Potensi Wilayah Sapi Pootong
Potensi Wilayah Sapi Pootong
Potensi Wilayah Sapi Pootong
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui potensi pengembangan wilayah usaha peternakan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
pembangunan peternakan. Selanjutnya diuraikan bahwa pendekatan sistim ini dalam
unsur-unsurnya tercermin adanya sifat produktivitas, stabilitas, lumintu
(sustainabilitas) dan kemerataan (equitabilitas). Dalam menentukan potensi
wilayah pengembangan untuk komoditi ternak adalah menyeleksi nilai-nilai
parameter peternakan sesuai dengan kriteria.
2.2.1 Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Peternakan Sapi Potong
Lahan sebagai basis ekologis pendukung pakan dan lingkungan budidaya
harus dioptimalkan pemanfaatannya. Lahan yang optimal untuk pengembangan
ternak sapi potong adalah lahan yang secara ekologi mampu menghasilkan hijauan
makanan ternak yang cukup, berkualitas dan kontinyu. Dengan demikian terdapat
hubungan erat antara lahan, ternak dan makanan ternak. Oleh karena itu,
pengembangan kawasan agribisnis perlu memperhatikan kesesuaian lahan dan
agroklimat yang mendukung keunggulan lokasi yang bersangkutan.
Kesesuaian lahan adalah keadaan atau tingkat kecocokan dari sebidang lahan
untuk suatu penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Kesesuaian
lahan pada tingkat ordo dibedakan menjadi dua yaitu Sesuai (Suitable/S) untuk lahan
yang sesuai dan Tidak Sesuai (Non Suitable/N) untuk lahan yang tidak sesuai.
Kesesuaian lahan untuk ternak terutama ruminansia perlu ditentukan dalam upaya
meningkatkan produktivitas baik untuk usaha skala besar, industri peternakan,
ataupun usaha kecil (peternakan rakyat). Hal ini dikarenakan keberadaan ternak
(protein hewani) senantiasa dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia baik
saat sekarang maupun untuk masa yang akan datang seiring dengan meningkatnya
jumlah penduduk.
Dalam Lampiran Permentan No. 41 tahun 2009 tentang Kriteria Teknis
Kawasan Peruntukan Pertanian, pada Bab II tentang Kesesuaian Lahan untuk
Peternakan, disyaratkan bahwa lahan yang sesuai untuk ternak secara fisik
merupakan dataran rendah dan dataran tinggi sampai berbukit di luar permukiman
dengan sistem sanitasi yang cukup. Untuk lahan yang tidak berada di permukiman
perlu pula diperhatikan aspek lingkungan yang secara agroklimat sesuai dengan
komoditas yang dikembangkan dan sesuai dengan iklim setempat.
Berdasarkan kebutuhan lahan untuk peternakan, dikenal istilah usaha
peternakan yang berbasis lahan (land base agriculture). Usaha peternakan yang
3
berbasis lahan adalah usaha ternak dengan komponen pakannya yang sebagian besar
terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminosa). Oleh karenanya lahan
merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan.
Pemanfaatan lahan untuk peternakan didasarkan pada posisi bahwa :
a. Lahan adalah sumber pakan ternak,
b. Semua jenis lahan cocok sebagai sumber pakan,
c. Pemanfaatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai usaha penyerasian
antara peruntukan lahan dengan sistem pertanian, dan
d. Hubungan antara lahan dan ternak bersifat dinamis (Suratman et al.1998).
Kawasan budidaya peternakan pada saat ini terasa semakin sulit dijumpai,
karena adanya kompetisi penggunaan lahan yang semakin tinggi. Di lain pihak,
kebutuhan dan konsumsi daging semakin meningkat seiring dengan pertambahan
penduduk dan kesejahteraan penduduk yang semakin baik. Terkait dengan penataan
ruang maka kawasan yang diperuntukan bagi usaha peternakan sebaiknya mengacu
pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) daerah sesuai dengan Permentan
No. 41 tahun 2009 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian.
4
berpengaruh terhadap fisiologi ternak antara lain faktor iklim. Suhu dan kelembaban
udara merupakan dua faktor iklim yang mempengaruhi produksi sapi perah, karena
faktor ini dapat menyebabkan perubahan keseimbangan yaitu keseimbangan panas
dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan
tingkah laku ternak.
Persoalan regulasi panas pada ternak mempunyai kepentingan ekonomis.
Untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu lingkungan yang
optimum. Suhu lingkungan berhubungan dengan ketinggian suatu tempat. Semakin
tinggi letak daerah dari permukaan laut maka akan semakin rendah suhu udara
hariannya. Suhu lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan ternak berbeda-beda
antar jenis ternak. Zona termonetral/suhu nyaman lingkungan untuk sapi Eropa
berkisar13180C dan 425oC
Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara disebut Temperature
Humidity Index (THI) dan aplikasi THI dapat menunjukkan pengaruh suhu dan
kelembaban terhadap tingkat stress pada ternak. Ternak yang mengalami stress
biasanya akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan tingkah laku
(behaviour). Stress panas yang lama berlangsung pada ternak biasanya akan
berdampak pada peningkatan konsumsi air minum, penurunan produksi susu,
peningkatan volume urin, dan penurunan konsumsi pakan.
Selain suhu dan kelembaban, curah hujan, dan kemarau yang panjang juga
berpengaruh terhadap kehidupan ternak. Jumlah dan pola curah hujan per tahun
berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Panjangnya musim kemarau
menunjukkan tingkat ketersediaan air sebagai media yang menunjang kehidupan
dengan bahan dasar dari tanah. Faktor topografi yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan ternak adalah ketinggian tempat dan kelerengan (slope). Persentase
kemiringan ternyata menjadi faktor pembatas karena semakin tinggi persentase
semakin mempersempit peluang ternak untuk berkembang (Rusmana et al. 2006).
2.2.3 Kesesuaian Hijauan Makanan Ternak
Sapi potong termasuk salah satu ternak ruminansia dan merupakan herbivora.
Ternak herbivora memerlukan hijauan sebagai makanannya. Sapi potong
memerlukan hijauan makanan ternak lebih dari 60% dari seluruh bahan makanan
yang dikonsumsi, baik dalam bentuk segar maupun bahan kering. Oleh karena itu,
5
penyediaan hijauan makanan ternak yang cukup dan mempunyai kualitas yang
bermutu tinggi perlu mendapat perhatian utama. Dengan demikian lokasi untuk
pengembangan peternakan ruminansia perlu pula didukung oleh ketersediaan pakan
yang berkualitas.
Iklim adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi mutu hijauan. Di
daerah tropika basah yang wilayahnya banyak terjadi erosi, maka dapat
mengakibatkan defisiensi mineral dalam tanaman. Selain itu drainase yang kurang
baik juga sering meningkatkan proses ekstraksi mineral, terutama unsur mikro,
misalnya Mn atau Co, yang menyebabkan tingginya konsentrasi unsur tersebut dalam
jaringan tanaman. Diketahui pula bahwa bila pH meningkat maka jumlah Fe, Mn,
Cu, Zn, dan Co yang digunakan oleh tanaman menurun, sebaliknya jumlah Mo dan
Se meningkat. Selain itu, kadar mineral antar spesies tanaman sering berbeda cukup
besar. Berdasarkan hasil penelitian dari 58 spesies rerumputan yang tumbuh di lahan
yang sama menunjukkan kisaran konsentrasi mineral (BK): abu sebesar 4,012,2%;
Ca sebesar 0,070,55%; dan P sebesar 0,050,37%. Pada umumnya daun-daun
leguminosa lebih banyak mengandung mineral dibandingkan dengan rumput. Selain
itu, dengan semakin menuanya tanaman, maka kadar mineral juga semakin menurun,
yang dikarenakan oleh proses pengenceran alamiah ataupun karena pemindahan
mineral ke sistem akar. Umumnya mineral-mineral yang bersifat demikian antara
lain adalah P, K, Mg, Cl, Cu, Co, Fe, Se, Zn, dan Mo.
Kekurangan pakan hijauan di musim kemarau, merupakan masalah yang rutin
setiap tahun bagi petani yang memelihara ternak ruminansia. Dalam ransum ternak
ruminansia, rumput lebih banyak digunakan karena selain lebih murah juga lebih
mudah diperoleh. Di samping itu, rumput mempunyai produksi yang lebih tinggi dan
lebih tahan terhadap tekanan defoliasi (pemotongan dan renggutan). Untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas ternak, ketersediaan dan kontinuitas
hijauan makanan ternak sangat diperlukan. Untuk itu perlu diwujudkan adanya lahan
yang digunakan sebagai kebun hijauan makanan ternak dan padang penggembalaan.
Standar teknis perluasan areal padang penggembalaan menurut Ditjen PSP (2013)
adalah sebagai berikut:
a) lahan untuk membangun padang penggembalaan adalah pada tanah yang relatif
subur;
6
b) Kemiringan/topografi lahan padang penggembalaan maksimal 15%;
c) Kemiringan/topografi lahan untuk perluasan areal kebun hijauan makanan ternak
maksimum 40%
d) Luas padang penggembalaan minimal 10 ha per hamparan;
e) Rumput yang ditanam adalah jenis rumput injakan serta 20 sampai dengan 25%
dari luas padang penggembalaan ditanami rumput potong.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Usaha peternakan di Indonesia, termasuk peternakan sapi potong pada
umumnya masih dikelola secara tradisional, dimana peternakan sapi potong ini hanya
merupakan usaha keluarga atau sebagai usaha sampingan. Wilayah pengembangan
peternakan dilakukan melalui pendekatan sistem yaitu suatu pendekatan yang
secara fungsional terpadu dan utuh dalam menempatkan semua unsur yang berperan
dan berproses yang kemudian menunjang menuju misi pembangunan peternakan.
Selanjutnya diuraikan bahwa pendekatan sistim ini dalam unsur-unsurnya tercermin
adanya sifat produktivitas, stabilitas, lumintu (sustainabilitas) dan kemerataan
(equitabilitas). Dalam menentukan potensi wilayah pengembangan untuk
komoditi ternak adalah menyeleksi nilai-nilai parameter peternakan sesuai
dengan kriteria.
Potensi wilayah pengembangan sapi potong, diantaranya:
1. Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Peternakan Sapi Potong
Lahan sebagai basis ekologis pendukung pakan dan lingkungan budidaya harus
dioptimalkan pemanfaatannya. Lahan yang optimal untuk pengembangan ternak
sapi potong adalah lahan yang secara ekologi mampu menghasilkan hijauan
makanan ternak yang cukup, berkualitas dan kontinyu.
2. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Perkembangan Ternak Sapi
Potong
Faktor lingkungan yang mempengaruhi ternak dapat bersifat langsung maupun
tidak langsung.
3. Kesesuaian Hijauan Makanan Ternak
Sapi potong memerlukan hijauan makanan ternak lebih dari 60% dari seluruh
bahan makanan yang dikonsumsi, baik dalam bentuk segar maupun bahan kering.
8
DAFTAR PUSTAKA
http://etd.unsyiah.ac.id/index.php?p=show_detail&id=4957
http://bogorkab.go.id/index.php/post/detail/87/strategi-pengembangan-ternak-sapi-
potong-dalam-mendukung-pembangunan-daerah