HAKEKAT MANUSIA
Kelompok 7
DAFTAR ISI
Kata pengantar.................................................................................................................. i
Daftar isi ............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
b. Rumusan masalah........................................................................................................... 1
c. Tujuan ............................................................................................................................ 1
BAB II ISI
a. Latar belakang hakekat manusia .................................................................................... 2
b. Pandangan tentang manusia .......................................................................................... 2
c. Eksitensi manusia .......................................................................................................... 6
d. Pengembangan dimensi-dimensi manusia dalam bidang pendidikan .......................... 12
BAB III KESIMPULAN
Simpulan ............................................................................................................................. 15
Daftar Pustaka .................................................................................................................. 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik
untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan
merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Tugas mendidik hanya mungkin
dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang
siapa manusia itu sebenarnya. Pemahaman pendidik terhadap sikap hakikat manusia akan
membentuk peta tentang karateristik, manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberi
acuan bagi pendidik dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik, serta memilih
pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi didalam interaksi
edukatif.
Hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karateristik, yang secara prinsipiil (jadi
bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Adanya sifat hakikat tersebut
memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih
tinggi daripada hewan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Latar belakang hakekat manusia?
2. Bagaimana pandangan tentang manusia ?
3. Bagaimana Eksitensi manusia ?
4. Bagaima pengembangan dimensi-dimensi manusia dalam bidang pendidikan ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui Latar belakang hakekat manusia
2. Mengetahui Pandangan tentang manusia
3. Mengetahui Eksitensi manusia
4. Mengetahui Pengembangan dimensi-dimensi manusia dalam bidang pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Manusia
1. latar belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagaimana juga makhluk-makhluk di muka bumi
ini, dan setiap makhluk yang dijadikan itu memiliki ciri-ciri membedakannya dengan
makhluk lainnya. Manusia adalah makhluk yang mempunyai pola, ulah dan tingkah laku,
banyak sekali keinginan dan dorongan nafsunya (dorongan untuk berkuasa, untuk lebih dari
orang lain,dorongan seks,dorongan untuk terkenal / termasyuhur, cemburu, dengki, rakus dan
tamak), sehingga pada manusiaperlu ada pengaturan hokum, tata tertib, adat istiadat, perlu
ada agama dan pendidikan, perlu ada norma dan nilai. Pada sisi lain manusia adalah makhluk
yang luar biasa hebat dapat berkata-kata , berbahasa , ddapat menemukan sesuatu , dapat
bersopan santun, ddapat emmanfaatkan , dapat mengendalikan alam, dapat berlaku jujur,
dapat menyayangi dan berkorban.
Pada hakekatnya manusia adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, diciptakan dalam
bentuk paling sempurna. Manusia adalah makhluk spiritual yang akan menjalani fase-fase
peristiwa kehidupan baik sebelum lahir, sekarang maupun setelah mati. Spiritual merupakan
aspek non fisik yang mampu memberikan kekuatan manusia untuk lebih dari sekedar hidup.
Jadi manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagaimana juga makhluk-makhluk yang lain
di muka bumi ini dan setiap makhluk yang dijadikan itu memiliki ciri-ciri tertentu yang
membedakan ia dengan makhluk lainnya. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk utama
dalam dunia alami, makhluk yang berkemauan bebas, makhluk yang sadar dan sadar diri,
kreatif, idealis, serta makhluk moral. Sifat hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri
karakteristik, yang secara prinsipil ( jadi bukan hanya gradual ) membedakan manusia dari
hewan.
a. Manusia itu adalah makhluk berfikir, biasanya berpikirnya manusia itu adalah kalau
dihadapkan pada masalah-masalah terutama pada maasalah yang menyangkut kehidupan
sehari-hari.
b. Manusia juga adalah makhluk yang suka berbuat, suka menciptakan dan menghaasilkan
sesuatu, memiliki kreatifitas yang tinggi dan rajin bekerja.
c. Manusia disebut juga sebagai animal educandung, makhluk yang dpat di didik karena ia
mampu berkata-kata dan berbahasa, mampu berkomunikasi dan menerima pesan-pesan,
mempunyai potensi untuk mengerti , memahami , mengingat dan berpikir.
d. Manusia adalah makhluk yang suka berkawan, butuh mempunyai teman sehingga
dikatakan manusia itu adalah sukaberkelompokmengadakan hubungan sosial.
Selain hal yang disebutkan diatas, manusia adalah makhluk yang banyak sekali
kebutuhannya, kalau kebutuhan hewan adalah tersedianya makanan dan pasangan,tetapi
kalau manusia mengkehednaki kebutuhan yang banyak sekali, mulai dari kebutuhan yang
bersifat biologis (makan, minum,kawin,tempat tinggal, dan perlindungan
kesehatan);kebutuhan akan keamanan dirinya (bebas dari rasa takut, rasa tertekan, bebas dari
rasa ancaman, mendapat perlindungan hokum); kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi
(diperhatikan,dihargai dandipuji); kebutuhan mengadakan hubunga sosial (mempunyai
teman,mendapat penerimaan sosial,dikenal dan dikagumi) sampai pada kebutuhan eksistensi
diri yaitu keberadaanya pada suatu puncak karir yang mungkin dia capai.
C. Eksistensi Manusia
Pengertian Eksistensi
Eksistensi berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa latin existere yang berarti
muncul, ada, timbul, memilih keberadaan aktual. Dari kata ex berarti keluar dan sistere yang
berarti muncul atau timbul. Beberapa pengertian secara terminologi, yaitu pertama, apa yang
ada, kedua, apa yang memiliki aktualitas, dan ketiga adalah segala sesuatu yang di dalam
menekankan bahwa sesuatu itu ada. Eksistensi berarti keberadaan. Cara manusia berada di
dunia berbeda dengan cara benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, tidak
ada hubungan antara benda yang satu dengan benda yang lainnya, meskipun mereka saling
berdampingan. Keberadaan manusia di antara benda-benda itulah yang membuat manusia
berarti. Cara berada benda-benda berbeda dengan cara berada manusia. Dalam filsafat
eksistensialisme, bahwa benda hanya sebatas berada, sedangkan manusia lebih apa yang
dikatakan berada, bukan sebatas ada, tetapi bereksistensi. Hal inilah yang menunjukan
bahwa manusia sadar akan keberadaanya di dunia, berada di dunia, dan mengalami
keberadaanya berada di dunia.
Tahap-Tahap Eksistensi Manusia
1. Tahap Estetis
Tahap estetis adalah tahap di mana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan
untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual,
oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik dan biasanya bertindak menurut suasana
hati. Kierkegaard mengambil sosok Don Juan sebagai model manusia estetis. Don Juan hidup
sebagai hedonis yang tidak mempunyai komitmen dan keterlibatan apapun dalam hidupnya.
ia tidak mempunyai antusiasme dalam menyikapi suatu persoalan. Tidak ada cinta, dan tidak
ada ketertarikan. Cinta dan Pernikahan adalah hambatan untuk petualangan dan untuk
kebebasan, biasanya dianggap mengurangi kesenangan dan kepentingan pribadinya.
Manusia estetis pun adalah manusia hidup tanpa tanpa jiwa. Ia tidak mempunyai akar
dan isi dalam jiwanya. Kemauannya adalah mengikatkan diri pada kecenderungan
masyarakat dan zamannya. Yang menjadi gaya hidup dalam masyarakat menjadi petunjuk
hidupnya, dan oleh sebab itu ia ikuti secara seksama. Namun semuanya itu tidak dilandasi
antusiasme apapun selain keinginan untuk sekedar mengetahui dan mencoba. Hidupnya tidak
mengakar dalam, karena dalam pandangannya, pusat kehidupan ada di dunia luar. Panduan
hidup dan moralitasnya ada pada masyarakat dan kecenderungan zamannya.
Manusia Estetis terdapat di mana saja dan kapan saja. Manusia estetis bisa mewujud
pada siapa saja, termasuk pada para filsuf dan ilmuwan, sejauh mereka tidak mempunyai
antusiasme, komitmen dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya. Mereka hanya mengamati
dan mendeskripsikan setiap kejadian yang mereka alami dalam kehidupan, tanpa berusaha
untuk melibatkan diri kedalam realitas hidup yang sesungguhnya.
2. Tahap Etis
Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yang semula estetis
menjadi etis. Ada semacam pertobatan di sini, di mana individu mulai menerima kebijakan-
kebijakan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan
(hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia menerima dan menghayati nilai-nilai
kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Dalam kaitannya dengan pernikahan, manusia etis
sudah menerimanya. Pernikahan merupakan langkah awal perpindahan dari eksistensi estetis
ke eksistensi etis. Hidup manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi
nilai-nilai kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.
Selain dari itu, jiwa individu etis sudah mulai terbentuk, sehingga hidupnya tidak lagi
tergantung pada masyarakat dan zamannya. Akar-akar kepribadiannya cukup kuat dan
tangguh. Akar kehidupannya ada di dalam dirinya sendiri, dan pedoman hidupnya adalah
nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka, dengan berani dan percaya diri, ia akan
mampu mengatakan tidak pada setiap gaya hidup yang tumbuh berkembang dalam
masyarakat dan zamannya, yang tidak sesuai dengan suara hati dan kepribadiannya.
Manusia etis pun akan sanggup menolak kuasa dari luar, baik yang bersifat represif maupun
nonrepresif, sejauh kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang diyakininya. Setiap kuasa yang
mengingkari nilai-nilai kemanusiaan akan ditentangnya dengan keras. Oleh sebab itu, sosok
yang dipilih Kierkgaard sebagai model dari hidup etis adalah Socrates. Socrates adalah
manusia yang bersedia mengorbankan dirinya dengan minum racun, untuk mempertahankan
keyakinan mengenai nilai kemanusiaan yang sangat luhur. Ia adalah sosok yang sadar akan
peran dan otonomi individu, subjek atau aku dalam menerima kebenaran. Berdasarkan
keyakinan pribadinya, ia menolak setiap kuasa atau sistem kekuasaan yang dinilainya
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
3. Tahap religius
Keotentikan hidup manusia sebagai subjek atau aku baru akan tercapai seandainya
individu, dengan mata tertutup, lompat dan meleburkan diri kedalam dalam realitas Tuhan.
Lompatan dari tahap etis ke tahap religius jauh lebih sulit daripada lompatan dari tahap estetis
ke tahap etis, maka secara rasional kita bisa mempertimbangkan segala konsekuensi yang
mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan dari tahap etis ke tahap religius nyaris tanpa
pertimbangan-pertimbangan rasional. Tidak dibutuhkan alasan atau pertimbangan rasional
dan ilmiah di sini. Diperlukan hanyalah keyakinan subjektif yang berdasarkan pada iman.
Perbedaan lainnya terletak pada objektivitas dan subjektivitas nilai. Nilai nilai
kemanusiaan pada tahap etis masih bersifat objektif (universal), sehingga ada rujukan yang
bisa diterima secara rasional. Sebaliknya, nilai-nilai religius bersifat murni subjektif,
sehingga seringkali sulit diterima akal sehat. Tidak mengherankan kalau sikap dan perilaku
manusia religius sering dicap tidak masuk akal.
Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektif transenden, tanpa rasionalisasi dan
tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi. Individu yang hendak memilih jalan religius
tidak bisa lain kecuali berani menerima subjektif transendennya itu subjektivitas yang hanya
mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat baik pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat
universal (eksistensi etis) maupun pada tuntutan pribadi masyarakat atau zaman (tahap
estetis)
Dimensi-Dimensi Eksistensi Manusia
Secara filosofis hakikat manusia merupakan kesatuan integral dari potensi-potensi esensial
yang ada pada diri manusia, yakni:
a. Manusia Sebagai Mahluk Individu
Tidak ada orang yang dilahirkan persis sama, walaupun pada anak kembar sekalipun. Jadi
dari lahir masing-masing sudah ada pembawaannya tidak ada duanya. Demikian juga dengan
apa yang mereka alami dari lingkungan. Anak kembar yang berada pada satu telurpun tidak
ada kepribadian yang persis sama. Tiap-tiap anak mempunyai sifat kepribadian yang unik.
Oleh karena itu, merekapun masing-masing tidak akan ada duanya. Setiap orang mempunyai
kekhasan.
Setiap orang ingin mengaktualisasi dirinya, artinya mengembangkan potensi-potensi yang
ada pada dirinya sendiri. Dia sadar akan individualitasnya, dia mempunyai jati dirinya
sendiri. Dia ingin menjadi dirinya sendiri. Dia mengalami pengaruh yang tidak disengaja dan
banyak pengaruh yang disengaja.
Akan tetapi, anak itu juga mengambil jarak, dia memilih, mempertahankan diri dan
sebagainya. Pengaruh-pengaruh itu diolahnya secara sangat pribadi dan apa yang diterimanya
menjadi bagian dari dirinya sendiri, dia seorang individu. Dalam pendidikannya yang sengaja
itu, pendidik harus berjaga-jaga, agar dia tidak terlalu ingin memaksakan kemauannya,
karena pada anak ada suatu prinsip pembentukan yang ditentukan oleh pribadinya sendiri.
Prinsip inilah yang mengasimilasikan pengaruh-pengaruh kependidikan yang sengaja itu,
serta memimpin dan mengembangkan apa yang menjadi bagian dari dirinya. Pendidik
seharusnya menghormati individualitas anak, kepribadiannya, keunikan, dan martabatnya.
Namun untuk perkembangan dirinya, mengaktualisasikan dirinya sebagai individu, anak
memerlukan pendidikan.
b. Manusia Sebagai Mahluk Sosial
Anak menemukan akunya, membedakan antara akunya dan aku orang lain yang ada
disekitarnya dalam pergaulan. Sewaktu dia masih bayi, anak mulai merasa satu dengan
orang-orang dalam lingkungan dekatnya, terutama ibunya. Baru kemudian dia membedakan
dirinya, akunya dari ibunya dan aku-aku yang lain itu. Dia dipelihara, dilindungi, dan diajak
berkomunikasi. Semua ini menunjukan, bahwa manusia itu adalah mahluk sosial. Untuk
kebutuhan-kebutuhan fisiknya pun, dia memerlukan perhatian dan bantuan dari orang lain.
Manusia itu adalah mahluk sosial dan sekaligus mahluk individu, sebagai manusia dia kedua-
duanya dalam kesatuannya sebagai suatu pribadi. Sebagai mahluk sosial individualitasnya
hendaknya tetap terpelihara secara utuh. Pidarta (1997:147) mengemukakan bahwa untuk
hidup bersama-sama dengan orang lain. Dalam setiap kehidupan yang berhasil, masing-
masing mendapat keuntungan dari apa yang diperolehnya dari orang lain. Setiap kehidupan
yang sepenuhnya manusiawi mencakup sebagai suatu bagian yang esensial dari dirinya,
banyak unsur yang harus datang dari orang-orang lain. Keakuan manusia betul-betul banyak
bergantung pada konstribusi-konstribusi esensial dari orang-orang lain.
Untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dan berhasil sebagai anggota kelompok
sosialnya, anak manusia memerlukan hubungan dengan orang lain. Untuk sebagian, tujuan
pendidikan adalah membantu perkembangan sosial dari anak, agar dia mendapat tempat,
menyesuaikan diri, serta mampu berperan sebagai anggota yang cakap bekerja sama dan
konstruktif dalam masyarakat. Seandainya manusia itu tidak dilihat dan diakui sebagai
mahluk sosial, maka ini berarti bahwa anak pada hakikatnya tidak dapat dipengaruhi, dan
karena itu tidak dapat didik, janganlah sekali-kali dilupakan, bahwa pendidikan adalah suatu
peristiwa sosial.
c. Manusia Sebagai Mahluk Susila
Telah dikemukakan bahwa manusia dapat membedakan antara baik dan jahat. Begitupula dia
dapat membedakan antara yang pantas dan yang tidak pantas. Dapatnya manusia membuat
perbedaan antara baik dan jahat, betul dan salah, pantas dan tidak pantas, berarti bahwa dia
dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal itu. Menjadi persoalan adalah apakah
manusia dapat mengarahkan tingkah laku dan kehidupan menurut apa yang diketahuinya
sebagai hal yang baik, betul atau pantas. Sehingga kita menilai seseorang itu dari tindakan
susilanya bukan karena pengetahuan susilanya.
Manusia susila adalah manusia yang memiliki, menghayati, dan melakukan nilai-nilai
kemanusiaan. Dalam hal ini, manusia mengkristalisasikan dan mengintegrasikan pengalaman
dan penghayatan pengalaman berharga bagi kehidupan menjadi satu pandangan hidup,
sehingga tersusun dalam satu-kesatuan yang hierarki yang disebut sistem nilai-nilai
(Dryarkara, 1980:46). Berkenaan dengan sumber-sumber nilai, termasuk nilai-nilai susila,
yang antara lain menjadi pedoman bagi apa yang harus kita lakukan. Satu pendapat
menyatakan bahwa nilai-nilai demikian mempunyai dukungan religius dan sifatnya absolut.
Menurut pendapat ini, ada suatu kaitan yang tidak terelakkan dan merupakan keharusan
antara komitmen religius dan perbuatan yang betul dan tepat.
Pendapat yang lain adalah nilai-nilai itu merupakan perbuatan manusia. Penganut pendapat
ini terbagi dua, (1) mereka yang mengatakan, bahwa nilai-nilai itu tidak boleh diubah dan (2)
mereka yang menyatakan, bahwa nilai-nilai itu mungkin saja berubah, misalnya berubahnya
tuntutan zaman atau situasi. Pendidikan mencakup pengajaran dan pelaksanaan nilai-nilai. Isi
pendidikan ialah tindakan-tindakan yang membawa anak didik mengalami dan menghayati
nilai-nilai kemanusiaan, menghargai dan meyakininya, sehingga anak didik membangun
nilai-nilai kemanusiaan itu ke dalam kepribadiannya.
Dilihat dari segi lain, pendidikan adalah usaha dalam membantu anak dalam menajamkan
kata hatinya. Bagaimanapun kita mengatakannya yang jelas adalah, bahwa pendidikan itu
adalah suatu peristiwa yang normatif. Esensi dari pendidikan adalah moral.
d. Manusia Sebagai Mahluk Religius
Sejak dahulu kala manusia percaya, bahwa di luar apa-apa yang dapat dijangkau
melalui alat inderanya, di luar alam ini, ada kekuatan-kekuatan yang disebut termasuk yang
supernatural. Dahulu orang menciptakan mitos-mitos untuk memahami kekuatan-kekuatan
dan hubungannya dengan manusia. Untuk mendamaikan atau melunakkan sikap kekuatan-
kekuatan itu, orang melakukan bermacam-macam upacara, memberikan korban-korban, dan
menyediakan sesajen-sesajen. Kemudian manusia dianugerahi dengan ajaran-ajaran yang
dipercayainya adalah wahyu dari Tuhan melalui nabi-nabi demi keselamatan manusia itu.
Manusia pada dasarnya homo religioso (mahluk yang religius). Tugas dari pendidikan adalah
menemukan dan mendalami yang baik itu berdasarkan pengkajian ajaran agama dan
mengajarkan anak-anak untuk mengetahui dan mengikutinya. Arbi (1988,135-136)
mengemukakan bahwa yang mungkin menjadi persoalan bagi seseorang adalah apakah
sekolah akan mengajarkan sesuai pengetahuan belaka atau juga harus sampai kepada inisiasi,
penerimaan atau pemantapan dan penguatan penerimaan pernyataan-pernyataan dan sistem
kepercayaan agama tertentu. Perbedaannya disini lebih baik dikemukakan antara apakah
sekolah harus memberikan pengajaran agama atau pendidikan agama.
Mereka yang menghendaki pendidikan agama merasa, bahwa pengajaran agama,
meskipun sangat perlu, bahkan esensial sebagai modal bagian kognitif dari perkembangan
keagamaan yang tidak memadai. Pendidikan agama lebih dari suatu pengkajian tentang
agama, melainkan agar mereka berpikir dan merasa secara keagamaan serta secara sepenuh
hati dan taat melakukan agamanya. Anak-anak mempunyai kemampuan untuk menghayati
pengalaman mereka tentang diri mereka dan dunianya menurut agamanya masing-masing.
Metode-metode memperoleh pemahaman agama bermacam-macam, termasuk pengajaran
agama, sembahyang dan doa, meditasi, komitmen aktif dan praktek ritual.
Untuk dapat menjalankan kehidupan religius, jelaslah anak memerlukan pendidikan
yang mengandung pengkajian-pengkajian, latihan-latihan dan ritual-ritual, yang akhirnya
diharapkan akan membantu dia ke arah penyatuan diri dengan Tuhan. Jadi pada manusia
terdapat beberapa dimensi, yaitu: dimensi keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi
kesusilaan, dan dimensi keagamaan.
KESIMPULAN
1. Pada hakekatnya manusia adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, diciptakan
dalam bentuk paling sempurna. Manusia adalah makhluk spiritual yang akan menjalani fase-
fase peristiwa kehidupan baik sebelum lahir, sekarang maupun setelah mati. Spiritual
merupakan aspek non fisik yang mampu memberikan kekuatan manusia untuk lebih dari
sekedar hidup.Jadi manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagaimana juga makhluk-
makhluk yang laindi muka bumi ini dan setiap makhluk yang dijadikan itu memiliki ciri-ciri
tertentu yang membedakan ia dengan makhluk lainnya. Manusia pada hakikatnya adalah
makhluk utama dalam dunia alami, makhluk yang berkemauan bebas, makhluk yang sadar
dan sadar diri, kreatif, idealis, serta makhluk moral.
2. pandangan tentang manusia adalah sebagai berikut :
a. Manusia itu adalah makhluk berfikir, biasanya berpikirnya manusia itu adalah kalau
dihadapkan pada masalah-masalah terutama pada maasalah yang menyangkut kehidupan
sehari-hari.
b. Manusia juga adalah makhluk yang suka berbuat, suka menciptakan dan menghaasilkan
sesuatu, memiliki kreatifitas yang tinggi dan rajin bekerja.
c. Manusia disebut juga sebagai animal educandung, makhluk yang dpat di didik karena ia
mampu berkata-kata dan berbahasa, mampu berkomunikasi dan menerima pesan-pesan,
mempunyai potensi untuk mengerti , memahami , mengingat dan berpikir.
d. Manusia adalah makhluk yang suka berkawan, butuh mempunyai teman sehingga
dikatakan manusia itu adalah sukaberkelompokmengadakan hubungan sosial.
3. Dimensi-Dimensi Eksistensi Manusia ,Manusia Sebagai Mahluk Individu,Setiap orang
ingin mengaktualisasi dirinya, artinya mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya
sendiri. Dia sadar akan individualitasnya, dia mempunyai jati dirinya sendiri. Dia ingin
menjadi dirinya sendiri. Dia mengalami pengaruh yang tidak disengaja dan banyak pengaruh
yang disengaja.Manusia Sebagai Mahluk Sosial,
Anak menemukan akunya, membedakan antara akunya dan aku orang lain yang ada
disekitarnya dalam pergaulan. Manusia itu adalah mahluk sosial dan sekaligus mahluk
individu, sebagai manusia dia kedua-duanya dalam kesatuannya sebagai suatu pribadi.
Sebagai mahluk sosial individualitasnya hendaknya tetap terpelihara secara utuh. Manusia
Sebagai Mahluk Susila,Manusia susila adalah manusia yang memiliki, menghayati, dan
melakukan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, manusia mengkristalisasikan dan
mengintegrasikan pengalaman dan penghayatan pengalaman berharga bagi kehidupan
menjadi satu pandangan hidup, sehingga tersusun dalam satu-kesatuan yang hierarki yang
disebut sistem nilai-nilai.Manusia Sebagai Mahluk Religius, Sejak dahulu kala manusia
percaya, bahwa di luar apa-apa yang dapat dijangkau melalui alat inderanya, di luar alam ini,
ada kekuatan-kekuatan yang disebut termasuk yang supernatural. Dahulu orang menciptakan
mitos-mitos untuk memahami kekuatan-kekuatan dan hubungannya dengan manusia. Untuk
mendamaikan atau melunakkan sikap kekuatan-kekuatan itu, orang melakukan bermacam-
macam upacara, memberikan korban-korban, dan menyediakan sesajen-sesajen. Kemudian
manusia dianugerahi dengan ajaran-ajaran yang dipercayainya adalah wahyu dari Tuhan
melalui nabi-nabi demi keselamatan manusia itu. Manusia pada dasarnya homo religioso
(mahluk yang religius).
4. Pengembangan dimensi manusia dalam Proses Pendidikan Pengembangan dimensi
keindividuan, Agar individual berkembang menjadi lebih baik, maka perlu adanya
pendidikan guna mengembangkan anak didik dalam menolong dirinya sendiri.
Pengembangan dimensi kesosialan, Proses terbentuknya dimensi sosial dan
perkembangannya dalam pendidikan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan
untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan
sesamanya sebagai anggota masyarakat, seseorang berkewajiban untuk berperan dan
menyesuaikan diri serta bekerja sama dengan masyarakat. Pengembangan dimensi
kesusilaan, Hanya manusia sajalah yang mampu menghayati norma-norma dan nilai- nilai
dalam kehidupan sehingga dapat menetapkan pilihan tingkah laku yang baik dan yang buruk.
Bagi manusia Indonesia norma-norma dan nilai-nilai yang perlu dikembangkan adalah nilai-
nilai universal yang diakomodasi dan diadaptasi dalam nilai-nilai khas yang terkandung
dalam budaya bangsa. Pengembangan dimensi keberagaman, Proses perkembangan agama
dalam pendidikan di latarbelakangi dengan semakin merosotnya moral manusia dalam ruang
lingkup keseharian saat ini. Hal inilah yang menjadi tujuan dalam pendidikan, yang bertujuan
membina dan mendidik seseorang agar menjadi manusia yang bermoral dan berakhlak mulia.
DAFTAR PUSTAKA
Hangesti, ningsih,endang.2015. diktat pengantar ilmu pendidikan. Yogyakarta:universitas
sarjanawiyata tamansiswa.
Purba,edward,dkk.2017.filsafat pendidikan.Medan : UNIMED
Munib, Achmad. 2010.Pengantar Ilmu Pendikan. Semarang: Unnes Press
Purba, Edward .2017. Filsafat Pendidikan . Medan : Unimed Press
Tirtarahardja, Umar. 1994. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Depddikbu