Anda di halaman 1dari 8

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Peritonitis merupakan inflamasi peritoneum yang dapat terjadi karena

kontaminasi mikroorganisme dalam rongga peritoneum, bahan kimiawi, atau

keduanya. (King., 2007). Infeksi peritonitis dibagi menjadi primer, sekunder, dan

tersier. Peritonitis perforasi disebut juga peritonitis sekunder, terjadi karena

adanya proses dalam intra-abdomen, seperti apendiks yang ruptur, perforasi

gastrointestinal, ataupun perforasi pada organ kolon dan rectum. (Marshall.,

2004).

Infeksi intra-abdominal diidentifikasikan sebagai penyebab kedua

terbanyak severe sepsis pada intensive care unit (ICU). Penelitian terbaru

menunujukkan hubungan antara infeksi intra-abdominal dengan tingkat mortalitas

yang signifikan. (Lopez, et al., 2011). Tingkat mortalitasnya dapat hanya 1% saja

pada pasien dengan apendisitis perforasi, namun bisa mencapai 20% atau lebih

pada pasien dengan perforasi colon atau trauma tajam pada abdomen, bahkan

dapat mencapai 81% pada pasien yang mendapatkan infeksi intra abdominal

pasca operasi. (Marshall., 2004).

Telah banyak dilaporkan beberapa sistem skoring untuk memprediksi hasil

akhir pada pasien dengan peritonitis perforasi, akan tetapi belum ada sistem

skoring yang lebih superior. Saat ini skor ASA, APACHE II, skor Boey, skor

PULP dan skor MPI (Mannheim Peritonitis Index). Skor Boey dan skor PULP
2

merupakan sistem skoring prognostik yang spesifik digunakan pada pasien

dengan perforasi ulkus peptik. Skor ASA merupakan skor resiko pembedahan

secara umum dan tidak khusus pada pasien peritonitis perforasi. (Soreide, et al.,

2014). Skor Boey memprediksi mortalitas berdasarkan adanya penyakit penyerta

(komorbid), syok preoperatif, dan perforasi lebih dari 24 jam. (Thorsen, et al.,

2013).

Pada tahun 1983 di Jerman, Wach dan Linder membuat skor MPI untuk

memprediksi kematian pada pasien peritonitis yang diambil berdasarkan analisa

retrospektif dari medikal record, terdapat 8 variabel yang dinilai yaitu usia, jenis

kelamin, gagal organ, keganasan, durasi pre operasi, origin sepsis, diffuse

generalized peritnitis dan eksudat. (Batra, et al., 2013). Skor MPI tidak spesifik

untuk memprediksi kematian pada pasien dengan ulkus peptik. (Thorsen, et al.,

2013; Nichakankitti & Athigakunagorn., 2016). Akurasi MPI dalam memprediksi

terjadinya morbiditas cukup rendah. (Thorsen, et al., 2013). Menurut (Coreira, et

al., 2001) Nilai potong dalam memprediksi kematian pada pasien peritonitis yang

disebabkan karena keganasan sebesar 21 dengan nilai akurasi 69,7% dan

sensitivitas 87,3%. Validasi statistik dari Mannheims Peritonitis Index cukup

bervariasi, Billing et al seri 1 tahun 1994 menunjukkan sensitivitas 70% dan

spesifisitas 67%. Seri 3 tahun 1994, sensitivitas 85%, spesifisitas 61%. Seri 4

tahun 1994 sensitifitas 69%, spesifisitas 97%. Lambordoand et al tahun 1998

menunjukkan spesifisitas skor MPI 87%, spesifisitas 88%. Sedangkan penelitian

dari Van-Laarhosen et al tahun 1988 dengan sensitifitas 24% dan spesifisitas 35%.

(Dani, et al., 2015). Dengan hasil yang tidak konsisten itu menyebabkan
3

terjadinya perdebatan bahwa sistem skoring tersebut tidak dapat dipakai untuk

menentukan terapeutik. (Krishna, et al., 2016). Kerugian dari skor MPI ini juga

tidak dapat digunakan pada pasien dengan penyakit kronis dan penyakit sistemik

mayor karena banyaknya faktor resiko yang menyebabkan kematian dan

komplikasi yang serius. (Budzynski, et al., 2015). Variasi dari hasil tersebut dapat

dipengaruhi oleh perbedaan demograpis pasien, sumber sepsis, dan faktor

komorbiditas. (Wabwire & Saidi., 2014).

Usia merupakan faktor prognostik yang penting pada perforasi ulkus peptik.

(Testini, et al., 2003). Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun mempunyai resiko

signifikan terjadinya mortalitas setelah pembedahan pada peritonitis perforasi

daripada pasien muda dikarenakan mempunyai banyak faktor komorbiditas. (Kim,

et al., 2012).

Peritonitis perforasi dengan jenis kelamin perempuan mempunyai resiko yang

cukup signifikan terjadinya mortalitas dan morbiditas pasca operasi (p<0,05) pada

analisis univarian tetapi tidak pada analisis multivarian. (Kim, et al., 2012).

11,5-40% pasien dengan penyakit peritonitis perforasi mempunyai faktor

komorbid. (Ko, et al., 2004). Faktor-faktor yang signifikan menyebabkan

morbiditas pasca operasi adalah Hipertensi (P=0,01), diabetes meelitus (P=0,04),

dan pneumonia (P=0,04). Pasien dengan komorbiditas mempunyai resiko yang

signifikan terhadap terjadinya mortalitas dan morbiditas pasca operasi. (Kim, et

al., 2012).

Penelitian oleh Ali Yaghoobi memperlihatkan bahwa onset mulai gejala

sampai dilakukan operasi lebih dari 24 jam beresiko terjadi mortalitas sebesar
4

25%, sedangkan penelitian oleh Rodolfo menunjukkan semua pasien meninggal

bila onset lebih dari 24 jam. (Dani, et al., 2015).

Dari beberapa studi mengatakan bahwa mortalitas berhubungan dengan tipe

eksudat. Clear eksudat berhubungan dengan rendahnya tingkat mortalitas

(7,94%), eksudat purulent berhubungan dengan tingginya tingkat mortaltas (75%).

(Krishna, et al., 2016). Studi lain juga menyebutkan bahwa kontaminasi cairan

peritoneal merupakan prediktor yang sangat signifikan terjadinya mortalitas, 81 %

(p<0,0005). (Noman, et al., 2014).

Ukuran perforasi lebih dari 0,5 cm merupakan faktor signifikan terjadinya

mortalitas (p=0,01). (Nomani, et al., 2014).

Syok preoperative merupakan faktor resiko terjadinya mortalitas pada pasien

perforasi ulkus peptik, dimana mortalitas post operasi dilaporkan sebanyak (65%)

dibandingkan pasien dengan hemodinamik stabil (31,7%). (Kim, et al., 2012).

Penelitian oleh Thorsen (2013), memperlihatkan hubungan yang signifikan

antara hipoalbuminemia dan peningkatan mortalitas pada pasien peritonitis

perforasi. Hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 3,5 gr/dL) merupakan akibat

dari gangguan proses sintesis, distribusi dan degradasi (Peralta, et al., 2012). Oleh

karena itu hipoalbumin lebih merupakan penanda inflamasi dibanding indikator

status nutrisi seseorang (Don, et al., 2004).

Peningkatan kreatinin juga menjadi faktor resiko mortalitas pada pasien

dengan peritonitis perforasi. Peningkatan kreatinin merupakan indikator terhadap

beberapa kondisi termasuk gagal ginjal kronik, dehidrasi, atau menggambarkan

keadaan syok atau sepsis (Bertleff., 2011).


5

Pada beberapa studi, dari 14 pasien dengan keganasan, 9 pasien mengalami

kematian. Coreira et al menemukan terjadinya mortalitas pada pasien keganasan

sebesar 33,3%. Chao Wen Hsu pada studinya menunjukkan kematian akibat

perforasi kolorektal sebanyak 36,9%, dimana 61,5 % disebabkan karena

keganasan. (Dani, et al., 2015).

Prognosis merupakan bahan pertimbangan yang penting dalam membuat

keputusan klinis dan sebagai dasar pemberian inform consent yang realistis bagi

keluarga pasien. Dari sudut pandang sosioekonomi, model prognostik dengan

melihat data awal saat masuk rumah sakit merupakan faktor penting dalam

mendukung keputusan klinis yang cost effective.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas kami tertarik untuk

mengembangkan sistem skoring yang tervalidasi mengenai faktor-faktor yang

berperan dalam memprediksi mortalitas pada pasien peritonitis perforasi dan

membuat sistem skor klinis dari faktor-faktor tersebut. Model prognostik ini

diharapkan bisa membantu dalam mengalokasikan sumber daya, pembuatan

keputusan klinis segera dan memberikan inform consent yang realistis tentang

outcome kepada keluarga pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian

sebagai berikut:

1. Apakah usia lebih dari 60 tahun merupakan faktor resiko terjadinya kematian

pada peritonitis perforasi?


6

2. Apakah jenis kelamin wanita merupakan faktor resiko terjadinya kematian

pada peritonitis perforasi?

3. Apakah adanya faktor komorbid (hipertensi, diabetes mellitus dan

pneumonia) merupakan faktor resiko kematian pada pasien peritonitis

perforasi?

4. Apakah onset lebih dari 24 jam merupakan faktor resiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

5. Apakah purulent eksudat dan faecal eksudat merupakan faktor resiko

kematian pada pasien peritonitis perforasi?

6. Apakah diameter perforasi >0,5cm merupakan faktor resiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

7. Apakah adanya syok pre operasi merupakan faktor resiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

8. Apakah level albumin <3,5gr/dl merupakan faktor resiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

9. Apakah level kreatinin >1,3gr/dl merupakan faktor resiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

10. Apakah keganasan merupakan faktor resiko kematian pada pasien peritonitis

perforasi?
7

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui faktor resiko terjadinya kematian pada pasien peritonitis

perforasi dan membuat suatu prognostik skoring mortalitas penderita peritonitis

perforasi.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui apakah usia lebih dari 60 tahun merupakan faktor resiko

terjadinya kematian pada peritonitis perforasi?

2. Mengetahui apakah jenis kelamin wanita merupakan faktor resiko terjadinya

kematian pada peritonitis perforasi?

3. Mengetahui apakah adanya faktor komorbid (hipertensi, diabetes mellitus

dan pneumonia) merupakan faktor resiko kematian pada pasien peritonitis

perforasi?

4. Mengetahui apakah onset lebih dari 24 jam merupakan faktor resiko kematian

pada pasien peritonitis perforasi?

5. Mengetahui apakah purulent eksudat dan faecal eksudat merupakan faktor

resiko kematian pada pasien peritonitis perforasi?

6. Mengetahui apakah diameter perforasi > 0,5cm merupakan faktor resiko

kematian pada pasien peritonitis perforasi?

7. Mengetahui apakah adanya syok pre operasi merupakan faktor resiko

kematian pada pasien peritonitis perforasi?


8

8. Mengetahui apakah level albumin < 3,5gr/dl merupakan faktor resiko

kematian pada pasien peritonitis perforasi?

9. Mengetahui apakah level kreatinin > 1,3gr/dl merupakan faktor resiko

kematian pada pasien peritonitis perforasi?

10. Mengetahui apakah keganasan merupakan faktor resiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi?

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang faktor-faktor

resiko terjadinya kematian pada peritonitis perforasi yang tervalidasi, sehingga

dapat digunakan sebagai instrumen prognostik dari peritonitis perforasi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapakan dapat menghasilkan suatu sistem skoring

prognostik yang dapat memprediksi terjadinya kematian pada pasien peritonitis

perforasi. Sistem prognostik ini diharapkan dapat membantu dalam membuat

keputusan klinis rasional, alokasi sumber daya yang tepat dan sebagai dasar

inform consent yang lebih realistis kepada keluarga pasien.

Anda mungkin juga menyukai