Anda di halaman 1dari 49

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

Tinjauan pustaka adalah suatu bentuk tinjauan yang berdasarkan pada

bahan buku referensi, yang bertujuan untuk memperkuat materi pembahasan

maupun sebagai dasar untuk menggunakan rumus-rumus tertentu dalam

perencanaan suatu bangunan, sehingga dapat memecahkan masalah yang ada, baik

untuk menganalisis faktor dan data pendukung maupun untuk merencanakan

suatu konstruksi bangunan yang menyangkut perhitungan teknis maupun analisis

tanah. Pada bagian ini penyusun menguraikan secara global pemakaian rumus-

rumus yang akan digunakan untuk pemecahan masalah.

2.2 Definisi Groundsill

Groundsill adalah suatu bentuk bangunan konstruksi air untuk

mengamankan dasar sungai, dengan memilki kegunaan untuk menanggulangi

suatu proses degradasi (penggerusan setempat) dasar sungai agar tidak terjadi

penurunan dasar sungai yang berlebihan, yang bisa berakibat fatal akan terjadinya

bencana alam karena rusaknya aliran dasar sungai yang dapat merusak dan

merobohkan tanggul-tanggul yang ada di sekitar sungai.

Dengan adanya pembuatan Groundsill ini setidaknya dapat mengurangi

rusaknya tanggul-tanggul sungai yang ada di sekitarnya dan memperlancar proses

pengaliran sungai dalam memenuhi kebutuhan irigasi dan yang lainnya.


7

2.3 Pemilihan Lokasi Ground Sill Cideres

Lokasi ground sill Cideres terletak di desa Tonjong, Kecamatan Majalengka

Wetan dari jembatan Cideres Girang kearah hilir 250 m. Dari peta ini dapat

disiapkan 2 alternatif lokasi ground sill yang dimungkinkan untuk dibangun

dengan mempertimbangkan alur sungai, kemiringan dasar sungai, daerah

tampungan sedimen dan kemungkinan untuk membuat jalan akses (access

road). Untuk lebih jelasnya kedua lokasi alternatif tersebut. Dari kedua

alternatif lokasi ground sill yang telah dibuat, dilanjutkan dengan peninjauan

lapangan untuk melihat secara langsung tentang kondisi-kondisi: lembah &

aliran sungai, geologi, lahan disekitar alur sungai, kemiringan dasar sungai,

perkampungan penduduk dan sebagainya. Dari hasil peninjauan lapangan

kemudian dilanjutkan dengan pengkajian lebih mendalam serta studi

perbandingan dengan mempertimbangkan kekurangan dan kelebihan dari

masing-masing alternatif. Setelah dikaji dengan seksama lokasi alternatif II

adalah 250 meter dari hilir jembatan telah ditetapkan sebagai lokasi pilihan

terbaik. Pada lokasi ini terdapat kondisi lebar lembah sungai yang sempit,

kondisi tebing dan dasar sungai dari batuan yang cukup baik ( breksi ).

2.4 Pemilihan Tipe Ground Sill

Jika ditinjau dari fungsi dari ground sill dan kondisi lapangan ditetapkan tipe

ground sill yang akan dibangun adalah tipe pasangan batu yang dilapisi

beton (gravity concrete). Pemilihan tipe ini dengan pertimbangan sebagai

berikut:
8

Pelaksanaannya mudah dan tidak terlalu dipengaruhi oleh

cuaca atau musim.

Kuat dan praktis

Lebih cocok dibangun pada daerah pegunungan yang sering

terjadi banjir.

Mudah pemeliharaannya.

Struktur bangunan utama ground sill direncanakan terdiri dari beberapa

komponen yang direncanakan sebagai berikut:

a. Perencanaan Main Dam

Main dam direncanakan dengan kemiringan hilir lebih tegak

dibanding kemiringan hulu dengan tujuan agar air yang melimpah

lewat peluap, langsung loncat terjun ke kolam olakan. Pada bagian

atas tengah direncanakan peluap (spillway) untuk mengalirkan

aliran air kehilir dengan kemiringan dinding kanan dan kiri

masing-masing 1 : 0,5. Pada bagian tubuh main dam dilengkapi

dengan sejumlah drip hole dengan diameter 0,30 m, untuk

mengalirkan air sungai kehilir secara bertahap dan akan buntu

dengan sendirinya secara alami secara bertahap pula. Lubang drip

hole ini akan buntu apabila dasar sungai makin lama makin naik

karena adanya endapan sedimen bed load, dan secara perlahan

akan tersumbat oleh material hanyutan (debris) ataupun batuan.

b. Dibagian bawah kanan dari tubuh main dam direncanakan

beberapa lubang conduit untuk sistim pengelakan.


9

c. Tubuh main dam dibagian tengah yang tidak terkena aliran

direncanakan dibuat dari pasangan batu kali dengan batu pengisi.

Batu untuk isian ini dengan butiran minimum 10 cm dan

maksimum 25 cm dengan jarak minimum 15 cm, maksimum 30

cm. Dibagian luar yang terkena aliran air direncanakan dengan

beton tipe A (plain concrete). Untuk mengurangi gaya angkat air

(up lift) pada dasar pondasi direncanakan sistim drainase dari pipa

beton ber lubang-lubang (perfotared concrete pipe) diameter 30

cm, dengan jarak 5 m kearah memanjang dan jarak 7,50 m kearah

melintang.

Perhitungan Lebar dan Tinggi Pelimpah

2
Q x C 2.g 3B1 2B 2 h 3/2
3
15

Dimana :

Q = Debit rencana (m3/det)

C = Koefisien (0.60 ~ 0.66)

g = Percepatan gravitasi (9.8 m2/det)

B1 = Lebar pelimpah bagian bawah (m)

B2 = Lebar pelimpah bagian atas (m)

h3 = Tinggi air diatas pelimpah

m2 = Kemiringan dinding pelimpah


10

B2

h3'

h3 1 : m2

B1

Gambar 2.1 Gambar Penampang Pelimpah

Bila : m2 = 0,5
C = 0,6
Q = (0,71 h3 + 1.77 B1)h3 3/2

Penentuan Lebar Mercu Pelimpah.

Penentuan mercu pelimpah perlu ditinjau dan mempertimbangkan material

hanyutan yang terbawa didasar sungai serta sediment runoff.

Lebar mercu pelimpah disarankan sesuai tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Lebar Mercu

Lebar Mercu B = 1.5 ~ 2.5 m B = 3.0 ~ 4.0 m

Material dasar sungai Pasir dan kerikil atau Batu-batu besar


kerikil dan pasir (boulder)
Sediment runoff Kandungan sediment Debris flow kecil
sedikit sampai banyak sampai besar

Perhitungan Kemiringan Tubuh Dam

a) Kemiringan bagian hilir


11

h.
3
h.1

h2
b1

b.2

Gambar 2.2. Penampang Tipikal Tubuh Dam

2h
= Vg m.h
g
2
n < Vg
gh
2
m = Vq
q.h
.f.b(d w)Cos
Vg =
w

Dimana :

n = kemiringan dam bagian hilir

h = tinggi dam

Vq = kecepatan kritis diatas weir pelimpah (m/det)

w = berat jenis air (ton/m3)

d = berat jenis dari sand & gravel (ton/m3)

b = diameter max dari batu & gravel yang terbawa aliran

f = Koefisien geser dasar sungai


12

= sudut kemiringan dasar sungai

2g
= (diperkirakan K1 + K2 = 1)
K1 K2

b. Perencanaan Lantai kolam olakan (apron)

Lantai kolam olakan (apron) direncanakan dengan konstruksi beton tipe B

dengan isian batu (rubble concrete) pada bagian bawah dan tipe A pada

bagian atas. Dibawah lantai kolam olakan direncanakan sistim drainase

dengan pipa beton ber lubang-lubang (perforated concrete pipe) diameter

30 cm dan pipa PVC ber lubang-lubang (perforated PVC pipe) diameter

15 cm. Pipa-pipa beton dan PVC tersebut ditempatkan pada saluran yang

disekelilingnya diisi gravel untuk memudahkan air tanah masuk kedalam

pipa drainase. Dengan sistim drainase ini gaya angkat air (up lift) dapat di

netralkan atau dirilis sehingga struktur apron menjadi lebih aman dan

stabil.

Denah dan potongan lantai kolam olakan.


B C D

+30.56 +30.56 +30.56


+27.06

+24.56 +24.56 +25.56

A A

+30.56
+27.06

+24.56 +24.56 +25.56

+30.56 +30.56 +30.56

+27.06 B C
D

Gambar 2.3 Denah Pengelakan


2.50 SELIMUT TULANGAN BETON
PASANGAN BATU KALI

+24.56

+23.56
2.00

+22.56 +22.56
+22.06
+21.56 PIPA DRAINASE

2.25 2.70 1.50 14.95 1.00


0.60 0.50
13

Gambar 2.4 Potongan Pengelakan


A

2.50

0.55 0.55

2
2.50

0.55

2.50 POTONGAN 2 - 2 ( 3 - 3)
2
0.55

1 DETAIL A
2.50
3 3

2.50
1
0.16

5.00 5.00 5.00 5.00 5.00

0.55 1.00 2.00 2.00 2.00 2.00

25.00

POTONGAN A - A
A
DENAH

Gambar 2.5 Detail Pengelakan

(1) Tebal Lantai.

Tebal lantai harus cukup untuk menahan benturan air terjun dan batu-

batuan besar.

Perhitungan tebal lantai dihitung dengan rumus sebagai berikut :

- Bila tidak ada kolam olakan :

t = 0.2 (0.6 H1 + 3 h3 - 1)

- Bila ada kolam olakan :

t = 0.1 (0.6 H1 + 3 h3 - 1)

Keterangan :

t = Tebal Lantai (m)


14

H1 = Tinggi dari muka lantai permukaan batuan dasar sampai

mercu main dam (m)

h3 = Tinggi muka air diatas pelimpah (m)

c. Dinding sayap kanan dan kiri

Dibagian kanan dan kiri dari lantai olakan direncanakan dinding sayap

yang berfungsi sebagai penghantar aliran pada kolam olakan sebelum

mengalir (melimpah) lewat sub dam. Dinding sayap ini direncanakan dari

struktur beton bertulang yang dilengkapi dengan lubang pematus (weep

hole) dari pipa PVC D 5 cm, yang dibelakangnya dibalut ijuk dan gravel

untuk merilis air tanah (ground water). Lubang pematus ini dipasang

dengan interval 2,50 kearah mendatar dan 2 m kearah vertikal dengan

posisi selang-seling (zig zag).

Denah dan potongan dinding sayap lihat di bawah ini


B C D

+30.56 +30.56 +30.56


+27.06

+24.56 +24.56 +25.56

A A
+27.06

+24.56 +24.56 +25.56

+30.56 +30.56 +30.56

D
B C
15

+30.00
0.50

2.00

1.50

2
2.00

1.50

1.13 1.00 1.12 1.00

3.00 2.00

+30.00

Gambar 2.6 Denah dan Potongan Dinding Sayap

2.5 Analisis Stabilitas

Syarat-syarat stabilitas Ground Sill antara lain :

a. Pada konstruksi batu kali dengan selimut beton, tidak boleh terjadi

tegangan tarik
16

b. Momen tahan lebih besar dari pada momen guling

c. Konstruksi tidak boleh menggeser

d. Tegangan tanah yang terjadi tidak boleh melebihi tegangan tanah yang

diijinkan

e. Setiap titik pada seluruh konstruksi harus tidak boleh terangkat oleh gaya

keatas (balance antara tekanan keatas dan tekanan kebawah).

Stabilitas Ground Sill akan terancam dari bahaya-bahaya sebagai berikut :

a) Bahaya geser/gelincir (sliding)

sepanjang sendi horizontal atau hampir horizontal di atas pondasi

sepanjang pondasi

sepanjang kampuh horisontal atau hampir horisontal dalam pondasi.

Ground Sill dinyatakan stabil terhadap bahaya geser apabila hasil

perbandingan antara jumlah gaya vertikal dikalikan sudut geser tanah

dengan jumlah gaya-gaya horizontal harus lebih besar dari nilai keamana

yang ditentukan.

b) Bahaya guling (overturning)

di dalam Ground Sill

pada dasar (base)

pada bidang di bawah dasar.

Agar bangunan aman terhadap guling, maka semua gaya yang bekerja

pada bagian bangunan di atas bidang horizontal, termasuk gaya angkat,

harus memotong bidang guling dan tidak boleh ada tarikan pada bidang
17

irisan manapun. Tiap bagian bangunan diandaikan berdiri sendiri dan tidak

mungkin ada distribusi gaya-gaya melalui momen lentur.

c) Bahaya eksentrisitas

Pada tubuh Ground Sill yang menggunakan pasangan batu dinyatakan

stabil terhadap bahaya eksentrisitas, maka tidak boleh terjadi tegangan

geser, hal ini berarti bahwa resultan gaya-gaya harus masuk ke dalam

daerah kern (galih).

d) Bahaya tegangan tanah.

Konstruksi Ground Sill dinyatakan stabil terhadap bahaya penurunan

(settlement) apabila tegangan luar yang terjadi tidak melampaui besarnya

tegangan tanah pada dasar fondasi tubuh Ground Sill.

Sebuah Ground Sill akibat ketinggian muka air yang terjadi di udik dan di

hilir, maka tubuh Ground Sill akan menerima tekanan dari gaya - gaya luar

yang terdiri dari gaya-gaya sebagai berikut :

a. Gaya akibat berat sendiri.

Gaya akibat berat sendiri adalah gaya-gaya yang terjadi akibat tubuh

Ground Sill sendiri sesuai dengan tipe, dimensi dan jenis pasangan yang

dipergunakan pada Ground Sill.

b. Gaya akibat tekanan air.

Gaya tekanan air dapat dibagi menjadi gaya hidrostatik dan gaya

hidrodinamik. Tekanan hidrostatik adalah fungsi kedalaman di bawah

permukaan air. Tekanan air akan selalu bekerja tegak lurus terhadap muka

bangunan, oleh karena itu agar perhitungannya lebih mudah gaya


18

horizontal dan vertikal dikerjakan secara terpisah. Tekanan air dinamik

jarang diperhitungkan untuk stabilitas bangunan pengelak dengan tinggi

energi rendah. Bangunan pengelak mendapat tekanan air bukan hanya

pada permukaan luarnya, tetapi juga pada dasarnya dan dalam tubuh

Ground Sill itu. Gaya tekan ke atas, yakni istilah umum untuk tekanan air

dalam, menyebabkan berkurangnya berat efektif bangunan di atasnya.

Gaya hidrostatis adalah gaya-gaya yang bekerja terhadap tubuh Ground

Sill akibat tinggi muka air di udik dan di hilir Ground Sill pada saat muka

air banjir dan pada saat muka air normal.

c. Gaya akibat tekanan lumpur.

Gaya akibat tekanan lumpur adalah gaya-gaya yang terjadi terhadap tubuh

Ground Sill akibat endapan lumpur di udik Ground Sill setelah mencapai

mercu

d. Gaya akibat gempa.

Gaya-gaya akibat gempa adalah gaya-gaya yang terjadi terhadap tubuh

Ground Sill akibat terjadinya gempa, sedangkan prinsip perhitungan gaya-

gayanya adalah berat sendiri dari setiap segmen yang diperhitungkan

dikalikan dengan koefisien gempa yang nilai koefisiennya sesuai dengan

posisi Ground Sill terletak pada zona gempa berapa.

e. Gaya akibat up lift pressure.


19

Gaya up lift Pressure adalah gaya-gaya angkat keatas yang terjadi terhadap

tubuh Ground Sill akibat ketinggian muka air ( MA ) di udik dan di hilir

Ground Sill pada saat MA banjir dan MA normal, untuk diambil yang

paling besar pengaruhnya terhadap stabilitas, gaya-gaya bekerja pada titik

beratnya dari setiap titik dari segmen yang diperhitungkan.

Selanjutnya gaya-gaya yang bekerja pada bangunan itu dianalisis dan

dikontrol stabilitasnya terhadap faktor-faktor keamanannya. Pengontrolan

stabilitas didasarkan atas momen-momen yang terjadi terhadap tubuh Ground

Sill dengan sasaran pengontrolan pada titik-titik yang dianggap rawan

terjadinya patahan pada saat tubuh Ground Sill menerima momen akibat dari

gaya-gaya diatas.

Momen-momen dan gaya-gaya yang diperhitungkan terhadap pengontrolan

stabilitas Ground Sill adalah momen-momen dan gaya-gaya dari kombinasi

pembebanan yang dianggap extrim terjadinya bahaya-bahaya seperti diatas.

2.5.1 Tegangan Izin dan Faktor Keamanan

2.5.1.1 Tegangan izin

Tegangan izin untuk beton (bertulang} baja dan kayu diuraikan

dalam standar persyaratan di bawah ini :

Untuk pasangan, tegangan-tegangan izin adalah :

- pasangan batu d = 7 N/mm2 (= 7 kgf/cm2)

- pasangan bata merah d = 2,5 N/mm2 (=25 kgf/cm2)


20

- tidak boleh ada tegangan tarik pada bangunan dari pasangan.

2.5.1.2 Faktor keamanan

(a) Harga-harga faktor keamanan terhadap bahaya guling

(overturning) diberikan pada Tabel 3.11 untuk berbagai

kombinasi pembebanan seperti yang ditunjukkan pada

Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Faktor Keamanan

(b) Harga-harga faktor keamanan terhadap gelincir (sliding)

Fs diberikan pada Tabel 3.12 untuk berbagai kombinasi

pembebanan. Tabel 2.3 Faktor Keamanan Terhadap

Gelincir
21

(c) Faktor keamanan terhadap gaya tekan ke atas sebaiknya diambil antara 1,1

dan 1,5.

2.6 Tekanan Air

2.6.1 Tekanan hidrostatik

Tekanan hidrostatik adalah fungsi kedalaman di bawah permukaan air dan

sama dengan :

PH = w z

di mana :

PH = tekanan hidrostatik, kN/m2

w = berat volume air, kN/m3 ( 10)

z = jarak dari permukaan air bebas, m.

Gambar 2.7 Tekanan Air pada Dnding Tegak

Gaya tekan ke atas (uplift) yang bekerja pada lantai bangunan adalah sama

dengan berat volume air yang dipindahkan oleh bangunan.


22

Gambar 2.8 Gaya Tekan Ke Atas

2.6.2 Tekanan hidrodinamik

Harga pasti untuk gaya hidrodinamik jarang diperlukan karena

pengaruhnya kecil saja pada jenis bangunan yang digunakan di

jaringan irigasi. Prinsip gaya hidrodinamik adalah bahwa jika

kecepatan datang (approach velocity) cukup tinggi dan oleh sebab itu

tinggi energi besar, maka akan terdapat tekanan yang makin besar

pada bagian-bagian dinding (lihat Gambar 2.9).

Gambar 2.9. Tekanan Hidrodinamik


23

2.6.3 Rembesan

Rembesan atau, perkolasi air melalui tanah di sekitar bangunan diaki-

batkan oleh beda tinggi energi pada bangunan itu.

Pada Gambar 3.8 ditunjukkan dua macam jalur rembesan yang

mungkin terjadi: (A) jalur rembesan di bawah bangunan dan (B) jalur

rembesan di sepanjang sisi bangunan.

Perkolasi dapat mengakibatkan hal-hal berikut :

(a) tekanan ke atas (statik)

(b) erosi bawah tanah/piping (konsentrasi aliran yang

mengakibatkan kehilangan bahan)

(c) tekanan aliran (dinamik).

Rembesan dapat membahayakan stabilitas bangunan.

a. Gaya tekan ke atas

Gaya tekan ke atas pada tanah bawah dapat ditemukan dengan

membuat jaringan aliran (flownet), atau dengan asumsi-asumsi yang

digunakan oleh Lane untuk teori angka rembesan (weighted creep

theory)

a.l Jaringan aliran

Jaringan aliran dapat dibuat dengan:

(1) plot dengan tangan

(2) analog listrik atau


24

(3) menggunakan metode numeris (numerical method) pada

komputer.

Dalam metode analog listrik, aliran air melalui tanah bawah

dibandingkan dengan aliran listrik melalui medan listrik daya-antar

konstan. Besarnya

Gambar 2.10 Jalur Rembesan antara Bangunan dan Tanah di Sekitarnya


25

voltase sesuai dengan tinggi piesometrik, daya-antar dengan kelulusan tanah

dan aliran listrik dengan kecepatan air (lihat Gambar 39). Biasanya plot dengan

Langan yang dilakukan dengan seksama akan cukup memadai.

Gambar 2.11 Konstruksi Jaringan Aliran Menggunakan analog Listrik

a.2 Teori angka rembesan Lane

Dalam teori angka rembesan Lane, diandaikan bahwa bidang horisontal

memiliki daya tahan terhadap aliran (rembesan) 3 kali lebih lemah

dibandingkan dengan bidang vertikal.

Ini dapat dipekai untuk menghitung gaya tekan ke atas di bawah bangunan

dengan cars membagi beds tinggi ener&i pada bangunan sesuai dengan

panjang relatif di sepanjang pondasi (lihat Gambar 3.10).

Dalam bentuk rumus, ini berarti bahwa gaya angkat pada titik x di sepanjang

dasar bangunan dapat dirumuskan sebagai berikut:

Lx
Px = Hx - ----- H ....... (3.8)
L
di mana :
26

Px = gaya angkat pada x , kg/m2

L = panjang total bidang kontak bangunan dan tanah bawah, m

Lx = jarak sepanjang bidang kontak dari hulu sampai x, m

H = beda tinggi energi, m

Hx = tinggi energi di hulu bendung, m.

dan di mana L dan Lx adalah jarak relatif yang dihitung menurut cara Lane,

bergantung kepada arah bidang tersebu.

Bidang yang membentuk sudut 45 atau lebih terhadap bidang horisontal,

dianggap vertikal.

Gambar 2.12 Gaya Tekan Ke Atas Pada Pondasi


27

b. Stabilitas terhadap erosi bawah tanah (piping)

Bangunan-bangunan yang harus mengatasi beda tinggi muka air hendaknya

dicek stabilitasnya terhadap erosi bawah tanah dan bahaya runtuh akibat

naiknya dasar galian (heave) atau rekahnya pangkal hilir bangunan.

Bahaya terjadinya erosi bawah tanah dapat dicek dengan jalan membuat

jaringan aliran/flownet dan dengan beberapa metode empiris, seperti :

- Metode Bligh

- Metode Lane, atau

- Metode Koshla

Metode Lane, yang juga disebut metode angka rembesan Lane (weighted

creep ratio method), adalah cara yang dianjurkan untuk mencek bangunan

guna mengetahui adanya erosi bawah tanah. Metode ini memberikan hasil

yang aman dan mudah dipakai. Untuk bangunan-bangunan yang relatif

kecil, metode-metode lain mungkin dapat memberikan hasil-hasil yang

lebih baik, tetapi penggunaannya lebih sulit.

Metode Lane diilustrasikan pada Gambar 2.1.0 dan memanfaatkan Tabel

6.5. Metode ini membandingkan panjang jalur rembesan di bawah bangun-

an di sepanjang bidang bangunan tanah bawah dengan beda tinggi muka air

antara kedua sisi bangunan.

Di sepanjang jalur perkolasi ini, kemiringan yang lebih curam dari 45 di-

anggap vertikal dan yang kurang dari 45 dianggap horisontal. Jalur ver-
28

tikal dianggap memiliki daya tahan terhadap aliran 3 kali lebih kuat dari-

pada jalur horisontal.

Oleh karena itu, rumusnya adalah :

Lv + 1/3 Lh
CL = ------------------ (3.9)
H

di mana :

CL = Angka rembesan Lane (lihat Tabel 3.7)

Lv = jumlah panjang vertikal, m

E LH = jumlah panjang horisontal, m

H = beda tinggi muka air, m.

Gambar 2.13 Metode Angka Rembesan Lane


29

Tabel 2.4 Harga Minimum Angka Rembesan

2.7 Peredam Energi

Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir tubuh

bendung yang terdiri dari berbagai tipe, bentuk dan kanan kirinya dibatasi oleh

tembok pangkal bendung dilanjutkan dengan temboksayap hilir dengan bentuk

tertentu. Fungsi bangunan yaitu untuk meredam energi air akibat pembendungan,

agar air di hilir bendung tidak menimbulkan penggerusan setempat yang

membahayakan struktur. Prinsip pemecah energi air pada bangunan peredam

energi adalah dengan cara menimbulkan gesekan air dengan lantai dan dinding

struktur, gesekan air dengan air, membentuk pusaran air berbalik vertikal arah

keatas dan ke bawah serta pusaran arah horizontal dan menciptakan benturan

aliran ke struktur serta membuat loncatan air didalam ruang olakan. Peredam

energi harus didesain dengan memperhatikan tinggi terjunan, penggerusan lokal

dan degradasi dasar sungai, benturan dan abrasi sedimen dan benda padat lainnya,
30

rembesan dan debit rencana sesuai dengan kriteria keamanan dan resiko akibat

penggerusan, pelimpah dan kekuatan struktur.

Bangunan peredam energi bendung terdiri atas berbagai macam tipe

diantaranya yaitu :

a) Peredam energi lantai hilir datar dengan ambang akhir (tipe MDO)

b) Cekung masif dan cekung bergigi

c) Berganda dan bertangga

d) Kolam bantalan air, dan lain-lain.

Pada pembahasan skripsi ini, hanya akan dibahas peredam energi tipe MDO

sesuai dengan desain yang akan digunakan. Tipe ini dipilih untuk peredam energi

bendung yang berlokasi disungai-sungai dengan angkutan sedimen dominan fraksi

kerikil dan pasir sebagaimana yang terdapat pada aliran Sungai Ciroyom.

Peredam energi bendung tipe MDO adalah bagian dari bangunan di hilir

tubuh bendung yang merupakan kolam olak terdiri atas lantai hilir mendatar tanpa

lengkung pada transisiantara bidang hilir tubuh bendung dan lantai horizontal,

dan di ujung hilirnya dilengkapi dengan ambang hilir tipe gigi ompong, dibagian

kiri kanan ruang olak dibatasi oleh tembok pangkal bendung dilanjutkan dengan

tembok sayap hilir. Fungsinya untuk meredam energi air agar tidak menimbulkan

penggerusan setempat yang membahayakan bangunan bagian hilir. Pada tipe ini

pemecah energi air ditimbulkan terutama oleh gesekan air dengan air juga lantai

dan dinding, sehingga aliran yang keluar ke sungai dari bangunan diratakan oleh

ambang akhir yang berkotak-kotak.


31

Persyaratan yang berkaitan dengan batasan pemakaian tipe dan ukuran

peredam energi bendung tipe MDO, pemakaiannya ditentukan oleh :

a) Lokasi bendung, tipe bendung, debit banjir perencanaan sudah ditentukan

terlebih dahulu

b) Tinggi bendung dari dasar sungai dibagian hilir peredam energi di bawah

sepuluh meter dan tinggi air diatas mercu bendung sampai dengan empat

meter

c) Bentuk atau tipe dari mercu bendung harus dengan bentuk bulat dengan satu

atau dua jari-jari yang telah diketahui sifat, rumus atau grafik alirannya

d) Tubuh bendung di hilir mercu bendung dari bentuk tegak sampai dengan

miring yang kemiringannya tidak lebih dari pada perbandingan 1 : 1

e) Aliran sungai dari udik bendung harus diusahakan tegak lurus (frontal)

terhadap sumbu mercu bendung

f)Tanpa lengkung di pertemuan kaki bendung dan lantai dengan lantai hilir

berbentuk datar tanpa kemiringan

g) Harus dilengkapi dengan tembok sayap hilir bentuk miring dan ujungnya

dimasukan ke dalam tebing

h) Untuk menambah keamanan tepat dihilir ambang akhir dan di kaki tembok

sayap dipasang rip-rip dari batu.

Bentuk hidraulik bangunan peredam energi bendung tipe MDO ditentukan

dengan parameternya yaitu dalamnya ruang olakan, panjang lantai, tinggi dan

lebar ambang hilir dengan bentuk berkotak-kotak.


32

Gambar 2.13 Bendung Dengan Peredam Energi Tipe MDO

2.8 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah Aliran Sungai adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-

punggung gunung/pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut

akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik/stasiun yang ditinjau. DAS

ditentukan dengan dengan mengunakan peta topografi yang dilengkapi dengan

garis-garis kontur. Luas DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta

topografi (Sri Harto, 1993). Luas DAS sangat berpengaruh terhadap debit sungai

dan pada umumnya semakin besar DAS semakin besar jumlah limpasan

permukaan sehingga semakin besar pula aliran permukaan (Suripin, 2004). Untuk

lebih jelasnya Daerah Aliran Sungai dapat dilihat pada Gambar 2.8
33

Gambar 2.14 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Dalam memperkirakan panjang suatu segmen sungai disarankan untuk

mengukurnya beberapa kali dan kemudian dihitung panjang reratanya. Panjang

sungai adalah panjang yang diukur sepanjang sungai, dari stasiun yang ditinjau

atau muara sungai sampai ujung hulunya. Sungai utama adalah sungai terbesar

pada daerah tangkapan dan yang membawa aliran menuju muara sungai.

Pengukuran panjang sungai dan panjang DAS sangat penting dalam

analisis aliran limpasan dan debit aliran sungai. Panjang DAS (L) adalah panjang

maksimum sepanjang sungai utama dari stasiun yang ditinjau ke titik terjauh dari

batas DAS. Panjang pusat berat (Lc) adalah panjang sungai yang diukur sepanjang

sungai dari stasiun yang ditinjau sampai titik terdekat dengan titik berat daerah

aliran sungai. Pusat Berat DAS adalah pusat berat titik perpotongan dari dua atau

lebih garis lurus yang membagi DAS menjadi dua DAS yang kira-kira sama besar.

Gambar 2.9. menunjukkan panjang sungai.


34

Gambar 2.15 Panjang Sungai

Jumlah panjang sungai semua tingkat LT adalah jumlah dari panjang

semua segmen semua tingkat. LT digunakan untuk mengukur kerapatan sungai D,

yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat dalam DAS dibagi dengan luas DAS.

Laju dan volume aliran permukaan makin bertambah besar dengan

bertambahnya luas DAS. Akan tetapi apabila aliran permukaan tidak dinyatakan

sebagai jumlah total dari DAS melainkan sebagai laju dan volume per satuan luas,

besarnya akan berkurang dengan bertambah luasnya DAS. Ini berkaitan dengan

waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke titik

kontrol (waktu konsentrasi atau time concentration/tc), dan juga penyebaran

atau intensitas hujan.

Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran dalam sungai.

Pengaruh bentuk DAS terhadap aliran permukaan dapat ditunjukkan dengan

memperhatikan hidrograf-hidrograf yang terjadi pada dua buah DAS yang

bentuknya berbeda namun mempunyai luas yang sama dan menerima hujan

dengan intensitas yang sama (Gambar 2.15). Bentuk DAS memanjang dan sempit
35

cenderung menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan

dengan DAS yang berbentuk melebar atau melingkar.

Hal ini terjadi karena waktu konsentrasi DAS yang memanjang lebih

lama dibandingkan dengan DAS melebar, sehingga terjadinya konsentrasi air di

titik kontrol lebih lambat yang berpengaruh pada laju dan volume aliran

permukaan. Faktor bentuk juga dapat berpengaruh pada aliran permukaan apabila

hujan yang terjadi tidak serentak di seluruh DAS, tetapi bergerak dari ujung yang

satu ke ujung lainnya, misalnya dari hilir ke hulu DAS. Pada DAS memanjang

laju aliran akan lebih kecil karena aliran permukaan akibat hujan di hulu belum

memberikan kontribusi pada titik kontrol ketika aliran permukaan dari hujan di

hilir telah habis, atau mengecil. Sebaliknya pada DAS melebar, datangnya aliran

permukaan dari semua titik di DAS tidak terpaut banyak, artinya air dari hulu

sudah tiba sebelum aliran dari hilir mengecil/habis.

(a) DAS memanjang (b) DAS melebar

curah curah
hujan hujan
hidrograf dan P hidrograf
aliran
dan P
permukaa Q, aliran
permukaa
n
Q,
n

wakt wakt
u u

Gambar 2.16 Pengaruh Bentuk DAS pada Aliran Permukaan


36

2.8.1 Pola Aliran Sungai

Sungai di dalam semua DAS mengikuti suatu aturan yaitu aliran sungai

dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dimana cabang dan anak sungai yang

mengalir ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk suatu pola

tertentu. Pola itu tergantung dari kondisi topografi, geologi, iklim dan vegetasi

yang terdapat dalam DAS yang bersangkutan.

Menurut Soewarno (1991) ada beberapa pola aliran sungai yang terdapat

di Indonesia dimana pola aliran tersebut dibedakan berdasarkan jenis batuan dan

sedimennya. Pola aliran tersebut antara lain :

1. Pola Radial

Pola ini biasanya banyak dijumpai pada daerah lereng gunung berapi atau

daerah dengan topografi berbentuk kubah. Misalnya sungai di lereng

Gunung Semeru, Merapi, Ijen dan Slamet.

2. Pola Rektangular

Pola ini banyak dijumpai pada daerah pegunungan kapur, misalnya

Gunung Kidul.

3. Pola Trellis

Pola ini biasanya banyak dijumpai pada daerah pegunungan dengan

lipatan-lipatan yang juga terdapat lapisan sedimen. Misalnya pada daerah

pegunungan di Sumatera Barat dan Jawa Tengah.

4. Pola Dendritik
37

Pola aliran sungai seperti ini banyak dijumpai di daerah dengan komposisi

batuan penyusun yang sejenis dan penyebarannya luas. Misalnya pada

daerah pegunungan di Sumatera dan Kalimantan.

Pola aliran Sungai Cideres mengikuti pola aliran trellis, untuk lebih

jelasnya sketsa beberapa profil aliran sungai dapat dilihat pada gambar dibawah

ini.

G.Merapi

yo
k.o

k.denkeng
o
og
pr
k.

k
k.opa
- RADIAL - - REKTANGULAR -

m
are
yr
wa
k.l
us
i

- TRELLIS - - DENDRITIK -

Gambar 2.17 Sketsa pola aliran sungai di indonesia

2.9 Perhitungan Hidraulika Sungai

2.9.1 Alur Sungai

Secara umum alur sungai dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :

a). Bagian Hulu


38

Bagian hulu merupakan daerah sumber erosi karena pada umumnya alur

sungai melalui daerah pegunungan, bukit, atau lereng gunung berapi yang

kadang-kadang mempunyai ketinggian yang cukup besar dari muka air

laut. Alur sungai dibagian hulu ini biasanya mempunyai kecepatan yang

lebih besar dari pada bagian hilir sehingga pada saat banjir material hasil

erosi yang terangkut tidak hanya partikel sedimen yang halus akan tetapi

juga pasir, kerikil bahkan batu.

b). Bagian Tengah

Bagian ini merupakan daerah peralihan dari bagian hulu dan hilir.

Kemiringan dasar sungai lebih landai sehingga kecepatan aliran relatif

lebih kecil dari pada bagian hulu. Bagian ini merupakan daerah

keseimbangan antara prosen erosi dan sedimentasi yang sangat bervariasi

dari musim ke musim.

c). Bagian Hilir

Alur sungai dibagian hilir biasanya melalui dataran yang mempunyai

kemiringan dasar sungai yang landai sehingga kecepatan alirannya lambat.

Keadaan ini sangat memudahkan terbentuknya pengendapan atau sedimen.

Endapan yang terbentuk biasanya berupa endapan pasir halus, lumpur,

endapan organik, dan jenis endapan lain yang sangat labil.


39

erosi endapan

HULU TENGAH HILIR LAUT

Gambar 2.18 Sketsa profil memanjang alur sungai

2.10 Aspek Analisis Hidrologi

Dalam aspek analisis hidrologi sangat erat kaitannya pada proses

perencanaan dan pelaksanaan pada pembuatan bangunan air, karena dengan

adanya analisis hidrologi ini, penyusun dapat menganalisis besarnya curah hujan

yang terjadi pada lokasi perencanaan yang akan dibuat bangunan air tersebut.

Sehingga hasil perhitungan besarnya curah hujan rencana yang selanjutnya akan

dipakai untuk menghitung debit banjir rencana pada lokasi rencana bangunan air.

Sebelum analisis hidrologi, suatu perencanaan bangunan dilakukan

pengumpulan data yang dibutuhkan. Dalam perencanan perlu diketahui gambaran

keadaan debit sungai, hal ini erat kaitannya dengan penentuan debit banjir rencana

sebagai dasar perencanaan dimensi hidraulik.

Dalam menentukan debit banjir rencana, dapat digunakan beberapa

metode. Metode yang digunakan tergantung dari data yang tersedia. Data tersebut

bisa berupa data debit sungai harian, atau data curah hujan harian. Dalam hal ini

data yang dipergunakan adalah data curah hujan harian maksimum tahunan. Data
40

ini sangat diperlukan dalam setiap analisis hidrologi, terutama untuk menghitung

banjir rencana, baik secara empiris maupun model matematik. Data curah hujan

digunakan karena data debit.

2.10.1 Analisis Curah Hujan

Beberapa parameter yang diambil untuk menganalisis curah hujan di

sebuah pos, yaitu :

1. Metode Gumbel

Cara perkiraan untuk mendapatkan frekuensi kejadian curah hujan

dengan intensitas tertentu yang digunakan dalam perhitungan pengendalian banjir,

rancangan bangunan air (seperti Bottom Controller) dan lain-lain adalah hanya

dengan menggunakan data pengamatan yang lalu didapatkan dari Instansi terkait

yaitu Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air.

Periode ulang (return period) adalah jika suatu data hidrologi (x)

mencapai suatu harga tertentu (Xi), atau kurang dari (Xi) diperkirakan terjadi

sekali dalam T tahun, maka T tahun ini dianggap sebagai periode ulang dari (Xi).

(Xi) ini disebut data dengan kemungkinan T tahun. (Jika data itu berupa data

curah hujan harian, maka disebut curah hujan harian kemungkinan T tahun).

Parameter yang diambil untuk menganalisis curah hujan yaitu Metode Gumbel.

Analisis curah hujan menggunakan metode Gumbel dengan periode ulang

T = 2 tahun, T = 5 tahun, T = 10 tahun, T = 25 tahun, T = 50 tahun, T = 100 tahun.

Adapun pos penakar hujan (pos curah hujan) yang akan digunakan dalam

perhitungan curah hujan untuk lokasi kajian ini yaitu pos curah hujan :
41

1. Pos Curah Hujan Cigasong

2. Pos Curah Hujan Majalengka Kota

3. Pos Curah Hujan Maja.

Dengan demikian Metode Gumbel dipilih dengan asumsi bahwa sebaran data

curah hujan yang ada sesuai dengan sebaran Gumbel.

Data curah hujan harian maksimum tahunan untuk pos penakar hujan

Cigasong, Majalengka Kota dan Maja dihitung secara analisis periode ulang

dengan menggunakan metode Gumbel.

Xt 1 Yt

Dimana :

Xa 1 Yn

Xi Xa
2

Sx
n 1

1 Sx

Sn

Xa : Harga rata-rata Curah hujan

Yt : Reduced Variasi

Yn : Reduced Mean

Xt : Harga rata-rata Curah Hujan dalam pengambilan (T) tahun

Sx : Standar deviasi

Sn : Reduce standard variation


42

2. Metode Ven The Cow

Xt Xa K .Sx

Dimana :

Yt Yn
K
Sn

Xi Xa
2
Sx
n 1

Yt Yn
K
Sn

Xt : Harga rata-rata Curah Hujan dalam pengambilan (T) tahun

Xa : Harga rata-rata curah hujan

K : Frekuensi factor

Sx : Standar deviasi

Yt : Ruduced Variasi

Yn : Reduced Mean

Sn : Reduce standard variation

2.10.2 Analisis Debit Banjir Rencana

Teknik Pengukuran Debit Di Lapangan

Pengukuran debit disebut dengan cara langsung, apabila kecepatan

aliran dan luas penampang basah diukur langsung di lapangan. Kecepatan aliran

dapat diukur dengan menggunakan alat ukur kecepatan arus (Current meter) atau

suatu benda yang bisa melayang dia air (pelampung) dan lain-lain. Debit aliran

pada umumnya dirumuskan sebagai berikut :


43

Q = A . V

Dimana :

A = Luas penampang basah (m2).

V = Kecepatan aliran (m/det).

Q = Debit (m3/det).

Jadi pada prinsipnya tahapan pengukuran debit aliran adalah mengukur

kecepatan, lebar dan kedalaman pada suatu penampang melintang sungai atau

saluran terbuka.

Debit banjir rencana (design flood debit) adalah debit maximum dari

suatu sungai atau saluran yang didasarkan dengan kala ulang tertentu sesuai

dengan maksud perencanaan, tujuan dari analisa debit banjir rencana ini adalah

untuk memperoleh debit puncak agar air (debit) yang mengalir melintasi

bangunan rencana tersebut dapat dialirkan tanpa membahayakan stabilitas

bangunan yang direncanakan.


Debit banjir rencana tersebut diperoleh dari data debit hujan rencana

(Rt) yang terjadi dari intensitas hujan, koefisien pengaliran dan koefisien

penyebaran hujan dan juga koefisien limpasan. Hasil dari debit rencana ini

digunakan
sebagai data penting dalam menentukan dimensi banguanan yang

direncanakan. Debit banjir maksimum untuk bangunan ini diambil sebagai debit

banjir dengan periode ulang 100 tahun.


44

Tujuan Menganalisa debit banjir adalah untuk memperoleh debit puncak

dan hidrof banjir sungai, yang akan digunakan sebagai data penting dalam

menentukan dimensi bangunan yang direncanakan.

Metode perhitungan yang digunakan untuk menganalisis debit banjir

pada perencanaan bangunan-bangunan pengaman banjir adalah ;

a. Metode Weduwen

b. Metode Rasional

1. Metode Weduwen
Metode ini dapat menggambarkan hubungan antara luas daerah, pengairan

dengan curah hujan yang ada. Debit rencana Metode Weduwen dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

Xt
Q q A
240

t 1
120 A
t 9
120 A
67,65
q
t 1,45
4,10
1
q7
0,476 A 0, 375
tr
q 0,125 i 0, 25
Dimana :
Q : Debit banjir rencana (m3/det)
: Koefisien run off
: Koefisien reduksi
q : Intensitas hujan (m3/s/km2)
A : Luas daerah (km2)
Xt : Curah hujan dengan kala ulang (mm)
45

tr : Waktu konsentrasi (jam)


t : Nilai taksir
i : Kemiringan sungai

2. Metode Rasional
Metode ini dapat menggambarkan hubungan antara luas daerah, pengairan

dengan curah hujan yang ada. Debit rencana Metode Rasional dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :


Q 0,278 C I A
0, 6
H
V 72
L
L
tc
V

2
Xt 24 3
I
24 tc

Dimana :
Q : Debit rencana puncak banjir (m3/det)
V : Kecepatan aliran (m/det).
A : Luas DPS, diukur dari peta topografi (km2)
H : Beda tinggi (m)
B : Lebar sungai (m)
L : Panjang sungai (km)
C : Koefisien aliran
Xt : Curah hujan dengan kala ulang (mm)
tc : Waktu konsentrasi (jam)
I : Intensitas hujan selama waktu tiba banjir (mm/jam)

Tabel 2.5 Reduced Variate (Yt)

RETURN PERIOD REDUCED VARIATED

(PERIODE ULANG) (Yt)


2 0.365
5 1.500
10 2.250
25 3.199
50 3.902
100 4.600
Sumber : Materi Kuliah Hidrologi I
46

Tabel 2.6 Reduced Mean (Yn)

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0.4952 0.4996 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.5220

20 0.5236 0.5252 0.5286 0.5263 0.5263 0.5309 0.5320 0.5332 0.5343 0.5353

30 0.5362 0.5371 0.5385 0.5388 0.5396 0.5402 0.5410 0.5418 0.5424 0.5430

40 0.5436 0.5442 0.5453 0.5453 0.5458 0.5463 0.5468 0.5473 0.5477 0.5481

50 0.5485 0.5489 0.5439 0.5497 0.5501 0.5504 0.5508 0.5511 0.5515 0.5518
Sumber : Materi Kuliah Hidrologi I

Tabel 2.7 Reduced Standard Variation (Sn)

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0.9496 0.9697 0.9833 0.9971 1.0095 1.0208 1.0316 1.0411 1.0493 1.0565

20 1.0628 1.0696 1.9754 1.8110 1.0864 1.0864 1.0961 1.1044 1.1047 1.1056

30 1.1124 1.1159 1.1193 1.1226 1.1255 1.1285 1.1313 1.1339 1.1363 1.1388

40 1.1413 1.1436 1.1458 1.1480 1.1499 1.1519 1.1538 1.1557 1.1574 1.1590

50 1.1607 1.1623 1.1638 1.1658 1.1667 1.1681 1.1681 1.2708 1.1721 1.1734
Sumber : Materi Kuliah Hidrologi I

Tabel 2.8 Nilai Koefisien Limpasan (C)

Kondisi DAS Angka Pengaliran


Pegunungan Curam 0.75 0.90

Pegunungan Tersier 0.70 0.80

Tanah Bergelombang dan Hutan 0.50 0.75

Dataran Pertanian 0.45 0.60

Persawahan yang Diairi 0.70 0.80


47

Sungai di Pegunungan 0.75 0.85

Sungai di Dataran 0.45 0.75

Sungai yang Sebagian Alirannya 0.50 0.75

di Dataran Rendah

Sumber : Materi Kuliah Hidrologi I


48

2.11 Analisa Sedimentasi

2.11.1 Umum
Sedimentasi dari suatu daerah pengaliran tertentu dapat ditentukan dengan

pengukuran pengangkutan sedimen pada titik kontrol dari alur sungai, atau

dengan menggunakan rumus-rumus empiris dan rumus-rumus semi empiris.

Setiap sungai membawa sejumlah sedimen terapung (suspended load)

serta menggerakkan partikel-partikel padat sepanjang dasar sungai sebagai muatan

dasar (bed load). Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil sedimen (sedimen yield)

dari suatu daerah aliran sungai adalah :

Jumlah dan intensitas curah hujan

Tipe tanah dan formasi geologi

Lapisan tanah

Tata guna lahan

Topografi

Jaringan sungai, yang meliputi : kerapatan sungai, kemiringan,

bentuk, ukuran dan jenis saluran


49

2.11.2 Transportasi Sedimen Muatan Layang (Suspended Load)

Muatan layang (Suspended load), yaitu partikel yang bergerak dalam

pusaran aliran yang cenderung terus menerus melayang bersama aliran. Ukuran

partikelnya lebih kecil dari 0,1 mm. Muatan layang tidak berpengaruh terhadap

alterasi, tetapi dapat mengendap di muara-muara sungai ataupun dasar waduk

yang dapat menimbulkan pendangkalan dan akhirnya menyebabkan berbagai

masalah.

Transportasi Suspended load dapat dimengerti secara mudah dan dapat

digambarkan dengan metode teoritis, didasarkan pada teori turbulen dan metode

yang sangat bagus yang telah ada untuk menghitung distribusi relatif konsentrasi

suspended load yang melebihi kedalaman saluran. Kapasitas suspended load telah

diformulasikan oleh Van Rijn (1984) sebagai berikut (Pilarczyk,1995 : 92) :

z
UC a 0 , 5h d z z z h
z z
Ss 8 a
ln dz exp 4 Z 0,5 ln dz pa
K h a a z z0 0 , 5h h z0

Pada saat transportasi suspended dengan ketidakakuratan sampai 25 dapat

digunakan rumus sebagai berikut (Pilarczyk,1995 : 92) :

a
Ss = F . U . h . C a 0,3 Z 3 dan 0,01 0,1
h
z 1, 2
a a

h h
F z
a
1 1,2 Z '
h
50

Dengan :

zo = 0.033 ks , ks = tinggi kekasaran equivalen Nikuradze

U = kecepatan aliran rata-rata

h = kedalaman aliran

Ca = konsentrasi referensi

D50 T 1,5
0,015 dengan a = ks atau a = 0,5 f
a D80 ,3

T
U 0
2
U 0c
2

U 0c

Z` = jumlah suspansi yang dimodifikasi


= Z+

Secara sederhana rumus Van Rijn diformulasikan sebagai berikut

(Pilarczyk,1995:95) :

2 ,4

SS U UC D50
0,012 . D0
0,6

U .h g . D . s 1 h
50

Untuk parameter partikel karakteristik (D0)

1/ 3
g
D0 D50 S .

51

Muatan layang (suspended load) dapat juga dihitung dengan menggunakan

metode USBR (United State Bureau Reclamation) dimana untuk

menghitung angkutan muatan layang, diperlukan pengukuran debit air

(Qw) dalam m3/det, yang dikombinasikan dengan konsentrasi sedimen (C)

dalam mg/l, yang menghasilkan debit sedimen dalam ton/hari dihitung

dengan persamaan (Strand, 1982 : 7) :

Qs = 0,0864 C.Qw

dimana :

Qs = beban layang (ton/hari)

C = konsentrasi sedimen (mg/liter)

Qw = debit sungai (m3/detik)

Dari perhitungan, dibuat lengkung aliran sedimen yang merupakan

garis regresi antara angkutan sedimen dan debit air dengan persamaan :

Qs = a.Qwb

2.11.3 Transportasi Sedimen Beban Alas (Bed Load)

Muatan dasar (bed load), adalah partikel yang bergerak pada dasar sungai

dengan cara berguling, meluncur, dan meloncat.


52

h
C

Gambar 2.19 Transportasi Sedimen Beban Alas

Muatan dasar keadaannya selalu bergerak, oleh sebab itu pada sepanjang aliran

dasar sungai selalu terjadi proses degradasi dan agradasi yang disebut sebagai

Alterasi Dasar Sungai .

Transportasi bed load selalu dihitung dengan rata-rata jumlah yang besar

dengan rumus yang berbeda, dimana semua rumus tersebut tanpa pengecualian

yang sudah menjadi sifat keempirisannya. Pengukuran transportasi bed load

dilapangan sangat tidak dapat dipercaya, terutama pada debit yang tinggi, saat

banyak bed load yang berpindah. Sebaliknya, tes aliran di laboratorium dengan

transportasi bed load mudah membandingkan tingkah lakunya, dan eksperimen

aliran dalam jumlah sangat banyak telah dilakukan di segala tempat.

Konsekuensinya, semua rumus yang ada harus disesuaikan atau dikalibrasi

dengan tes aliran di laboratorium, tanpa menguji pada kondisi lapangan. Beberapa

metode formulasi untuk menghitung jumlah transportasi muatan dasar telah

dikembangkan oleh beberapa peneliti dari tahun ke tahun. Formula muatan dasar

ini didasarkan pada prinsip bahwa kapasitas aliran sedimen transport sepanjang
53

dasar bervariasi secara langsung dengan perbedaan antara shear stress pada

partikel dasar dan shear stress (tegangan geser) kritis yang diijinkan untuk

partikel yang bergerak. Beberapa formula terdahulu, seperti Schoklitsch (1934)

dan Meyer Peter Muller (1948) didasarkan pada hasil eksperimental yang minim.

Banyak formula baru seperti einstein (1950) mempunyai latar belakang semi

teoritis, teori statistik dan probabilitas yang dipakai sebagai dasar pembentukan

formula dan eksperimental dipakai guna elevasi berbagai konstanta.

Besarnya beban alas dapat dihitung dengan menggunakan rumus Meyer-

Petter Muller (Design Small Dam) sebagai berikut :

3/ 2
QB D901 / 6
3/ 2

G = 1,606 B 3.306 .d .S 0.627 Dm

Q ns
dimana :
G = beban alas (ton/hari)
B = lebar sungai (m)
QB = debit yang mengalir di atas beban layang (m3/detik)
Q
3/2
= 2d nw
1
B ns

Q = debit sungai (m3/detik)


D90 = prosentase diameter butiran lolos 90 % (mm)
ns = koefisien Manning pada dasar sungai
2/3
2d
nw
3/ 2

= nm 1 1
B
nm

nm = koefisien Manning untuk seluruh bagian sungai

nw = koefisien Manning untuk talud sungai

Dm = diameter efektif (diameter rata-rata)


54

d = rata-rata kedalaman air (m)

S = kemiringan sungai

Anda mungkin juga menyukai