PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Agama merupakan sesuatu hal yang sangat fundamental dan sacral bagi kehidupan
manusia dimuka bumi ini, agama juga merupakan suatu implementasi dari sebuah
keyakinan yang dianut oleh manusia yang menjadi dasar dan sumber kepercayaannya
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berbicara agama, di Indonesia terdapat enam agama yang
harus diakui oleh masyarakat yaitu Islam, Kriten Protes tan, Kristen Katolik, Hindu, Budha,
dan Kong Hu Cu. Semua agama ini merupakan implementasi dari keimanan seorang
manusia dalam hidupnya.
Yang selanjutnya adalah ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan ini didapat oleh manusia
melalui proses belajar dan pengalaman yang ia rasakan dalam hidupnya sehari. Bahkan
agama ini sendiri didapat oleh manusia dengan menjembatani ilmu pengetahuan, manusia
tidak akan bisa menganut agama dengan baik kalau tidak ada ilmu pengetahuan yang
menjadi jembatan untuk menuju suatu agama yang diyakininya itu.
Dalam hal jelaslah bahwa agama dan ilmu pengetahuan memiliki korelasi yang sangat
erat dan tidak mungkin dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keduanya saling
menjalankan perannya secara sinergi dan berkesinambungan. Berbicara agama dan ilmu
pengetahuan, selanjutnya akan kita bahas secara detail masalah agama dan ilmu
pengetahuan itu sendiri, yang diantaranya pengertian dari agama, pengertian dari ilmu
pengetahuan, cirri-ciri agama, cirri ilmu pengetahuan, dan hubungan agama dengan ilmu
pengetahuan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Agama ?
2. Apa Pengertian Ilmu Pengetahuan ?
3. Apa saja Ciri Aagama ?
4. Apa saja Ciri Ilmu Pengetahuan ?
5. Bagaimana Hubungan Agama dan Ilmu Pengetahuan ?
6. Keterkaitan agama dan ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AGAMA
Agama (Sanskerta, a = tidak; gama = kacau) artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan
dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio (dari religere, Latin) artinya
mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan
manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri
orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu (yang supra natural) dan berfungsi
agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang
dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia (pendiri atau pengajar utama
agama) untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan
perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya.
Dari sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya. Artinya, manusia
membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan dan perkembangan budaya serta
peradabannya. Dengan itu, semua bentuk-bentuk penyembahan kepada Ilahi (misalnya
nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan lain-lain) merupakan unsur-unsur kebudayaan. Dengan
demikian, jika manusia mengalami kemajuan, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan
kebudayaan, maka agama pun mengalami hal yang sama.
1. Pada setiap agama mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau Sesuatu Yang Ilahi
dan disembah. Ia bisa disebut TUHAN, Allah, God, Dewa, El, Ilah, El-ilah, Lamatuak,
Debata, Gusti Pangeran, Deo, Theos atau penyebutan lain sesuai dengan konteks dan
bahasa masyarakat [bahasa-bahasa rakyat] yang menyembah-Nya. Penyebutan tersebut
dilakukan karena manusia percaya bahwa Ia yang disembah adalah Pribadi yang benar-
benar ada; kemudian diikuti memberi hormat dan setia kepada-Nya. Jadi, jika ada ratusan
komunitas bangsa, suku, dan sub-suku di dunia dengan bahasanya masing-masing, maka
nama Ilahi yang mereka sembah pun berbeda satu sama lain.
2. Pada setiap agama ada keterikatan kuat antara yang menyembah [manusia] dan yang
disembah atau Ilahi. Ikatan itu menjadikan yang menyembah [manusia, umat]
mempunyai keyakinan tentang keberadaan Ilahi. Keyakinan itu dibuktikan dengan
berbagai tindakan nyata [misalnya, doa, ibadah, amal, perbuatan baik, moral, dan lain-
lain] bahwa ia adalah umat sang Ilahi.
3. Pada umumnya, setiap agama ada sumber ajaran utama [yang tertulis maupun tidak tidak
tertulis]. Ajaran-ajaran tersebut antara lain: siapa Sang Ilahi yang disembah umat
beragama; dunia; manusia; hidup setelah kematian; hubungan antar manusia; kutuk dan
berkat; hidup dan kehidupan moral serta hal-hal [dan peraturan-peraturan] etis untuk para
penganutnya.
4. Ajaran-ajaran agama dan keagamaan tersebut, pada awalnya hanya merupakan uraian
atau kalimat-kalimat singkat yang ada pada Kitab Suci. Dalam perkembangan kemudian,
para pemimpin agama mengembangkannya menjadi suatu sistem ajaran, yang bisa saja
menjadi suatu kerumitan untuk umatnya; dan bukan membawa kemudahan agar umat
mudah menyembah Ilahi.
5. Secara tradisionil, umumnya, pada setiap agama mempunyai ciri-ciri spesifik ataupun
berbeda dengan yang lain. Misalnya,
Pada setiap agama ada pendiri utama atau pembawa ajaran; Ia bisa saja disebut
sebagai nabi atau rasul, guru, ataupun juruselamat
Agama harus mempunyai umat atau pemeluk, yaitu manusia; artinya harus ada
manusia yang menganut, mengembangkan, menyebarkan agama
Agama juga mempunyai sumber ajaran, terutama yang tertulis, dan sering disebut
Kitab Suci; bahasa Kitab Suci biasanya sesuai bahasa asal sang pendiri atau
pembawa utama agama
Agama harus mempunyai waktu tertentu agar umatnya melaksanakan ibadah
bersama, ternasuk hari-hari raya keagamaan
Agama perlu mempunyai lokasi atau tempat yang khusus untuk melakukan ibadah;
lokasi ini bisa di puncak gunung, lembah, gedung, dan seterusnya
a. Titik Persamaan
Baik ilmu dan agama bertujuan sekurang-kurangnya berusaha berurusan dengan hal yang
sama, yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya sendiri mencari kebenaran
tentang alam dan manusia. Agama dengan karakteristiknya memberikan jawaban atas
segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia ataupun tentang tuhan.
b. Titik Perbedaan
Ilmu merupakan hasil dari sumber rayu (akal, budi,rasio) manusia. Sedangkan agama
bersumberkan wahyu dari Allah swt.Ilmu pengetahuan mencari kebenaran denan jalan
penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiri), dan percobaan (eksperimen) sebagai
batu ujian.
Manusia mencari dan menemukan kebenaran dalam agama dengan jalan mempertanyakan
(mencari jawaban tentang) berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci, kodifikasi
firman ilahi untuk manusia. Kebenaran ilmu pengetahuan ialah kebenaran fositif (berlaku
sampai dengan saat ini ),
Kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara
empiris, reset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun filsafat, kedua-duanya nisbi
(relative).
Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolute) karena agama adalah wahyu yang
diturunkan oleh zat yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha sempurna, yaitu Allah swt.
Baik ilmu maupun filsafat,kedua-duanya bermulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya
dan iman.
c. Titik Singgung
Tidak smua masalah yang dipertanyakan manusia dapat dijawab secara positif oleh ilmu
pengetahuan, karena ilmu itu terbatas : Allah swt; terbatas oleh subjeknya (sang penyelidik),
oleh subyeknya (naik objek material maupun objek formalnya), oleh metodologinya. Tidak
semua masalah yang tidak atau belum dijawab oleh ilmu, lantas dengan sendirinya dapat
dijawab oleh filsafat. Jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan alternative. Tentang suatu
masalah asasi yang sama terdapat berbagai jawaban filsafat (para fisuf) sesuai dengan jalan
dengan titik tolak sang ahli filsafat itu. Agam member jawaban tentang banyak soal sasi
yang samasekali tidak terjawab oleh ilmu, yang dipertanyakan (namun tidak terjawab secar
bulat ) oleh filsafat.
Dapatlah dikatakan bahwa karena ilmu pengetahuan adalah cahaya dan juga kekuatan,
maka penerapannya pada dunia material ini tidaklah khusus. Ilmu pengetahuan
mencerahkan dunia spiritual kita juga, dan konsekuensinya memberikan kekuatan bagi kita
untuk mengubah dunia spiritual kita. Karena itu, ilmu pengetahuan dapat membentuk
dunia dan manusia juga. Ilmu pengetahuan dapat menunaikan tugasnya sendiri, yaitu
membentuk dunia dan juga tugas agama, yaitu membentuk manusia. Jawabannya adalah
bahwa semua ini memang benar, namun masalah pokoknya adalah bahwa ilmu
pengetahuan adalah alat yang penggunaannya tergantung kepada kehendak manusia. Apa
saja yang dilakukan oleh manusia, dengan bantuan ilmu pengetahuan dia dapat
melakukannya dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami katakan bahwa ilmu pengetahuan
membantu kita mencapai tujuan dan melintasi jalan yang kita pilih.
Jadi, alat digunakan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Sekarang pertanyaannya adalah, dengan dasar apa tujuan itu ditetapkan? Seperti kita
ketahui, pada dasarnya manusia adalah binatang. Sisi manusiawinya merupakan kualitas
(kemampuan) yang diupayakannya. Dengan kata lain, kemampuan-kemampuan
manusiawi yang dimiliki oleh manusia perlu ditumbuh-kembangkan secara bertahap
dengan agama. Pada dasarnya manusia berjalan menuju tujuan egoistis dan hewaninya.
Tujuan ini material dan individualistis sifatnya. Untuk mencapai tujuan ini, manusia
memanfaatkan alat yang ada pada dirinya. Karena itu, dia membutuhkan kekuatan
pendorong. Kekuatan pendorong ini bukan tujuannya dan juga bukan alatnya. Dia
membutuhkan kekuatan yang dapat meledakkannya dari dalam, dan mengubah
kemampuan terpendamnya menjadi tindakan nyata. Dia membutuhkan kekuatan yang
dapat mewujudkan revolusi dalam hati nuraninya dan memberinya orientasi baru. Tugas
ini tidak dapat dilaksanakan dengan pengetahuan tentang hukum yang mengatur manusia
dan alam beserta isinya. Namun tugas ini baru dapat dilaksanakan jika dalam jiwa manusia
tertanam kesucian dan arti penting nilai-nilai tertentu. Untuk tujuan ini manusia harus
memiliki beberapa kecenderungan yang mulia. Kecenderungan seperti ini ada karena cara
pikir dan konsepsi tertentu tentang alam semesta dan manusia. Cara pikir dan konsepsi ini,
serta muatan dimensi dan bukti cara pikir dan konsepsi tersebut, tidak dapat diperoleh di
laboratorium dan, seperti akan kami jelaskan, berada di luar jangkauan ilniu pengetahuan.
Sejarah masa lalu dan sekarang telah memperlihatkan betapa buruk akibat yang
ditimbulkan oleh pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama. Kalau ada agama namun
tak ada ilmu pengetahuan, maka arah upaya kaum humanitarian adalah sesuatu yang tidak
banyak membawa hasil atau tidak membawa hasil yang baik. Upaya ini sering menjadi
sumber prasangka dan obskurantisme (sikap yang menentang ilmu pengetahuan dan
pencerahan-pen.), dan terkadang hasilnya adalah konflik yang membahayakan.
Dua atau tiga abad yang baru lalu dapat dipandang sebagai periode mendewakan ilmu
pengetahuan dan mengabaikan agama. Banyak intelektual mengira bahwa segenap
problem yang dihadapi manusia dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan, namun
pengalaman telah membuktikan sebaliknya. Dewasa ini kaum materialis merasa terpaksa
mengklaim diri sebagai kaum yang secara filosofis materialis dan secara moral idealis.
Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa mereka adalah kaum materialis dari sudut
pandang teoretis, dan kaum spiritualis dari sudut pandang praktis dan idealistis.
Bagaimanapun juga, problemnya tetap: mana mungkin seorang manusia secara teoretis
materialis dan secara praktis spiritualis? Pertanyaan ini harus dijawab oleh kaum materialis
sendiri.
George Sarton, ilmuwan dunia yang termasyhur, penulis buku yang terkenal, History of
Science (Sejarah Ilmu Pengetahuan), ketika menguraikan ketidakberdayaan ilmu
pengetahuan mewujudkan hubungan antar umat manusia, dan ketika menegaskan
kebutuhan mendesak akan kekuatan agama, berkata:
Di bidang-bidang tertentu, ilmu pengetahuan berhasil membuat kemajuan yang hebat.
Namun di bidang-bidang lain yang berkaitan dengan hubungan antar umat manusia,
misalnya bidang politik nasional dan internasional, kita masih menertawakan diri kita.
George Sarton mengakui bahwa kayakinan yang dibutuhkan oleh manusia adalah
keyakinan yang religius. Menurutnya, kebutuhan ini merupakan satu di antara tiga
serangkai yang dibutuhkan oleh manusia: seni, agama dan ilmu pengetahuan. Katanya,
Seni mengungkapkan keindahan. Seni adalah kenikmatan hidup. Agama berarti kasih
sayang. Agama adalah musik kehidupan. Ilmu pengetahuan berarti kebenaran dan akal.
Ilmu pengetahuan adalah had nurani umat manusia. Kita membutuhkan ketiganya: seni,
agama dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mutlak diperlukan, meskipun tidak
pernah memadai. (George Sarton, Six Wings: Men of Science in the Renaissance, hal.
218. London, 1958)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa : Agama (Sanskerta, a = tidak;
gama = kacau) artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai
arah atau tujuan tertentu. Religio (dari religere, Latin) artinya mengembalikan ikatan,
memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk
mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Adanya berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong
untuk memahami hakikat ilmu pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepentingan
dengan mengadakan penggolongan (klasifikasi) sehingga garis demarkasi antara (cabang)
ilmu yang satu dengan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan.
Berdasarkan semuanya itu, hal-hal yang patut diperhatikan untuk memahami agama.
Pada setiap agama mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau Sesuatu Yang Ilahi
dan disembah. Pada setiap agama ada keterikatan kuat antara yang menyembah [manusia]
dan yang disembah atau Ilahi. Pada umumnya, setiap agama ada sumber ajaran utama [yang
tertulis maupun tidak tidak tertulis]. Ajaran-ajaran agama dan keagamaan tersebut, pada
awalnya hanya merupakan uraian atau kalimat-kalimat singkat yang ada pada Kitab Suci.
Ilmu pengetahuan memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu:
1. Merupakan seperangkat pengetahuan yang sistematis
2. M e m i l i k i m e t o d e y a n g e f e k t i f
3. M e m i l i k i o b j e k
4. Memiliki rumusan kebenaran-kebenaran umum
5. B e r s i f a t o b j e k t i f
6. Dapat memberikan perkiraan atau prediks
Sudut pandang kedua yang menjadi landasan dalam membahas hubungan antara agama
dan ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang bagaimana keduanya ini berpengaruh pada
manusia. Apakah ilmu pengetahuan membawa kita ke satu hal, dan agama membawa kita
kepada sesuatu yang bertentangan dengan satu hal itu? Apakah ilmu pengetahuan mau
membentuk (karakter) kita dengan satu cara dan agama dengan cara lain? Atau apakah
agama dan ilmu pengetahuan saling mengisi, ikut berperan dalam menciptakan
keharmonisan kita semua? Baiklah, kita lihat sumbangan ilmu pengetahuan untuk kita dan
sumbangan agama untuk kita.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin. 1987. Ilmu, Filsafat dan Agama. Cet. VII. Surabaya:PT Bina Ilmu.
Kattsoof, Louis O. 1953. Elements Of Philosofy. New York:The Ronald Press Co.
Suhar. 2009. Filsafat Umum. Jambi:Sulthan thaha press IAIN STS JAMBI.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu:Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologisme, Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta:PT Bumi Aksara.