Anda di halaman 1dari 11

Jumat, 2008 Februari 15

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL: Hematemisis dan Melena


Karena Pecahnya Varises Esopagus

Oleh: Rohman Azzam

DEFINISI

Hematemisis adalah muntah darah.


Sedangkan melena adalah pengeluaran
feses yang berwarna hitam seperti ter yang
disebabkan oleh adanya perdarahan
saluran cerna bagian atas (Tondobala,
1987 dalam Suparman, 1993).
Warna darah, tergantung:

Lamanya hubungan antara atau kontak antara darah dengan asam lambung
Besar kecilnya perdarahan,

Sehingga dapat berwarna seperti kopi, kemerah-merahan dan bergumpal-gumpal.

Hematemisis Melena
Terjadi bila perdarahan dibagian Dapat terjadi tersendiri atau bersama-
proksimal jejunum (Tondobala, sama dengan hematemisis.
1987) atau di atas ligamen Treitz Paling sedikit terjadi perdarahan
/pada jungsi denojejunal (Hudak & sebanyak 50-100 mL, baru dijumpai
Gallo, 1996) keadaan melena.

PENYEBAB PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

Kelainan esophagus: varises, esophagitis, keganasan


Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung & duodenum, keganasan, dll
Penyakit darah: leukemia, DIC, purpura trombositopenia, dll.
Penyakit sistemik lainnya: uremia, dll
Pemakaian obat yang ulserogenik: golongan salisilat, kortikosteroid, alkohol, dll
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas terbanyak di Indonesia adalah karena
pecahnya varises esophagus, dengan rata-rata 45-50% seluruh perdarahan saluran cerna
bagian atas (Hilmy, 1971: 58%; Soemomarto, 1981: 60%; Abdurrahman: 50%; Hernomo,
1981: 44,8%; dan Ali: 57,43% seperti dikutip Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993)

PATOFISIOLOGI

Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan
peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran
kolateral dalam submukosa esopagus dan rektum serta pada dinding
abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik
menjauhi hepar. Dengan meningkatnya teklanan dalam vena ini, maka
vena tsb menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah
(disebut varises). Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan
gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan
darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan
curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap
penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi
untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang
tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian
awal. Jika volume darah tidak digantikan , penurunan perfusi jaringan
mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi
metabolsime anaerobi, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah
akan memberikan efek pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai
oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.

PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan kolaboratif

Intervensi awal mencakup 4 langkah: (a) kaji keparahan perdarahan, (b) gantikan cairan
dan produk darah untuk mnengatasi shock, (c) tegakan diagnosa penyebab perdarahan
dan (d) rencanakan danlaksanakan perawatan definitif.

a. Resusitasi Cairan dan Produk Darah:

Pasang akses intravena dengan kanul berdiameter besar

Lakukan penggantian cairan intravena: RL atau Normal saline

Kaji terus tanda-tanda vital saat cairan diganti


Jika kehilangan cairan > 1500 ml membutuhkan penggantian darah selain
cairan. Untuk itu periksa gol darah dan cross-match

Kadang digunakan obat vasoaktif sampai cairan seimbang untuk


mempertahankan tekanan darah dan perfusi orghan vital, seperti: dopamin,
epineprin dan norefineprin untuk menstabilkan pasien sampai dilakukan
perawatan definitif.

b. Mendiagnosa Penyebab Perdarahan

Dilakukan dengan endoskopi pleksibel

Pemasangan selang nasogastrik utuk mengkaji tingkat perdarahan (tetapi


kontroversial)

Pemeriksaan barium (double contrast untuk lambung dan duodenum.

Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3 distal
esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises,
sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

Angiografi (jika tidak terkaji dengan endoskofi)

c. Perawatan Definitif

(1) Terapi Endoskofi

Skleroterapi, menggunakan pensklerosis: natrium morrhuate atau


natrium tetradesil sulfat. Agen ini melukai endotel
menyebabkan nekrosis dan akhirnya mengakibatkan sklerosis
pembuluh yang berdarah.

Endoskopi tamponade termal mencakup probe pemanas,


fotokoagulasi laser dan elektrokoagulasi.

(2) Bilas Lambung

Dilakukan selama periode perdarahan akut (kontroversial, karena


mengganggu mekanisme pembekuan normal. Sebagian lain
meyakini lambung dapat membantu membersihkan darah
dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan
selama endoskofi)

Jika dinstruksikan bilas lambung maka 1000-2000 ml air atau


normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dengan
menggunakan NGT. Kemudian dikeluarkan kembali dengan
spuit atau dipasang suction sampai sekresi lambung jernih.

Bilas lambung pakai es tidak dianjurkan mengakibatkan


perdarahan

Irigasi lambung dengan cairan normal saline levarterenol agar


menimbulkan vasokontriksi. Setelah diabsorbsi lambung obat
dikirim melalui sistem vena porta ke hepar dimana
metabolisme terjadi, sehingga reaksi sistemik dapat dicegah.
Pengenceran biasanya menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml
larutan.

Pasien berresiko mengalami apsirasi lambung karena


pemasangan NGT dan peningkatan tekanan intragastrik karena
darah atau cairan yang digunakan untuk membilas. Pemantauan
distensi lambung dan membaringkan pasien dengan kepala
ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung. Bila
posisi tsb kontraindikasi, maka diganti posisi dekubitus lateral
kananmemudahkan mengalirnya isi lambung melewati
pilorus.

(3) Pemberian Pitresin

Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak


menolong, maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena.

Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya


menurunkan aliran darah pada tempat perdarahan

Dosis 0,2-0,6 unit permenit. Karena vasokontsriktor maka harus


diinfuskan melalui aliran pusat.

Hati-hati karena dapat terjadi hipersensitif

Mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya.

(4) Mengurangi Asam Lambung

Turunkan keasaman sekresi lambung, dengan obat histamin (H2)


antagonistik, contoh: simetidin (tagamet), ranitidin
hidrokloride (zantac) dan famotidin (pepcid)

Dosis tunggal dapat menurunkan sekresi asam selama hampir 5


jam.
Ranitidin iv: 50 mg dicairkan 50 ml D5W setiap 6 jam. Simetidin
iv: 300 mg dicairkan dalam dosis intermiten 300 mg dicairkan
dalam 50 mg D5W setiap 6 jam atau sebagai infus intravena
kontinu 50 mg/jam. Hasil terbaik dicapai jika pH lambung 4
dapat dipertahankan.

Antasid juga biasanya diberikan

(5) Memperbaiki Status Hipokoagulasi

Pemberian vitamin K dalam bentuk fitonadion (aquaMephyton)


10 mg im atau iv dengan lambat untuk mengembalikan masa
protrombin menjadi normal.

Dapat pula diberikan plasma segar beku.

(6) Balon Tamponade

Terdapat bermacam balon tamponade antara lain Tube Sangstaken-


Blakemore, Minnesota, atau Linton-Nachlas. Alat ini untuk
mengontrol perdaraghan GI bagian atas karena varises esophagus.

Tube Sangstaken-Blakemore mengandung 3 lumen: (1) balon


gastrik yang dapat diinflasikan dengan 100-200 mL udara, (2) balon
esopagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mm Hg (menggunakan
spigmomanometer) dan lumen yang ke (3) untuk mengaspirasi isi
lambung.

Tube Minnesota, mempunyai lumen tambahan dan mempunyai


lubang untuk menghisap sekresi paring. Sedangkan tube Linton-
Nachlas terdiri hanya satu balon gaster yang dapat diinflasikan dengan
500-600 mL udara. Terdapat beberapa lubang/bagian yang terbuka
baik pada bagian esophagus maupun lambung untuk mengaspirasi
sekresi dan darah.

Tube/slenag Sangstaken-Blakemore setelah dipasang didalam


lambung dikembangkan dengan udara tidak lebih dari 50 ml

Kemudian selang ditarik perlahan sampai balon lambung pas


terkait pada kardia lambung.

Setelah dipastikan letaknya tepat (menggunakan pemeriksaan


radiografi), balon lambung dpat dikembangkan dengan 100-
200 mL udara.

Kemudian selang dibagian luar ditraksi dan difiksasi.


Jika perdarahan berlanjut balon esopagus dapat dikembangkan
dengan tekanan 250 40 mm Hg (menggunakan
spigmomanometer) dan dipertahankan dalam 24-48 jam. Jika
lebih lama depat menyebabkan edema, esopagitis, ulserasi atau
perforasi esopagus.

Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah


observasi konstan dan perawatan cermat, dengan
mengidentifikasi ketiga ostium selang, diberi label dengan
tepat dan diperiksa kepatenannya sebelum dipasang.

(7) Asuhan Keperawatan

Pasien dipertahankan istirahat sempurna, karena gerakan seperti


batuk, mengejan meningkatkan tekanan intra abdomen (tib)
shg dapat terjadi perdarahan lenjut.

Bagian kepala tempat tidur tetap ditinggikan untuk mengurangi


aliran darah ke sistem porta dan mencegah refluk ke dalam
esopagus.

Karena pasien tdk dapat menelan saliva harus sering di suction


dari esopagus bagian atas

Nasoparing harus sering sisuction karena peningkatan sekresi


akiat iritasi oleh selang

NGT harus diirigasi setiap 2 jam untuk memastikan


kepatenannya dan menjaga agar lambung tetap kosong.

Lubang hidung harus sering diperiksa, dibersihkan dan diberi


pelumas untuk mencegah area penekanan yang disebabkan
selang.

Jangan membiarkan darah berada dalam lambung karena akan


masuk ke intestin dan bereaksi dengan bakteri menghasilkan
amonia, yang akan diserap ke dalam aliran darah. Sementara
kemapuan hepar untuk merubah amonia menjadi urea rusak,
dan dapat terjadi intoksikasi amonia.

(8) Terapi Pembedahan

Reseksi lambung (antrektomi)

Gastrektomi
Gastroentrostomi

Vagotomi

Billroth I : prosedur yang mencakup vagotomi dan antrektomi dengan

anastomosis lambung pada duodenum.

Billroth II : meliputi vagotomi, reseksi antrum dan anastomosis


lambung pada jejunum

Operasi dekompresi hiertensi porta

2. Penatalaksanaan keperawatan

2.1. Pengkajian

a. Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium

Anamnesis: perlu ditanyakan tentang:

Riwayat penyakit dahulku: hepatitis, penyakit hati menahun,


alkohlisme, penyakit lambung, pemakaian obat-obat
ulserogenikdan penyakit darah seperti leuikemia, dll.

Pada perdarahan karena pecahnya varises esophgaus, tidak


ditemukan keluhan nyeri atau pedih di daerah epigastrium

Tanda-gejala hemel timbul mendadak

Tanyakan prakiraan jumlah darah: misalnya satu gelas, dua gelas


atau lainnya.

Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum

Kesadaran

Nadi, tekanan darah

Tanda-tanda anemia

Gejala hipovolemia
Tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hati: spider nevi,
ginekomasti, eritema palmaris, capit medusae, adanya kolateral,
asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai.

Laboratorium:

Hitung darah lengkap: penurunan Hb, Ht, peningkatan leukosit

Elektrolit: penurunan kalium serum; peningkatan natrium, glukosa


serum dan laktat.

Profil hematologi: perpanjangan masa protrombin, tromboplastin

Gas darah arteri: alkalosis respiratori, hipoksemia.

b. Pemeriksaan Radiologis

Dilakukan dengan pemeriksaan esopagogram untuk daerah esopagus


dan double contrast untuk lambung dan duodenum.

Pemeriksaan tsb dilakukan pada berbagai posisi terutama pada 1/3


distal esopagus, kardia dan fundus lambung untuk mencari ada
tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

c. Pemeriksaan Endoskopi

Untuk menentukan asal dan sumber perdarahan

Keuntungan lain: dapat diambil foto, aspirasi cairan dan biopsi untuk
pemeriksaan sitopatologik

Dilakukan sedini mungkin setelah hematemisis berhenti.

2.1. Diagnosa Keperawatan

1) Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut,


penggantian cepat volume dengan cairan kristaloid.

2) Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas


angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi.

3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan aliran intravena

4) Ansietas berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan kematian


ataupun
kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial atau

ketidakmampuan yang permanen.

2.2. Intervensi Keperawatan

Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi keperawtan


Defisit volume cairan Pantau vs setiap jam
berhubungan dengan Pasien akan tetap
kehilangan darah akut, stabil secara Pantau nilai-nilai
penggantian cepat volume hemodinamik hemodinamik
dengan cairan kristaloid.
Ukur output urine tiap
jam

Ukur I dan O dan kaji


keseimbangan

Berikan cairan pengganti


dan produk darah sesuai
instruksi. Pantau adanya
reaksi yang merugikan
terhadap komponen
terapi.

Tirang baring total,


baringkan pasien
terlentang dg kaki
ditinggikan untuk
meningkatkan preload
jika pasien mengalami
hipotensi. Jika terjadi
normotensi tempatkan
tinggi bagian kepala
tempat tidur pada 45
derajat untuk mencegah
aspirasi isi lambung.

Pantau Hb dan Ht

Pantau elektrolit
Periksa feses terhadap
darah untuk 72 jam
setelah masa akut.

Lanjutan

Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi keperawtan


Kerusakan pertukaran gas Pasien akan Pantau SaO2 dengan
berhubungan dengan mempertahankan menggunakan oksimetri
penurunan kapasitas oksigenasi dan atau ABGs
angkut oksigen dan faktor- pertukran gas yang
faktor resiko aspirasi. adekuat Pantau bunyi nafas dan
Resiko tinggi terhadap gejala-gejala pulmoner
infeksi berhubungan Pasien tidak akan
dengan aliran intravena mengalami infeksi Gunakan suplemen O2
nosokomial sesuai instruksi

Pantau suhu tubuh

Pantau adanya distensi


abdomen

Baringkan pasien pada


bagian kepala tempat
tidur yang ditinggikan
jika segalanya
memungkinkan

Pertahankan fungsi dan


patensi NGT dengan
tepat

Atasi segera mual

Pertahankan kestabilan
selang intravena.

Ukur suhu tubuh setiap


jam

Pantau sistem intravena


terhadap patensi,
infiltrasi, dan tanda-tanda
infeksi

Ganti letak intravena


setiap 48-72 jam dan jika
perlu

Ganti larutan intravena


sedikitnya tiap 24 jam

Letak insersi setiap shift

Gunakan tehnik aseptik


saat mengganti balutan
dan selang. Pertahankan
balutan bersih dan steril

Ukur sel darah putih

DAFTAR PUSTAKA
Hudak dan Galo. (1996). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik. (Vol. II, edisi 6).
Jakarta: EGC.

Lanros, N.E., dan Barber, J.M. (2000). Emergency nursing. (4th ed.). Stamford: Appleton
& Lange.

Suparman. (1987). Ilmu penyakit dalam. (Jilid I, edisi kedua). Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Anda mungkin juga menyukai