Perkembangan Perencanaan
Secara naluriah, maka kesadaran dan kebutuhan akan suatu perencanaan telah
dimulai sejak jaman-jaman terdahulu. Rangkaian perkembangan perencanaan
wilayah dan kota ternyata sangat erat kaitannya dengan perkembangan
peradaban, kebudayaan, dan kemampuan manusia hal ini juga termasuk
perkembangan iimu dan teknologi.
Proses dan produk dari proses perencanaan ini dalam setiap jaman
dimanifestasikan ke dalam struktur, bentuk dan penampilan fisik yang berbeda.
Perbedaan ini terjadi karena adanya cara pendekatan dan penyelesaian yang
dilandasi oleh faktor peradaban dan tekno logi serta tingkat kompleksitas
permasalahan yang terjadi pada kurun jaman tertentu.
Bertitik tolak dan batasan-batasan jaman yang lazim dipakal sebagai patokan
masa di dalam ilmu sejarah maka perencanaan wilayah dan kota yang diusahakan
oleh manusia di dalam usaha memenuhi kebutuhan kehidupannya juga dapat
dtkaftkan dengan masa- masa tersebut. Masa-masa ini menurut batasan sejarah
dapat dikelompokkan menjadi 6 jaman, yaitu jaman Purba; jaman Yunani; jaman
Abad Pertengahan; jaman Peralihan; jaman Revolusi Industri dan jaman Pasca
Industri.
Sebelum perang, kota kota di Indonesia, khususnya kota kota yang dikategorikan
sebagai kota besar seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Bandung,
Ujungpandang (Makassar) telah mengaiami perkembangan dan pertumbuhan
yang pesatTetapi sejak awal awal dekade 50-an perkembangan penduduk
khususnya telah memperlihalkan kadar yang lebih tajam. Berdasaxkan tinjauan
statistik, Indonesia pernah melampau angka taksiran mengenai penduduk di
daerah perkotaan yang dibuat tahun 1950. Jadi pada tahun 1950 Ku penduduk
daerah perkotaan Indonesia yang diproyeksikan akan mencapai 9,1 % pada tahun
1960, kenyataannya berdasar kan sensus penduduk yang dilakukan tahun 1961,
dengan memakai kriteria yang sama menunjukkan angka 15.6%. Berdasarkan
sensus 1971 dengan memakai kriteria yang lebih Unggi make penduduk
perkotaan mencapai angka 17,2% ; tahun 1980 sebesar 22,3% dan padatahun
1983 mencapai sekitar 23,7%. Pada akhir Repelita IV cfiperkirakan angka tersebut
akan mencapai 28%. Dari pertumbuhannya, dalam kurun dekade 1950-1960
besarnya rata rata 3% per tahun ; antara 1961-1971 sebesar 3,6% per tahun dan
antara 1971-1981 per tahunnya rata rata 5%. Dibandingkan dsngan negara
negara yang sedang berkembang lainnya memang secara agregat'rf tingkat
urbanisasi.di Indonesia ini relatif masih rendah. Ini bisa difihat
daribeberapaanalisastatistik yang menunjukkan bahwa negara negara Amerika
Latin dalam kurun waktu 20 tahun antara 1950-1970 .mengaiami peningkatan
ssbesar 17%, Malaysia bagian Barat dalam 20 tahun tersebut mengaiami
peningkatan sebesar 22% ; sedangkan beberapa negara di Afrika Barat antara
tahun 1960-1970 mengaiami kenaikan sebesar 11,2%. Indonesia antara tahun
1961 sampai 1971 hanya megalami peningkatan dari kira kira 15% meniadi 17.2%
saja.
Pelonjakan ini pada kenyataannya hanya terjadi pada beberapa kota besarnya
saja (Suroso Zadjuli.1976), sehingga secara spesifik untuk beberapa kota,
khususnya di Jawa dan Sumatera keadaannya sudah memerlukan perhatian yang
cukup serius. Pertambahan penduduk Ini secara statistik menunjukan adanya
indikasi sebagai akibat meningkatnya pertambahan yang disebabkan oleh
perpindahan penduduk dari desa ke kota. Beberapa faktor dikemukakan bahwa
perpindahan in! terutama disebabkan oleh faktor ekonomi , yaitu berkembangnya
kesempatan kerja di kota berhubung pembangunan yang berlangsung di kota
kota; faktor politik terutama karena kurang amannya situasi di daerah pedesaan
pada waktu itu yang menyebabkan berkurangnya produksi pertanian; faktor daya
tank kota yang memberikan kemudahan yang lebih besar ketimbang di daerah
pedesaan; faktor psikologis yang berkaitan dengan suasana merdeka dimana
masyarakat dari pedesaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk
menikmati kota dibandingkan jaman sebelumnya.
Dengan berbagai keterbatasan yang ada dari segi sumber daya, kemampuan
sarana yang ada, ketersediaan lahan dan dari segi segi perangkat lunaknya
seperti aspek manajemen, perangkat peraturan dan pelaksanaan koordinasi.
keadaan ini kemudian menjadi permasalahan kota yang cukup pelik untuk
dipecahkan. Masalah ini akan berakibat kepada perubahan dan perkernbangan
yang bersifat fisik seperti perubahan penggunaan Iahan, kepadatan penduduk
yang semakin tinggi, masalah lalu lintas di dalam kota serta tidak sesuainya
ketersediaan fasilitas dan utilitas kota dengan penduduk kota. Dari segi non fisik
masalah yang timbul antara lain semakin melemahnya pelaksanaan keteraturan
dan ketertiban hukum, dampak sosial budaya dan sosial psikologis bagi
masyarakal kota seperti kriminalitas, vandalisme, dan degradasi sosial lainnya.
Segi non fisik lainnya yang sangat penting adalah masalah sosial ekonomi
perkotaan Indonesia yang tipikal seperti adanya kegiatan perekonomian kota
sektor formal dan informal.
Suatu hal yang cukup penting dan sering menimbulkan masalah di dalarn
penanganan kota kota ini juga adanya keragaman pengertian tentang kota. Di
negara kita masalah ini lebih terasa lag! mengingat bahwa penampHan baik
secara fungsional maupun secara fisik kota kota kita ini yang sangat tipikal.
Namun demikian secara umum dapat dipegang suatu batasan mengenai kota ini
dari berbagai macam segi tinjauan yaitu bahwa kota:
1. Secara demografis merupakan pemusatan penduduk yang tinggi dengan
tingkat kepadatan yang tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitamya. Dari
segi statistis ketentuan kota ini beragam di berbagai negara-Demikian pula di
Indonesia selalu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan s'rtuasi dan
kondisi pada saat suatu sensus dilakukan.
2. Secara sosiologis selalu dikaitkan dengan batasan adanya sifat heterogen dari
penduduknya serta budaya urban yang telah mengurangi budaya desa
3. Secara ekonomis suatu kota dicirikan dengan proporsi lapangan kerja yang
dominan di sektor non pertanian seperti industri, pelayanandan jasa.
transportasi dan perdagangan.
4. Secara fisik suatu kota dicirikan dengan adanya dominasi wilayah terbangun
dan struktur fisik binaan
5. Secara geografis kota dtartikan dengan suatu pusat kegiatan yang dikaitkan
dengan suatu lokasi strategis
6. Secara administratif pemerintahan suatu kota dapat diartikan sebagai suatu
wilayah wewenang yang dibatasi oleh suatu wilayah yuridiksi yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
Jadi di dalam menghadapi dan menangani permasalahan kota kota maka lingkup
wawasan kota parlu dilandasi oleh berbagai batasan pengertian tersebut,
sehingga penanganan tersebut tidaklah hanya terbatas kepada satu dasar
pengertian saja, "
Yang terakhir ini dilandasi oleh Indische Staatsregeling yang diundangkan pada
tahun 1922.
Sejak itulah kota kota kabupaten dan kotapraja kotapraja harus dibangun
berdasarkan rencana kota. Sebagai contoh misalnya di Batavia (Jakarta) yang
dikenal sebagai Bataviasche Planverordening 1941 dan Bataviasche
Bestemmingsbekringen en Bouwtijpenverordening 1941 (KTV1941).
Beberapa usaha nyata yang dapat dianggap sebagai tonggak di dalam rea'isasi
perencanaan tata ruang kola dapat dikemukakan seperti:
1. Pembangunan beberapa kota kolonial modern, khususnya yang
dikembangkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan pusat pemerintahan
atau kota kota administrator perkebunan. Tokoh Ir.Thomas Karsten sslalu
dipaka sebagai perencana kota kota di Hindia Belanda.
2. Pelaksanaan program perbaikan kampung yang dikenal sebagai Kampung
Verbeeterings kira kira mulai tahun 1934 yang dilandasi oleh suatu hasil
penelitian tentang rendahnya kondisi dan kualitas kehidupan di kawasan
kawasan kampung kota.
Penelitian Van Gorkom di kampung kampung kota Semarang yaitu tentang
tingkat kematian bay! di kawasan kumuh rupanya menjadi awal pertimbangan
dari esensinya suatu usaha Kampong Verbeeterings ini.
3. Menjelang keruntuhan pemerintah kolonial telah muncul gagasan gagasan
tentang pembangunan kota kota baru, baik kota baru satelit seperti Wilayah
Candi di Semarang atau Kebayoran Baru di Jakarta (yang baru direalisir psda
tahun 1949 -1950) ; kota kota baru mandiri seperti Palangkaraya di
Kafimantan Tengah dan Banjar Baru di Kalimantan Selatan.
Pada tahun 1980 dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No.4/1980
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, maka perencanaan kota yang
dilaksanakan harus berdasarkan kepada Permendagri tersebut, termasuk
penyesuaian rencana rencana kota yang dibuat sebelum keluarnya peraturan
menteri tersebut.
Pada tahun 1985 telah diterbitkan suatu Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pekerjaan Umum yaitu SKB Nomor : 650-1591; Nomor
503/KPTS/1985 tentang Tugas Tugas dan Tanggung Jawab perencanaan Kota
yang kemudian disusul dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum
No.640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota serta Peraturan
Menteri Dalam negeri No.2 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Kota. Dengan keluarnya keputusan keputusan dan peraturan tersebut maka
perencanaan kota harus berdasarkan kepada hal tersebut.
Sampai saat ini hampir semua kotamadya di Indonesia sudah memiliki Rencana
Induk Kota (RIK) atau Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK)-nya yang
disusun sejak tahun 1980. Bahkan beberapa kota telah menjabarkan kedalam
rencana kota yang lebih rinci yaitu menjadi Rencana Bagian Wiiayah Kota (RBWK)
yang kemudian menjadi Rencana Detail tata Ruang Kota (RDTRK) atau yang lebih
rind lagiya'rtu Rencana Terperinci Kota (RTK) yang sekarang menjadi Rencana
Teknik Ruang Kota (RTRK).
Bagi kota kota yang telah menyusun rencana kotanya berdasarkan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 1980 pada umumnya secara otomatis
menyetarakan jenis jenis rencana kotanya dengan ketentuan ketentuan yang ada
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1987 atau SK Menteri PU
N0.640/KPTS/1986 ya'rtu RIK disetarakan dengan RUTRK; RBWK disetarakan
dengan RDTRK dan RTK disetarakan dengan RTRK.
Hal yang menarik untuk dikaji dalam hubungan ini adalah DKI Jakarta dl mana
sekalipun perencanaan kotanya mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.4 tahun 1980 dan kemudian pada saat diadakan Evaluasi atas
RBWK-nya tejah merujuk kepada Peraturan Menteri Dalam negeri No.2 Tahun
1987, peristilahan yang dipakai dalam jenis jenis rencana kotanya yang ditetapkan
di daiam Peraturan Daerah DKI Jakarta No.5 Tahun 1984 tentang Rencana Umum
Tata Ruang DKI Jakarta 2005 meliputi RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI
Jakarta untuk rencana kota menyeluruh ; RBWK (Rencana bagian Wiiayah Kota)
untuk rencana bagian wilayah kota yang dalam hal ini mencakup suatu wflayah
Kecamatan ; RTK (Rencana Terperinci Kota) untuk rencana detail dan RUK
(Rencana Unsur Kota) untuk rincian unsur unsur perencanaan detafl kawasan
kota.
Dengan perangkat rencana rencana yang akan menjadi alat pedoman di dalam
mengarahkan pembangunan kota tersebut diharapkan pengembangan kota dapat
selaras dan sesuai dengan pola kebijaksanaan dan konsepsi dasar
pengembangan kota Indonesia sebagaimana diuraikan diatas.
Masalah lain yang masih sering terjadi adalah jug a kurang jelasnya basi daerah
Tngkat II, yaitu pihak yang mempunyai kewenangan untuk menyusun rencana
kota dan melaksanakan pembangunan kota mengenai pedoman dan petunjuk
teknis perencanaan kota yang mana yang harus dipakai sebagai prosedur baku.
Dengan adanya masalah ini tidakjarang bahwa pembangunan kota berjalan terus
tanpa adanya kepastian pengarahan rencana kota yang dapat dipegang secara
konsisten dan konsekwen.
Jadi secara garis besar hal hal yang menjadi faktor utama dari timbuInya masalah
ini adalah sbagai berikut ini:
1. Bahwa karena dinamika masyarakat yang menyebabkan peruboian yang
cepat di dalam sistem nilai dan kebutuhan masyarakat sering proses
penyusunan rencana terdahului oleh perkembangan yang terjadi di dalam
masyarakat Hal ini dapat menyebabkan tidak sesuainya rencana dengan
keadaan nyata manakala suatu rencana selesai disusun. Hal ini akan
menuntut adanya keluwesan (flexibility) dari rencana kota tersebut.
Dalam hubungan ini makatelah ada inisiatif untuk mengembangkanpolapokir
baru di dalam perencanaan kota yaitu suatu pola pikir Tata Ruang Kota
Dinamis atau Perencanaan Tata Ruang Kota yang Tanggap Terhsdap
Dinamika Pembangunan Kota.
2. Suatu rencana kota yang menyeluruh dan terpadu hanya dapat dfaeijang oleh
keadaan dimana terdapat kemantapan sistem koordinasi. Pada kenyataannya
justru koordinasi inilah hal yang paling rawan di dafem sistem yang ada di
negara yang sedang berkembang umumnya dan di Indonesia khususnya.
Bahkan di beberapa negara majupun koordinas ini masih dianggap sebagai
salah satu masalah yang pelik.
3. Kelanggengan suatu rencana kola dalam arti konsekwen dan konsistennya
pembangunan kota dengan rencana kota sangat ditentukan juga oleh
kekonsekwenan dan kekonsistenan pengelola kota dan masyarakat daJam
memegang arahan pembangunan yang ditetapkan. Keadan sosial budaya,
sosial ekonomi, faktor eksternal seperti penanaman modal (investasi) dan
politik masih sangat besar terhadap keefektifan rencana kota.
Dalam hubungan ini maka upaya untuk memasyarakatkan rencana kota bak
kepada unsur unsur pengelola kota.kepada sektor swasta .khususnya yang
bergerak dalam bidang bidang yang berkaitan dengan pembangunan kota
seperti para pembangun perumahan, industri .transportasi dan perdagangan
serta masyarakat ramai merupakan salah hal yang sangat esensial.
4. Faktor faktor teknis yang juga dapat menjadi salah satu penyebab dari
masalah kekurang efektifan rencana kota ini adalah karena masalah sistem
informasi yaitu bahwa kualitas dan kuantitas data penunjang yang relatif masih
lemah di Indonesia ; kurang lancarnya masukan dari bawah (dari masyarakat)
;kurang tanggapnya perencana kota terhadap masalah masalah yang sifatnya
non fisik dan permasalahan yang aktual yang menyangkut perkembangan
masyarakat, kelembagaan dan peraturan perundangan ; masih kurangnya
tenaga perencana kota terlatih terutama di daerah daerah yang jauh dari
pusat. Untuk ini maka hal yang sangat esensial untuk diupayakan adalah
peningkatan Sistem Informasi Perkotaan (Urban Information System),
peningkatan memasyarakatkan rencana kota dengan cara yang mudah
dimengerti oleh berbagai kalangan dan meningkatkan program latihan dan
pendidikan tenaga menengah disamping tenaga universiter untuk dapat
menjabarkan secara teknis rencana kota tersebut; masih banyaknya
perencanaan kota yang semata mata mendasarkan kepada pendekatan
perencanaan dan metoda perencanaan kota yang kurang menyesuaikan
dengan pola nilai tipikal seperti tata nilai, keadaan ekonomi masyarakat serta
berbagai kondisi perkotaan kita sebagai warisan dari kota kota yang
dikembangkan pada jaman kolonial yang berlaku di Indonesia sebagai negara
yang sedang berkembang.
STUDI KASUS KEGIATAN PERENCANAAN
WILAYAH DARI KONTEKS ASIA
1. INTRODUKSI
Di dalam bab yang baru saja kita bahas, kita telah dihadapkan secara luas
pada berbagai jenis wilayah yang diperuntukkan bagi perkembangan ilmu
perencanaan, dan dihadapkan pula pada berbagai prosedur perencanaan
wilayah atas dasar buku teks seperti yang disunting oleh Van Staveren dan
Van Duselldorp (1980). Oleh karena perencanaan pembangunan wilayah
merupakan suatu bidang/disiplin yang sangat dinamis, maka pembahasan
seperti yang telah kita laksanakan, tidak dimaksudkan agar menjadi
berlarut-larut. Akhir-akhir ini, pembahasan mengenai masalah-masalah
perencanaan wilayah benar-benar banyak sekali, baik masalah-masalah
yang timbul di pihak donor mau pun di pihak pemerintah dan lingkungan
akademis di negara-negara sedang berkembang. Dan yang paling banyak
diserang di dalam pembahasan tersebut adalah perencanaan wilayah yang
bersifat "blue-print" dan pendekatan klasik (classical approach) yang
sifatnya agak mendalam. Argumen yang sering diutarakan biasanya lebih
berhubungan dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak kegiatan
yang dilakukan tidak mendudukan massa rakyat banyak pada posisi yang
lebih baik, dan sernentara itu diperdebatkan pula bahwa posisi penduduk
miskin justeru dilemahkan dengan adanya program-program dan
kegiatan-kegiatan,keluhan lain yang sering ditemukan adalah adanya
kenyataan bahwa banyak kegiatan yang dilakukan sebenar-nya tidak
menghasilkan perubahan sama sekali. Dengan kata lain setelah
dihentikannya kegiatan-kegiatan tersebut, semua institusi wilayah dan
organisasi wilayah seringkali kembali lagi kepada bentuk yang lama
seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang bersifat substantial. Hal ini
seringkali membuat banyak ahli perencanaan yang terlibat di dalamnya
menjadi frustrasi.
Dengan latar belakang demikian itu, kiranya perlu dipertimbangkan
pendekatan-pendekatan baru dan tentunya bersifat eksperimental di dalam
menyelesaikan masalah-masalah perencanaan wilayah.
Dalam kasus kita yang pertama (yang mengkonsentrasikan kita pada ke-
giatan-kegiatan yang dilaksanakan di sebuah kabupaten di Sri Langka), kita
telah berusaha mengkaji suatu pendekatan eksperiraental baru ter-hadap
masalah-masalah wilayah dalam hubungannya dengan masalah nasio-nal
yang lebih luas (yaitu: lingkungan perencanaan). Akan tetapi sebe-lum
kita kembali pada kasus tersebut, kiranya perlu kita sejenak siemba-has
dan menyimpulkan secara ringkas: pemikiran-pemikiran yang mendasari
pendekatan-pendekatan yang digunakan; prasyarat-prasyarat yang harus
dipenuhi di dalam tahap implementasi; dan berbagai sarana & prasarana
yang tersedia.
Apakah alat-alatnya?
Analisis kemiskinan
Perencanaan yang diarahkan pada pengurangan kemiskinan secara
langsung tidak dapat berjalan tanpa pengertian yang seksama tentang
seluruh alasan di belakang kemiskinan regional/wilayah, baik alasan
struktural mau pun non-struktural dan baik alasan ekonomi mau pun
alasan sosial-politik. Oleh karena itu, analisis kemiskinan merupakan
sebuah alat yang penting dari pendekatan proses. Hal ini menyangkut
semacam "base-line survey" tentang ketidak-leluasaan pembangunan
yang berkenaan dengan si miskin. Mengapa si miskin betul-betul miskin
pada keadaan tertentu suatu wilayah? Mengapa mereka tetap miskin.
Kekuatan-kekuatan apa yang menjadi penyebabnya? Bagaimana
caranya agar mereka tetap hidup? Analisis ini sebaiknya mengandung
sebuah kerangka ide yang luas tentang bagaimana caranya menemukan
ketidak-leluasaan itu. Pandangan terhadap masalah-masalah dan
pemecahan yang memungkinkan dalam jangka panjang daiam mana
aktivitas-aktivitas jangka pendek dapat dilakukan.
Sistern perencanaan
Informasi dari bawah sebaiknya dikumpulkan secara sistematis. Dan lagi,
suatu sistem hendaknya dipolakan untuk partisipasi dari bawah di dalam
memenuhi penilaian dan untuk identifikasi kegiatan yang akan
dilaksanakan. Sistem perencanaan ini sebaiknya disusun selama
periode implementasi. Oleh karena itu, sebuah proyek perencanaan
wilayah yang bekerja menurut pendekatan proses memerlukan fase
permulaan yang lama. Selama periode permulaan ini, aktivitas
permulaan yang sederhana harus menunjukkan tujuan kepada penduduk
dan memberikan garis-garis besar tindakan selanjutnya.
CASE STUDY 1
SRI LANKA'S NUWARA ELIYA INTEGRATED RURAL DEVELOPMENT
PROJECT
Below you will find a text which describes and analyses IRDP activities in a
district in Sri Lanka. It has been written by J. Sterkenburg, one of the projects
consultants.
Carefully study the chapters 1 - 6 and make the assignments as included
behind each of the chapters.
The assignmentswill provide the framework for further discussion and
analysis of activities
Contents:
I. INTRODUCTION
I.1. General Characteristics of Sri Lanka
I.2. Present-day. General Development Policy p.114
II. EVOLUTION AND CHARACTERISTICS OF SRI LANKA'S p.117
REGIONAL DEVELOPMENT POLICY
III. ORGANISATIONAL ASPECTS OF THE PLANNING p.121
MACHINERY
IV. MAIN CHARACTERISTICS OF THE PROJECT AREA p.125
V. MAIN DEVELOPMENT PROBLEMS NUWARA ELIYA p.129
DISTRICT
VI. CHARACTERISTICS OF THE PLANNING. APPROACH p.133
VI. RESULTS OF IRDP ACTIVITIES IN NUWARA ELIYA p.143
CASE STUDY 2
Our second case study deals with Regional Planning Activities in Indonesia.
Contents:
I. EVOLUTION AND CHARACTERISTICS OF REGIONAL
PLANNING AT THE NATIONAL LEVEL AND SOME
ORGANIZATIONAL ASPECTS OF THE
PLANNING'MACHINERY OF INDONESIA p.154
II. EXAMPLE: 1
Analysis of a Regional Planning Project: IDAP/Aceh p.158
II. 1. Introduction
II. 2. Regional Characteristics
II. 3. Characteristics of Planning Activities
II. 4. Concluding Remarks Annex
III. EXAMPLE: 2
Introduction of a Framework for Strategical Development
into Indonesian Planning Procedures -
Experiences from Riau, 1979 - 1981. p.177
IV. EXAMPLE: 3
Experiences in Planning and Implementing a Convergent
Delivery of Social Services, p.196
by: E.A. Astillero (1984)