Anda di halaman 1dari 14

Latar Belakang

Akhir-akhir ini Kota Ramah Anak (KRA) atau Desa Ramah (DRA) Anak menjadi
bahasan yang marak di perbincangkan. Pada forum-forum lokal, nasional maupun
internasional, Pembahasan tentang Kota layak anak selalu menjadi topik yang hangat dan
menarik. Sesungguhnya apa dan bagaimana Kota/ Desa Ramah Anak itu.

Gagasan Kota Ramah Anak (KRA) diawali dengan penelitian mengenai Childrens
Perception of the Environment oleh Kevin Lynch (arsitek dari Massachusetts Institute of
Technology) di 4 kota Melbourne, Warsawa, Salta, dan Mexico City tahun 1971-1975.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah yang
mempunyai komuniti yang kuat secara fisik dan sosial; komuniti yang mempunyai aturan
yang jelas dan tegas; yang memberi kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang
memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia
mereka. Penelitian tersebut dilakukan dalam rangka program Growing Up In Cities (GUIC)
tumbuh kembang di perkotaan yang disponsori oleh UNESCO. Salah satu tujuan GUIC
adalah mendokumentasikan persepsi dan prioritas anak, sebagai basis program peran serta,
bagi perbaikan kota. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan oleh UNESCO dan MIT Press
dengan judul Growing Up In Cities 1977.

Pada perkembangan selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi


Konvensi Hak Anak pada tahun 1989, dengan memasukan salah satu ketentuan mengenai
hak anak untuk mengekspresikan pendapatnya. Ini artinya anak mempunyai suara, di
samping prinsip lain seperti non-diskriminasi; kepentingan terbaik untuk anak; dan hak untuk
hidup dan mengembangkan diri.

Pada KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992, para kepala pemerintahan dari seluruh dunia
menyepakati prinsip-prinsip Agenda 21 yaitu Program Aksi untuk Pembangunan
Berkelanjutan. Bab 25 Agenda 21 menyatakan bahwa, anak dan remaja sebagai salah satu
Major Group Kelompok Utama yang dilibatkan untuk melindungi lingkungan dan
kegiatan masyarakat yang sesuai dan berkelanjutan. Bab 28 Agenda 21 juga menjadi rujukan
bahwa, remaja berperan serta dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi yang paling
mendesak adalah agar pemerintah kota melibatkan warga dalam proses konsultasi untuk
mencapai konsensus pada Agenda 21 Lokal, dan mendorong pemerintah kota menjamin
bahwa anak, remaja, dan perempuan terlibat dalam proses pembuatan keputusan,
perencanaan, dan pelaksanaan.

Setelah 25 tahun, hasil penelitian Kevin Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan
penelitian serupa oleh Dr Louise Chawla dari the Children and Environment Program of the
Norwegian Centre for Child Research - Trondheim, Norwegia tahun 1994-1995. Penelitian
yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch International, dilakukan di Buenos Aires
dan Salta, Argentina; Melbourne, Australia; Northampton, Inggris; Bangalore, India;
Trondheim, Norwegia; Warsawa, Polandia; Johannesburg, Afrika Selatan; dan Oaklands,
California, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menjadi indikator bagi UNICEF dalam
mengawasi pemenuhan hak anak di kota sebagai bagian dari Child Friendly City Initiative
untuk pemerintah kota.

Pada Konferensi Habitat II atau City Summit, di Istanbul, Turki tahun 1996,
perwakilan pemerintah dari seluruh dunia bertemu dan menandatangani Agenda Habitat,
yakni sebuah Program Aksi untuk Membuat Permukiman lebih nyaman untuk ditempati dan
berkelanjutan. Paragraf 13 dari pembukaan Agenda Habitat, secara khusus menegaskan
bahwa anak dan remaja harus mempunyai tempat tinggal yang layak; terlibat dalam proses
mengambilan keputusan, baik di kota maupun di komuniti; terpenuhi kebutuhan dan peran
anak dalam bermain di komunitinya. Melalui City Summit itu, UNICEF dan UNHABITAT
memperkenalkan Child Friendly City Initiative, terutama menyentuh anak kota, khususnya
yang miskin dan yang terpinggirkan dari pelayanan dasar dan perlindungan untuk menjamin
hak dasar mereka.

Pada UN Special Session on Children, Mei 2002, para walikota menegaskan


komitmen mereka untuk aktif menyuarakan hak anak, pada pertemuan tersebut mereka juga
merekomendasikan kepada walikota seluruh dunia untuk:
1. Mengembangkan rencana aksi untuk kota mereka menjadi Kota Ramah dan
melindungi hak anak,
2. Mempromosikan peran serta anak sebagai aktor perubah dalam proses pembuatan
keputusan di kota mereka terutama dalam proses pelaksanaan dan evaluasi
kebijakan pemerintah kota.
Upaya UNICEF dan UNHABITAT ini terus menerus dipromosikan ke seluruh dunia
dengan upaya meningkatkan kemampuan penguasa lokal (UN Special Session on Children,
2002).

Pada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan


tahun 2002, para pemimpin negara dari seluruh dunia antara lain menyepakati untuk
mewujudkan perbaikan yang signifikan pada kehidupan bagi sedikitnya 100 juta masyarakat
penghuni kawasan kumuh, seperti yang diusulkan dalam prakarsa Kota tanpa Permukiman
Kumuh (Cities without Slums) pada tahun 2020. Hal ini mencakup tindakan pada semua
tingkatan untuk:
1. Meningkatkan akses pada tanah dan properti, permukiman yang memadai dengan
pelayanan dasar bagi masyarakat miskin di perkotaan dengan perhatian khusus
pada kepala rumah tangga perempuan.
2. Mendukung otoritas lokal dalam menjabarkan program perbaikan daerah kumuh
dalam kerangka rencana pengembangan perkotaan dan mempermudah akses,
khususnya bagi masyarakat miskin, pada informasi mengenai peraturan tentang
perumahan.

Indikator Kota/ Desa Ramah Anak


Menurut UNICEF Innocenti Reseach Centre Kota ramah anak adalah kota yang
menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Sebagai warga kota, berarti anak mempunyai
hak untuk :
1. Keputusannya mempengaruhi kotanya;
2. Mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan;
3. Dapat berperan serta dalam kehidupan keluarga, komuniti, dan sosial;
4. Menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;
5. Mendapatkan air minum segar dan mempunyai akses terhadap sanitasi yang baik;
6. Terlindungi dari eksploitasi, kekejaman, dan perlakuan salah;
7. Aman berjalan di jalan;
8. Bertemu dan bermain dengan temannya;
9. Mempunyai ruang hijau untuk tanaman dan hewan;
10. Hidup di lingkungan yang bebas polusi;
11. Berperan serta dalam kegiatan budaya dan sosial; dan
12. Setiap warga secara seimbang dapat mengakses setiap pelayanan, tanpa
memperhatikan suku bangsa, agama, kekayaan, gender, dan kecacatan.

Dari beberapa poin diatas dapat diambil beberapa indikator yang dapat digunakan
untuk menilai apakah sebuah kota adalah kota ramah anak atau bukan.

Indikator pertama
Adalah adanya partisipasi anak dalam pengambilan keputusan yang dapat
mempengaruhi masa depan diri, keluarga dan lingkungannya. Termasuk kebebasan
dan partisipasi anak dalam bidang sosial dan budaya.
Indikator kedua
Adalah kemudahan untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, Kesehatan dan
pelayanan lain untuk kebutuhan tumbuh kembangnya.
Indikator ketiga
Adalah adanya ruang hijau terbuka dimana anak dapat berkumpul, bermain dan
berekreasi dengan teman-temannya dengan aman dan nyaman
Indikator ke empat
Adalah adanya peraturan yang melindungi anak dari segala bentuk kekerasan,
ekploitasi dan kesalahan-kesalahan lain
Indikator ke lima
Adalah tidak adanya diskriminasi disegala bidang terkait dengan suku, ras, agama dan
golongan

C. Beberapa Kota/ Desa Ramah Anak di Dunia

Philippines
Philippines memperkenalkan Program Kota Ramah Anak di 20 provinsi dan 5 kota
Pasay City, Manila, Quezon City, Cebu City, dan Davao City tahun 1999. Program ini
diawali dengan penelitian mengenai anak-anak kota yang menderita di 4 kota, 1990-1992.
Program tersebut dipercepat dengan inisiatif Walikota Pembela Anak (Mayors as Defender
of Children), 1992 dan Liga Kota mengeluarkan Philippines Declaration of Commitment to
Children, 1993.
Program Kota Ramah Anak memperoleh sambutan yang hangat, karena sebelumnya
warga kota telah memperoleh pengetahuan mengenai program Pelayanan Dasar Kota.
Program tersebut telah memperkuat organisasi dan peran serta komuniti, perencanaan dan
program yang multi agen dan multi sektor dalam pengembangan kota-kota miskin. Advokasi
dan kemampuan organisasi juga meningkat. Modal ini kemudian dimanfaatkan oleh UNICEF
untuk mentransformasikan Konvensi Hak Anak dari kerangka kerja yang legal ke dalam
sebuah rumusan yang baik berupa Child Friendly Movement secara nasional, meliputi
keluarga, komuniti, pemerintah daerah dan pusat, dan sektor swasta. Gerakan ini bertujuan
untuk menentukan dan mengawasi komuniti, sekolah, fasilitas kesehatan, tempat kerja,
komuniti agama, kota, dan provinsi yang ramah anak. Gerakan ini menghubungkan tiga
komponen, yakni:
1. Komunikasi;
2. Kebijakan daerah dan institusi pembangunan; dan
3. Pendukung program strategi di bidang kesehatan, gizi, pendidikan, perlindungan
anak, dan gender.

Program Kota Ramah di kota-kota Philippines secara khusus bertujuan untuk:


1. Memaksimumkan peran kepemimpinan walikota;
2. Meningkatkan pendidikan umum dan penyuluhan visi baru untuk anak;
3. Merumuskan rencana pembangunan kota untuk anak;
4. Menganalisis situasi terus menerus untuk advokasi, program, dan pengawasan;
laporan tahunan negara dari kota anak;
5. Membangun kemitraan dan memperluas aliansi untuk anak;
6. Memperdayakan keluarga melalui organisasi komuniti dan organisasi
pembangunan;
7. Memperkuat jaringan dan sistem untuk anak dalam kebutuhan perlindungan
khusus; dan
8. Memperkuat legislatif dan penegak hukum.

Australia
Queensland merupakan salah satu kota di Australia yang telah mengadopsi konsep
Kota Ramah Anak. Pemerintah kota Queensland membentuk komisi anak dan remaja pada
tahun 2000. Komisi tersebut mempromosikan komuniti ramah anak melalui fungsi utama
yang sesuai dengan Undang Undang Komisi Anak dan Remaja 2000 meliputi:
1. Advokasi untuk memberikan perlindungan hak, perhatian, dan kesejahteraan anak
dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun;
2. Administrasi negara agar bersedia mengadvokasi dan memberikan pelayanan
untuk anak dan remaja yang berada di pusat penahanan;
3. Menerima, melihat persoalan, dan menyelidiki keluhan mengenai pembagian
pelayanan yang disediakan untuk anak dan remaja;
4. Mengawasi dan mereview hukum, kebijakan, dan praktik yang terkait dengan
pemberian pelayanan untuk anak dan remaja, atau yang berdampak kepada
mereka; dan
5. Memimpin dan mengkoordinir penelitian yang terkait dengan masalah yang
berdampak pada anak.
Komisi ini secara khusus mengembangkan sebuah kegiatan untuk anak dengan
lembaga non pemerintah yang bersedia menjadi penasehat praktik-praktik dan kebijakan
yang menjamin kesesuaian kegiatan dengan anak; mengorganisasikan Parlemen Remaja;
dan mempublikasikan cetak biru dari sebuah Persemakmuran Ramah Anak dan Remaja.

India
Calcutta merupakan salah satu kota di India yang mengadopsi konsep Kota Ramah
Anak. Program ini berfokus pada Program Aksi tingkat kota untuk Anak Jalanan dan Pekerja
Anak (City Level Program of Action for Street and Working Children CLPOA). CLPOA
beroperasi melalui 6 titik komite yang dikoordinir oleh badan pusat yang beranggotakan
perusahaan, departemen pemerintah (kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, buruh, dan
lain-lain), polisi, komisi hak asasi, UNICEF, British Council, asosiasi dokter, dan 50 lembaga
non pemerintah. Kegiatan CLPOA meliputi pendidikan dasar, kesehatan, penasehat hukum,
peningkatan sumber pendapatan, pelatihan, dan konseling. Program ini ditujukan kepada
pekerja anak, anak jalanan, pekerja seks anak, dan perdagangan anak. Fokus kegiatannya
adalah pelayanan dasar, perlindungan hak anak, penyuluhan, dan advokasi.
Ada dua contoh inovasi dari aksi CLPOA:
1. Polisi Ramah Anak
Di bawah inisiatif CLPOA, Polisi Calcutta telah mengadopsi rencana
perlindungan anak. Rencana ini merupakan kegiatan antara polisi dan lembaga
non pemerintah yang menangani anak jalanan. Melalui program ini polisi dapat
menangani permasalahan anak, khususnya anak yang tinggal di jalanan.
2. Pendidikan untuk semua Anak Calcutta
Program Shishalaya Prakalpa merupakan program yang menekankan
pembangunan dasar untuk anak. Program yang didesain untuk mencapai strategi
mentransformasikan pendidikan agar masuk ke dalam sistem kota ini berambisi
untuk mendaftarkan semua anak Calcutta di sekolah reguler. Dengan
kemitraannya yang luas terutama dengan pihak swasta, didukung pemerintah
India, UNICEF dan adanya kegiatan fundraising, maka program pendidikan
seperti ini dapat segera terwujud.

Bangladesh
Di kota Rajashahi, Bangladesh, program Kota Ramah Anak mengutamakan
kampanye pencatatan kelahiran untuk menjamin keefektifan dalam membangun Gerakan
Ramah Anak dan Hak Anak. Pada tahun 1997, pemerintah kota melakukan kampanye
pencatatan kelahiran untuk semua anak di bawah 5 tahun dari pintu ke pintu. Program ini
berhasil mendaftarkan 38.000 anak setiap minggu, dan dengan sebuah sistem baru dalam
pendaftaran kelahiran menjadi pengantar dalam menetapkan tugas baru untuk departemen
kesehatan anak.

Brazil
Porto Alegre merupakan salah satu kota di Brazil yang mengadopsi konsep Kota
Ramah Anak. Program di kota Porto Alegre terfokus pada peran serta warga dalam
penyusunan anggaran belanja. Program ini diperkenalkan tahun 1989. Melalui program ini,
Porto Alegre dikenal secara nasional dan internasional sebagai kota yang meningkatkan
kualitas hidup anak, yaitu dengan keberhasilannya menurunkan angka kematian dari 20
menjadi 12 per 1.000 kelahiran hidup selama sepuluh tahun terakhir. Strategi ini sekarang
diimplementasikan di 200 kota di Brazil. Hal ini merupakan prestasi dalam pemberian akses
pelayanan sosial dasar kepada anak. Dua tahun yang lalu (2002), proses peran serta
penyusunan anggaran berhasil dilaksanakan dengan melibatkan 10 juta warga kota di 497
kota.
Demonstrasi peran serta penyusunan anggaran dapat dilaksanakan dalam skala
regional atau nasional. Gerakan ini merupakan pendekatan dari tradisional ke keterlibatan
warga merupakan kombinasi demokrasi perwakilan (melalui pemilu) dan demokrasi
langsung (melalui peran serta warga sipil). Sehingga pengambilan keputusan tidak hanya
menjadi monopoli legislatif atau eksekutif, tetapi berbagi dengan warga sipil.

Upaya Surakarta Mewujudkan KLA


Pada 2006, Kota Surakarta merupakan salah satu dari 5 Kabupaten/Kota (yakni Kota
Surakarta, Kabupaten Gorontalo, Kota Jambi, Kabupaten Sidoharjo, dan Kabupaten Kutai
Kartanegara) yang ditunjuk oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI sebagai pilot
proyek pengembangan model KLA di Indonesia. Berdasarkan SK Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan RI No SK-49/MEN.PP/IV/2007 Tahun 2007 tentang
Penetapan Kabupaten/Kota Pengembangan Model Kota Layak Anak, disebutkan bahwa
wilayah kerja pengembangan model KLA sudah berkembang menjadi 15 Kabupaten/Kota,
salah satunya yaitu Kota Surakarta. Selanjutnya, Pemerintah Kota Surakarta membentuk
Tim Pelaksana Pengembangan KLA berdasarkan SK Walikota No 130.05/08/1/2008 dan
kemudian membuat MoU No 463/108 tentang kesepakatan dalam pengembangan KLA oleh
Tim Pelaksana KLA.

Oleh karenanya, menindaklanjuti regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat,


Pemerintah Kota Surakarta pun menerbitkan regulasi SK Walikota Surakarta No 462.05/84-
A/I/2010 tentang Tim Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta
(PTPAS); Perda Kota Surakarta No 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak; SK Walikota
Surakarta No 243/I-G/1/2013 tentang Forum Anak Surakarta di Kota Surakarta periode
20132015; dan Peraturan Walikota Surakarta No 3-B Tahun 2013 tentang Pedoman Umum
Pengembangan Partisipasi Anak dalam Pembangunan di Kota Surakarta.

Berbekal regulasi yang ada, Surakarta membagi beberapa tahap langkah menuju
KLA. Tahap pertama tahun 2006-2007 adalah pengembangan model KLA. Dalam tataran
yang paling awal ini, pemerintah kota menyusun grand design yang akan jadi patokan untuk
pengembangan selanjutnya. Tahap berikutnya 2008-2015 adalah pengembangan kelurahan
hingga kecamatan layak anak. Pada 2015, ditargetkan semua kelurahan dan kecamatan
selesai dan Surakarta benar-benar menjadi KLA.
Untuk itu, pemerintah kota menuangkannya dalam visi dan misi menuju KLA. Visi KLA
Surakarta adalah terwujudnya Kota Surakarta sebagai KLA untuk anak 2015, melalui strategi
Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA), yang sehat, tumbuh dan berkembang, cerdas ceria,
berakhlak mulia, terlindungi dan aktif berpartisipasi serta cinta tanah air.Adapun misinya:
1. Menyediakan pelayanan kesehatan yang komprehensif, merata, dan berkualitas,
pemenuhan gizi seimbang, pencegahan penyakit menular termasuk HIV/AIDS,
pengembangan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat.
2. Menyediakan pelayanan pendidikan yang merata, bermutu dan demokratis bagi
semua anak sejak usia dini.
3. Membangun sistem pelayanan sosial dasar dan hukum yang responsif terhadap
kebutuhan anak agar dapat melindungi anak dari segala bentuk kekerasan; dan
4. Membangun lingkungan yang kondusif untuk menghargai pendapat anak dan
memberi kesempatan untuk berpartisipasi sesuai dengan usia dan tahapan
perkembangan anak.

Sebagai komitmen mewujudkan KLA itu, sejak 2006 Walikota Surakarta aktif
menyuarakan hak-hak anak serta mengakomodasi kepentingan terbaik bagi anak dalam
menggerakkan pembangunan di Kota Surakarta. Komitmen tersebut ditegaskan pada acara
sosialisasi pengembangan Model KLA 2006 dengan peserta dari berbagai unsur yaitu SKPD
se Kota Surakarta, DPRD, Muspida, LSM, organisasi masyarakat, organisasi perempuan,
rumah sakit, perguruan tinggi, wartawan, Penegak Hukum, Pihak Swasta lainnya di Kota
Surakarta. Apalagi, waktu itu, sosialisasi dihadiri sendiri oleh Ibu Meutia Hatta sebagai
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Deputi Perlindungan Anak Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Tidak heran kalau pemerintah kota begitu gencar membuat pelbagai program yang pro
terhadap kebutuhan anak. Sebagai review, sampai akhir 2014, sudah keseluruhan kelurahan
(51 kelurahan) di Surakarta telah dikembangkan menjadi kelurahan layak anak. Artinya,
kelurahan yang selain punya kepedulian terhadap tumbuh kembang anak, juga sudah
mengikutsertakan anak dalam merumuskan program-program kerjanya.
Agar tidak sekadar menjadi gerakan simbolis, Bapermas P3KB Kota Surakarta, sebagai
leading sector KLA dan pelaksana utama urusan perlindungan anak di Surakarta, membuat
MoU yang ditandatangani oleh 53 elemen dari muspida, perusahaan swasta dan LSM anak.
Semua SKPD (satuan kerja perangkat daerah) terkait sudah punya kewajiban mengeluarkan
kebijakan yang ramah anak. Bapermas sebagai leading sector bertugas memonitor. SKPD
yang tidak punya program atau kebijakan yang pro anak langsung ditegur.

Wujud kebijakan tiap SKPD yang lebih ramah anak sudah mulai bisa dirasakan
hasilnya. Di bidang kesehatan sudah mulai ada beberapa puskesmas ramah anak. Pusekemas
ini dilengkapi dengan ruang tunggu khusus anak lengkap dengan alat bermainnya. Selain itu,
layanan-layanan untuk anak seperti taman gizi, pojok ASI, dokter spesialis anak, layanan
konseling anak dan tempat pelayanan korban kekerasan terhadap anak juga terus dilengkapi.
Tidak heran kalau penilaian Kementrian PPPA memberikan skor 713 dari total nilai yang
terdapat dalam 31 inkator KLA yang sudah dipenuhi Kota Surakarta.
Jika dirinci, ada beberapa program yang direncanakan pemerintah kota. Yaitu :
1. Bidang pendidikan, ada pencanangan Gerakan Wajib Jam Belajar (GWJB).
Setiap Ahad s.d Jumat aktif, antara pukul 18.30-20.30 anak-anak diarahkan
untuk belajar. Kelurahan Jebres menjadi percontohan pelaksanaa GWJB ini.
Secara mandiri masyarakat membentuk semacam satgas yang mengawasi
pelaksanaan GWJB. Mereka akan berkeliling kampung sambil melakukan
sosialisasi, mengarahkan anak-anak yang masih berada di luar rumah untuk
belajar dan menyarankan para orang tua untuk mematikan TV agar tidak
menganggu konsentrasi anak. Selain GWJB masih ada sekolah plus, yakni
sekolah yang membebaskan seluruh biaya pendidikan untuk anak-anak dari
keluarga miskin. Hingga tahun ini sudah ada 16 SD, 5 SLTP dan 2 SMK yang
menjadi sekolah plus di Surakarta.
2. Di bidang transportasi, Dinas Perhubungan membangun zona selamat sekolah,
car free day untuk ruang ekspresi anak, Batik Solo Trans sebagai transportasi
ramah anak serta program pembagian helm untuk anak.
3. Di bidang kependudukan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil meluncurkan
kartu insentif anak (KLA). Kartu yang diluncurkan tepat pada peringatan Hari
Anak Nasional 26 Juli 2010 merupakan kartu diskon untuk belanja di toko
buku, sarana olahraga di perhotelan, tempat hiburan anak, rumah sakit,
supermarket, bus sekolah dan lain sebagainya. KLA juga bukan sekadar kartu
diskon, melainkan berfungsi sebagai kartu identitas anak. Kartu insentif ini
sekaligus untuk mendorong para orangtua agar mau membuatkan akta kelahiran
bagi anak mereka. Ada 43 perusahaan yang mendukung KLA, di antaranya PT
Askes, Budi Sehat, Gramedia, Togamas, Sekawan, Elti Gramedia, PDAM, Hotel
Sunan, Hotel Sahid Jaya, Kusuma Sahid Prince Hotel, THR Sriwedari dan
Taman Satwa Taru Jurug. KLA ini juga menjadi sarana untuk mendorong
pemberian akta kelahiran untuk setiap anak di Surakarta.
4. Pemerintah kota membangun beberapa taman cerdas, di antaranya yang sudah
terealisasi adalah di Kelurahan Sumber, Kadipiro, Gandekan, Joyontakan,
Mojosongo dan Pajang. Taman ini menyediakan sarana bermain dan berkreasi
yang dilengkapi perpustakaan, multimedia, komputer dan akses internet yang
semuanya bisa digunakan secara gratis oleh anak- anak. Pengelolaan taman cerdas
diserahkan kepada masing-masing kelurahan agar lebih maksimal dan sesuai
dengan kebutuhan warga setempat.
Pada 2013 lalu, Pemerintah Kota Surakarta mengalokasikan anggaran senilai Rp
2,5 miliar guna membangun taman cerdas di Semanggi, Pasar Kliwon. Taman
cerdas tersebut dibangun di bekas lahan Permakaman Mipitan, Semanggi, sisi
timur. Selain di Semanggi, pembangunan taman cerdas juga dilakukan di Jebres.
Sedangkan, untuk pos anggarannya berada di kelurahan masing-masing.
Sejauh ini di Kota Surakarta memang baru terdapat tujuh taman cerdas. Jumlah
tersebut direncanakan terus meningkat guna mendukung Surakarta menjadi KLA.
Hanya, pembangunan terkendala minimalnya lahan. Sebagai contoh, di wilayah
Pasar Kliwon belum satu pun taman cerdas dibangun. Padahal, keinginan
masyarakat untuk memiliki taman cerdas cukup tinggi. Hal ini terbukti dari
usulan masyarakat terkait pembangunan tersebut dalam setiap musrenbang.
Pembangunan taman cerdas tentu memerlukan RTH. Masalahnya, Luas RTH
publik di Kota Surakarta baru mencapai 529 ha atau sekira 12,02 persen dari luas
wilayah 4.404 ha. Luas RTH sebelumnya bahkan hanya 11,9 persen. Tetapi,
setelah ada tambahan dari bantaran sungai, RTH bisa menjadi 21,02 persen.
5. Menggagas pendirian radio anak berbasis komunitas. Radio tersebut dikonsep
dari, oleh,untuk dan tentang anak. Yang menjadi leading sector adalah Dinas
Perhubungan Komunikasi dan Informatika. Dikatakan, keberadaan radio
komunitas anak penting untuk menguatkan posisi Surakarta sebagai KLA.
Pemerintah kota menjamin anak bakal diberi porsi maksimal dalam radio tersebut.
Jadi, mulai bahasan, penyiar dan pendengar radio ditujukan bagi anak.
Pengecualian hanya di manajemen.
Kendati begitu, radio tersebut tidak serupa radio pada umumnya. Lantaran
berbentuk komunitas, wilayah jangkau radio dibatasi maksimal 2,5 kilometer.
Hal itu sesuai dengan PP No 51 Tahun 2005 dan Keputusan Menteri Kominfo No
17 Tahun 2004. Meski demikian, terbatasnya jangkauan radio komunitas anak
sejatinya tidaklah menjadi persoalan.
6. Membentuk forum anak. Forum anak adalah forum yang dikelola oleh anak dan
dibina oleh pemerintah yang digunakan sebagai wadah partisipasi anak di mana
anggotanya adalah anak secara individu dan/atau dari perwakilan kelompok anak,
sebagai media untuk mendengar dan memenuhi aspirasi suara, pendapat,
keinginan, dan kebutuhan anak dalam proses pembangunan. Fungsinya adalah
sebagai media pantauan pelaksanaan pemenuhan hak anak, sebagai media
sosialisasi program kegiatan terkait dengan hak anak dilingkungan teman
sebaya, sebagai media menyuarakan aspirasi anak, mendorong keterlibatan
anak dalam proses pengambilan keputusan, mendorong anak-anak aktif
mengembangkan potensinya.
Terbentuknya forum anak di Kota Surakarta pada 2014 dilakukan untuk menggali
aspirasi anak dalam berkreasi dan mencipta. Saat ini di Kota Surakarta sudah
terbentuk sebanyak 42 Forum anak yang terbentuk di masing-masing tiap-tiap
kelurahan terdapat lebih dari satu forum, sehingga semua berjumlah 51 forum
anak.
Kelima puluh satu forum anak tersebut memberi nama forumnya masing-masing
yang memiliki keunikan dan kreativitas anak, sebagai contoh di Kelurahan Jebres
menamakan Panbers berasal dari kata Forum Anak Jebres, kemudian Tunas
Pucang berasal dari Kelurahan Pucang Sawit. Kalau dilihat dari nama-nama
yang dibentuk, pihak kelurahan tidak melibatkan diri secara langsung selain tidak
memiliki waktu juga untuk memberikan anak kebebasan dalam membentuk forum
tersebut.
7. Pemerintah Kota Surakarta telah menyiapkan anggaran lebih dari Rp 1,2 miliar
untuk membangun puluhan ruang laktasi atau pojok ASI (Air Susu Ibu)
sebagai ruang khusus menyusui di berbagai area publik demi mengejar gelar
KLA pada 2015 mendatang. Setiap kantor kelurahan, kecamatan, pasar, serta
kantor pelayanan publik lainnya akan dilengkapi dengan ruang menyusui.
8. Yang tidak kalah pentingnya juga, pemerintah kota telah membuat dokumen
Integrasi Rencana Tindak Lanjut Sistem Perlindungan Anak dalam Pembangunan
di Kota Surakarta. Dalam dokumen diuraikan berbagai permasalahan yang masih
dihadapi terkait pelaksanaan Sistem Perlindungan Anak berbasis System
Building Approach (SBA) di Kota Surakarta. Dari hasil pemetaan diketahui
bahwa tiap sistem seperti sistem hukum dan kebijakan, sistem peradilan,
sistem kesejahteraan sosial, sistem data dan informasi perlindungan anak, dan
sistem perubahan perilaku sosial memiliki potensi serta masalah yang
mengiringinya.

Potensi sistem hukum dan peradilan adalah aparat penegak hukum yang telah
mengetahui berbagai aturan yang terkait Perlindungan Anak seperti salah satunya Perda No
10 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Adminsitrasi Kependudukan. Selain itu, sudah
terdapat kerangka hukum yang teratur dan saksi dari lembaga pelaksana, pendanaan
mekanisme pemantauan, koordinasi, dan sanksi. Tetapi, pada praktiknya, masih terdapat
masalah, karena kurangnya koordinasi antar-SKPD terkait, sehingga memunculkan ego
sektoral yang berarti masih menggunakan pendekatan berbasis isu bukannya SBA.

Sistem peradilan ini memiliki potensi dengan adanya dukungan kelembagaan


Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta (PTPAS) yang berbentuk
konsorsium, yaitu gabungan dari beberapa institusi/lembaga/organisasi yang memunyai
kepedulian terhadap perempuan dan anak, serta melakukan pelayanan terpadu bagi
perempuan dan anak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing- masing, dan
dikoordinasikan oleh BAPERMAS PP PA dan KB.
Selain itu, di Kota Surakarta juga telah memiliki kebijakan terkait kesejahteraan anak dan
keluarga, yaitu:
Perda No 3 Tahun 2006 tentang Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial.
MoU tentang Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta
(PTPAS).
SK Walikota Surakarta No. 462.05/84-A/1/2010 tentang Pelayanan Terpadu bagi
Perempuan dan Anak Kota Surakarta.
Namun, masalah yang masih menghadang sistem kesejahteraan sosial di Surakarta
adalah pelayanan berkesinambungan (continuous care) terkait perlindungan anak yang belum
ada seperti rumah rehabilitasi/rumah singgah. Sistem data dan informasi perlindungan
mengalami berbagai masalah,
* Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementrian Dalam Negeri

Anda mungkin juga menyukai