Anda di halaman 1dari 12

Agra Maharddhika

240210150062

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan


sebagai pangan dan bukan merupakan komposisi khas pangan, mempunyai/ tidak
nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk maksud
teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan,
pembungkusan, penyimpanan & pengangkutan pangan untuk menghasilkan suatu
komponen pangan atau mempengaruhi sifat khas pangan (Saparinto, 2006).
Pemakaian BTP merupakan salah satu langkah teknologi yang diterapkan oleh
industri pangan berbagai skala. BTP pada umumnya merupakan bahan kimia yang
telah diteliti dan diuji lama sesuai dengan kaidah kaidah ilmiah yang ada
(Tejasari, 2005). Penggunaan bahan pengawet merupakan salah satu metode
dalam pengawetan bahan pangan yang menyebabkan daya simpan bahan mejadi
lebih lama. Bahan pengawet merupakan bahan kimia yang berfungsi untuk
membantu mempertahankan bahan dari serangan mikroorganisme pembusuk, baik
bakteri, kapang maupun khamir (Effendi, 2012). Bahan pengawet ini bekerja
dengan cara menghambat, mencegah, dan menghentikan proses pembusukan,
pengasaman, atau kerusakan komponen lain dari bahan pangan.
Menurut Cahyadi (2012), BTP yang digunakan harus mempunyai sifat-
sifat yang dapat mempertahankan nilai gizi makanan, tidak mengurangi zat-zat
esensial dalam makanan, dapat mempertahankan atau memperbaiki mutu
makanan, dan menarik bagi konsumen serta tidak merupakan penipuan. BTP
sudah umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari namun sering terjadi
kontroversi karena banyak produsen pangan yang menggunakan bahan tambahan
yang berbahaya bagi kesehatan serta melebihi dari dosis yang diizinkan dalam
industri.
Praktikum kali ini dilakukan suatu pengujian bahan tambahan makanan/
pangan pada berbagai macam produk pangan yang bererdar di pasaran. Pengujian
yang dilakukan meliputi pewarna sintesis dan pewarna food grade serta pengawet
makanan yang berbahaya. Pengawet makanan yang berbahaya yang sering
digunakan yaitu formalin serta boraks. Sampel yang digunakan berbagai macam
seperti tahu, baso, saos, dan mie.
Agra Maharddhika
240210150062

4.1 Uji Pewarna

Penambahan bahan pewarna pada pangan dilakukan untuk beberapa tujuan


yaitu, memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna pangan,
menstabilkan warna, menutupi perubahan warna selama proses pengolahan, dan
mengatasi perubahan warna selama penyimpanan (Mahindru, 2008). Seringkali
terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan,
misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit dipakai untuk mewarnai bahan
pangan. Umumnya pewarna tekstil yang sering ditambahkan pada produk
makanan adalah Rhodamin B.
Rumus Molekul dari Rhodamin B adalah C28H31N2O3Cl dengan berat
molekul sebesar 479.000. Zat yang sangat dilarang penggunaannya dalam
makanan ini berbentuk kristal hijau atau serbuk ungu-kemerah merahan, sangat
larut dalam air yang akan menghasilkan warna merah kebiru-biruan dan
berfluorensi kuat. Rhodamin B juga merupakan zat yang larut dalam alkohol,
HCl, dan NaOH, selain dalam air. Di dalam laboratorium, zat tersebut digunakan
sebagai pereaksi untuk identifikasi Pb, Bi, Co, Au, Mg, dan Th dan titik leburnya
pada suhu 1650C.
Prosedur yang dilakukan adalah dengan cara melarutkan masing-masing
zat warna baik food grade atau pewarna tekstil dan diteteskan pada kertas saring.
Kertas saring yang telah ditetesi zat warna kemudian dicelupkan ke dalam
chamber yang berisi air, namun air jangan sampai mengenai spot warna. Setelah
dicelupkan, air akan terhisap hingga bagiannya. Setelah dicelupkan, kertas
saring diangkat dan dikeringk+n serta diamati panjang dari garis yang terbentuk
oleh masing-masing zat warna. Berikut ini adalah hasil pengamatan terhadap
identifikasi pewarna tekstil yang terdapat dalam tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Uji Pewarna
Titik Puncak
Sampel (kel.)
Food Grade (cm) Textile (cm)
A (1) 6 4
B (6) 6,7 4
C (3) 6 7
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)

Keterangan:
Food Grade Textile
Agra Maharddhika
240210150062

A : Aroma Pasta Stoberi A: Rhodamin B


B: Perisa Melon B: Bismark Brown
C: Perisa stoberi C: Tartazin

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa pewarna food grade


memliki zat warna yang panjang sedangkan untuk pewarna tekstil memliki
panjang lintasan lebih pendek. Hal ini disebabkan karena food grade memiliki
kelarutan air yang tinggi dibandingkan dengan pewarna tekstil yang lebih kecil
kelarutannya. Oleh karena itu, pewarna tekstil tidak menghasilkan lintasan warna
yang lebih panjang.
Zat pewarna yang digunakan yaitu pewarna sintetis dan alami. zat pewarna
sintetis merupakan zat pewarna yang sengaja dibuat melalui pengolahan industri.
Zat pewarna sintetis biasanya digunakan karena komposisinya lebih stabil, Bahan
pewarna tekstil seperti rhodamin B merupakan bahan pewarna yang tidak layak
digunakan pada bahan pangan, Zat pewarna alami dapat diperoleh dari pigmen
tanaman, misalnya warna hijau yang didapat dari klorofil dedaunan hijau.
Menurut Cahyadi (2012), meskipun pewarna buatan memiliki toksisitas
yang rendah, namun pengkonsumsian dalam jumlah yang besar maupun berulang-
ulang menyebabkan sifat kumulatif yaitu iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit,
iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan hati.
Pada sampel C pewarna makanan, warna tersebut memiliki kenaikan panjang
lintasan yang cukup tinggi dikarenakan sampel yang digunakan terlalu pekat tidak
diencerkan terlebih dahulu menggunakan akuades, sehingga sampel tersebut tidak
banyak menyerap ke spot atas. Hal itulah yang membuat perbandingan dengan
tartrazine menjadi lebih tinggi panjang lintasannya. Pada orang-orang yang
intoleransi terhadap aspirin atau penderita asma tartrazin dapat menyebabkan
sejumlah alergi dan intoleransi. Gejala alergi yang dapat timbul diantaranya
adalah sesak napas, pusing, migrain, pandangan kabur, serta sulit tidur.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/MenKes/Per/VI/88 mengenai
Bahan Tambahan Makana, peraturan tersebut mengenai penggunaan zat pewarna
baik alami maupun buatan sebagai bahan tambahan makanan. Sedangkan zat
warna yang dilarang digunakan dalam pangan tercantum dalam Peraturan Menteri
Agra Maharddhika
240210150062

Kesehatan RI Nomor 239/MenKes/Per/V/85 mengenai Zat Warna Tertentu yang


Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya.
4.2 Uji Formalin

Formalin sudah sangat umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari.


Formaldehid memiliki banyak manfaat, seperti anti bakteri atau pembunuh kuman
sehingga dimanfaatkan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian,
pembasmi lalat dan berbagai serangga lain. Dalam dunia fotografi biasaya
digunakan untuk pengeras lapisan gelatin dan kertas. Bahan pembuatan pupuk
dalam bentuk urea, bahan pembuatan produk parfum, pengawet produk
kosmetika, pengeras kuku dan bahan untuk insulasi busa. Formalin juga dipakai
sebagai pencegah korosi untuk sumur minyak, bahan perekat untuk produk kayu
lapis (plywood), dan dalam konsentrasi yang sangat kecil (kurang dari 1 persen)
digunakan sebagai pengawet untuk berbagai barang konsumen seperti pembersih
rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampoo mobil,
lilin dan karpet. Formalin banyak digunakan dalam pengawetan specimen ikan
untuk keperluan penelitian dan identifikasi. Di dunia kedokteran formalin
digunakan untuk pengawetan mayat manusia untuk dipakai dalam pendidikan
mahasiswa kedokteran. Untuk pengawetan biasanya digunakan formalin dengan
konsentrasi 10%.
Besarnya manfaat di bidang industri ini ternyata disalahgunakan untuk
penggunaan pengawetan industri makanan. Biasanya hal ini sering ditemukan
dalam industri rumahan, karena mereka tidak terdaftar dan tidak terpantau oleh
Depkes dan Balai POM setempat. Bahan makanan yang diawetkan dengan
formalin biasanya adalah mi basah, tahu, bakso, ikan asin dan beberapa makanan
lainnya. Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat
menusuk. Di dalam formalin terkandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air,
sebagai bahan pengawet biasanya ditambahkan metanol hingga 15 persen. Bila
tidak diberi bahan pengawet makanan seperti tahu atau mi basah seringkali tidak
bisa tahan dalam lebih dari 12 jam.
Identifikasi formalin dalam praktikum ini dilakukan dengan sampel yang
diuji adalah tahu dan mie. Masing-masing sampel ditimbang sebanyak 100 gram
kemudian dihaluskan. Tahu dan mie yang telah dihaluskan kemudian diambil
Agra Maharddhika
240210150062

sebanyak 10 gram dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer serta ditambahkan


dengan 50 ml aquades. Sampel dalam erlenmeyer tersebut didiamkan selama 30
menit kemudian ditambahkan asam fosfat 10% sebanyak 5 ml. Setelah itu,
dilakukan destilasi uap pada sampel hingga menghasilkan 50 ml destilat.
Selanjutnya, 2 ml destilat dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditetesi asam
kromatofat sebanyak 5 ml lalu dipanaskan. Apabila setelah dipanaskan terdapat
warna ungu pada sampel yang diuji, maka sampel tersebut dinyatakan positif
mengandung formalin. Warna ungu yang menandakan hasil positif tersebut
diperoleh dari pembuatan blanko yang menggunakan larutan formalin murni
dimana pada pengujian terhadap blanko tersebut dihasilkan warna ungu pekat.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Formalin
Sampel Hasil Uji Warna Awal Warna Akhir
Blanko + Kuning Ungu Pekat
Mie Basah + Kuning Ungu +
Tahu D1 + Kuning Ungu +++
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016)
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, semua sampel positif mengandung
formalin yang ditandai dengan timbulnya warna ungu. Asam kromatrofat
(K10H8O8S2) yang digunakan dalam identifikasi untuk mengikat formalin agar
terlepas dari bahan. Formalin kemudian bereaksi dengan asam kromatropat
menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah keunguan. Pereaksi asam
kromatropat memerlukan asam sulfat konsentrasi hampir pekat untuk dapat
bereaksi membentuk warna. Adapun ciri-ciri makanan yang mengandung formalin
adalah sebagai berikut:
1. Ciri-ciri bakso yang mengandung formalin:
Tidak rusak sampai lima hari pada suhu kamar ( 25 oC)
Teksturnya sangat kenyal

2. Ciri-ciri tahu yang mengandung formalin:


Tidak mudah rusak sampai tiga hari pada suhu kamar (25oC) dan
bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10oC)
Tahu terlampau keras, namun tidak padat
Agra Maharddhika
240210150062

Bau agak mengengat, bau formalin (dengan kandungan formalin 0.5-


1ppm)
3. Ciri-ciri mie basah yang mengandung formalin:
Tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar ( 25oC) dan bertahan lebih
dari 15 hari pada suhu lemari es ( 10 oC)
Bau agak menyengat, bau formalin
Tidak lengket dan mie lebih mengkilap dibandingkan mie normal
4. Ciri-ciri ikan asin yang mengandung formalin:
Tidak rusak sampai lebih dari 1 bulan pada suhu kamar ( 25 oC)
Bersih cerah
Tidak berbau khas ikan asin
Formalin masuk ke dalam tubuh manusia melalui dua jalan, yaitu mulut
dan pernapasan. Formalin merupakan zat yang bersifat karsinogenik atau bisa
menyebabkan kanker. Beberapa penelitian terhadap tikus dan anjing pemberian
formalin dalam dosis tertentu jangka panjang secara bermakna mengakibatkan
kanker saluran cerna seperti adenocarcinoma pylorus, preneoplastic hyperplasia
pylorus dan adenocarcinoma duodenum. Penelitian lainnya menyebutkan
pengingkatan resiko kanker faring (tenggorokan), sinus dan cavum nasal (hidung)
pada pekerja tekstil akibat paparan formalin melalui hirupan.
Formaldehid juga dipakai untuk reaksi kimia yang bisa membentuk ikatan
polimer, dimana salah satu hasilnya adalah menimbulkan warna produk menjadi
lebih cerah. Sehingga formalin dipakai di industri plastik. bahan pembuatan sutra
buatan, zat pewarna, cermin kaca. Sehingga formalin juga banyak dipakai di
produk rumah tangga seperti piring, gelas dan mangkuk yang berasal dari plastik
atau melamin. Dalam jumlah sedikit, formalin akan larut dalam air, serta akan
dibuang ke luar bersama cairan tubuh. Sehingga formalin sulit dideteksi
keberadaannya di dalam darah. Imunitas tubuh sangat berperan dalam berdampak
tidaknya formalin di dalam tubuh. Jika imunitas tubuh rendah atau mekanisme
pertahanan tubuh rendah, sangat mungkin formalin dengan kadar rendah pun bisa
berdampak buruk terhadap kesehatan. Usia anak khususnya bayi dan balita adalah
salah satu yang rentan untuk mengalami gangguan ini. Secara mekanik integritas
Agra Maharddhika
240210150062

mukosa (permukaan) usus dan peristaltik (gerakan usus) merupakan pelindung


masuknya zat asing masuk ke dalam tubuh.
Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan
denaturasi zat berbahaya tersebut. Secara imunologik sIgA (sekretori
Imunoglobulin A) pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat
menangkal zat asing masuk ke dalam tubuh. Pada usia anak, usus imatur (belum
sempurna) atau sistem pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi
sehingga memudahkan bahan berbahaya masuk ke dalam tubuh sulit untuk
dikeluarkan. Hal ini juga akan lebih mengganggu pada penderita gangguan
saluran cerna yang kronis seperti pada penderita autism, alergi dan sebagainya.
Apabila tertelan maka mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit
menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan , sakit perut
yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kejang, tidak sadar
hingga koma. Selain itu juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa,
pankreas, sistem susunan syaraf pusat dan ginjal. Bila formalin masuk ke tubuh
melebihi ambang batas tgersebut maka dapat mengakibatkan gangguan pada
organ dan system tubuh manusia. Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat terjadi
dalam waktu singkat atau jangka pendek dan dalam jangka panjang, bisa melalui
hirupan, kontak langsung atau tertelan.
4.3 Uji Boraks

Sampel yang digunakan diabukan terlebih dahulu menggunakan tanur,


karena asam borat hanya akan tereduksi pada suhu 7000C. Pengabuan bertujuan
agar hasil analisis optimal.
Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya sering digunakan untuk solder,
bahan pembersih, pengawet kayu, antiseptik kayu, pengontrol kecoa. Boraks
merupakan garam Natrium Na2B4O7 .10H2O, yang banyak digunakan berbagai
industri non-pangan, khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu, dan
keramik. Gelas pyrex yang terkenal kuat itu karena dibuat dengan campuran
boraks. Boraks dalam tubuh manusia bersifat akumulatif dalam organ tubuh ,
seperti otak,
Efek negatif dalam penggunaan asam borat adalah pemakaian sedikit dan
lama akan terjadi kumulatif pada otak, hati, lemak dan ginjal. Untuk pemekaian
Agra Maharddhika
240210150062

jumlah banyak menyebabkan demam, anuria, depresi, apatis, sianosis, tekanan


darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, koma bahkan kematian.
Identifikasi adanya boraks pada makanan dilakukan dengan metode uji
nyala. Sampel ditimbang sebanyak 100 gram dan ditempatkan ke dalam cawan
porselen. Kemudian sampel diabukan /dipijarkan dengan menggunakan tanur pada
suhu 600 C selama 2 jam. Setelah itu hasil pemijaran didinginkan selama 1 jam
di dalam desikator. Hasil pemijaran kemudian ditambahkan 8 tetes H2SO4 pekat
dan 2 ml metanol, lalu dibakar. Apabila saat hasil pemijaran dibakar
menghasilkan warna nyala api hijau, hal ini menandakan bahwa adanya boraks
pada sampel. Berikut ini adalah hasil pengamatan terhadap identifikasi boraks.
Berikut adalah tabel hasil pengamatan uji boraks.
Tabel 4. Hasil Pengamatan Uji Boraks
Sampel Hasil pengujian
A1 -
A2 -
B1 +
B2 -
C1 +
C2 -
D1 -
D2 +
E1 -
E2 -
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2016)
Keterangan :
A1 = bakso
B1 = sosis
C1 = saus
D1 = mie
E1 = tahu
A2 = bakso
B2 = sosis
C2 = saus
D2 = mie
E2 = tahu
Agra Maharddhika
240210150062

Adanya boraks pada sampel ditandai dengan timbulnya nyala api berwarna
hijau. Berdasarkan hasil pengamatan sampel sosis B1, Saus C1, dan mie D2
teridentifikasi kandungan boraks di dalamnya. Timbulnya nyala api hijau
disebabkan oleh pembentukan metil borat (B(OCH3)3) atau etil borat (B(OC2H5)3)
yang sifatnya beracun (Vogel, 1990 dalam Damat, 2009). Berikut ini adalah reaksi
yang terjadi saat boraks ditambahkan asam sulfat dan metanol.
Na2B4O7 + H2SO4 + 5 H2O 4 H3BO3 + 2 Na+ + SO42-
H3BO3 + 3 CH3OH B(OCH3)3 + 3 H2O
Boraks yang terdapat dalam makanan akan diurai oleh air menjadi asam
borat dan basa. Asam borat yang dihasilkan diduga menyebabkan polipeptida
glutenin membentuk ikatan silang (cross linking) disulfida yang kuat sehingga
glutenin terdenaturasi membentuk tekstur yang lebih kenyal. Semakin tinggi kadar
boraks yang digunakan, maka tingkat kekenyalan makanan akan semakin tinggi.
Boraks (Na2B4O7) dengan nama kimia natrium tetra bonat, natrium
biborat, natrium piroborat merupakan senyawa kimia yang berbentuk kristal dan
berwarna putih dan jika dilarutkan dalam air menjadi natrium hidroksida serta
asam boraks. Natrium hidroksida dan asam boraks masing-masing bersifat
antiseptik, sehingga banyak digunakan oleh industri farmasi sebagai ramuan obat
misalnya : salep, bedak, larutan kompres, dan obat pencuci mata. Penggunaan
boraks di industri farmasi ini sudah sangat dikenal. Hal ini dikarenakan
banyaknya boraks yang dijual di pasaran dan harganya yang sangat murah. Selain
itu boraks bagi industri farmasi memberikan untung yang besar (Rahim, 2004).
Agra Maharddhika
240210150062

V. KESIMPULAN

1. Uji pewarna makanan menggunakan metode kromatografi kertas


mendapatkan hasil bahwa pewarna sintetis memiliki kenaikan panjang
lintasan yang lebih pendek dibandingkan pewarna makanan.
2. Pada sampel mie dan tahu positif mengandung formalin, ditunjukkan
dengan timbulnya warna ungu dari destilat sampel yang dipanaskan.
3. Pada sampel sosis B1, Saus C1, dan mie D2 teridentifikasi kandungan
boraks di dalamnya. Adanya boraks pada sampel ditandai dengan
timbulnya nyala api berwarna hijau.
4. Penggunaan bahan tambahan makanan seperti pewarna sintetis, formalin,
dan boraks akan mengganggu kesehatan.
Agra Maharddhika
240210150062

DAFTAR PUSTAKA

Bukle, K.A, Edwards, R.A, Fleet, G.H. dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan.
Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta : Universitas Indonesia.

Cahyadi ,W.2012. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.PT


Bumi Aksara. Jakarta

Effendi, S.2012. Teknologi Dan Pengawetan Pangan. Cv. Alfabeta. Bandung.

Mahindru, S.N. 2008. Food Additives characteristics, Detection, and Estimation.


A P H Publishing Corporation. New Delhi.

Puspasari, Karen. 2007. Aplikasi Teknologi Dan Bahan Tambahan Pangan


Untuk Meningkatkan Umur Simpan Mie Basah Matang. Diakses Di:
Http://Repository.Ipb.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/11791/F07kpu.Pd
f pada tanggal 21 Desember 2016.

Saparinto, C. dan D. Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius.


Yogyakarta.

Sudarmadji, Slamet, H.Bambang, Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan


Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Tejasari. 2005. Nilai - Nilai Pangan. Graha Ilmu. Yogyakarta

Viana, Aktia. 2012. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Guru Sekolah Dasar
tentang Makanan yang Mengandung Bahan Tambahan Pangan pada
Sekolah Dasar di Kelurahan Mabar Kecamatan Medan Deli Tahun 2011.
Diakses di: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/31260 pada
tanggal 20 Desember 2016

Anda mungkin juga menyukai