Anda di halaman 1dari 3

Mengenang Hotel Talagasari, Hotel Inapan Terduga Kasus Korupsi

Dicium papah dicium papah

Papah mencium karena mau ke KPK

Plesetan lagu Semua Mencium yang dibawakan grup 3 Anak Manis itu terus terngiang di kepala saya
beberapa jam ke belakang. Semenjak papah tercinta yang sedang dicari anak-anaknya se-Indonesia
Raya karena menghilang entah ke mana, di kepala saya hanya ada satu hal: KORUPSI e-KTP. Bukan
saya tak menghargai asas praduga tak bersalah atau saya tak peka terhadap orang yang sedang
musibah. Tapi, sudah tak ada lagi kalimat dan komentar untuk kasus satu ini. Makanya, saya lebih
baik benosltalgia saja mengenang pengungkapan kasus korupsi pada zaman dahulu kala.

Kasus korupsi di negeri ini sejatinya sudah terjadi sejak lama. Kalau kita dulu belajar sejarah
mengenai kebangkrutan VOC, maka salah satu penyebabnya adalah kasus korupsi parah di tubuh
kongsi dagang Belanda tersebut. Nah ketika republik ini baru berdiri, kasus korupsi juga mewarnai
para pejabat tinggi negara.

Saat itu di era demokrasi liberal, meski kabinet jatuh bangun, korupsi masih terus eksis. Yang unik
dan menarik, saat itu yang belum ada KPK, kasus korupsi ditangani oleh militer. Walaupun ditangani
oleh militer, para pejabat mereka juga tak luput pula dari kasus korupsi. Bisa ditebak, ketegangan
politik semacam kasus mencari papah juga kerap terjadi. Dari aneka kisah pengungkapan kasus
korupsi, satu hal yang menarik adalah kinerja sang anti rasuah dalam menangkap pelaku korupsi.
Jika KPK saat ini sedang pusing bagaimana bisa menangkap papah, mungkin sepertinya mereka harus
belajar dari Penguasa Perang Pusat (Peperpu) yang diberi kewenangan mengangkap koruptor,
Jendral A.H. Nasution.

Suatu hari di penghujung Maret 1957, salah satu politisi Masyumi bernama Jusuf Wibisono
mendapat panggilan dari Corps Polisi Militer (CPM) di Bandung. Ia tak pergi sendirian, tapi bersama
asisten pribadinya yang bernama Mohamammad Sjafaat Mintaredja. Saat berada di markas CPM, ia
kaget. Jusuf ditahan atas perintah KSAD sekaligus Penguasa Perang Pusat karena diduga terlibat
kasus suap kredit dari pemilik bank swasta nasional Yan Pei Wang.

Yang semakin membuatnya kaget, ia tak ditahan di sebuah kantor militer atau lembaga peradilan.
Bukan pula gedung KPK, karena KPK masih orok. Penahanannya jsutru dilakukan di sebuah hotel
kecil bernama Hotel Talagasari Bandung yang letaknya tak jauh dari jalan menuju Lembang. Hotel
yang sekarang berada di Jalan Setiabudhi 269-275 Bandung ini menjadi penginapan sementara
terduga korupsi ini. Beberapa hari kemudian, tak hanya Jusuf Wibisono, sang asisten juga ikut
ditahan karena dianggap mengetahui informasi penting. Namun, karena tak ada cukup bukti, sang
asisten tersebut dilepaskan.

Selepas penangkapan Jusuf Wibisono tersebut, Hotel Talagasari jadi penuh sesak. Bukan karena
Bandung sedag hits atau banyak penggila swafoto yang datang karena saat itu belum ada kamera
ponsel pintar. Sesaknya hotel ini disebabkan banyak terduga koruptor yang dimasukkan di sini.
Mengutip dari Harian Suluh Indonesia terbitan 20 April 1957, setidaknya terdapat lima mantan
menteri, anggota Konstituante, anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa,
pengusaha, dan lain-lain. Yang pasti jangan cari papah di sana. Tak akan mungkin ada.

Jumlah terduga korupsi di hotel itu diperkirakan mencapai 60 orang. Jumlah yang cukup banyak
untuk ukuran hotel kecil. Para terduga koruptor ini berasal dari lintas partai. Diantaranya adalah
para mentri di era Kabinet Ali Sastroamidjojo I, yakni Iskak Tjokrohadisuryo (Menteri Perekonomian),
Ong Eng Die (Menteri Keuangan), dan Adnan Kapau Gani (Menteri Perhubungan). Ketiganya dari
Partai Nasional Indonesia (PNI). Dari Nahdlatul Ulama (NU) ada Zainul Arifin (Wakil Perdana Menteri
II), dan KH Maskur (Menteri Agama). Satu menteri lagi yakni Lie Kiat Teng dari Partai Sarikat Islam
Indonesia (PSII).

Selain menteri, ada pula politisi lain, yakni Sardju Ismunandar (PNI), KH Ahmad Dahlan dan Abdul
Manap (NU), dan Dr. Saroso (PSI). Penghuni hotel prodo lainnya berasal dari pegawai kejaksaan, bea
cukai, kepolisian, angkatan darat, dan beberapa orang sipil seperti pengusaha proyek. Sungguh,
korupsi tak mengenal apapun jabatannya.

Lantas, apa yang dialami teduga koruptor di hotel ini?

Di hotel ini, para terduga koruptor mendapat sebuah fasilitas kamar lengkap dengan kamar mandi
dan kakus. Selimut tebal pun disediakan karena daerah itu terkenal dingin. Makanan yang disajikan
enak dan bergizi tinggi. Kurang apa coba? Tak hanya itu, mereka bebas mengakses informasi. Tentu,
jangan berpikir melalui internet. Radio dan buku yang dikirim oleh keluarga sudah cukup. Menurut
Jusuf, perlakukan itu wajar karena mereka masih terduga, belum terdakwa. Bisa jadi, perlakukan
semacam ini dilakukan agar terduga koruptor bisa kooperatif dalam menyampaikan informasi dan
tidak melakukan drama serial berepisode.
Di dalam hotel tersebut, mereka menjalani pemeriksaan oleh Peperpu dengan cara pembuktian
terbalik. Mereka tak akan dicecar dengan aneka pertanyaan yang membuat papah nervous, namun
diharuskan membuat harta kekayaannya masing-masing.

Dari daftar harta kekayaan ini, penyidik akan mengecek dengan seksama dan menentukan apakah
sang terduga bisa bebas, berstatus tahanan rumah, atau bahkan sebagai tahanan tetap. Meski
penyidik melakukan hal cukup unik ini, namun ada juga politisi terduga korupsi yang mencoba kabur
dan bersinetron. Salah satunya adalah Mantan Menteri Keuangan Ong Eng Die yang hendak ke
Belanda. Kasusnya bermula ketika ia dituduh membuat kebijakan membagikan dana untuk PNI.
Tuduhan ini terutama berasal dari Tan Po Goan, anggota parlemen dari PSI. Ia menuduh Ong Eng Die
menerima suap Rp. 40.000,00. Jumlah yang sekarang hanya bisa digunakan untuk membeli paket
internet sebesar beberapa giga terhitung sangat banyak untuk ukuran pada zaman itu.

Aneka dugaan korupsi tersebut, meski belum ada hastag #IndonesiaMencariPapah dan
#SaveTiangListrik, tentu membuat rakyat gerah. Aktivis legendaris Indonesia, Soe Hok Gie, bahkan
pernah menulis bahwa seharusnya tiga menteri terduga korupsi itu (Iskaq, Lie Kiat Teng, dan Ong
Eng Die) ditembak mati di Lapangan Banteng.

Puluhan tahun berlalu sejak cerita korupsi itu tersimpan di Hotel Talagasari. Kini, bangsa Indonesia
sedang menyaksikan drama pengungkapan korupsi maha besar yang entah kapan selesainya.
Mungkin, hotel-hotel yang tersedia di aneka aplikasi yang kini marak bisa dijadikan pilihan untuk
mengungkap skandal-skandal tersebut. Atau, ada ide tempat lain yang lebih pantas bagi mereka?

Silahkan berkomentar yang sopan. Komentar anda sangat saya hargai. Terimakasih.

Sumber :

Luar jaringan

Majalah Historia Nomor 2 Th, 2012

Dalam jaringan

(1) (2)

Anda mungkin juga menyukai