digunakan jika pengkajian
sesuai kapasitas vital, klien memperlihatkan
perkembangan ke arah kemunduran, yang
mengindikasi ke arah memburuknya
kekuatan otot-otot pernapasan.
Lakukan pemeriksaan kapasitas Kapasitas vital klien dipantau lebih serting
vital pernapasan. dan dengan interval yang teratur dalam
penambahan kecepatan pernapasan dan
kualitas pernapasan, sehiingga pernapasan
yang tidak efektif dapat diantisipasi.
Penurunan kapasitas vital karena kelemahan
otot-otot yang digunakan saat menelan,
sehingga hal ini menyebabkan kesulitan saat
batuk dan menelan, dan adanya indikasi
memburuknya fungsi pernapasan.
Kolaborasi: Membantu pemenuhan oksigen yang sangat
Pemberianhumidifikasi 3 diperlukan tubuh dengan kondisi laju
liter/menit. metabolisme sedang meningkat.

E.Asuhan Keperawatan Klien dengan Stroke


Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan kelainan fungsi otak
yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak.
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembangan cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih yaang menyebabkan kematin tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskular. Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabakan cacat berupa
kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir daya ingat, dan bentuk-bentuk
kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak.
Penyebab

31
1. Trombosit Serebral
Trombosit ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti di
sekitarnya. Trombosit biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun
tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan
darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis sering
kali memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan trombosis otak: Aterosklerosis,
Hiperkoagulasi pada polisitemia, Arteritis (radang pada arteri), dan emboli.
2. Hemoragi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang
subaraknoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena
aterosklerosis dan hipertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan
perembesan darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan,
pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan
membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infrak otak, edema. dan
mungkin herniasi otak.
3. Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah: hipertensi
yang parah, henti jantung-paru, dan curah jantung turun akibat aritmia.
4. Hipoksia Setempat
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah:
Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subaraknoid;
Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.

Beberapa faktor penyebab stroke antara lain:

1) Hipertensi, merupakan faktor risiko utama.


2) Penyakit kardiovaskular-embolisme serebral berasal dari jantung.
3) Kolesterol tinggi.
4) Obesitas,
5) Peningkatan hematokrit meningkatkan risiko infrak serebal.
6) Diabetes-terkait dengan aterogenesis terakselerasi.
7) Kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi).
8) Merokok.

32
9) Penyalahgunaan obat (khususnya kokain).
10) Konsumsi alkohol.

Klasifikasi

1. Stroke hemoragi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subaraknoid. Disebabkan
oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area otak tertentu. Biasanya kejadiannya
saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat.
Kesadaran klien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu:
a. Perdarahan Intraserebral. Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma)
terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan
otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan
edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat mengakibatkan
kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang
disebabkan karena hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus,
pons, dan serebelum.
b. Perdarahan Subaraknoid. Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma
berry atau AVM. Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah
sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak.
Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang subaraknoid menyebabkan TIK
meningkat mendadak, meregangnya stuktur peka nyeri, dan vasospasme
pembuluh darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (sakit kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemi sensorik,
afasia, dan lain-lain).

Pecahnya arteri keluarnya darah ke ruang subaraknoid mengakibatkan terjadinya


peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya stuktur peka nyeri, sehingga
timbul nyeri kepala hebat. Sering pula di jumpai kaku kuduk dan tanda-tanda
rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan TIK yang mendadak juga
mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran.
Perdarahan subaraknoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah
serebral. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (sakit kepala,
penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia,
dan lain-lain).

33
2. Stroke nonhemoragik
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah
lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun
terjadi iskema yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema
sekunder. Kesadaran umumnya baik.

Patofisologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya
infark bergantung pada factor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan
adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan
lokal (thrombus, emboli, perdarahan, dan spasme vascular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai factor penyebab
infark pada otak. Thrombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku
pada area yang stenosis, tempat aliran darah mengalami perlambatan atau terjadi turbulensi.

Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam
aliran darah. Thrombus mengakibatkan iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh
darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini
menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan
berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh karena thrombosis biasanya
tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh
embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi akan
meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa
infeksi berada pada pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika
aneurisma pecah dan rupture.

34

Anda mungkin juga menyukai