Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Peningkatan usia harapan hidup merupakan salah satu tolak ukur
keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia. Usia harapan hidup
masyarakat Indonesia adalah 64,7 tahun pada tahun (1995-2000) dan menjadi 70
tahun pada tahun 2008. meskipun demikian usia lanjut dapat menimbulkan
masalah yang perlu diwaspadai yakni adanya berbagai penyakit degeneratif
termasuk osteoporosis yang berakibat pada penurunan kualitas hidup. Masalah
yang ditimbulkan akibat osteoporosis cukup besar, yaitu dapat menimbulkan
morbiditas dan dibutuhkan biaya yang cukup besar apabila terjadi patah tulang.1
Sejak tahun 1990 sampai 2025 akan terjadi kenaikan jumlah penduduk
Indonesia sampai 41,4 % dan osteoporosis selalu menyertai usia lanjut baik
perempuan maupun laki-laki. Saat ini, Indonesia memiliki jumlah penduduk
sekitar 237 juta jiwa, dan diperkirakan pada tahun 2050 jumlah penduduk
Indonesia adalah 288 juta jiwa, dimana 71 juta orang akan berusia diatas 60
tahun.2
Osteoporosis merupakan penyakit metabolisme tulang yang ditandai
pengurangan massa tulang, kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitas
tulang yang meningkat, sehingga risiko fraktur menjadi lebih besar.3
Osteoporosis mempunyai arti klinis ketika timbul rasa sakit ataupun
fraktur yang diakibatkan oleh penyakit ini. Di beberapa negara, osteoporosis telah
menjadi penyakit metabolism tulang yang utama. Di Negara lainnya, seiring
dengan meningkatnya harapan hidup dan perubahan pola gaya hidup, mayoritas
masyarakat akan dihadapkan dengan masalah osteoporosis ini.3
Osteopenia terjadi pada semua orang di dekade akhir dari kehidupan.
Keadaan ini ditandai oleh menurunya massa tulang, meskipun mikroarsitektur
tulang masih dalam batas-batas normal. Setelah berumur 50 tahun, maka setiap
peningkatan usia satu dekade akan terjadi peningkatan dua kali lipat risko patah
tulang.4

1
Pada wanita angka kejadian osteoporosis lebih tinggi. Pada osteoporosis
tipe I, rasio wanita disbanding laki-laki 6:1, sedangkan tipe II rasionya 2:1. Dari
penelitian di Amerika serikat 17% wanita ras Kaukasia pasca menopause
menderita osteoporosis, sedangkan ras Hispanik 12% dan ras Afrika-Amerika 8%,
dan angka kejadian fraktur osteoporosis yang tertinggi terjadi di Amerika Utara
dan eropa, terutama Negara-negara di Skandinavia, sedangkan di Afrika dan Asia
didapatkan angka kejadian yang rendah.4
Masalah utama pada penyakit ini adalah diagnosis penyakit ini biasanya
baru ditegakkan setelah terjadi fraktur ataupun lama setelah gejala awal penyakit
ini, oleh karena hilangnya substansi tulang pada osteoporosis berjalan sangat
lambat dan selama itu gejala yang ada asimptomatis. Dan juga meningkatnya
harapan hidup masyarakat serta perubahan pola hidup yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya osteoporosis. Untuk itu penulis merasa perlu untuk membuta
tinjauan kepustaakan osteoporosis.1

2
BAB II
HOMEOSTASIS TULANG

2.1 Struktur Tulang


Secara garis besar tulang dikenal ada dua tipe yaitu tulang korteks
(kompak) dan tulang trabekular (berongga = spongy = cancelous). Bagian luar
kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan
bagian dalamnya adalah tulang trabekular yang tersusun seperti bunga karang.
Tulang korteks merupakan bagian terbesar (80%) penyusun kerangka,
mempunyai fungsi mekanik, modulus elastisitas yang tinggi dan mampu menahan
tekanan mekanik berupa beban tekukan dan puntiran yang berat. Tulang korteks
terdiri dari lapisan padat kolagen yang mengalami mineralisasi, tersusun
konsentris sejajar dengan permukaan tulang. Tulang korteks terdapat pada tulang
panjang ekstremitas dan vertebra. Tulang spongiosa atau canselous atau
trabekular mempunyai elastisitasnya lebih kecil dari tulang korteks, mengalami
proses resorpsi lebih cepat dibandingkan dengan tulang korteks. Tulang spongiosa
terdapat pada daerah metafisis dan epifisis tulang panjang serta pada bagian
dalam tulang pendek.5

3
Gambar 1. Struktur Tulang Normal dengan Sistem Havers7
Korteks tulang tersusun seperti osteon, yaitu lapisan konsentris dari tulang
yang dikelilingi oleh kanal dengan panjang > 2 mm dan lebar 2 mm dimana
didalamnya terdapat osteosit dan pembuluh darah untuk nutrisi. Trabekular tulang
terdiri dari unit tulang struktural. Pada kedua tempat ini yaitu bagian trabekular
tulang dan permukaan dalam korteks tulang merupakan bagian yang rentan
terhadap pengeroposan tulang.6 Terdapat sistem havers yang merupakan susunan
melingkar berbentuk silinder yang dihubungkan oleh saluran havers. Saluran ini
berisi kapiler, arteriola, venula, nervi dan limfe. Tulang mendapat nutrisi melalui
sirkulasi intraoseus.5,7
Selama perkembangannya tulang membutuhkan kalsium yang tinggi dan
setelah mencapai masa pubertas kematangan hormon estrogen pada wanita dan
kematangan hormon testoteron pada laki-laki, karena pengaruh anabolik dan 12
prekusor estrogen terjadilah proses remodeling tulang. Keterlambatan dan
kegagalan pembentukan gonad (sindroma Turner, sindroma Klinefelter), faktor
nutrisi dan aktifitas fisik berat terutama saat puber sebelum menarche (atlit
berprestasi merupakan faktor yang menyebabkan tidak tercapai puncak massa
tulang dan ancaman terjadinya osteoporosis dini).8

4
2.2 Sel Tulang
a. Osteoblas

Osteoblas berasal dari jalur sel mesenkim stroma sumsum tulang.


Osteoblas memproduksi osteoid atau matriks tulang, berbentuk bulat, oval atau
polihedral, terpisah dari matriks yang telah mengalami mineralisasi. Osteoblas
berfungsi mensintesis dan mensekresi matriks organik tulang, mengatur
perubahan elektrolit cairan ekstraselular pada proses mineralisasi. Osteoblas
mengandung reticulum endoplasmik, membran golgi dan mitokondria.
Pematangan osteoblast memerlukan fibroblast growth factor (FGF), bone
morphogenic proteins (BMPs), core binding factor-1 (CBFA-1) dan osteoblast
specific cis acting element (OSE-2). Osteoblas memiliki reseptor estrogen, sitokin,
paratiroid hormon (PTH), insulin derivated growth factor (IGF), dan Vitamin D3.
Osteoblas saling berhubungan melalui gap junction.Osteoblas yang menetap pada
permukaan tulang bentuknya pipih yang dinamakan bone lining cells / resting
osteoblast.7

b. Osteoklas
Osteoklas berasal dari jalur hemopoetik yang juga membuat makrofag dan
monosit. Sel ini berpindah dari sumsum tulang lewat sirkulasi atau migrasi direk.
Sel prekursor osteoklas terdapat pada sumsum tulang dan sirkulasi darah. Sel ini
ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami resorpsi dan kemudian
membentuk cekungan yang dikenal sebagai lakuna Howship. Osteoklas dalam
sitoplasmanya akan terisi oleh mitokondria guna menyediakan energi untuk
proses resorpsi tulang. Osteoklas merusak matriks tulang, melekat pada
permukaan tulang, memisahkan sel dengan matriks, menurunkan Ph 7 menjadi
pH 4. Keasaman ini akan melarutkan mineral dan merusak matriks sel sehingga
protease keluar. Osteoklas memiliki reseptor yaitu RANK-ligand (RANK-L) untuk
maturasi sel dan mengalami apoptosis.7,9

5
Gambar 2: Sel tulang (ob: Osteoblas; oc:Osteoklas).8

c. Osteosit
Osteosit berasal dari osteoblas dimana pada akhir proses mineralisasi akan
tersimpan pada matriks tulang. Osteosit mempunyai satu inti, jumlah organela
bervariasi dan sel ini menjangkau permukaan luar dan dalam tulang, membuat
tulang menjadi sensitif terhadap tekanan, mengontrol pergerakan ion serta
mineralisasi tulang.7,10 Osteosit merupakan 90% dari sel tulang terletak diantara
matriks tulang yang mengalami mineralisasi. Osteosit mempunyai satu inti,
jumlah organela bervariasi. Jaringan sel ini menjangkau permukaan luar dan
dalam tulang, membuat tulang menjadi sensitif terhadap pengaruh tekanan,
mengontrol pergerakan ion serta mineralisasi tulang. Osteosit berasal dari
osteoblas yang pada akhir proses mineralisasi terhimpit oleh ekstraselular matriks.
Osteosit merupakan sel yang sensitif terhadap tekanan mekanik, berperan dalam
pemeliharaan massa dan struktur tulang.7,10,11

2.3 Modeling dan Remodeling Tulang


2.3.1 Modeling
Modeling tulang adalah suatu proses untuk mencapai bentuk dan ukuran
yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan tulang. Pembentukan tulang
panjang terjadi melalui mekanisme pergeseran tulang endokondrial pada tulang
6
panjang dan pergeseran pada tulang apendikular. Hal ini merupakan perubahan
dari garis turunan sel mesenkim menjadi kondroblas selanjutnya menjadi
kondrosit dengan mensintesis proteoglikan sebagai dasar dari matriks 21
ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks ekstraseluler, berlangsung juga
invasi pembuluh darah termasuk prekursor osteoklas dan prekursor osteoblas.
Kalsifikasi tulang rawan disebut the primary spongiosum bone dan untuk tulang
yang terletak di antara jaringan disebut the secondary spongiosum bone yang
nantinya dikenal sebagai woven bone.7,8

Gambar 3 : Modeling dan Remodeling Tulang.12

2.3.2 Remodeling
Setelah tulang woven berubah menjadi tulang berlapis (lamellar), tulang
terus mengalami proses resorpsi, pembentukan dan mineralisasi yang dikenal
sebagai remodeling tulang (pembentukan kembali). Tujuan pembentukan kembali
tulang atau remodeling tulang adalah untuk mereparasi kerusakan tulang akibat
kelelahan atau fatigue damage, mencegah proses ketuaan atau aging dan
akumulasi tulang tua. Proses remodeling diatur oleh sel osteoblas dan osteoklas

7
22 yang tersusun dalam struktur yang disebut bone remodeling unit (BRU).
BRU merupakan suatu struktur temporer yang unik aktif saat modeling dan
remodeling. Struktur dari BRU terdiri dari osteoklas didepan diikuti oleh
osteoblas, dibelakang dan ditengah-tengah terdapat kapiler, jaringan syaraf dan
jaringan ikat. Panjang BRU 1-2 mm dengan lebar 0,24 mm bekerja memahat
tulang, meresorpsi tulang dan membentuk tulang baru. Pada orang dewasa sehat
diperkirakan 1 juta BRU aktif bekerja sedangkan 2-3 juta BRU dalam keadaan
non aktif. BRU bekerja pada tulang kortikal maupun trabecular.7,8,12

Gambar 4 : Proses Remodeling Tulang.7

Pada tulang trabekula, BRU bergerak melewati permukaan memahat dan


menggali oleh osteoklas dan menutup bekas galian tadi mengganti sel sel yang
rusak dan membentuk tulang baru oleh osteoblas. Proses penyerapan tulang
terjadi dalam tiga minggu sedangkan proses pembentukan tulang membutuhkan
waktu sekitar tiga bulan. Masa hidup BRU enam sampai sembilan bulan, lebih
lama dari masa hidup osteoblas yaitu tiga bulan dan masa hidup osteoklas dua
minggu sehingga diperlukan persediaan banyak sel osteoblas yang dibentuk oleh
sel mesenkim dan osteoklas.7,8,12

8
Menurut Frost, BRU terjadi pada permukaan tulang trabekular dan kortikal
sebagai lacuna howsip ireguler berlangsung selama 2 minggu. Proses aktifitas
remodeling tulang dimulai dengan aktifitas prekusor hemopoetik menjadi
osteoklas yang secara normal akan berinteraksi dengan linning cell osteoblas.
Dalam fase reversal osteoklas menghilang, digantikan oleh sel monosit yang
bekerja menempelkan bahan yang akan menjadi lapisan cement, kemudian pada
fase formasi tulang oleh pengaruh sinyal tertentu osteoblas menempel di
permukaan lubang lacuna howsip dan mensintesis kolagen, protein non-kolagen
dan mensekresinya membentuk osteoid yang pada akhirnya termineralisasi
ekstrasel menjadi tulang. Densitas tulang akan terus meningkat sampai pada
dekade keempat atau kelima dengan kecepatan paling tinggi pada massa
pertumbuhan akil balik atau adolescent. Tulang trabekular mengalami remodeling
atau bone turnover sekitar 20-30% pertahun sedangkan tulang korteks 3% - 10%
pertahunnya.7,13

Gambar 5: Perubahan Densitas Massa Tulang7

Secara singkat tahapan siklus remodeling tulang sebagai berikut.7


1. Quiescence, yaitu fase tenang, permukaan tulang sebelum terjadi resorpsi.

9
2. Aktivation, dimulai saat osteoklas teraktivasi dan taksis (pergerakan dan
arah perpindahan dipengaruhi oleh arah datangnya rangsangan) ke
permukaan tulang.
3. Resorption, dimana osteoklas berada pada permukaan tulang. Osteoklas
akan mengikis permukaan tulang, melarutkan mineral, matriks tulang,
membuat lubang (resorption pit) dan selanjutnya tertarik dalam resorption
pit.
4. Bone formation, dimana osteoblas akan membentuk tulang baru dengan
memproduksi matriks tulang osteoid.
5. Mineralization, dimana permukaan tulang telah ditutupi dengan sel-sel
pelapis oleh proses modeling dan remodeling
BAB III
PATOGENESIS DAN KELAINAN LABORATORIUM
OSTEOPOROSIS

3.1 Definisi Osteoporosis


Osteoporosis adalah suatu penyakit degenratif pada tulang yang ditandai
dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan mineral
yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, sehingga
terjadi penurunan kekuatan tulang.14
World Health Organization (WHO) secara operasional mendefinisikan
osteoporosis berdasarkan Bone Mineral Density (BMD), yaitu jika BMD
mengalami penurunan lebih dari -2,5 SD dari nilai rata-rata BMD pada orang
dewasa muda sehat (Bone Mineral Density T-score < -2,5 SD). Osteopenia adalah
nilai BMD -1 sampai -2,5 SD dari orang dewasa muda sehat.14,15

3.2 Klasifikasi Osteoporosis


Menurut pembagiannya, osteoporosis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya.
Pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi osteoporosis primer menjadi 2 tipe,

10
yaitu osteoporosis tipe I dan osteoporosis tipe II. Osteoporosis tipe ini disebabkan
oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II disebut juga
osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga
menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya
osteoporosis. Namun pada sekitar tahun 1990, Riggs dan Melton memperbaiki
hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat
berperan pada osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis.16
b. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya, yaitu
terjadi karena adanya penyakit lain yang mendasari, defisiensi atau konsumsi obat
yang dapat menyebabkan osteoporosis.17,18
3.3 Patogenesis Osteoporosis
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan
aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel
pembentuk tulang). Keadaan ini mengakikatkan penurunan massa tulang. Ada
beberapa teori yang menyebabkan deferensiasi sel osteoklas meningkat dan
meningkatkan aktivitasnya yaitu:9
a) Defisiensi estrogen
b) Faktor sitokin
c) Pembebanan

3.3.1 Defisiensi Estrogen


Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas,
dan beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut,
mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti: Interleukin-1 (IL-1),
Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-), merupakan
sitokin yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen
meningkatkan sekresi Transforming Growth Factor (TGF-), yang merupakan
satu-satunya faktor pertumbuhan (growth factor) yang merupakan mediator untuk
menarik sel osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel
osteoklas. Sel osteoblast merupakan sel target utama dari estrogen, untuk
melepaskan beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas,

11
sekalipun secara tidak langsung maupun secara langsung juga berpengaruh pada
sel osteoklas.19

3.3.1.1 Efek estrogen pada sel osteoblas


Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat
penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun
osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut melalui
pengaturan produksi faktor parakrin-parakrin utamanya oleh sel osteoblas.
Seperti dikemukakan diatas bahwasanya sel osteoblas memiliki reseptor estrogen
alpha dan betha (ER dan ER) di dalam sitosol. Dalam diferensiasinya sel
osteoblas mengekspresikan reseptor betha (ER) 10 kali lipat dari reseptor
estrogen alpha (ER).20
Didalam percobaan binatang defisiensi estrogen menyebabkan terjadinya
osteoklastogenesis dan terjadi kehilangan tulang. Akan tetapi dengan pemberian
estrogen terjadi pembentukan tulang kembali, dan didapatkan penurunan produksi
dari IL-1, IL-6, dan TNF-, begitu juga selanjutnya akan terjadi penurunan
produksi M-CSF dan RANK-Ligand (RANK-L). Di sisi lain estrogen akan
merangsang ekspresi dari osteoprotegerin (OPG) dan TGF- (Transforming
Growth Factor-) pada sel osteoblas dan sel stroma, yang lebih lanjut akan
menghambat penyerapan tulang dan meningkatkan apoptosis dari sel osteoklas.21
Induksi fungsi suatu sel oleh berbagai faktor yang sangat kompleks serta
regulasinya yang berbeda-beda masih sedikit diketahui sampai saat ini. Suatu
sitokin, ligand, maupun hormon yang dapat menghambat atau merangsang fungsi
suatu sel bergantung pada berbagai hal, di antaranya adalah tingkat aktivasi sel
tersebut, sinyal yang memicu, dan waktu (timing), seperti misalnya pada sel
makrofag. Hal yang sama terjadi juga pada sel stroma osteoblastik dan osteoblas.
Jadi tingkat aktivasi dari sel stroma osteoblastik bergantung pada kontak antara
reseptor dan ligand. Estrogen merupakan salah satu yang berfungsi menstimulasi
ekspresi gene dan produksi protein pada sel osteoblastik manusia, seperti
misalnya produksi OPG, RANK-L, dan IL-6. Besar kecilnya protein yang
diproduksi bergantung pada aktivasi sel stroma osteoblastik.22

12
Efek biologis dari estrogen diperantarai oleh reseptor yang dimiliki oleh
sel osteoblastik diantaranya: estrogen receptor-related receptor a (ERR),
reseptor estrogen , (ER, ER). Sub tipe reseptor inilah yang melakukan
pengaturan homeostasis tulang dan berperan akan terjadinya osteoporosis. Dalam
sebuah studi didapatkan bahwa kemampuan estrogen mengatur produksi sitokin
sangat bervariasi dari masing-masing organ maupun masing-masing spesies,
begitu juga terhadap produksi dari IL-6. Dikatakan produksi dari IL-6 pada
osteoblas manusia (human osteoblast) dan stromal sel sumsum tulang manusia
(human bone marrow stromal cells), terbukti diinduksi oleh IL-1 dan TNF, tidak
secara langsung oleh steroid ovarium.23
Dengan demikian dimungkinkan pada sel stroma osteoblastik dan sel
osteoblas terjadi perbedaan tingkat aktivasi sel, sehingga akan terjadi perbedaan
produksi dari protein yang dihasilkannya seperti misalnya: IL-6, RANK-L, dan
OPG, dengan suatu stimulasi yang sama.23

3.3.1.2 Efek estrogen pada sel osteoklas


Dalam percobaan binatang, defisiensi estrogen akan menyebabkan
terjadinya osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan
tulang. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian estrogen. Dengan defisiensi
estrogen ini akan terjadi meningkatnya produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF-a yang
lebih lanjut akan diproduksi M-CSF dan RANK-L. Selanjutnya RANK-L
menginduksi aktivitas JNK1 dan osteoclastogenic activator protein-1, faktor
transkripsi c-Fos dan c-Jun. Estrogen juga merangsang ekpresi dari OPG dan
TGF- oleh sel osteoblas dan sel stroma, yang selanjutnya berfungsi menghambat
penyerapan tulang dan mempercepat / merangsang apoptosis sel osteoklas.19

13
Gambar 6 . Efek estrogen dan sitokin terhadap pengaturan pembentukan osteoklas,
aktivitas, dan proses apoptosisnya, Efek estrogen sebagai stimulasi ditandai dengan E(+),
sedangkan efek inhibisi dengan tanda E(-)19 .
Jadi estrogen mempunyai efek terhadap sel osteoklas, bisa memberikan
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung estrogen
mempengaruhi proses deferensiasi, aktivasi, maupun apoptosi dari osteoklas.
Dalam deferensiasi dan aktivasinya estrogen menekan ekspresi RANK-L, MCSF
dari sel stroma osteoblas, dan mencegah terjadinya ikatan kompleks antara
RANK-L dan RANK, dengan memproduksi reseptor OPG, yang berkompetisi
dengan RANK. Begitu juga secara tidak langsung estrogen menghambat produksi
sitokin-sitokin yang merangsang diferensiasi osteoklas seperti: IL-6, IL-1, TNF-,
IL-11 dan IL-7. Terhadap apoptosis sel osteoklas, secara tidak langsung estrogen
merangsang osteoblas untuk memproduksi TGF-, yang selanjutnya TGF- ini
menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat mengalami apoptosis.24
Sedangkan efek langsung dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui
reseptor estrogen pada sel osteoklas, yaitu menekan aktivasi c-Jun, sehingga
mencegah terjadinya diferensiasi sel prekursor osteoklas dan menekan aktivasi sel
osteoklas dewasa.24
14
3.3.2. Faktor Sitokin
Pada stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis,
melalui suatu jalur yang memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor
koloni-stimulator. Diantara group sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis
antara lain adalah: IL-1, IL-3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin
M (OSM), Ciliary Neurotropic Factor (CNTF), Tumor Necrosis Factor (TNF),
Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan
Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-CSF). Sedangkan IL-4, IL-10, IL-18,
dan interferon-, merupakan sitokin yang menghambat osteoklastogenesis.
Interleukin-6 merupakan salah satu yang perlu mendapatkan perhatian, oleh
karena meningkatnya IL-6 terbukti memegang peranan akan terjadinya beberapa
penyakit, antaranya berpengaruh pada remodeling tulang dan terjadinya
penyerapan tulang berlebihan baik lokal maupun sistemik. Sebetulnya tahun 1998
telah dikemukakan adanya hubungan antara sitokin, estrogen, dan osteoporosis
pascamenopause.25
Dikatakan terjadi peningkatan kadar dan aktivitas sitokin proinflamasi (IL-
1, IL-6, TNF-) secara spontan apabila fungsi ovarium menurun, misalnya pada
masa menopause. Bagaimana mekanisme secara pasti hubungan penurunan
estrogen dengan peningkatan sitokin ini belum diketahui secara jelas. Tetapi ini
diduga erat hubungannya dengan interaksi dari reseptor estrogen (ER = Estrogen
Receptor) dengan faktor transkripsi, modulasi dari aktivitas nitrik-oksid (NO),
efek antioksidan, aksi plasma membran, dan perubahan dalam fungsi sel imun.
Maka pada studi klinis dan eksperimental ditemukan ada hubungannya antara
penurunan massa tulang dengan peningkatan sitokin proinflamasi ini.25
Kemudian ditemukan lagi bahwa, terjadinya diferensiasi turunan sel
monosit menjadi sel osteoklas dewasa/matang dirangsang oleh: tumor necrosis
factor-related factor yang disebut: RANK-L atau dengan nama lain: OPGL atau
ODF (Osteoclast Diferentiation Factors).Bahkan dikatakan bahwa RANK-L
memegang peran yang sangat esensial dalam pembentukan sel osteoklas dan lebih
lanjut akan menyebabkan penyerapan tulang. Melalui studi genetik dan biokemis

15
RANK-L mengatur diferensiasi osteoklas, dengan mengaktifkan reseptor RANK,
melalui peran dari faktor transkripsi: c-Jun.26
Sebuah studi dengan menggunakan tikus mendapatkan bahwa estrogen
(E2) menyebabkan menurunnya osteoklastogenesis, akibat menurunnya respons
prekursor osteoklas terhadap RANK-L; yang lebih lanjut akan menurunkan
aktivasi dari ensim Jun N-terminal kinase 1 (JNK1), yang selanjutnya akan
mengakibatkan menurunnya produksi faktor transkripsi osteoklastogenik c-Fos
dan c-Jun. Dan molekul yang dapat diblokade aktivitasnya oleh OPG disebut:
OPGligand atau ODF atau yang kemudian lebih dikenal dengan RANK-Ligand,
berperan sangat penting sebagai kunci mediator dalam osteklastogenesis. RANK-
L dan osteoprotegerin merupakan suatu parakrin yang mengatur metabolisme
tulang dan fungsi vaskuler. RANK-L merupakan suatu mediator yang
meningkatkan penyerapan tulang pada wanita pascamenopause. Malahan terakhir
dibuktikan bahwa RANK-L merupakan salah satu faktor risiko secara
biomolekuler akan terjadinya osteoporosis pada wanita pascamenopause
defisiensi estrogen.26
RANK-L yang merupakan salah satu famili dari TNF disebut juga: OPG-
L, TNF-Releted Activation Induced Cytokine (TRANCE), ODF dan memiliki
reseptor RANK yang merupakan kunci pengaturan remodeling tulang dan sangat
esensial dalam perkembangan dan aktivasi dari osteoklas. Terjadinya diferensiasi
sel osteoklas dari hemopoitik progenitor bergantung pada reseptor yang terdapat
pada membran sel osteoklas yang disebut RANK yang terbukti bahwa pengaturan
transkripsinya oleh NFkappaB. Sedangkan sel stroma osteoblastik
mengekspresikan pada permukaannya RANK-L. Selanjutnya RANK-L berikatan
dengan RANK pada permukaan sel osteoklas progenitor untuk merangsang
diferensiasi sel tersebut. Selain itu sel stroma osteoblast juga mensekresi suatu
substansi yang larut dan mengambang, yang berfungsi sebagai reseptor dan dapat
juga mengikat RANK-L yang disebut OPG. OPG dapat beraksi sangat poten
sebagai penghambat pembentukan osteoklas dengan cara berikatan dengan
RANK-L, sehingga mencegah interaksi antara RANK-L dengan RANK pada
progenitor osteoklas.26

16
Gambar 7. Peranan RANK dan RANK-Ligand dalamaktivasi sel osteoklas dan peran
OPG menghambat proses tersebut9
Ketiganya yaitu RANK-L, RANK, dan OPG merupakan molekul esensial
yang merupakan protein superfamili dari TNF-TNFR. RANK dan RANK-L
merupakan protein yang menyerupai molekul sitokin yang berikatan pada
membran (membrane-bound cytokine-like molecules). Sedangkan OPG yang
sangat poten sebagai penghambat proses osteoklastogenesis dan penyerapan
tulang baik in vitro maupun in vivo, melalui kemampuannya sebagai reseptor
umpan (decoy receptor) yang dapat berikatan dengan RANK-L, sehingga
dihambat terjadinya interaksi antara RANKL dan RANK.9
Dalam implikasinya RANK-L merangsang terjadinya fusi dari sel
prekursor yang mononukler menjadi sel multinukler, kemudian memacu untuk
berdiferensiasi menjadi sel osteoklas dewasa, perlengketannya pada permukaan
tulang, dan aktivitasnya menyerap tulang, dan bahkan lebih lanjut
mempertahankan kehidupan osteoklas dengan cara memperlambat terjadinya
apoptosis. RANK-L diekspresi paling banyak oleh osteoblas dan sel lapisan

17
mesenchim. Selain itu diekspresi juga oleh sel periosteal, kondrosit, sel endotelial,
dan juga oleh sel T aktif.27

Gambar 8. Proses pembentukan dan aktivasi sel osteoklas, atas pengaruh RANK-L
beserta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ekspresi RANK-L28
3.3.3 Pembebanan
Tulang merupakan jaringan dinamik yang secara konstan melakukan
remodeling akibat respon mekanik dan perubahan hormonal. Remodeling tulang
terjadi dalam suatu unit yang dikenal dengan bone remodeling unit, yang
merupakan keseimbangan dinamik antara penyerapan tulang oleh osteoklas dan
pembentukan tulang oleh osteoblas. Remodeling ini dimulai dari perubahan
permukaan tulang yang pasif (quiescent) menjadi perubahan permukaan tulang
yang mengalami resorpsi. Disini sebetulnya sel osteosit memegang peranan
penting dalam menginisiasi remodeling tulang dengan mengirimkan sinyal lokal
kepada sel osteoblas maupun sel osteoklas di permukaan tulang melalui sistem
kanalikuler.29
Osteosit adalah sel osteoblas yang terkubur dalam lakuna dan
termineralisasi dalam matriks tulang dengan morfologi stellate, dengan tonjolan
dendritic yang merupakan penonjolan plasma membran dan berfungsi sebagai

18
sistem syaraf. Sel osteosit jumlahnya 10 kali dari jumlah sel osteoblas. Osteosit
melalui penonjolan plasma membran (panjang 5 - 30 m) dalam kanalikuli dapat
berkomunikasi dengan osteoblas. Selanjutnya osteoblas berkomunikasi dengan sel
dalam sumsum tulang dengan memproyeksikan selnya ke sel endotil di sinusoid,
dengan demikian lokasi strategis osteosit menjadikan sel ini sebagai kandidat sel
mekanosensori untuk deteksi kebutuhan tulang, menambah atau mengurangi
massa tulang selama adaptasi fungsi skeletal. Osteosit juga mempunyai
kemampuan deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang
dihasilkan akibat pembebanan mekanik dan deteksi perubahan kadar hormon, oleh
karena itu gangguan pada jaringan osteosit meningkatkan fragilitas tulang. 9

Gambar 9. Sel osteosit yang terletak dalam lakuna dari matrik tulang yang mengalami
mineralisasi dan berfungsi sebagai sel mekanosensori9
Pembebanan mekanik pada tulang (skletal load) menimbulkan stres
mekanik dan strain atau resultant tissue deformation yang menimbulkan efek pada
jaringan tulang yaitu membentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga
memperkuat tulang dan menurunkan bone turnover yang mengurangi penyerapan
tulang. Dengan demikian pembebanan mekanik dapat memperbaiki ukuran,
bentuk, dan kekuatan jaringan tulang dengan memperbaiki densitas jaringan

19
tulang dan arsitektur tulang. Tulang melakukan adaptasi mekanik yaitu proses
seluler yang memerlukan sistem biologis yang dapat mengindera pembebanan
mekanik. Informasi pembebanan ini harus dikomunikasikan ke sel efektor yang
akan membuat tulang baru dan merusak tulang yang tua.30

20
3.4 Pemeriksaan laboratorium berupa parameter biokimiawi

Penentuan massa tulang secara radiologis penting untuk menentukan


diagnosis osteoporosis, akan tetapi tidak memberikan gambaran tentang proses
dinamis penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat menunjukkan derajat
kecepatan kehilangan tulang. Biopsi tulang dan parameter biokimiawi dapat
memberikan gambaran ini dengan jelas, tetapi biopsi tulang merupakan prosedur
yang invasif, sehingga sulit untuk dilaksanakan secara rutin, baik untuk ujisaring
maupun untuk pemantauan pengobatan. Sehingga satu- satunya pilihan untuk
menentukan bone turnover adalah parameter atau penanda biokimiawi.31

3.4.1 Marker Formasi Tulang

Marker formasi tulang adalah produk dari osteoblas beserta apa yang
dihasilkan dari aktivitasnya. Osteoblas adalah sel mononuklear yang menempel
pada permukaan tulang dan membentuk tulang baru. Mereka menghasilkan
kolagen tipe I dan matriks komponen osteoid lainnya dan mereka juga
memineralisasi osteoid dengan hidroksiapatit. Anak yang sedang tumbuh
mempunyai lebih banyak osteoblas dibandingkan dengan orang tua. Pada wanita
lansia, osteoblas mungkin meningkat jumlahnya dalam mengkompensasi
peningkatan resopsi tulang karena kurangnya estrogen. Pada pria lansia, aktivitas
osteoblas dapat menurun mungkin karena penurunan Insulin-like Growth Factor 1
(IGF-1) dan testosteron.32
Biomarker formasi tulang terdiri dari :33
1. Propeptida Prokolagen tipe I
Kolagen tipe I adalah bagian dari matriks tulang. Osteoblas melepaskan
prekursor tersebut yaitu prokolagen tipe I. Prokolagen ini mengalami pembelahan
proteolitik dan menghasilkan aminoterminal dan carboxy-terminal propeptida dari
kolagen tipe I (PINP, PICP). Konsentrasi dari PINP dan PICP dalam sirkulasi
diperkirakan mencerminkan laju pembentukan tulang.31

21
Kolagen tipe I disintesis sebagai prekursor diapit oleh C dan N-terminal
dengan extension peptides yang dibelah ketika kolagen diendapkan untuk
membentuk matriks tulang. Katabolisme kedua extension peptides, prokolagen 1
C terminal dan prokolagen 1 N terminal (P1NP) berada di bawah kontrol
hormonal, tapi konsentrasinya tidak tergantung fungsi ginjal. Kedua peptida dapat
diukur dengan immunoassay dan telah menunjukkan variasi yang diharapkan
untuk melihat turnover tulang baik dalam kondisi fisiologis maupun patologis.31
Pertanda tulang P1NP merupakan indikator spesifik dan alat prediktor untuk
menilai pembentukan tulang. P1NP dilepas selama pembentukan type 1 collagen
dan akan masuk ke dalam aliran darah. Pasien yang diobati dengan pengobatan
anabolik akan meningkat kadarnya. Normal P1NP: 51200 g/L atau ng/ml.8
Selain PINP, carboxy C terminal propeptide (PICP) dapat diukur dalam serum
sebagai penanda pembentukan tulang. Immunoassay untuk kedua propeptida ini
telah tersedia. PINP menunjukkan nilai diagnostik yang lebih besar dari PICP
sebagai penanda formasi tulang.32
2. Alkalin Phospatase (AP)
Peranan enzim alkaline phospatase (AP) dalam proses mineralisasi adalah
bahwa enzim ini mempersiapkan suasana alkalis (basa) pada jaringan osteoid
yang terbentuk, supaya kalsium dapat dengan mudah terdeposit pada jaringan
tersebut. Selain itu di dalam tulang enzim ini menyebabkan meningkatnya
konsentrasi fosfat, sehingga terbentuklah ikatan kalsium-fosfat dalam bentuk
kristal hidroksiapatit dan berdasarkan hukum massa (law of mass action ) kristal
tersebut pada akhirnya akan mengendap di dalam tulang.34
Total AP serum terdiri dari beberapa isoform. Isoform ini berasal dari hati,
tulang, usus, limpa, ginjal dan plasenta. Pada orang dewasa sehat, sekitar 50% AP
serum dianggap berasal dari hati dan sisanya berasal dari tulang. AP yang spesifik
untuk tulang disintesis dalam osteoblas dan mencerminkan aktivitas osteoblas
selama pembentukan tulang. Berbagai metode fisik dan kimia yang digunakan
untuk membedakan isoform hati dan tulang dalam serum.Dengan tidak adanya
penyakit hati dan enzim hati dalam batas normal, AP dianggap mewakili kenaikan
alkalin phospatase yang spesifik untuk tulang. AP spesifik tulang tidak secara
rutin diukur dikarenakan biaya. Konsentrasi AP secara signifikan berhubungan

22
dengan risiko fraktur terlepas dari kepadatan mineral tulang pada perempuan
pascamenopause.34

3. Osteocalcin (OC)
Osteokalsin adalah sebuah polipeptida-49-residue (5-8 kDa) dimana
banyak terdapat pada berbagai spesies. Pada manusia gen osteokalsin terdapat
pada kromosom 1 (Iq25-q31) dan diregulasi pada level transkripsi oleh 1,25-
dihydroxy vitamin D3.35

Gambar 10: Struktur Osteokalsin35

Osteocalcin merupakan protein nonkolagen yang terdapat paling banyak


dalam tulang dan diproduksi sel osteoblas. Osteocalcin berperan penting dalam
proses mineralisasi dan proses homeostasis ion kalsium. Maka pemeriksaan
osteocalcin merupakan parameter yang baik untuk menentukan gangguan
metabolisme tulang pada saat pembentukan tulang dan penggantian tulang (bone
turn over). Pemeriksaan osteocalcin sering dipakai sebagai biomarker awal pada
pengobatan obat pembentuk tulang dan untuk menilai efektivitas hasil

23
pengobatan. Hasil pemeriksaan osteocalcin cukup akurat dan stabil dalam menilai
proses pembentukan tulang. Metode pemeriksaan osteocalcin adalah enzyme-
linked immunosorbent assay (ELISA). Nilai normalnya adalah: 10,1 9,4 ng/ml.8
Setelah disintesis, OC dilepaskan ke sirkulasi dan memiliki waktu paruh pendek
hanya 5 menit setelah itu dibersihkan oleh ginjal. Beberapa immunoassay telah
dikembangkan untuk mengukur konsentrasi OC serum. Karena tidak ada strandar
internasional untuk pengukuran OC, hasil uji dapat bervariasi. Kemampuan untuk
mendeteksi fragmen OC dari berbagai tes berbeda-beda karena sebagian besar
molekul OC utuh dengan cepat diubah menjadi komponen besar N-terminal mid-
molecule (1-43 amino acids).36

3.4.2 Marker Resopsi Tulang


Osteoklas adalah sel berinti banyak yang berfungsi dalam penyerapan
tulang. Sel-sel ini memulai remodeling tulang dan membantu membentuk tulang
yang sedang tumbuh yang banyak pada anak-anak. Sel-sel ini membebaskan
kalsium pada tulang untuk mempertahankan konsentrasi kalsium serum normal.
Marker resopsi tulang diukur dalam serum dan urin. Indikator resopsi tulang yang
langsung adalah fragmen kolagen tulang yang diproduksi oleh aktivitas
osteoklas.32 Biomarker resopsi tulang terdiri dari :33
1. Pyridinoline crosslinks
Pyridinoline (PYD) dan deoxypyridinoline (DPD) adalah bagian kecil dari
struktur amino siklik yang menghubungkan rantai peptide molekul kolagen.
Selama proses resopsi struktur ini dilepaskan ke sirkulasi. Molekul kecil ini dapat
dideteksi dalam urin, di mana sekitar 40% terikat dengan berbagai protein.
Konsentrasi pyridinoline dan deoxypyridinoline dalam urin mencerminkan tingkat
degradasi kolagen. Konsentrasi umunya tidak dipengaruhi oleh diet. Sampel urin
pagi hari atau urin tamping 24 jam direkomendasikan untuk sampel
pemeriksaan.37
Marker ini hanya mencerminkan kolagen. Deoxypyridinoline (DPD)
hanya ditemukan dalam jaringan tulang. Saat metabolisme tulang normal, 50%
dari ikatan silang ini bebas dan 50% terikat peptida. Marker ini mengikuti irama
sirkardian dan lebih tinggi di pagi hari.37

24
Marker ini dilepaskan ke sirkulasi dan dikeluarkan melalui urin.
Keduanya dapat dideteksi dengan RIA dan ELISA. Marker ini juga dihasilkan
oleh tulang rawan, tendon,dan ligament. Namun, karena tulang mempunyai omset
jaringan yang lebih tinggi dibandingkan sumber PYD lain, mayoritas PYD dalam
sirkulasi dan urin berasal dari tulang.38

2. Telopeptides
N dan C Terminal dari kolagen yang matur dihasilkan selama resopsi tulang
dapat dideteksi dalam sirkulasi. Meskipun N-terminal (NTX) telopeptida dapat
diukur dalam serum, konsentrasi C-terminal (CTX) telopeptida lebih berguna
dalam memantau kemajuan dalam osteoporosis dan resopsi tulang pada multiple
mieloma. Pengukuran juga dapat berguna dalam memantau respon terhadap obat
antiresoptif seperti bifosfonat. Pengujian C-terminal telopeptida menunjukkan
variabilitas yang tinggi antar individu karena dipengaruhi oleh variasi diurnal dan
makanan. Puasa saat pagi untuk pengambilan sampel darah direkomendasikan.33
NTX dapat diukur dalam serum ataupun urin. Pengukuran NTX dalam urin
24 jam memiliki keuntungan karena tidak dipengaruhi variabilitas karena irama
sirkardian pergantian tulang. Seperti NTX, tes untuk mendeteksi CTX serum dan
urin telah dikembangkan, termasuk enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),
radioimmunoassay (RIA), dan electrochemiluminescence assay. Rasio -CTX
mewakili kolagen yang baru disintesis dan -CTX mewakili usia dari kolagen. -
CTX dan -CTX meningkat pada penyakit Paget.38
Molekul-molekul yang diukur adalah trimetric carboxyterminal telopeptide
(ICTP) yang diukur dalam serum dengan radioimmunoassay atau peptida sintetik
yang mengandung bagian crosslink yang dapat diukur dalam serum atau urin (C-
terminal crosslinked telopeptide of type I collagen (CTX)). Nilai CTX dalam
serum dan urin sangat berkorelasi. Marker ini mengikuti irama sirkardian dan
lebih tinggi pada pagi hari.37
Saat ini telah dikembangkan pemeriksan -Cross Laps yang dapat digunakan
sebagai marker resorpsi tulang yang sensitif dan spesifik. Sensitivitas mencapai
>70% dan spesifisitas 80%. -CrossLaps adalah hasil pemecahan protein kolagen
tipe I yang spesifik untuk tulang dan merupakan produk metabolisme atau

25
pembongkaran tulang secara langsung. Perombakan tulang yang dilakukan oleh
osteoklas akan menghancurkan kolagen tipe I dan terbentuk bentuk dan .
Bentuk ini disebut -CrossLaps dan kadarnya dapat diukur dari serum, plasma
atau urin. Kadar -CrossLaps dipengaruhi usia, jenis kelamin dan siklus sirkadian
dengan puncak tengah malam dan kadar terendah sore hari. Diduga pada saat
puncak kadarnya 66% lebih tinggi dibandingkan dengan kadar rata-rata.39
Pemeriksaan -CrossLaps dapat dipakai sebagai alat pemantau terapi
terutama pada pengobatan dengan anti-resorptif seperti bisphosphonate. Dalam
waktu 3 minggu seharusnya terjadi penurunan kadar -CrossLaps dalam darah
atau urin sehingga dokter yang memberi pengobatan dapat memprediksi hasil
pengobatan. Pemeriksaan kadar -CrossLaps lebih sensitif dalam menilai
perbaikan metabolisme tulang dibandingkan dengan pemeriksaan BMD.39
Teknik pemeriksaan -CrossLaps dengan cara electrochemiluminescent
sandwich immunoassay. Nilai normalnya: pria usia 30 50 tahun: 0,016 0,584
ng/ml. Usia 5070 tahun: 0,104 0,704 ng/ml sedang usia >70 tahun: 0,104
0,854 ng/ml. Wanita premenopause: 0,025 0,573 ng/ml dan pasca menopause:
0,104 1,008 ng/ml.39

3. Tartrate-Resistant Acid Phospate (TRACP5b)


Asam fosfatase ada dalam enzim lisosom. Khususnya yang ada dalam
osteoklas yaitu 5b isoform (TRACP5b), yang digunakan sebagai penanda resopsi
tulang. Kenyataannya, itu adalah satu-satunya penanda aktivitas osteoklas.
TRACP5b biasanya meningkat pada kondisi pergantian tulang yang tinggi, seperti
pada penyakit Paget, metastase tulang, multiple mieloma, dan setelah
ovariectomy. Namun, belum diterima untuk osteoporosis mungkin karena
sensitivitas dalam melaporkan pergantian tulang dalam mengikuti terapi
antiresoptif belum konsisten seperti marker yang lain.38

26
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang yang ditandai


oleh menurunnya massa tulang, oleh karena berkurangnya matriks dan
mineral tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan
tulang, dengan akibat menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi
kecendrungan tulang mudah patah.
2. Sel yang bertanggung jawab untuk pembentukan tulang disebut osteoblas
(osteoblast), sedangkan osteoklas (osteoclast) bertanggung jawab untuk
penyerapan tulang.
3. Ada beberapa teori yang menyebabkan deferensiasi sel osteoklas
meningkat dan meningkatkan aktivitasnya yaitu: Defisiensi estrogen,
Faktor sitokin dan Pembebanan.
4. Parameter biokimiawi untuk menentukan bone turnover terdiri dari Marker
Formasi Tulang dan marker resorpsi tulang

4.2 Saran

1. Diperlukan pemeriksaan marker osteoporosis untuk dapat mendiagnosis


osteoposrosis lebih dini.
2. Pencegahan terhadap penyakit osteoporosis sebaiknya dilakukan sedini
mungkin mengingat komplikasi yang terjadi akibat osteoporosis.

27
PATOGENESIS OSTEOPOROSIS

Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang ditandai oleh


compromised bone strength sehingga tulang mudah fraktur. Osteoporosis dibagi 2
kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder.
Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya,
sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui
penyebabnya. Pada tahun 1983, Riggs dan Melton membagi osteoporosis primer
atas osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis
pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause.
Osteoporosis tipe II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan
absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder
yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis.

448 PERAN ESTROGEN PADA TULANG

Estrogen yang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol. Estron


juga dihasilkan oleh tubuh manusia, tetapi terutama berasal dari ovarium, yaitu
dari konversi androstenedion pada jaringan perifer. Estriol merupakan estrogen

28
yang terutama didapatkan di dalam urin, berasal dari hidroksilasi-16 estron dan
estradiol. Estrogen berperan pada pertumbuhan uterus, penebalan mukosa vagina,
penipisan mukus serviks, dan pertumbuhan saluran-saluran payudara. Selain itu
estrogen juga mempengaruhi profil lipid dan endotel pembuluh darah, hati, tulang,
susunan saraf pusat, sistem imun, sistem kardiovaskular, dan sistem
gastrointestinal.

Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen (ER), yaitu reseptor
estrogen- (ER) dan reseptor estrogen- (ER). ER dikode oleh gen yang
terletak di kromosom 6 dan terdiri dari 595 asam amino, sedangkan ER dikode
oleh gen yang terletak di kromosom 14 dan terdiri dari 530 asam amino. Sampai
saat ini, fungsi ER belum diketahui secara pasti. Selain itu, distribusi kedua
reseptor ini bervariasi pada berbagai jaringan, misalnya di otak, ovarium, uterus,
dan prostat. Reseptor estrogen juga diekspresikan oleh berbagai sel tulang,
termasuk osteoblas, osteosit, osteoklas, dan kondrosit (lihat tabel 2). Ekpresi ER
dan ER meningkat bersamaan dengan osteoporosis idiopatik mengekspresikan
mRNA ER yang rendah pada osteoblast maupun osteosit. Delesi ER pada tikus
jantan dan betina menyebabkan penurunan densitas tulang, sedangkan gen ER
pada wanita ternyata meningkatkan bone mineral content (BMC) tulang kortikal
walaupun pada tikus tidak memberikan perubahan pada tulang kortikal maupun
trabekular. Delesi gen ER dan ER juga menurunkan kadar IGF-1 serum.

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang


penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak
langsung meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis
kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus, modulasi 1,25(OH)2D,
ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon paratiroid (PTH).

Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek, seperti tertera


pada tabel 3. Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat
resorpsi tulang oleh osteoklas.

29
PATOGENESIS OSTEOPOROSIS TIPE I

Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada


dekade awal setelah menopause, sehingga insiden fraktur, terutama fraktur
vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tlang terutama pada
tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah
dengan terapi sulih estrogen. Pertanda resorpsi tulang dan formasi tulang,
keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen
juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal
cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6, dan TNF- yang berperan
meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat
menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga
aktivitas osteoklas meningkat.

Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause juga menurunkan


absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain itu,
menopase juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa
1,25(OH)2D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan konsentrasi
1,25(OH)2D di dalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan
meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen transdermal tidak
diangkut melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat
meningkatkan absorpsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi
vitamin D. Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause,
maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis
akan semkain berat, pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar
kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma,
meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar
kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam
kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan
rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif aisdosis respiratorik. Walaupun terjadi
peningkatan kadar kalsium yang terikat albumin dan kalsium dalam garam
kompleks, kadar ion kalsium tetap sama dengan keadaan premenopausal.

30
PATOGENESIS OSTEOPOROSIS TIPE II

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar


42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke delapan dan
sembilan kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana
resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun.
Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur
tulang dan peningkatan risiko fraktur. Peningkatan resorpsi tulang merupakan
risiko fraktur yang independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin seringkali
didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih menunjukkan peningkatan turnover
tulang dan bukan peningkatan formasi tulang. Sampai saat ini belum diketahui
secara pasti penyebab penurunan kadar estrogen dan IGF-1.

Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua.
Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia,
malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium,
akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin
meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-
orang yang tinggal di daerah 4 musim.

Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan menyebabkan
penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan
osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang, misalnya
osteokalsin.

Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting


sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki
maupun perempuan. Demikian jga kadar testosteron pada laki-laki. Defisiensi
estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan massa tulang. Penurunan
kadar estradiol di bawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan
osteoporosis. Karena laki-laki tidak pernah menopause (penurunan kadar estrogen
yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita
31
tidak pernah terjadi. Falahati-Nini dkk menyatakan bahwa estrogen pada laki-laki
berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan progesteron mengatur
formasi tulang. Kehilangan massa tulang trabekular pada laki-laki berlangsung
linier, sehingga terjadi penipisan trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula
seperti pada wanita. Penipisan trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan
formasi tulang, sedangkan pustusnya trabekula pada wanita disebabkan karena
peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang
drastis pada waktu menopause.

Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun


sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan meningkat.
Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan testosteron
membentuk kompleks yang inaktif. Laki-laki yang menderita kanker prostat dan
diterapi dengan antagonis androgen atau agonis gonadotropin juga akan
mengalami kehilangan massa tulang dan meningkatkan risiko fraktur.

Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1, juga berperan terhadap


peningkatan resorpsi tulang. Tetapi penurunan kadar androgen adrenal (DHEA
dan DHEA-S) ternyata menunjukkan hasil yang kontroversial terhadap penurunan
massa tulang pada orang tua.

Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada
orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan,
imobilisasi lama).

Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal


akan meningkat, sehingga kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal
dan meningkatkan risiko fraktur tulang kortikal, misalnya pada femur proksimal.
Total permukaan tulang untuk remodeling tidak berubah dengan bertambahnya
umur, hanya berpindah dari tulang trabekular ke tulang kortikal. Pada laki-laki
tua, peningkatan resorpsi endokortikal tulang panjang akan diikuti peningkatan
formasi periosteal, sehingga diameter tulang panjang akan meningkat dan
menurunkan risiko fraktur pada laki-laki tua.

32
Risiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah risiko terjatuh yang
lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini
berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan
stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata dan lain
sebagainya. Pada umumnya, risiko terjatuh pada orang tua tidak disebabkan oleh
penyebab tunggal.

PERUBAHAN TULANG SELAMA KEHAMILAN

Kebutuhan kalsium selama kehamilan akan meningkat karena janin dan


plasenta akan memobilisasi kalsium dari tubuh ibu untuk menetralisasi tulang
pada tubuh janin. Lebih dari 33 gram kalsium terakumulasi pada tubuh janin
selama perkembangan tulang, dan sekitar 80% terjadi pada trimester ketiga
dimana mineralisasi tulang terjadi dengan sangat cepat. Kebutuhan kalsium ini
akan menjadi lebih besar lagi, karena terjadi peningkatan absorpsi kalsium di usus
sampai 2 kali lipat atas pengaruh 1,25(OH)2D dan faktor-faktor lain. Kadar
1,25(OH)2D meningkat selama kehamilan sampai aterm. Peningkatan ini tidak
berhubungan dengan peningkatan PTH, karena PTH tetap normal atau rencah
selama kehamilan. Kadar PTHrP meningkat selama kehamilan, karena dihasilkan
oleh beberapa jaringan janin dan ibu, termasuk plasenta, amnion, desidua, tali
pusat, paratiroid janin dan payudara. Walaupun demikian, tidak dapat dipastikan
jaringan mana yang berperan pada peningkatan PTHrP. Diduga PTHrP yang
berperan pada peningkatan kadar 1,25(OH)2D di dalam tubuh ibu. Selain itu
PTHrP juga berperan pada pengaturan transpor kalsium ke tubuh janin lewat
plasenta, dan melindungi tulang ibu karena bagian terminal karboksil PTHrP
mempunyai efek menghambat kerja osteoklas.

Penelitian biokimiawi menunjukkan bahwa bone turnover menurun pada


pertengahan pertama kehamilan, tetapi meningkat pada akhir trimester ketiga
yang sesuai dengan peningkatan mineralisasi tulang pada tubuh janin. Walaupun
demikian, penelitian epidemiologik tidak mendapatkan pengaruh yang bermakna

33
antara kehamilan dengan densitas massa tulang dan risiko fraktur. Peningkatan
fragilitas dan risiko fraktur pada kehamilan, biasanya berhubungan dengan
penyebab lain, seperti obat-obatan.

453 OSTEOPOROSIS PADA LAKI-LAKI

PENDAHULUAN

Osteoporosis pada laki-laki (OL) menjadi masalah kesehatan yang


semakin penting dengan meningkatnya jumlah populasi usia lanjut. Sebelumnya,
OL kurang mendapat perhatian karena laki-laki lebih jarang mengalami
osteoporosis dibandingkan dengan perempuan, sehingga banyak kasus OL yang
tidak terdiagnosis. Bertambahnya usia pada laki-laki akan diikuti dengan
menurunnya bone mineral density (BMD) terus menerus setiap tahun, disertai
dengan meningkatnya risiko patah tulang. Patah tulang osteoporosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Walaupun risiko patah tulang panggul
pada laki-laki lebih rendah dibandingkan perempuan, yaitu 6% berbanding dengan
17,5%, akan tetapi kematian akibat patah tulang panggul pada laki-laki lebih
tinggi, yaitu 31% berbanding 17,0% pada perempuan.

Osteoporosis pada laki-laki mempunyai gambaran dan patofisiologi yang


agak berbeda dengan osteoporosis pada perempuan post-menopause. Masih
banyak hal yang belum diketahui mengenai patofisiologinya, sehingga masih
terdapat kesenjangan dalam pemahaman patogenesis dengan terapi osteoporosis
pada laki-laki.

EPIDEMIOLOGI

Osteporosis pada umumnya dianggap sebagai penyakit pada perempuan,


terutama setelah menopause, tetapi osteoporosis juga sering didapatkan pada laki-
laki. Sebanyak 3% sampai 6% laki-laki yang berusia lebih dari 50 tahun
34
menderita osteoporosis, dibandingkan dengan 22% pada perempuan. Satu dari 5
orang laki-laki akan mengalami patah tulang osteoporotik.

PATOGENESIS

Penelitian longitudinal pada laki-laki menggunakan volumetric bone


mineral density (vBMD) menunjukkan bahwa terjadi kehilangan massa tulang
trabekular yang bermakna pada tulang belakang, radius distal dan tibia distal
sebelum usia pertengahan pada laki-laki. Kecepatan penurunan vBMD pada
tulang tulang radius dan tibia distal mengalami perlambatan pada usia lebih tua,
tetapi tidak pada tulang belakang. Sebaliknya, vBMD kortikal relatif tetap stabil
sampai usia 65-70 tahun, kemudian terjadi kehilangan tulang kortikal pada usia
selanjutnya. Hal yang serupa juga terjadi pada perempuan, yang menunjukkan
bahwa pada kedua jenis kelamin, kehilangan massa tulang trabekular mulai terjadi
pada usia dewasa muda, kemudian kehilangan massa tulang kortikal mulai terjadi
setelah usia pertengahan.

Pola perubahan struktur tulang akibat usia pada perempan dan laki-laki
berbeda. Pada laki-laki, kehilangan massa tulang trabekular terjadi akibat
penurunan pembentukan tulang yang menyebabkan penipisan trabekula, tetapi
jumlah konektivitas trabekula masih tetap. Sedangkan pada perempuan post-
menopause, mekanisme utama yang terjadi adalah peningkatan resorpsi tulang
yang menyebabkan pengurangan jumlah trabekula yang lebih banyak disertai
terputusnya konektivitas trabekula dan terjadi perforasi trabekula.

Hormon seks tiroid mempunyai peran yang penting pada OL walaupun


tidak terjadi tanda-tanda hipogonadism yang nyata pada laki-laki. Hormon
testosteron dan estradiol, keduanya terdapat dalam darah pada laki-laki, dan
sebagian besar estradiol (85%) tersebut berasal dari testosteron yang mengalami
aromatisasi di jaringan perifer. Kadar sex hormone binding globulin (SHBG)
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, yang akan mempengaruhi
bioavabilitas hormon testosteron dan estradiol, sehingga perlu dilakukan
35
pengukuran kadar kedua hormon tersebut pada laki-laki usia lanjut. Nilai BMD,
kecepatan kehilangan massa tulang dan insiden patah tulang lebih dipengaruhi
oleh kadar estradiol dibandingkan dengan kadar testosteron. Peningkatan turnover
tulang pada laki-laki usia lanjut dapat ditekan dengan pemberian hormon
estradiol, tetapi tidak dengan hormon testosteron. Nilai batas kadar
bioavailabilitas estradiol yang menyebabkan terjadinya peningkatan turnover
tulang dan kehilangan massa tulang pada laki-laki dan perempuan adalah sama,
yaitu sekitar 40 pmol/L.

Defisiensi vitamin D (kadar 25-hydroyvitamin D kurang dari 20 ng/mL)


terjadi pada 26% laki-laki dengan osteoporosis, dan insufisiensi vitamin D (kadar
25-hydroyvitamin D antara 20-29 ng/mL) sebanyak 72%. Laki-laki dengan
osteoporosis mempunyai kadar vitamin D-binding protein (DBP) lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol, sedangkan kadar 25-dihydroyvitamin D3 dan 1,25-
dihydroyvitamin D3 bebas dalam plasma lebih rendah dibandingkan dengan
kontrol. Pengaruh vitamin D terhadap tulang diduga melalui beberapa mekanisme
yaitu menginduksi osteoblastogenesis dan aktivitas osteoblas, mengaktifkan gen
onkogenik, mencegah apoptosis osteoblast, dan menghambat adipogenesis pada
sumsum tulang.

452 OSTEOPOROSIS AKIBAT GLUKOKORTIKOID

PENDAHULUAN

Glukokortikoid dipakai secara luas sebagai anti-radang maupun


imunosupresan untuk berbagai penyakit autoimun dan alergi seperti artritis
reumatoid, lupus, asma bronkial dan lain-lain. Pada kondisi radang kronis,
pemakaian glukokortikoid sering diberikan dalam jangka waktu yang lama
dengan dosis yang bervariasi. Pemakaian glukokortikoid bermanfaat menekan
proses radang dan proses autoimun, dan telah menyelamatkan hidup banyak
pasien dengan kegawatdaruratan. Akan tetapi, berbagai efek samping
glukokortikoid juga dapat timbul, terutama pada penggunaan dosis yang tinggi
36
dan pemberian dalam waktu yang lama. Salah satu efek samping akibat
glukokortikoid adalah osteoporosis dan peningkatan risiko patah tulang.

Osteoporosis akibat glukokortikoid mempunyai beberapa karakteristik


khusus yang membedakannya dengan osteoporosis post-menopause yaitu
kehilangan massa tulang yang cepat pada tahap awal terapi glukokortikoid,
disertai dengan peningkatan risiko patah tulang pada periode awal tersebut. Selain
itu, glukokortikoid juga menekan pembentukan tulang. Semua hal tersebut
menyebabkan terjadi penurunan massa tulang dan peningkatan risiko patah tulang
yang cepat setelah terapi glukokortikoid dimulai, sehingga perlu perhatian khusus
pada pasien yang mendapat terapi glukokortikoid.

DEFINISI

Osteoporosis akibat glukokortikoid disebut dengan glucocorticoid-induced


osteoporosis (GIOP). Terminologi GIOP saat ini lebih sering dipakai dalam
berbagai publikasi resmi dibanding dengan nama steroid-induced osteoporosis
atau corticosteroid-induced osteoporosis.

GIOP termasuk dalam klasifikasi osteoporosis sekunder yaitu osteoporosis


yang terjadi akibat kehilangan massa tulang yang disebabkan oleh gangguan klinis
yang jelas dan spesifik. Sedangkan pada osteoporosis primer terjadi kehilangan
massa tulang yang disebabkan oleh proses penuaan. Penyebab osteoporosis
sekunder sangat banyak seperti gangguan endokrin, gangguan gastrointestinal,
penyakit ginjal, kanker, dan pengaruh obat-obatan termasuk glukokortikoid.

EPIDEMIOLOGI

Pemakaian glukokortikoid sekitar 1% pada populasi dewasa, dan


jumlahnya meningkat pada usia yang lebih tua menjadi sekitar 3% pada usia
antara 70 dan 79 tahun. Sepertiganya menggunakan glukokortikoid dengan dosis
37
lebih dari 7,5 mg metil-prednisolon perhari. Lama terapi biasanya jangka pendek,
sedangkan 22,1% menggunakan glukokortikoid oral lebih dari 6 bulan, dan 4,3%
lebih dari 5 tahun.

Kehilangan massa tlang akibat glukokortikoid paling besar terjadi pada 6


sampai 12 bulan pertama terapi. Kehilangan massa tulang trabekular 20% sampai
30% terjadi pada tahun pertama pemakaian glukokortikoid.

Pemakaian glukokortikoid juga terbukti meningkatkan risiko fraktur,


walaupun dengan dosis yang rendah 2,5-7,5 mg perhari, risiko tersebut semakin
meningkat dengan meningkatnya dosis perhari dan dosis kmulatif. Peningkatan
risiko fraktur tersebut mulai tampak.

38

Anda mungkin juga menyukai