Anda di halaman 1dari 170

PERINGATAN !!!

Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan


referensi

2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila


Anda mengutip dari Dokumen ini

3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan


pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah

4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah

Selamat membaca !!!

Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

UPT PERPUSTAKAAN UNISBA


HAK WARIS ANAK YANG LAHIR DILUAR PERKAWINAN
BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan/
Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah/ Peradilan Agama dan Jurusan/ Program Studi Ilmu Hukum

Oleh:
KHAERUNI AISYA
NPM: 14010108007

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2012 M / 1433 H
PERSETUJUAN

Disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. Tata Fathurrohman, SH., MH. Dr. H. Tamyiez Dery, Drs., M.Ag.

Mengetahui :

Dekan Ketua Jurusan/


Fakultas Syariah Unisba Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah/
Peradilan Agama

H. Asep Ramdan Hidayat, Drs., M.Si. Titin Suprihatin, Dra., M.Hum.

i
PENGESAHAN

Skripsi ini telah dimunaqasyahkan oleh tim penguji skripsi pada hari kamis,

tanggal 9 dan 30 Agustus 2012, dan telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana (S-1) pada Fakultas Syariah Jurusan/Program Studi

Ahwal Al-Syakhshiyyah/Peradilan Agama dan Fakultas Hukum Jurusan/Program

Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung.

Bandung, 6 September 2012 M


19 Syawwal 1433 H

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua Sekretaris

H. Asep Ramdan Hidayat, Drs., M.Si. Titin Suprihatin, Dra., M.Hum.

TIM PENGUJI :

1. Deddy Effendy, SH., MH. (.................................................)

2. Dr. H. Tata Fathurrohman, SH., MH. (.................................................)

3. Titin Suprihatin, Dra., M.Hum. (.................................................)

ii
)9 : (

Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang


yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9)

Ku persembahkan karya ini untuk:


Kedua orang tuaku, serta orang-
orang yang senantiasa menyayangi
dan memperhatikanku setiap saat

iii
ABSTRAK

HAK WARIS ANAK YANG LAHIR DILUAR PERKAWINAN


BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
46/PUU-VIII/2010 DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
KHAERUNI AISYA

Kata Kunci: Hak Waris, Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Hukum Islam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, menyebutkan
bahwa anak yang lahir diluar perkawinan dapat mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya apabila dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum. Hubungan perdata diantaranya menyangkut hubungan nasab dan
hak waris. Hukum Islam menegaskan, anak yang lahir diluar perkawinan dalam
arti anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya, sehingga ia
pun hanya berhak mewarisi harta peninggalan dari ibunya saja. Sebagaimana
faktor pewarisan dalam Islam ialah adanya hubungan nasab, sedangkan anak yang
lahir diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya
Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu dengan cara
menggambarkan kasus anak yang lahir diluar perkawinan serta akibat hukumnya
mengenai masalah waris, dan selanjutnya melakukan analisis terhadap masalah
hak waris anak yang lahir diluar perkawinan. Pendekatan yang digunakan adalah
yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menerapkan dan
menafsirkan Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Pasal 186 KHI yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dengan meninjau
pertimbangan dan putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 serta dari segi hukum Islamnya.
Hasil dari penelitian ini dapat ditarik simpulan, bahwa status anak dan hak
waris anak yang lahir diluar perkawinan menurut Putusan MK yang ditinjau dari
Hukum Islam adalah bertentangan dan tidak sesuai, karena menurut putusan MK
anak yang lahir diluar perkawinan dapat mempunyai hubungan darah termasuk
hubungan perdata dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Menurut
Hukum Islam, status anak yang lahir diluar perkawinan hanya bernasab kepada
ibunya saja, meskipun terbukti terdapat hubungan darah antara anak dengan ayah
biologisnya melalui tes DNA. Nasab seorang anak kepada ayahnya hanya dapat
ditentukan secara hukum, yaitu harus terjadi akad perkawinan yang sah antara
laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan. Hubungan perdata
salah satunya menyangkut masalah hak waris, sehingga menurut putusan MK,
anak yang lahir diluar perkawinan berhak mewarisi harta peninggalan kedua
orang tuanya. Menurut Hukum Islam, salah satu faktor pewarisan ialah adanya
hubungan nasab. Anak yang lahir diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan
nasab dengan ayahnya, melainkan hanya dengan ibunya saja, karena tidak terjadi
akad perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya, sehingga ia hanya dapat
mewarisi harta dari ibunya saja dan tidak berhak mewarisi harta dari ayahnya.

iv
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim,

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan judul Hak Waris Anak Yang Lahir Diluar

Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 Ditinjau Dari Hukum Islam.

Mengingat akan keterbatasan dan kemampuan penulis, maka penulis

sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari segi

penyusunannya maupun dari segi pembahasannya.

Secara khusus penulis sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga

kepada kedua orang tuaku, Ibu Euis Komariah dan Bapak Ahmad Sujai Abdullah

yang telah banyak memberikan dukungan, doa, bimbingan dan kasih sayangnya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga sampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. H. Tata

Fathurrohman, SH., MH selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. H. Tamyiez Dery,

Drs., M.Ag, selaku Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga

dan pikirannya dalam memberikan saran-saran maupun pendapat yang sangat

berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

v
Bapak Prof. Dr. M. Thaufiq Siddiq Boesoirie, dr., M.S., Sp.T.H.T.,

K.L.(K), selaku Rektor Universitas Islam Bandung.

Bapak H. Asep Ramdan Hidayat, Drs., M.Si, selaku Dekan Fakultas

Syariah Universitas Islam Bandung dan juga dosen wali penulis.

Ibu Prof. Dr. Hj. Mella Ismelina FR, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Islam Bandung.

Bapak H.M. Roji Iskandar, Drs., MH, selaku Wakil Dekan I Fakultas

Syariah Universitas Islam Bandung.

Ibu Dr. Dini Dewi Heniarti, SH., MH, selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Islam Bandung.

Ibu Titin Suprihatin, Dra., M.Hum, selaku Ketua Jurusan/Program Studi

Peradilan Agama Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung.

Ibu Dr. Hj. Ratna Januarita, SH., LL.M., MH, selaku Ketua Bagian

Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.

Bapak Deddy Effendi, SH., MH, selaku dosen penelaah pada seminar

proposal dan sidang skripsi yang telah memberikan saran-saran kepada

penulis dalam penulisan skripsi ini.

Seluruh Dosen dan Staff Tata Usaha Fakultas Syariah dan Fakultas

Hukum Universitas Islam Bandung yang telah banyak membantu dan

membimbing penulis selama menjalani masa kuliah.

Bapak Prof. Dr. H.M. Salim Umar., MA, selaku Ketua Komisi Fatwa MUI

Propinsi Jawa Barat yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk

diwawancara oleh penulis.

vi
Bapak Dr. Mujiyo., M.Ag, selaku Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW

NU Jawa Barat yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk

diwawancara oleh penulis.

Bapak Usman Shalehuddin, selaku Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat

Persis yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara oleh

penulis.

Bapak Zae Nandang, selaku Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat

Persis yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara oleh

penulis.

Bapak Muhammad Rizal Fadillah., SH, selaku Wakil Ketua PW

Muhammadiyah Jawa Barat yang telah bersedia meluangkan waktunya

untuk diwawancara oleh penulis.

Bapak Drs. Acep Saifuddin., SH, selaku Hakim Pengadilan Agama

Bandung yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancara

oleh penulis.

Teman-temanku di Unit Protokoler UNISBA khususnya angkatan 18,

terima kasih atas segala kebersamaan, pelajaran berharga dan

dukungannya selama ini.

Teman-temanku di PA, KP dan FH yang sama-sama sedang berjuang

untuk wisuda tahun ini, serta semua pihak yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, terima kasih yang tidak terhingga atas dukungan

dan bantuannya.

vii
Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada mereka

yang telah mewarnai kehidupan penulis.

Dengan segenap kerendahan hati atas segala ketidaksempurnaan dalam

penulisan skripsi ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang akan menjadi

pegangan bagi penulis di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan yang membutuhkan.

Aamiin yaa Rabbal aalamiin.

Wassalaamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Bandung, Juli 2012

Penulis,

Khaeruni Aisya

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN 1

1. Konsonan

No Arab Latin

1
2 b
3 t
4 ts
5 j
6 h
7 kh
8 d
9 dz
10 r
11 z
12 s
13 sy
14 sh
15 dh
16 th
17 zh
18
19 gh
20 f
2`1 q
22 k
23 l

1
Panitia Penyusun Tafsir Al-Quran Juz I, Tafsir Al-Quran Juz I, LSI UNISBA, Bandung, 2012,
hlm. vii

ix
24 m
25 n
26 w
27 h
28 y
29 ( mudhaf) t
30 ( waqaf) h

2. Vocal Pendek
Arab Latin
= a
= i
= u

3. Vocal Panjang
Arab Latin

=
=
=

4. Diptong
Arab Latin

= ai
= au

5. Pembauran
Arab Latin

= al-

= al-sy
( nisbah) i

x
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii

MOTTO ........................................................................................................... iii

ABSTRAK ....................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ............................................ ix

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian ........................................................ 1

B. Rumusan Masalah .................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5

D. Kegunaan Penelitian ................................................................. 6

E. Kerangka Pemikiran ................................................................. 7

F. Metodologi Penelitian ...............................................................14

BAB II PERKAWINAN SEBAGAI DASAR KEABSAHAN

SEORANG ANAK MENDAPATKAN HAK WARIS

A. Pengertian Perkawinan .............................................................16

B. Tujuan Perkawinan ...................................................................18

C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan...........................................20

D. Pengertian Waris ......................................................................28

E. Rukun dan Syarat Pewarisan ....................................................30

xi
F. Faktor-Faktor Terjadinya Kewarisan ........................................32

G. Anak Sebagai Ahli Waris .........................................................34

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU

VIII/2010 MENGENAI UJI MATERIIL PASAL 2 AYAT (2)

DAN PASAL 43 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK

INDONESIA TAHUN 1945

A. Kasus Posisi .............................................................................41

B. Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi .............56

C. Alasan Berbeda (Concurring Opinion) ....................................61

D. Wawancara ...............................................................................65

1. Wawancara dengan Prof. Dr. H.M. Salim Umar., MA

(Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat) ..............66

2. Wawancara dengan Dr. Mujiyo., M.Ag (Ketua Lembaga

Bahtsul Masail PW Nahdlatul Ulama Jawa Barat) ..........71

3. Wawancara dengan Usman Shalehuddin (Ketua Dewan

Hisbah Persatuan Islam).....................................................74

4. Wawancara dengan Zae Nandang (Sekretaris Dewan

Hisbah Persatuan Islam).....................................................76

5. Wawancara dengan Muhammad Rizal Fadillah., SH (Wakil

Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat) ............................79

xii
6. Wawancara dengan Drs. Acep Saifuddin., SH (Hakim

Pengadilan Agama Bandung) ............................................85

BAB IV ANALISIS TERHADAP HAK WARIS ANAK YANG LAHIR

DILUAR PERKAWINAN

A. Analisis Status Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Menurut

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Ditinjau Dari Hukum Islam ......................................................... 91

1. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 .................................................................................. 91

2. Menurut Hukum Islam ........................................................... 96

B. Analisis Hak Waris Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 Ditinjau Dari Hukum Islam ..................................... 109

1. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 ................................................................................ 109

2. Menurut Hukum Islam ......................................................... 112

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .................................................................................122

B. Saran ........................................................................................123

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................125

LAMPIRAN

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Setiap orang yang meninggal lazimnya meninggalkan harta warisan. Harta

warisan tersebut akan menjadi hak bagi para ahli warisnya yang masih hidup.

Salah satu cara untuk menentukan ahli waris ialah dengan melihat hubungan

nasabnya dengan pewaris. Anak merupakan salah satu dari ahli waris yang berhak

menerima harta warisan.

Al-Quran telah menentukan bahwa seorang anak mempunyai hak untuk

memperoleh harta warisan dari orang tuanya yang telah meninggal seperti yang

termaktub dalam surat An-Nisa ayat 11 :


Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk

1
2

dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang


ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.2

Berdasarkan ayat tersebut bahwa anak merupakan ahli waris dari orang

tuanya yang meninggal. Seorang anak mempunyai hubungan nasab dengan

pewaris disebabkan terjadinya suatu ikatan perkawinan antara ayah dan ibunya

yang menjadi pewaris.

Kewarisan dapat menimbulkan permasalahan apabila terdapat ahli waris

yang merupakan anak diluar kawin. Anak yang dilahirkan hasil dari perkawinan

yang sah memiliki kedudukan lebih kuat, karena untuk membuktikan adanya

hubungan darah atau nasab harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah/otentik

bahwa kedua orang tua mereka telah melangsungkan perkawinan secara sah dan

dicatatkan pada petugas pencatat perkawinan sebagaimana yang tercantum pada

Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(UUP) menyatakan bahwa:

(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-


masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Perkawinan sebagai salah satu perbuatan hukum mempunyai akibat hukum

tertentu. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya

2
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, CV. Gema Risalah Press,
Bandung, 1993, hlm. 116-117.
3

perbuatan hukum itu. Perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka

anak yang lahir dari perkawinan itu merupakan anak yang tidak sah.3 Perkawinan

yang sah tercantum pada Pasal 2 ayat (1) UUP sebagaimana yang telah disebutkan

diatas. Masalah sahnya seorang anak mendapat perhatian khusus, sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 42, 43 dan 44 UUP, yang terpenting adalah pernyataan

bahwa yang dianggap anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau

sebagai akibat perkawinan yang sah.4

Pasal 43 ayat (1) UUP sebelum adanya perubahan dari Mahkamah

Konstitusi menjelaskan bahwa: Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa:

Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan yang


didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan
seorang laki-laki adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak
dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi
anak, ibu dan bapak. Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai
bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi
dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara
anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.

Mahkamah Konstitusi menimbang berdasarkan uraian tersebut di atas

maka memutuskan bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP yang menyatakan:

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan


perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya harus dibaca, Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya

3
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. ke-8, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987,
hlm. 15.
4
Ibid, hlm. 34.
4

Hukum Islam menjelaskan anak yang lahir diluar kawin dapat pula

dikategorikan sebagai anak yang lahir akibat perbuatan zina. Hukum Islam

memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Hal ini diungkapkan dalam

al-Quran surat Al-Isra ayat 32:

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu

perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.5

Perbuatan zina tersebut dapat mengakibatkan ketidakjelasan keturunan.

Ketika lahir anak tersebut merupakan anak hasil dari perbuatan zina kedua orang

tuanya dan hal itu akan menimbulkan keraguan mengenai siapa bapak dari anak

tersebut. Setiap anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah ialah mutlak

menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuan darinya.

Terjadinya hubungan yang tidak jelas atau yang tidak sah antara kedua

orang tua anak tersebut akan berdampak negatif kepada anak mereka. Apakah

anak tersebut lahir karena perkawinan yang sah atau merupakan anak yang lahir

diluar perkawinan yang sah. Hal tersebut sangat berpengaruh kepada hak-hak

yang semestinya didapatkan oleh seorang anak, salah satunya adalah hak untuk

mendapatkan warisan.

Hak bagi setiap anak yang lahir telah diatur oleh UUD 1945 pada Pasal

28B ayat (2) yang menyatakan: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

5
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 429.
5

diskriminasi. Adapun pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan: Setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membahas

mengenai permasalahan tersebut yang kemudian akan penulis tuangkan dalam

bentuk skripsi dengan judul :

Hak Waris Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Berdasarkan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Ditinjau Dari

Hukum Islam

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang penelitian, maka penulis mencoba untuk

merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana status anak yang lahir diluar perkawinan menurut Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ditinjau dari Hukum Islam?

2. Bagaimana hak waris anak yang lahir diluar perkawinan menurut Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ditinjau dari Hukum Islam?

C. Tujuan Penelitian

Untuk menjawab masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut :


6

1. Untuk menganalisis dan menentukan status anak yang lahir diluar perkawinan

menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ditinjau

dari Hukum Islam.

2. Untuk menganalisis dan menentukan hak waris anak yang lahir diluar

perkawinan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 ditinjau dari Hukum Islam.

D. Kegunaan Penelitian

Dalam setiap penelitian ataupun pembahasan suatu masalah sudah tentu

hal tersebut diharapkan ada kegunaannya, kegunaan disini dibagi kepada dua hal

yaitu :

1. Kegunaan teoritis

Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang hak waris anak yang

lahir diluar perkawinan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 ditinjau dari Hukum Islam.

2. Kegunaan praktis

a. Dapat mengungkapkan permasalahan akibat terjadinya anak yang lahir

diluar perkawinan sehingga menimbulkan permasalahan mengenai status

kewarisannya.

b. Dapat membantu memecahkan atau memberi solusi permasalahan

mengenai hak waris anak yang lahir diluar perkawinan itu sendiri.
7

c. Dapat membantu memberi masukan atau sebagai referensi bagi instansi

terkait seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Departemen Agama dan

Pengadilan Agama.

E. Kerangka Pemikiran

Idris Djakfar dan Taufik Yahya memberikan rumusan tentang hukum

kewarisan, yaitu:

Seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari


seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup
yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Illahi yang
terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW, dalam istilah bahasa Arab disebut faridh.6

Warisan menurut sebagian besar Fuqah ialah:

Semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal


dunia baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak,
termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut
pautnya dengan hak orang lain. Misalnya barang yang digadaikan sebagai
jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup. 7

Masjfuk Zuhdi memberikan rumusan mengenai Ilmu Faridh ialah

sebagai berikut:

Ilmu Agama yang membahas masalah warisan dinamakan ilmu Faridh.


Kata Faridh berasal dari kata Fardhah, yang artinya suatu
ketentuan/yang telah ditentukan. Dinamakan ilmu Faridh, karena
membahas antara lain: bagian-bagian warisan yang telah ditentukan oleh
agama untuk tiap-tiap ahli waris.8

Ungkapan yang dipergunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan

kewarisan antara lain al-irts, al-faridh, al-tirkah. Al-irts dalam bahasa Arab

6
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya,
Jakarta, 1995, hlm. 3-4.
7
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III :Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm.
57.
8
Ibid, hlm. 58.
8

adalah bentuk mashdar dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Kata-kata itu berasal dari

kata asli waritsa, yang berakar kata dari huruf-huruf waw, ra, dan tsa yang

bermakna dasar perpindahan harta milik, atau perpindahan pusaka.9 Faridh

dalam konteks kewarisan tetap dimaksudkan sebagai pengalihan harta pewaris

kepada ahli warisnya dengan saham yang pasti.10 Kata tirkah seringkali diartikan

sebagai harta peninggalan yang dipersiapkan oleh pewaris kepada ahli warisnya.11

Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendefinisikan:

"Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang

berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."12

Pembahasan mengenai hukum waris, tidak terlepas dari 3 (tiga) unsur

pokok yakni:

1. Adanya harta peninggalan (kekayaan) pewaris yang disebut warisan.

2. Adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atau memiliki harta warisan dan

mengalihkan atau meneruskannya.

3. Adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan (penerusan) atau

pembagian harta warisan itu.13

Al-Quran surat An-Nisa ayat 11 dan 12 menjelaskan bahwa pewaris

terdiri dari orang tua, anak dan kerabat.14

9
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 23.
10
Ibid, hlm. 29.
11
Ibid, hlm. 30.
12
Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Jakarta, 1992, hlm. 73.
13
http://library.usu.ac.id/download/fh/Hukum-Syaiful.pdf diunduh pada tanggal 11 Maret 2012
14
Ali Parman, Op.cit, hlm. 33.
9

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
10

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. {11} Dan


bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai
anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. {12}15

Seorang anak berhak menjadi ahli waris karena adanya hubungan darah

atau nasab dengan orang tuanya. Sebagaimana salah satu faktor yang

mempengaruhi terjadinya kewarisan ialah hubungan nasab selain hubungan

perkawinan dan hubungan wal (memerdekakan budak).

Rumusan-rumusan hukum kewarisan dalam KHI merupakan hasil ijtihad

jamai para ulama dan pakar hukum di Indonesia. Hukum kewarisan dalam KHI

menganut asas-asas yang konstan, konsisten dan saling berkaitan sehingga dapat

menjadi pedoman yang mudah bagi setiap orang yang berkepentingan. Asas-asas

tersebut antara lain ialah, asas ijbari (imperatif), asas akibat kematian, asas

keislaman, asas bilateral, asas ahli waris individual, asas pembagian secara adil

dan berimbang.16

15
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 116-117.
16
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam , Balqis Queen, Solo, 2009,
hlm. 31-32.
11

Salah satu asas kewarisan dalam KHI ialah asas hubungan kekerabatan

(nasab). Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang

masih hidup adalah adanya hubungan silaturrahmi atau kekerabatan antara

keduanya. Adanya hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah

yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.17

Kelahiran anak tersebut secara otomatis menimbulkan hubungan nasab

antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan, tanpa memperhatikan

bagaimana cara si ibu itu mendapatkan kehamilan dan status hukum dari laki-laki

yang menggauli si ibu itu. Sedangkan hubungan nasab antara anak dengan ayah

tidak ditentukan oleh sebab alamiah, tetapi semata oleh sebab hukum artinya telah

berlangsung hubungan akad perkawinan yang sah antara si ibu dengan ayah yang

menyebabkan anak itu lahir.18

Bagi anak yang lahir diluar perkawinan atau anak dari hasil zina hanya

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja. Hubungan nasab dapat

dinyatakan sebagai sebab terjadinya kewarisan, sehingga perlu dicari terlebih

dahulu pokok pangkal terjadinya hubungan nasab itu. Sebab pertama terjadinya

kewarisan adalah adanya hubungan perkawinan. Sahnya hubungan nasab, bukan

saja karena telah terjadi akad perkawinan. Akan tetapi, harus pula terjadi

hubungan biologis antara suami-istri.19

Sahnya hubungan nasab harus pula ditentukan dengan melihat dari segi

sahnya perkawinan tersebut. UUP menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya


17
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 175.
18
Ibid, hlm. 148-149.
19
Ali Parman, Op.cit, hlm. 65.
12

itu ( Pasal 2 ayat (1) ). Dari bunyi pasal 2 ayat (1) itu, bahwa perkawinan mutlak

harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

itu, kalau tidak, maka perkawinan itu tidak sah.20 Status anak yang dilahirkan dari

perkawinan tersebut ialah anak yang sah, namun anak yang dilahirkan hasil dari

hubungan diluar perkawinan maka status anaknya pun menjadi anak diluar kawin.

Harta warisan harus diserahkan kepada pihak yang berhak

mendapatkannya, maka harta tersebut tidak dapat sembarangan diberikan kepada

siapapun karena hal ini menyangkut kepada hak seseorang. Anak yang lahir diluar

perkawinan menimbulkan banyak sekali permasalahan salah satunya mengenai

kewarisan. Anak yang dapat menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya yaitu

ayah dan ibunya ialah anak sah yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.

Sebagaimana dalam suatu hadits dinyatakan bahwa:

( :

-
, , .)
21
. , ,
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR.
Muttafaq alaih) dari haditsnya dan dari hadits Aisyah di dalam sebuah
kisah, Dari Ibnu Masud pada An-Nasai serta dari Utsman disisi Abu
Daud.
Al-Firsy secara etimologi ialah hamparan di atas permukaan bumi. Istilah

ini salah satunya diambil untuk seorang istri. Maksudnya bahwa anak milik orang

yang memiliki al-firsy (laki-laki yang memiliki istri dari perkawinan yang sah).22
20
K. Wantjik Saleh, Op.cit, hlm. 16.
21
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Ibnu Katsir, Juz 2
(Hadits No. 1948), Beirut, 1987, hlm. 724. Lihat juga Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar
Ihya at-Turats al-Araby, Juz 2 (Hadits No. 36 (1457)), Beirut, tt, hlm. 1080.
13


:
(
)
23

Dan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya
Nabi saw bersabda, Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu adalah
anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi. (HR Tirmidzi). 24
Pasal 42 UUP mendefinisikan: Anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43 ayat (1) UUP menjelaskan bahwa: Anak yang dilahirkan diluar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya.

Pasal 186 KHI menyatakan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan

hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari

pihak ibunya.25

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang diputus

pada tanggal 13 Februari 2012 menjelaskan, bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP yang

menyatakan:

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan


perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya harus dibaca, Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya

22
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram , Pustaka Azzam, Jakarta,
2006, hlm. 699.
23
Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dhohhak at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar al-
Gharbu al-Islamiy, Juz 3 (Hadits No. 2113), Beirut, 1996, hlm. 615.
24
Muammal Hamidy, Imron A.M dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar Himpunan
Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 2068.
25
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 77.
14

F. Metodologi Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu

prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan cara memaparkan data

yang diperoleh dari pengamatan perpustakaan kemudian disusun, dijelaskan

dan dianalisis dengan memberikan kesimpulan.26

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penulis menggambarkan

masalah-masalah mengenai kewarisan dan khususnya dalam pembahasan ini

mengenai hak waris anak yang lahir diluar perkawinan, menyimpulkan data-

data yang ada kemudian menganalisis data tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan:

a. Data Primer

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan memperoleh

data dari hasil wawancara secara langsung dengan Majelis Ulama Indonesia

(MUI). Hakim di Pengadilan Agama Bandung, Bahtsul Masaail Nahdlatul

Ulama Jabar, Muhammadiyah Jabar, Dewan Hisbah Persatuan Islam Jabar.

b. Data Sekunder

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi

kepustakaan yaitu dengan menggunakan data sekunder yang berupa:

26
Ronny Hannitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1998, hlm.98.
15

- Bahan Hukum Primer, yaitu AL-Quran, Al-Hadits, Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

- Bahan Hukum Sekunder, yaitu karya ilmiah para sarjana dan buku-buku

yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan skripsi ini.

- Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai

tambahan dalam pembuatan skripsi ini seperti catatan-catatan ilmiah yang

didapat melalui internet.

4. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah yuridis kualitatif yaitu dengan

mengkaji Hukum Islam dan Hukum positif yang berkaitan dengan masalah

yang ada untuk diterapkan dalam menganalisis permasalahan tersebut tanpa

menggunakan angka atau statistik.


BAB II

PERKAWINAN SEBAGAI DASAR KEABSAHAN SEORANG

ANAK MENDAPATKAN HAK WARIS

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan dalam bahasa Arab disebut dengan al-nikh yang bermakna

al-wathu dan al-dhammu wa al-tadkhul. Beranjak dari makna etimologis inilah

para ulama fiqih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.

Wahbah al-Zuhaily menjelaskan bahwa perkawinan adalah:

Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan


seorang wanita atau melakukan wathu dan berkumpul selama wanita
tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau
sepersusuan.25
Menurut Hanafiyah, perkawinan adalah:

Akad yang memberi faedah untuk melakukan mutah secara sengaja.


Artinya kehalalan seorang laki-laki untuk melakukan istimta dengan
seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya
perkawinan tersebut secara syari.

Menurut Hanabilah, perkawinan adalah akad yang menggunakan lafadz

inkh yang bermakna tazwj dengan maksud mengambil manfaat untuk

bersenang-senang.26 Menurut Sayuti Thalib, perkawinan itu ialah perjanjian suci

membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.27

25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, No 1/1974 sampai KHI), Prenada Media, Jakarta, 2004,
hlm. 38.
26
Ibid, hlm. 39.
27
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. kelima, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 47.

16
17

Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua

makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk

berkembang biak dan melestarikan hidupnya.28 Perkawinan dapat dilihat dari tiga

sudut pandang, yaitu dari sudut hukum, sosial dan agama. Dari sudut hukum,

perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat, disebut dengan kata

mtsqan ghalzhan. Dari sudut sosial, perkawinan merupakan sarana untuk

meningkatkan kedudukan seseorang dalam masyarakat, sehingga orang yang

berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan lebih dihargai dari

mereka yang tidak melakukan perkawinan. Dari sudut agama, perkawinan itu

dianggap sebagai suatu lembaga yang suci, yang mana kedua pihak dihubungkan

menjadi pasangan suami istri dengan mempergunakan nama Allah.29

Ayat mengenai perkawinan diatur dalam surat Ar-Rm ayat 21:

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir.30

28
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Kawin Lengkap, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 6.
29
Sayuti Thalib, Op.cit, hlm. 47-48.
30
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, CV. Gema Risalah Press,
Bandung, 1993, hlm. 644.
18

Pasal 1 UUP mendefinisikan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

Pasal 2 KHI menyatakan bahwa: Perkawinan menurut Hukum Islam

adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau mtsqan ghalzhan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.31

B. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk

agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.

Harmonis dalam mempergunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera

artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan

hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagian, yakni kasih sayang antar

anggota keluarga.32

Tujuan seseorang dalam melangsungkan perkawinan, pada dasarnya untuk

memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama.33 Melihat dua tujuan

tersebut dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang

faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat

dikembangkan menjadi lima yaitu:

31
Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Jakarta, 1992, hlm. 18.
32
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 22.
33
Ibid, hlm. 23.
19

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan

kasih sayangnya,

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang

halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas

dasar cinta dan kasih sayang.34

Sulaiman Al-Mufarraj, dalam bukunya Bekal Pernikahan menjelaskan

bahwa ada 15 tujuan perkawinan, yaitu:

1. Sebagai ibadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Perkawinan


juga dalam rangka taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
2. Untuk iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang), ihsn
(membentengi diri) dan mubdhoah (bisa melakukan hubungan
intim).
3. Memperbanyak umat Muhammad SAW.
4. Menyempurnakan agama.
5. Perkawinan termasuk sunnahnya para utusan Allah.
6. Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk
ayah dan ibu mereka saat masuk surga.
7. Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinaan dan
lain sebagainya.
8. Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung
jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga, memberi nafkah
dan membantu istri di rumah.
9. Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh
lingkaran keluarga.
10. Saling mengenal dan menyayangi.
11. Menjadikan ketenangan dan kecintaan dalam jiwa suami dan istri.

34
Ibid, hlm. 24.
20

12. Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam yang sesuai
dengan ajaran-Nya, terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan
kalimat Allah SWT, maka tujuan perkawinannya akan menyimpang.
13. Suatu tanda kebesaran Allah SWT.
14. Memperbanyak keturunan umat Islam dan menyemarakkan bumi
melalui proses perkawinan.
15. Untuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan kepada hal-
hal yang diharamkan.35

Pasal 3 KHI menyatakan bahwa: Perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.36

C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya

suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,

seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat atau

adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan. Syarat yaitu

sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan

(ibadah) tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti

menutup aurat untuk shalat atau menurut islam, calon pengantin laki-

laki/perempuan itu harus beragama Islam. Sah yaitu suatu pekerjaan (ibadah)

yang memenuhi rukun dan syarat.37

Islam menentukan sahnya suatu perkawinan kepada tiga macam syarat,

yaitu:

a. Dipenuhinya semua rukun kawin.

b. Dipenuhinya semua syarat kawin.

35
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op.cit, hlm. 18-19.
36
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 18.
37
Abd. Rahman Ghazaly, Op.cit, hlm. 45-46.
21

c. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang ditentukan syarat-

syarat perkawinan.38

Sahnya perkawinan dalam UUP diatur dalam pasal 2 ayat (1) yang

berbunyi: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing

rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Rukun-rukun tersebut antara lain:

1. Calon Suami.

2. Calon Istri.

3. Wali.

4. Saksi.

5. Ijab Qobul.

Adapun syarat-syarat dari rukun perkawinan di atas antara lain:

1. Calon Suami, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam.

b. Laki-laki.

c. Jelas orangnya.

d. Dapat memberikan persetujuan.

e. Tidak terdapat halangan perkawinan.

2. Calon Istri, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam.

b. Perempuan.

38
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, PT. Dian Rakyat, Jakarta, 1986, hlm. 30.
22

c. Jelas orangnya.

d. Dapat dimintai persetujuannya.

e. Tidak terdapat halangan perkawinan.

3. Wali, syarat-syaratnya:

a. Laki-laki.

b. Dewasa.

c. Mempunyai hak perwalian.

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.

4. Saksi, syarat-syaratnya:

a. Minimal dua orang laki-laki.

b. Hadir dalam ijab qabul.

c. Dapat mengerti maksud akad.

d. Islam.

e. Dewasa.

5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.

c. Memakai kata-kata inkh, tazwj atau terjemahan dari kedua kata tersebut.

d. Antara ijab dan qabul bersambungan.

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau

umrah.
23

g. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu

calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang

saksi.39

KHI mengatur mengenai rukun dan syarat perkawinan pada bab IV dari

pasal 14 sampai pasal 29. Pasal 14 KHI menyatakan bahwa untuk melaksanakan

perkawinan harus ada :

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri;

c. Wali;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan Kabul.40

Imam Malik mengatakan bahwa rukun perkawinan itu terdiri dari:

1. Wali dari pihak perempuan.

2. Mahar (mas kawin).

3. Calon pengantin laki-laki.

4. Calon pengantin perempuan.

5. Sighat akad.41

Salah satu rukun perkawinan yang diuraikan Imam Malik adalah mahar.

Kata mahar yang telah menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-

mahr, jamaknya al-muhr atau al-muhrah. Kata yang semakna dengan mahar

adalah al-shadaq, nihlah, fardhah, ajr, hiba, uqr, aliq, dan thaul. Kata-kata

39
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.cit, hlm. 62-63.
40
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 21.
41
Abd. Rahman Ghazaly, Op.cit, hlm. 47-48.
24

ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan mahar atau mas kawin. Mahar

secara istilah diartikan sebagai harta yang menjadi hak istri dari suaminya

dengan adanya akad atau dukhl.

Syariat mahar dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam, antara

lain:

1. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita, karena keduanya

saling membutuhkan.

2. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat

tukar yang mengesankan pembelian.

3. Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat

dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istri

sesukanya.

4. Untuk kenangan dan pengikat kasih saying antara suami istri.42

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan,

apabila syarat-syaratnya terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan

adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Secara garis besar, syarat-

syarat sahnya perkawinan itu ada dua yaitu:

1. Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin

menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang

haram dikawini.

2. Akadnya dihadiri para saksi.43

Menurut M. Daud Ali yang termasuk syarat-syarat perkawinan yaitu:

42
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.cit, hlm. 66-67.
43
Abd. Rahman Ghazaly, Op.cit, hlm. 49.
25

1. Harus adanya persetujuan kedua belah pihak, terutama dari kedua


calon mempelai.
2. Adanya mahar atau mas kawin. Mahar merupakan kewajiban yang
harus dibayar oleh pihak laki-laki kepada mempelai perempuan, hal
ini sebagaimana tercantum dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 4 dan
25.
3. Pencatatan perkawinan. Diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 3
Tahun 1975, tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Perkawinan dan
Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan
Perundang-undangan Perkawinan bagi yang beragama Islam. Hal ini
dimaksudkan sebagai alat pembuktian tentang dilangsungkannya suatu
perkawinan, dalam hal ini merupakan syarat mutlak untuk memelihara
ketertiban.
4. Pengumuman. Sabda Nabi Muhammad SAW Berwalimahlah kamu
walaupun dengan makanan yang terdiri dari kaki kambing. Walmah
adalah perayaan perkawinan untuk mengumumkan perkawinan yang
telah dilangsungkan.44

UUP hanya mengatur mengenai syarat-syarat perkawinan yang terdapat

pada Pasal 6 sampai Pasal 12. Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 memuat mengenai

syarat perkawinan yang bersifat materiil, sedangkan Pasal 12 mengatur mengenai

syarat perkawinan yang bersifat formil.

a. Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari pasal 6

sampai dengan pasal 11, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya/salah

satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya

apabila kesua orang tuanya telah meninggal dunia.

3. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

44
M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997, hlm. 11-13.
26

belas) tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari Pengadilan atau

Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak

wanita.

4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat

kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan

Pasal 4 UUP.

5. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain

dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh

dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain.

6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu

tunggu.

Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah

sebagai berikut:

1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130

hari, dihitung sejak kematian suami.

2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang

masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90

hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari, yang dihitung

sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang

tetap.
27

3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,

waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda

dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada

waktu tunggu.

Pasal 8 UUP menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang

yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun


keatas/incest.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya/kewangsaan.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/ayah
tiri/periparan.
4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan.
5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
b. Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UUP

direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975,

secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus

memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan

dimana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-

kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan

dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya.


28

Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat

tinggal calon mempelai (Pasal 3-5).

2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti,

apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitiannya ditulis dalam

daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).

3. Semua syarat apabila telah dipenuhi, Pegawai Pencatat Perkawinan

membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan yang memuat antara lain:

- Nama, umur, agama dan pekerjaan calon pengantin.

- Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal

8-9).

4. Perkawinan dilaksanakan setelah hari kesepuluh yang dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Kedua calon

mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan Pegawai Pencatat

dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara

resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat

dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan istri

masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 10-13).45

D. Pengertian Waris

Hukum kewarisan ialah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, menentukan

45
Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum Benda,
Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, hlm. 25-28.
29

siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagiannya

masing-masing.46

Warisan menurut sebagian besar Fuqah ialah:

Semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal


dunia baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak,
termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut
pautnya dengan hak orang lain. Misalnya barang yang digadaikan sebagai
jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup. 47

Pasal 171 huruf (a) KHI mendefinisikan: "Hukum kewarisan adalah

hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan

(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan

berapa bagiannya masing-masing."48

Idris Djakfar dan Taufik Yahya memberikan rumusan tentang hukum

kewarisan, yaitu:

Seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari


seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup
yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan pada wahyu Illahi yang
terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW, dalam istilah bahasa Arab disebut faridh.49

Kata faridh secara etimologi yang merupakan jama (plural) dari

fardhah berarti sesuatu yang ditentukan jumlahnya. Menurut istilah faridh ialah

hak-hak kewarisan yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam al-Quran

dan Sunnah Nabi.50 Kata faridh seringkali diartikan sebagai saham-saham yang

telah dipastikan kadarnya, maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban
46
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam , Balqis Queen, Solo, 2009,
hlm. 17.
47
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid I :Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm.
57.
48
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 73.
49
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya,
Jakarta, 1995, hlm. 3-4.
50
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 39.
30

yang tidak bisa diubah karena datangnya dari Tuhan. Saham-saham yang tidak

dapat diubah adalah angka pecahan 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3 yang terdapat

dalam surat An-Nisaa ayat 11. 12 dan 176.51

E. Rukun dan Syarat Pewarisan

Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan.

Suatu pembahasan menjadi tidak sempurna, jika salah satu rukun tidak ada

misalnya wali dalam salah satu rukun perkawinan, apabila perkawinan

dilangsungkan tanpa wali, perkawinan menjadi kurang sempurna bahkan menurut

pendapat Imam Malik dan Imam Syafii perkawinan itu tidak sah. Sehubungan

dengan pembahasan hukum waris, yang menjadi rukun waris-mewarisi ada 3

(tiga), yaitu sebagai berikut:

a. Harta peninggalan (mauruts).

Harta peninggalan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan oleh

mayyit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk

biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat. Harta

peninggalan dalam kitab fiqih biasa disebut tirkah, yaitu apa-apa yang

ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta secara mutlak. Istilah

warisan dalam kepustakaan sering pula disebut dengan irts, mrats, mauruts,

trats dan tirkah.52

51
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 28-29.
52
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif
di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 56-57.
31

b. Pewaris atau orang yang meninggalkan harta warisan (muwarrits).

Muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta

waris. Menurut para ulama fiqih, muwarrits dibedakan menjadi 3 macam, yakni:

1. Mati haqiqy (sejati) yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa

itu sudah berwujud padanya

2. Mati hukmy (berdasarkan keputusan hakim) yaitu suatu kematian

disebabkan oleh adanya vonis hakim, baik pada hakikatnya seseorang

benar-benar masih hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup

dan mati.

3. Mati taqdiry (menurut dugaan) yaitu suatu kematian yang bukan haqiqy

dan bukan hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras.53

c. Ahli waris (writs).

Writs adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan muwarrits

lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mewaris.54 Ahli waris mendapatkan

warisan dari pewaris karena ada hubungan kekerabatan atau hubungan

perkawinan.55

Syarat adalah sesuatu yang berada diluar substansi dari permasalahan yang

dibahas tetapi harus dipenuhi, seperti suci dari hadats merupakan syarat sahnya

sholat.56 Syarat dalam kewarisan ada tiga, yaitu:

a. Meninggal dunianya pewaris.

53
Ibid, hlm. 60.
54
Ibid, hlm. 61.
55
A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, hlm. 9.
56
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.cit, hlm. 57.
32

Meninggal dunianya pewaris yang dimaksud disini ialah baik meninggal

dunia haqiqy (sejati), meninggal dunia hukmy (berdasarkan keputusan hakim) dan

meninggal dunia taqdiry (menurut dugaan). Tidak adanya kepastian bahwa

pewaris meninggal dunia, maka harta warisan tidak boleh dibagikan kepada ahli

waris.

b. Hidupnya ahli waris.

Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli

waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh

pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan.

c. Mengetahui status kewarisan.

Seseorang yang dapat mewarisi harta orang yang telah meninggal dunia

haruslah jelas hubungan antara keduanya, misalnya hubungan antara suami-istri,

hubungan antara orang tua dengan anak dan hubungan saudara baik sekandung,

seayah maupun seibu.57

F. Faktor-Faktor Terjadinya Kewarisan

Menurut hukum kewarisan Islam, ada tiga faktor terjadinya kewarisan,

yaitu karena hubungan kekerabatan (nasab), karena perkawinan, karena wala

(memerdekakan budak).

a. Karena hubungan kekerabatan (nasab).

Hubungan kekerabatan yang dimaksud adalah hubungan darah atau

hubungan famili. Hubungan kekerabatan ini menimbulkan hak mewaris jika salah

57
A. Rachmad Budiono, Op.cit, hlm. 10.
33

satu meninggal dunia, misalnya, anak dengan orang tuanya apabila orang tuanya

meninggal dunia maka anak tersebut mewarisi warisan dari orang tuanya,

demikian juga sebaliknya jika anak yang meninggal dunia maka orang tuanya

mewarisi warisan dari anaknya.

b. Karena perkawinan.

Perkawinan yang sah menimbulkan hubungan kewarisan. Artinya, jika

seorang suami meninggal dunia maka istrinya mewarisi harta suaminya, demikian

juga sebaliknya jika seorang istri meninggal dunia maka suaminya mewarisi harta

istrinya.

c. Karena wal.

Wal merupakan hubungan hukmiyah, yaitu suatu hubungan yang

ditetapkan oleh hukum Islam, karena tuannya telah memberikan kenikmatan

untuk hidup merdeka dan mengembalikan hak asasi kemanusiaan kepada

budaknya. Seorang tuan yang telah memerdekakan budaknya maka terjadilah

hubungan keluarga yang disebut walul itqi.

Adanya hubungan tersebut, seorang tuan menjadi ahli waris dari budak

yang dimerdekakannya itu, dengan syarat budak yang bersangkutan tidak

mempunyai ahli waris sama sekali, baik hubungan kekerabatan maupun karena

perkawinan. Faktor kewarisan karena wal pada masa sekarang ini sudah

kehilangan makna pentingnya dilihat dari segi praktis, karena pada masa sekarang

secara umum perbudakan sudah tidak ada lagi.58

58
Ibid, hlm. 8.
34

G. Anak Sebagai Ahli Waris

Hukum Islam menetapkan bahwa anak menempati garis kewarisan

pertama dalam hal menerima warisan dari orang tuanya.59 Kedudukan seorang

anak sebagai ahli waris dipengaruhi oleh perkawinan yang dilakukan oleh kedua

orang tuanya, apabila perkawinan ayah dan ibunya sah maka anak yang lahir dari

perkawinan tersebut akan menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya, namun

apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak sah maka anak tersebut hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. 60 Hal ini sesuai

dengan Pasal 186 KHI yang menyatakan bahwa: Anak yang lahir di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan

keluarga dari pihak ibunya.61 Pasal 174 ayat (1) KHI menjelaskan bahwa

kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a. Menurut hubungan darah:


- Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara
perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.62

Harta warisan yang akan dibagikan kepada para ahli warisnya terlebih

dahulu harus melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memperinci harta yang bernilai dan memperhitungkannya dalam bentuk

angka-angka yang dapat dibagi-bagi. Keseluruhannya dapat ditaksir dalam

59
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/100mei091518_0854-8986.pdf diunduh pada tanggal 24
Mei 2012.
60
http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2011/05/Modul-Hukum-Waris-5-Pada-Ahli-
Waris.pdf diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
61
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 77.
62
Ibid, hlm. 74.
35

bentuk uang dan angka, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik

harta itu banyak atau sedikit.

2. Menelusuri secara pasti orang-orang yang bertalian kerabat dan perkawinan

dengan pewaris, baik yang ada ditempat atau tidak serta meneliti hal-hal

sebagai berikut:

- Kepastian hubungannya dengan pewaris dengan menggunakan segala

cara yang memungkinkan, seperti apakah memang ia dilahirkan oleh ibu

itu atau tidak, apakah memang telah terjadi perkawinan diantara

keduanya atau tidak, apakah kelahiran anak tersebut sebagai akibat dari

perkawinan itu atau tidak.

- Kepastian syarat yang ditentukan seperti, apakah pada saat kematian

pewaris ia telah nyata hidupnya atau tidak. Bagi pasangan suami atau

istri yang ditinggalkan, saat kematian itu apakah masih terikat dalam

perkawinan atau tidak. Bagi yang bercerai, apakah waktu terjadinya

kematian itu masih berada dalam iddah, talak raji atau tidak.

- Kepastian tidak adanya halangan seperti kesamaan agama antara pewaris

dengan ahli waris dan bahwa kematiannya bukan disebabkan oleh ahli

waris.

- Jarak hubungan kekerabatannya dengan pewaris untuk mengetahui

apakah ia dihijab secara hijab hirman oleh ahli waris yang ada

bersamanya.

3. Memilah-milah ahli waris atau orang-orang yang secara pasti berhak

menerima warisan atas bagian yang ditentukan atau dzawul furdh atau ahli
36

waris yang bagiannya masih bersifat terbuka alias ashabah atau hanya

sekedar dzawul arhm.63

Seorang anak dapat menjadi ahli waris dari orang tuanya apabila diantara

keduanya saling memiliki hubungan nasab. Hubungan nasab tersebut dapat

menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, salah satunya ialah hak

untuk saling mewarisi. Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya

berdasarkan hubungan alamiah yaitu terjadi disebabkan kehamilan karena adanya

hubungan biologis yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu

dilakukan berdasarkan akad maupun melalui perzinaan, sedangkan nasab seorang

anak kepada ayahnya hanya dapat ditetapkan berdasarkan pengakuan syari'at

bukan berdasarkan hubungan alamiah. Artinya seorang anak yang terlahir dari

perzinaan tidak dapat dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak itu karena

persetubuhannya tersebut tidak melalui akad yang diakui oleh syariat, tetapi anak

itu tetap dianggap sebagai anak ibunya karena dialah yang mengandung dan

melahirkannya sehingga hukum-hukum yang berkaitan dengan nasab seperti

pewarisan, hubungan mahram dan lain sebagainya berlaku untuk anak tersebut.

Penentuan nasab seorang anak kepada seorang lelaki sebagai ayahnya

adalah bagian dari akad dalam perkawinan yang sah. Hal ini meskipun terbukti

terdapat hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya melalui tes DNA,

karena sebagaimana dijelaskan di atas nasab anak kepada ayahnya hanya

didasarkan pada pengakuan syariat, bukan hubungan alamiah.64

63
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 289-290.
64
http://isim-hikmah.blogspot.com/2012/02/hukum-menetapkan-nasab-seorang-anak.html
diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
37

Adapun dasar-dasar untuk menetapkan nasab dari seorang anak kepada

ayahnya bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :

a. Melalui perkawinan yang sah.

Para ulama fiqih sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang

sah apabila melahirkan maka anak tersebut dinasabkan kepada suaminya itu.65

Pendapat mereka tersebut didasarkan antara lain pada hadits berikut ini:

( :

-
, , .)
. , ,
66

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu adalah
bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan yang
melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR. Muttafaq
alaih) dari haditsnya dan dari hadits Aisyah di dalam sebuah kisah, Dari Ibnu
Masud pada An-Nasai serta dari Utsman disisi Abu Daud.67


:
(
)
68

Dan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya Nabi
saw bersabda, Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan
merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu adalah anak zina, dia
tidak dapat mewarisi dan diwarisi. (HR Tirmidzi).69
Anak yang dilahirkan dapat dinasabkan kepada suami dari istri yang melahirkan

dengan syarat antara lain:


65
http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_JUmni%20Nelli.pdf diunduh pada tanggal
24 Mei 2012.
66
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Ibnu Katsir, Juz 2
(Hadits No. 1948), Beirut, 1987, hlm. 724. Lihat juga Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar
Ihya at-Turats al-Araby, Juz 2 (Hadits No. 36 (1457)), Beirut, tt, hlm. 1080.
67
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram , Pustaka Azzam, Jakarta,
2006, hlm. 699.
68
Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dhohhak at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar al-
Gharbu al-Islamiy, Juz 3 (Hadits No. 2113), Beirut, 1996, hlm. 615.
69
Muammal Hamidy, Imron A.M dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar Himpunan
Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 2068.
38

1) Menurut kalangan Hanafiyah anak itu dilahirkan enam bulan setelah

perkawinan. Jumhur ulama menambahkan dengan syarat suami isteri itu telah

melakukan senggama. Batasan enam bulan ini didasarkan pada kesepakatan

para ulama bahwa masa minimal kehamilan adalah enam bulan.

2) Laki-laki yang menjadi suami wanita tersebut haruslah seseorang yang

memungkinkan memberikan berketurunan, yang menurut kesepakatan ulama

adalah laki-laki yang sudah baligh.

3) Suami isteri pernah bertemu minimal satu kali setelah akad. Hal ini disepakati

oleh ulama, namun mereka berbeda dalam mengartikan kemungkinan

bertemu apakah pertemuan tersebut bersifat lahiriyah atau bersifat perkiraan.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pertemuan berdasarkan perkiraan

menurut logika bisa terjadi, sehingga apabila wanita itu hamil selama enam

bulan sejak ia diperkirakan bertemu dengan suaminya, maka anak yang lahir

dari kandungannya itu dinasabkan kepada suaminya, namun argumentasi ini

ditolak oleh jumhur ulama.

b. Nasab yang ditetapkan melalui perkawinan fasid.

Perkawinan fasid adalah perkawinan yang dilangsungkan dalam keadaan

cacat syarat sahnya, misalnya mengawini wanita yang masih dalam masa iddah.

Kesepakatan ulama fiqih dalam penetapan nasab anak yang lahir dalam

perkawinan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam perkawinan yang sah,

akan tetapi ulama fiqih mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak

dalam perkawinan fasid tersebut:


39

1) Suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang

baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan isterinya

tidak hamil.

2) Hubungan senggama bisa dilakukan.

3) Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad

fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama

Hanafiyah). Anak yang lahir sebelum waktu enam bulan setelah akad atau

melakukan hubungan senggama, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada

suami wanita tersebut.

c. Nasab yang disebabkan karena senggama syubhat.

Senggama syubhat yang dimaksud ialah terjadinya hubungan seksual antara

seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dalam keyakinannya adalah

isterinya. Nasab disini menjadi diakui bukan karena terjadinya perkawinan yang

sah dan bukan pula karena adanya senggama dalam akad yang fasid dan bukan

pula dari perbuatan zina tetapi karena telah terjadi kesalahdugaan, misalnya dalam

keadaan malam yang gelap seorang laki-laki menyenggamai seorang wanita yang

menurut keyakinannya adalah isterinya. Kasus seperti ini jika wanita itu hamil dan

melahirkan setelah enam bulan sejak terjadinya senggama syubhat dan sebelum

masa maksimal kehamilan maka anak yang lahir itu dinasabkan kepada laki-laki

yang menyenggamainya, akan tetapi jika anak itu lahir setelah masa maksimal

masa kehamilan maka anak itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki itu. 70

70
http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_JUmni%20Nelli.pdf diunduh pada tanggal
24 Mei 2012
40

Hak bagi setiap anak yang lahir telah diatur pada Pasal 28B ayat (2) UUD

1945 yang menyatakan bahwa: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Setiap anak meskipun ia lahir diluar perkawinan yang sah tetap

mempunyai hak atas kelangsungan hidupnya. Laki-laki yang terbukti secara

hukum sebagai ayah biologisnya dapat memberikan wasiat atau hibah kepada

anak tersebut sebagai bentuk tanggung jawabnya bagi kelangsungan hidup anak

tersebut dengan ketentuan wasiat dan hibah yang diberikan tidak lebih dari 1/3

harta benda yang dimilikinya.

Batasan wasiat dan hibah tersebut sesuai dengan ketentuan pada Pasal 201

dan 210 ayat (1) KHI. Pasal 201 KHI menyatakan bahwa: Apabila wasiat

melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak

menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta

warisan.71 Pasal 210 ayat (1) KHI menjelaskan bahwa:

Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat


tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta
bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi
untuk dimiliki.72

71
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 82.
72
Ibid, hlm. 84.
BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

MENGENAI UJI MATERIIL PASAL 2 AYAT (2) DAN PASAL 43 AYAT

(1) UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

A. Kasus Posisi

1. Identitas Para Pihak

Nama : Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti

H. Mochtar Ibrahim

Tempat dan Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 20 Maret 1970

Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW

002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung,

Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten

Tangerang, Banten

Nama : Muhammad Iqbal Ramadhan bin

Moerdiono

Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 5 Februari 1996

Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW

002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung,

Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten

Tangerang, Banten.

41
42

Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 58/KH.M&M/K/VIII/2010 bertanggal 5

Agustus 2010, memberi kuasa kepada i) Rusdianto Matulatuwa; ii) Oktryan

Makta; dan iii) Miftachul I.A.A., yaitu advokat pada Kantor Hukum

Matulatuwa & Makta yang beralamat di Wisma Nugra Santana 14th Floor,

Suite 1416, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8 Jakarta 10220, baik sendiri-

sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;

Selanjutnya disebut sebagai para Pemohon;

2. Duduk Perkara

a. Keterangan Para Pemohon

Para Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 14 Juni 2010

yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut

Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin tanggal 14 Juni 2010 berdasarkan

Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 211/PAN.MK/2010 dan

diregistrasi pada Rabu tanggal 23 Juni 2010 dengan Nomor 46/PUU-

VIII/2010, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah

pada tanggal 9 Agustus 2010, menguraikan bahwa Pemohon merupakan

pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya

dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan

dengan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Pasal 43 ayat (1)

yang berbunyi: Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal ini ternyata

justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian


43

bagi Pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya

yang dihasilkan dari hasil perkawinan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang

menyatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sehingga perkawinan

yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah

dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijsde) sebagaimana tercantum dalam amar

Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal 18 Juni 2008,

halaman ke-5, alinea ke-5 yang menyatakan:

"... Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung

perkawinan antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.

Mochtar Ibrahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan

wali kawin almarhum H. Moctar Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi,

masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman,

dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang

Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang

diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs.

Moerdiono;

Hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan merugikan

tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) dan (2)

serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan:


44

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan: Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2)

serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di hadapan

hukum. Tidak ada diskriminasi dalam penerapan norma hukum terhadap

setiap orang dikarenakan cara perkawinan yang ditempuhnya berbeda dan

anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah sah di hadapan hukum

serta tidak diperlakukan berbeda. Merujuk kepada norma konstitusional yang

termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan Pemohon

yang dilangsungkan sesuai dengan rukun kawin adalah sah tetapi terhalang

oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang mengharuskan sebuah perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku telah

mengakibatkan perkawinan yang sah dan sesuai dengan rukun kawin agama

Islam (norma agama) menjadi tidak sah menurut norma hukum, kemudian hal

ini berdampak kepada status anak yang dilahirkan Pemohon ikut menjadi

tidak sah dan menjadi anak di luar kawin berdasarkan ketentuan norma

hukum dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.


45

Anak Pemohon sejak Iahirnya telah mendapatkan perlakuan

diskriminatif yaitu dengan dihilangkannya asal-usul dari anak Pemohon

dengan hanya mencantumkan nama Pemohon dalam Akta Kelahirannya dan

negara telah menghilangkan hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang karena dengan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan

ibunya menyebabkan suami dari Pemohon tidak mempunyai kewajiban

hukum untuk memelihara, mengasuh dan membiayai anak Pemohon.

Pemohon secara objektif mengalami kerugian materi atau finansial, yaitu

Pemohon harus menanggung biaya untuk kehidupan Pemohon serta untuk

membiayai dalam rangka pengasuhan dan pemeliharaan anak. Hal ini

dikarenakan adanya ketentuan dalam UU Perkawinan yang menyebabkan

tidak adanya kepastian hukum atas perkawinan Pemohon dan anak yang

dihasilkan dari perkawinan tersebut. Akibatnya, Pemohon tidak bisa

menuntut hak atas kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan batin serta

biaya untuk mengasuh dan memelihara anak.

Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan untuk

membuktikan dalil-dalilnya yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti

P-6, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

2. Bukti P-2 : Fotokopi Penetapan Pengadilan Agama Tangerang Nomor

46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs.
46

3. Bukti P-3 : Fotokopi Rekomendasi Komisi Perlindungan Anak

Indonesia Nomor 230/KPAI/VII/2007.

4. Bukti P-4 : Fotokopi Surat Tanda Penerimaan Pengaduan Komisi

Perlindungan Anak Indonesia Nomor 07/KPAI/II/2007.

5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Nomor 173/KH.M&M/K/X/2006 perihal

Somasi tertanggal 16 Oktober 2006.

6. Bukti P-6 : Fotokopi Surat Nomor 03/KH.M&M/K/I/2007 perihal

Undangan dan Klarifikasi tertanggal 12 Januari 2007.

Pemohon juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag.,

yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan memberikan

keterangan tertulis dalam persidangan tanggal 4 Mei 2011, yang pada

pokoknya sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah jelas mengakui bahwa perkawinan

adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya;

2. Namun keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyebutkan

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku, mengakibatkan adanya dua pemahaman. Di satu sisi,

perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut agama atau kepercayaan

masing-masing; di sisi lain perkawinan dimaksud tidak memiliki

kekuatan hukum karena tidak dicatat;


47

3. Dari perspektif hukum Islam, perkawinan dinyatakan sah apabila telah

memenuhi lima rukun, yaitu ijab qabul, calon mempelai pria, calon

mempelai wanita, dua orang saksi, dan wali dari pihak mempelai wanita;

4. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tidak jelas, kabur, dan kontradiktif

dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, serta berdampak pada

perkawinan seseorang yang telah memenuhi syarat dan rukun secara

Islam tetapi karena tidak dicatat di KUA maka perkawinannya menjadi

tidak sah;

5. Karena perkawinan tersebut tidak sah, lebih lanjut Pasal 43 ayat (1) UU

Perkawinan mengatur bahwa anak dari perkawinan tersebut hanya

memiliki nasab dan hubungan kekerabatan dengan ibu dan keluarga ibu.

Pada akta kelahirannya, anak tersebut akan ditulis sebagai anak dari ibu

tanpa bapak;

6. Anak tersebut juga akan mengalami kerugian psikologis, dikucilkan

masyarakat, kesulitan biaya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan

lahiriah lainnya;

7. Keharusan mencatatkan perkawinan yang berimplikasi pada status anak

di luar kawin yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan

keluarga ibunya adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) UUD

1945, karena anak yang seharusnya dilindungi dari berbagai bentuk

kekerasan dan diskriminasi akhirnya tidak terlindungi hanya karena

orang tuanya terlanjur melaksanakan perkawinan yang tidak dicatat;


48

8. Dalam hukum Islam, anak lahir dalam keadaan bersih dan tidak

menanggung beban dosa orang tuanya. Islam tidak mengenal konsep

dosa turunan atau pelimpahan dosa dari satu pihak ke pihak lainnya;

9. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam bersifat individu.

Seseorang tidak dapat menanggung beban dosa orang lain, apalagi

bertanggung jawab terhadap dosa orang lain, sebagaimana dinyatakan

dalam Al Quran Surat al-Isra/17:15; Surat al-Anam/6:164; Surat

Fatir/35:18; Surat az-Zumar/39:7; dan Surat an-Najm/53:38;

10. Islam mengenal konsep anak zina yang hanya bernasab kepada ibu

kandungnya, namun ini anak dari perkawinan sah (yang telah memenuhi

syarat dan rukun). Anak yang lahir dari perkawinan sah secara Islam,

meskipun tidak dicatatkan pada instansi terkait, tetap harus bernasab

kepada kedua bapak dan ibunya;

11. Bahkan dalam Islam dilarang melakukan adopsi anak jika adopsi tersebut

memutus hubungan nasab antara anak dengan bapak. Jika anak yang

akan diadopsi tidak diketahui asal muasal dan bapak kandungnya, maka

harus diakui sebagai saudara seagama atau aula/anak angkat; dan bukan

dianggap sebagai anak kandung;

12. Dalam fiqh, tidak pernah disebutkan bahwa perkawinan harus dicatat,

tetapi terdapat perintah dalam Al Quran Surat an-Nisa untuk menaati ulil

amri (dalam hal ini Undang-Undang sebagai produk ulil amri);


49

13. Dengan demikian, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan

bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28B

ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

14. Jika Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengandung

madharat, tetapi menghapusnya juga menimbulkan madharat, maka

dalam kaidah hukum Islam, harus dipilih madharat-nya yang paling

ringan;

Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut dan bukti-bukti

terlampir maka dengan ini Pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi agar

berkenan memberikan Putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon untuk

seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan,

bertentangan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1)

UUD 1945;

3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat

hukumnya;

Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka dimohonkan Putusan yang

seadil-adilnya (ex aequo et bono);

b. Keterangan Pemerintah

Terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah menyampaikan

keterangan secara lisan dalam persidangan tanggal 9 Februari 2011, dan


50

menyampaikan keterangan tertulis bertanggal 18 Februari 2011 dan diterima

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 30 Maret 2011, yang

menyatakan bahwa dari seluruh uraian permohonan para Pemohon, menurut

Pemerintah anggapan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalitas

yang terjadi terhadap diri para Pemohon, bukanlah karena berlakunya

dan/atau sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan

pengujian tersebut, karena pada kenyataannya yang dialami oleh Pemohon I

dalam melakukan perkawinan dengan seorang laki-laki yang telah beristri

tidak memenuhi prosedur, tata cara dan persyaratan sebagaimana diatur

dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal (2), Pasal (4), Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 12 UU

Perkawinan serta PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU

Perkawinan, oleh karenanya maka perkawinan Poligami yang dilakukan oleh

Pemohon tidak dapat dicatat.

UU Perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami, akan tetapi

tidak berarti bahwa undang-undang ini melarang seorang suami untuk beristri

lebih dari seorang (poligami). Seorang suami dapat melakukan poligami

dengan istri kedua dan seterusnya, akan tetapi hal tersebut hanya dapat

dilakukan setelah yang bersangkutan memenuhi persyaratan dan prosedur

yang ditetapkan dalam UU Perkawinan khususnya sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 serta PP Nomor 9 Tahun 1975.

Perkawinan poligami yang tidak memenuhi ketentuan UU Perkawinan tidak

dapat dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, dengan

segala akibat hukumnya antara lain: tidak mempunyai status perkawinan yang
51

sah, dan tidak mempunyai status hak waris bagi suami, istri, dan anak-

anaknya.

Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang

menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) telah bertentangan dengan Pasal 28B ayat

(1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena pencatatan

perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk membatasi hak asasi warga negara

melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara dalam membangun

keluarga dan melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian hukum

terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya. Pencatatan perkawinan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) bertujuan untuk:

a. tertib administrasi perkawinan;

b. memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami,

istri maupun anak; dan

c. memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang

timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akte

kelahiran, dan lain-lain;

Mengenai perkawinan Pemohon I, apabila dilakukan sesuai dengan

ketentuan hukum yang terdapat dalam UU Perkawinan, maka Pemohon I

tidak akan mendapatkan hambatan dalam melakukan pencatatan perkawinan,

dan dijamin bahwa Pemohon I akan memperoleh status hukum perkawinan

yang sah dan mendapat hak status anak yang dilahirkannya. Pemerintah

menganggap bahwa permasalahan yang terjadi terhadap para Pemohon adalah

tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan materi muatan


52

norma UU Perkawinan yang dimohonkan untuk diuji tersebut, akan tetapi

berkaitan dengan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan

yang berlaku yang dilakukan secara sadar dan nalar yang sepatutnya dapat

diketahui resiko akibat hukumnya dikemudian hari.

Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon

yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (1) telah memberikan

perlakuan dan pembatasan yang bersifat diskriminatif terhadap Pemohon,

karena pembatasan yang demikian telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28J

ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa: Dalam menjalankan hak dan

kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan

dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin

pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, nilai-nilai

agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

demokratis. Ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) ini merupakan konsekuensi

logis dari adanya pengaturan mengenai persyaratan dan prosedur perkawinan

yang sah atau sebaliknya yang tidak sah berdasarkan UU Perkawinan,

karenanya menjadi tidak logis apabila undang-undang memastikan hubungan

hukum seorang anak yang lahir dari seorang perempuan, memiliki hubungan

hukum sebagai anak dengan seorang laki-laki yang tidak terikat dalam suatu

perkawinan yang sah.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada

Mahkamah Konstitusi yang mengadili permohonan pengujian Undang-


53

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945, dapat

memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal

standing);

2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-

tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat

diterima (niet ontvankelijk verklaard);

3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

4. Menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU

Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2)

serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

Namun demikian apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon

putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

c. Keterangan DPR RI

Terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat

memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 9 Februari 2011 dan

menyampaikan keterangan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

pada tanggal 24 Februari 2011, yang menguraikan bahwa terhadap dalil para

Pemohon yang menyatakan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat

(2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan telah menghalang-halangi

pelaksanaan hak konstitusionalnya untuk membentuk keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, hak anak dalam

perkawinan, dan kepastian hukum atas status perkawinannya sebagaimana


54

diatur dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD

1945 telah dirugikan, DPR menyampaikan penjelasan bahwa akibat dari suatu

perkawinan ialah munculnya hak dan kewajiban keperdataan, sehingga untuk

menjamin hak-hak keperdataan dan kewajibannya yang timbul dari akibat

perkawinan yang sah maka setiap perkawinan perlu dilakukan pencatatan.

Perkawinan meskipun termasuk dalam lingkup keperdataan, namun negara

wajib memberikan jaminan kepastian hukum dan memberikan perlindungan

hukum kepada pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan (suami, istri dan

anak) terutama dalam hubungannya dengan pencatatan administrasi

kependudukan terkait dengan hak keperdataan dan kewajibannya.

Pencatatan tiap-tiap perkawinan menjadi suatu kebutuhan formal

untuk legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan suatu

konsekuensi yuridis dalam hak-hak keperdataan dan kewajibannya seperti

kewajiban memberi nafkah dan hak waris. Berdasarkan hal tersebut, maka

ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan merupakan norma yang

mengandung legalitas sebagai suatu bentuk formal perkawinan. Pencatatan

perkawinan dalam bentuk akta perkawinan (akta otentik) menjadi penting

untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk

setiap perkawinan.

DPR berpendapat bahwa dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan

Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hukum

dan dalil Pemohon yang menyatakan tidak dapat mencatatkan perkawinannya

karena UU Perkawinan menganut asas monogami adalah anggapan yang


55

keliru dan tidak berdasar. Pemohon tidak dapat mencatatkan perkawinannya

karena tidak dapat memenuhi persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam

UU Perkawinan. Persoalan para Pemohon sesungguhnya bukan persoalan

konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan hukum yang tidak

dipenuhi oleh para Pemohon. DPR berpandangan bahwa perkawinan yang

tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat

diartikan sebagai peristiwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat formil,

sehingga hal ini berimplikasi terhadap hak-hak keperdataan yang timbul dari

akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang tidak

dicatat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan dapat berimplikasi terhadap

pembuktian hubungan keperdataan anak dengan ayahnya. Berlakunya

ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan akan menjamin terwujudnya

tujuan perkawinan, serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum

terhadap status keperdataan anak. Ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU

Perkawinan ini menurut DPR apabila dibatalkan justru akan berimplikasi

terhadap kepastian hukum atas status keperdataan anak yang lahir dari

perkawinan yang tidak dicatat. DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 43

ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan

ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945.
56

Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya

Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan

amar putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-

tidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;

2. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;

3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bertentangan dengan

Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;

4. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tetap

memiliki kekuatan hukum mengikat.

Apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, kami

mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

B. Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa

Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili perkara ini karena maksud dan

tujuan permohonan para Pemohon adalah untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(selanjutnya disebut UU 1/1974) terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang merupakan

salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah.


57

Pokok permasalahan hukum dari permohonan yang diajukan para

pemohon mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-

undangan yaitu mengenai makna hukum (legal meaning) dari pencatatan

perkawinan tersebut. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4

huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan,

... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut


hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping
itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama
halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-
surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan

perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan;

dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang

ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai.

Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-

undangan merupakan kewajiban administratif. Makna pentingnya kewajiban

administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah dapat

dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud

diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang

merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip

negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan
58

perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Kedua,

pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar

perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan

oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat

luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan

suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait

dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat

terselenggara secara efektif dan efisien. Contohnya pembuktian mengenai asal-

usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak

tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan

dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti

tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik

sebagai buktinya.

Pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar

perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa yang

dilahirkan di luar perkawinan. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif

yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan

tentang sahnya anak. Secara alamiah tidaklah mungkin seorang perempuan hamil

tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan

seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi

yang menyebabkan terjadinya pembuahan, oleh karena itu tidak tepat dan tidak

adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan

karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan


59

perempuan tersebut sebagai ibunya. Tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum

membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan

terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai

seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak

terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya, lebih-lebih manakala berdasarkan

perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa

seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.

Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang

didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang

laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban

secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.

Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena

adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian

adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.

Terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan

harus mendapatkan perlindungan hukum. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki

kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan

stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan

kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-

hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun

keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.


60

Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka Mahkamah Konstitusi

memberikan amar putusan yang pada pokoknya sebagai berikut:

Mengadili :

Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan,

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai

menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan,

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak memiliki kekuatan

hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata

dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai

hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca,

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata


61

dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya

yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau

alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk

hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;

Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya;

C. Alasan Berbeda (Concurring Opinion)

Terhadap Putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati

memiliki alasan berbeda (concurring opinion), yang menjelaskan bahwa

keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan

Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat

(2) UU Perkawinan tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan secara

administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang

telah dilangsungkan menurut agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah

pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang

dilakukan. Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan

perundang-undangan yang sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan

bahkan bertentangan. Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa

perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya, ternyata menghalangi dan sebaliknya juga dihalangi oleh

keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan
62

akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang.

Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 jika dimaknai sebagai pencatatan secara administratif

yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu perkawinan, maka

hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi

penambahan terhadap syarat perkawinan. Kata perkawinan dalam Pasal 43 ayat

(1) UU Perkawinan juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara

Islam.

Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada

pihak-pihak dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari

inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh

pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut.

Adanya penelantaran istri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena

kawin kontrak, fenomena istri simpanan (wanita idaman lain), dan lain

sebagainya, adalah bukti tidak adanya konsistensi penerapan tujuan perkawinan

secara utuh. Esensi pencatatan, selain demi tertib administrasi, adalah untuk

melindungi wanita dan anak-anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat

diletakkan setidaknya dalam dua konteks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii)

melindungi, wanita dan anak-anak dari perkawinan yang dilaksanakan secara

tidak bertanggung jawab. Pencatatan sebagai upaya perlindungan terhadap wanita

dan anak-anak dari penyalahgunaan perkawinan.

Terhadap perkawinan secara hukum agama atau kepercayaan yang tidak

dilaksanakan menurut UU 1/1974 yang tentunya juga tidak dicatatkan, negara

akan mengalami kesulitan dalam memberikan perlindungan secara maksimal


63

terhadap hak-hak wanita sebagai istri dan hak-hak anak-anak yang kelak

dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hak anak yang dilindungi oleh Pasal 28B

ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tidak dirugikan oleh adanya Pasal 2

ayat (2) UU 1/1974 yang mensyaratkan pencatatan perkawinan. Perlindungan

terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat

(1) UUD 1945, justru akan dapat dimaksimalkan apabila semua perkawinan

dicatatkan sehingga dengan mudah akan diketahui silsilah anak dan siapa yang

memiliki kewajiban terhadap anak dimaksud. Pencatatan perkawinan adalah

dimensi sosial yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas status dan

akibat hukum dari suatu peristiwa hukum seperti juga pencatatan tentang

kelahiran dan kematian. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Hakim

Konstitusi Maria Farida Indrati tidak ada kerugian konstitusional yang dialami

para Pemohon sebagai akibat keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974.

Secara teoritis, norma agama atau kepercayaan memang tidak dapat

dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan, karena norma agama atau

kepercayaan merupakan wilayah keyakinan transendental yang bersifat privat,

yaitu hubungan antara manusia dengan penciptanya; sedangkan norma hukum,

dalam hal ini UU 1/1974, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai

perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara sehingga dapat

dipaksakan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah). Potensi kerugian akibat

perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita (istri) sangat

beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat
64

dipulihkan atau tidak, di sinilah titik krusial UU 1/1974 terutama pengaturan

mengenai pencatatan perkawinan.

Perlindungan oleh negara (Pemerintah) dalam konteks sistem hukum

perkawinan terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama terhadap wanita

sebagai istri, hanya dapat dilakukan jika perkawinan dilakukan secara sadar sesuai

dengan UU 1/1974, yang salah satu syaratnya adalah perkawinan dilakukan

dengan dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(vide Pasal 2 UU 1/1974). Konsekuensi lebih jauh, terhadap perkawinan yang

dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat memberikan perlindungan

mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak lain yang timbul

dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak wanita (istri)

harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan

suaminya.

Perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 juga memiliki potensi

untuk merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian

bagi anak yang paling utama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak

kandungnya (bapak biologisnya), yang tentunya mengakibatkan tidak dapat

dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup anak

dan hak-hak keperdataan lainnya. Keberadaan seorang anak yang tidak memiliki

pengakuan dari bapak biologisnya, akan memberikan stigma negatif, misalnya

sebagai anak haram. Stigma ini adalah sebuah potensi kerugian bagi anak,

terutama kerugian secara sosial-psikologis, yang sebenarnya dapat dicegah dengan

tetap mengakui hubungan anak dengan bapak biologisnya.


65

Potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1)

UU 1/1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Keberadaan

Pasal tersebut menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan

keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah risiko dari

perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan

menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut

menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang

tuanya. Hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak

mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang

dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah dosa

turunan. Potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai

dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan

perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan

dalam perkawinan tersebut. Menurut Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati,

pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah

atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi

kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya.

D. Wawancara

Data primer yang penulis gunakan untuk penelitian ini ialah melalui

wawancara dengan Bapak M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi

Jawa Barat), Bapak Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masaail NU Jawa Barat,
66

Bapak Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Persatuan Islam), Bapak Zae

Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Persatuan Islam), Bapak Muhammad Rizal

Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat) dan Bapak Acep

Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung). Data-data yang penulis peroleh

dari hasil wawancara tersebut ialah sebagai berikut:

1. Wawancara dengan Prof. Dr. H.M. Salim Umar., MA (Ketua Komisi

Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat)

1. Bagaimana pendapat bapak mengenai status anak yang lahir diluar

perkawinan, apakah menurut Hukum Islam anak tersebut dapat dinasabkan

kepada ayah biologisnya sebagaimana yang tercantum dalam putusan

MK?

Keputusan MK ini kami anggap melebihi dari pada pertanyaannya.

Pertanyaannya itu diajukan oleh Machica bersama anaknya Ibrahim,

yang mana Machica telah melangsungkan perkawinan dengan Moerdiono,

akan tetapi perkawinannya ini merupakan kawin sirri. Artinya kawin sirri

itu ialah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan agama hanya belum

dicatatkan di KUA, sehingga tidak mendapat akta nikah. Perkawinan

tersebut menurut agama adalah sah meskipun tidak mendapat akta nikah.

Menurut UUP, perkawinan ini dianggap belum sukses secara

administrasi, karena UUP menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah

apabila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama dan dicatatkan

pada Kantor Pencatat Perkawinan. Menurut ketentuan agama ada lima

yaitu mempelai laki-laki, mempelai wanita, wali, 2 orang saksi dan ijab
67

qobul. Menurut agama apabila telah memenuhi syarat-syarat tersebut,

maka perkawinan yang dilangsungkan adalah sah, hanya menurut

ketentuan UUP harus dicatatkan di Kantor Pencatat Perkawinan dan hal

ini belum dilakukan oleh Machica dan Moerdiono sehingga tidak

mempunyai akta nikah, jika tidak mempunyai akta nikah maka dapat

dikatakan sebagai perkawinan liar, artinya perkawinan tersebut

dilangsungkan namun liar dan itu melanggarkan hukum Negara tetapi

tidak melanggar hukum agama. MUI dalam Ijma Ulama di Gontor

menetapkan nikah sirri sudah sah menurut agama tetapi wajib dicatatkan

di Kantor Pencatat Perkawinan. Wajib itu artinya apabila dilaksanakan

berpahala, apabila tidak dilaksanakan berdosa, berdosa disini artinya

dengan konsekuensi anak tersebut menjadi sulit mendapat pengakuan,

sulit mendapat akta kelahiran dan sulit mendapat hak waris. Keputusan

MK sangat disayangkan karena menyatakan bahwa anak yang lahir diluar

perkawinan dianggap mempunyai hubungan dengan ayah dan keluarga

ayah. Menurut fiqih tidak demikian, anak zina tidak mempunyai hubungan

dengan ayah dan keluarga ayah sehingga anak tersebut hanya menjadi

anak ibunya karena tidak menggunakan ijab qobul, sedangkan Machica

dan Moerdiono menggunakan ijab qobul. Permintaan Machica pada MK

hanya untuk mengesahkan anaknya tetapi keputusan MK terlalu luas,

semua anak yang dilahirkan diluar perkawinan dianggap mempunyai

hubungan dengan orang tua khususnya ayah, dan ini yang bertentangan

dengan fiqih. MUI tidak sependapat dengan putusan tersebut, menurut


68

kami putusan itu sebaiknya berbunyi anak yang lahir dari perkawinan

sirri sebaiknya diakui perkawinannya dengan dicatatkan di Kantor

Pencatat Perkawinan sehingga perkawinan itu dianggap legal bukan

illegal selanjutnya anak tersebut dapat mempunyai hubungan dengan

ayah dan keluarga ayah. Anak diluar perkawinan menurut Islam tetap

tidak bernasab kepada ayahnya, karena tidak memenuhi syarat dan tidak

terjadi ijab qobul antara suami dan istri tersebut. Hubungan suami-istri

baru dapat dilakukan apabila telah menjadi suami istri yang sah dengan

melakukan perkawinan yang sah yang memenuhi syarat-syarat

perkawinan menurut agama yaitu mempelai laki-laki, mempelai wanita,

wali, 2 orang saksi dan ijab qobul. Machica kemungkinan telah memenuhi

syarat-syarat perkawinan tersebut hanya saja belum dicatatkan maka

menurut UUP, perkawinan tersebut sudah sah menurut agama namun

belum sah menurut hukum negara.

2. Petikan dari bunyi amar putusan MK salah satunya mengenai hubungan

perdata, apa saja yang termasuk dalam kategori hubungan perdata?

Kategori hubungan perdata antara lain ialah berhak mendapatkan waris,

ayahnya dapat menjadi wali dan dapat dianggap sebagai keturunan yang

sah dari ayahnya. MUI tidak setuju dengan putusan MK tersebut karena

bunyinya anak yang lahir diluar perkawinan apabila bunyinya anak yang

dilahirkan dari perkawinan sirri, MUI setuju. Anak yang lahir diluar

perkawinan dapat dikatakan sama dengan anak hasil zina, anak hasil

kumpul kebo ataupun anak hasil selingkuh, dan itu tidak bisa dikatakan
69

mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya karena menurut Islam

anak tersebut adalah anak hasil zina sehingga tidak mempunyai hubungan

perdata dengan ayah hanya dengan ibunya saja.

3. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak

yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan nasab dengan ayah

biologisnya sehingga berhak untuk saling mewarisi?

Menurut Islam anak yang lahir diluar perkawinan dalam arti anak hasil

zina tidak mempunyai hubungan nasab dan juga tidak mempunyai hak

saling mewarisi dengan ayahnya. Seorang anak yang lahir diluar

perkawinan tidak dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya,

yang mana hubungan perdata itu antara lain ialah hak untuk mendapat

waris, hak untuk menjadi wali apabila anaknya perempuan. Hubungan

anak dengan ayah itu menyangkut masalah waris dan wali, apabila tidak

ada hubungan dengan ayah maka tidak boleh mendapat waris dan tidak

boleh menjadi wali karena laki-laki itu bukan ayahnya melainkan orang

lain. Ayah biologis sebenarnya dalam Islam tidak ada, artinya hubungan

biologis boleh dilakukan setelah dilegalkan terlebih dahulu yaitu dengan

adanya akad perkawinan, karena apabila tidak dilegalkan maka disebut

perzinaan.

4. Anak merupakan salah satu ahli waris yang berhak mendapat harta

warisan, apa kriteria seorang anak dapat mempunyai hubungan nasab

sehingga dapat saling mewarisi dengan kedua orang tuanya khususnya

dengan ayahnya?
70

Tidak ada kriteria apapun, asalkan anak tersebut dilahirkan oleh

pasangan suami istri yang sah dan sudah melalui perkawinan yang sah.

Setiap anak yang lahir itu baik, yang berdosa adalah ayah dan ibunya,

dan yang disyaratkan itu ialah hubungan suami istri, yang mana baru

dapat dilakukan setelah keduanya berstatus sebagai pasangan suami istri

yang sah dengan akad nikah yang sah pula, sehingga anak dapat

dinasabkan kepada ayahnya dan juga mendapatkan hak waris.

5. Bagaimana sikap MUI terhadap putusan MK tersebut?

Kami hanya memberi surat kepada MK supaya putusan tersebut

dibetulkan. Kami tidak ingin menyalahkan instansi lembaga negara

kepada umum, jadi MUI Pusat hanya memberi surat putusan tersebut

diralat atau dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak yang

dilahirkan diluar perkawinan ialah diluar perkawinan menurut UU

Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana yang dilakukan oleh Machica, karena

Machica telah melangsungkan perkawinan secara agama. MUI

menganggap Ibrahim mempunyai hubungan dengan ayahnya yaitu

Moerdiono karena merupakan anak yang lahir dari perkawinan sirri,

selain hal tersebut MUI tidak sepakat dan tetap berpendapat bahwa anak

yang lahir diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan dengan ayahnya

hanya mempunyai hubungan dengan ibunya saja.71

71
M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), wawancara pada hari senin
tanggal 21 Mei 2012, di MUI Propinsi Jawa Barat Jl. RE.Martadinata No.105Bandung.
71

2. Wawancara dengan Dr. Mujiyo., M.Ag (Ketua Lembaga Bahtsul Masail

PW Nahdlatul Ulama Jawa Barat)

1. Bagaimana pendapat bapak mengenai status anak yang lahir diluar

perkawinan, apakah menurut Hukum Islam anak tersebut dapat dinasabkan

kepada ayah biologisnya sebagaimana yang tercantum dalam putusan

MK?

Berkenaan dengan kasus Machica sebagai dasar diputusnya putusan MK

tersebut, yang menyatakan bahwa antara Machica dan Moerdiono telah

terjadi perkawinan yang sah secara agama dan telah memenuhi syarat

perkawinan yang lima (5) yaitu calon suami, calon istri, wali, saksi, ijab

qobul, sehingga putusan MK tersebut menurut fiqih sudah tepat dan

benar. Perkawinan yang semacam itu sering kita sebut dengan nikah sirri,

dan NU berpendapat bahwa nikah sirri adalah sah karena telah sesuai

dan memenuhi syarat perkawinan yang lima (5). Status anak apabila

didasarkan kepada kasus Machica yang merupakan dasar diputusnya

putusan MK atau dengan kata lain kasus nikah sirri, maka anak dapat

dinasabkan kepada ayahnya, karena telah terjadi perkawinan yang sah

menurut agama antara ayah dan ibunya.

2. Petikan dari bunyi amar putusan MK salah satunya mengenai hubungan

perdata, apa yang termasuk dalam kategori hubungan perdata?

Hubungan perdata yaitu hubungan keluarga dan hubungan ekonomi,

dalam hubungannya antara orang tua dan anak yaitu berkaitan dengan:

a. Hubungan nasab (dari garis keturunan yang sah).


72

b. Hak asuh (nafkah).

c. Hak waris.

d. Hak wali apabila anaknya perempuan.

3. Apabila salah satu kategori hubungan perdata ialah hak saling mewarisi,

apakah berdasarkan putusan MK tersebut anak yang lahir diluar

perkawinan memiliki hak waris dari ayah dan keluarga ayahnya?

Bagaimana menurut Hukum Islam?

Kebanyakan orang menafsirkan putusan MK mengenai anak yang lahir

diluar perkawinan ialah termasuk kepada anak hasil zina, anak hasil

kumpul kebo dan lain-lain. NU tetap berpendapat bahwa seorang anak

mempunyai hubungan nasab dan mewarisi dengan kedua orang tuanya

apabila anak tersebut lahir dari hasil perkawinan yang sah atau

perkawinan sirri yang sah menurut agama. Sepanjang putusan MK

tersebut ditafsirkan sesuai dengan kasus Machica yang merupakan dasar

diputusnya putusan MK, maka seorang anak mempunyai hak saling

mewarisi dengan ayah dan ibunya, namun diluar kasus tersebut tetap

seorang anak hanya dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga

ibunya saja.

4. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak

yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan nasab dengan ayah

biologis nya sehingga berhak untuk saling mewarisi?

Seorang anak dapat memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya,

apabila ayahnya tersebut telah melangsungkan perkawinan yang sah


73

dengan ibunya dan telah terpenuhi lima (5) syarat perkawinan, dan anak

tersebut lahir akibat dari perkawinan yang sah.

5. Anak merupakan salah satu ahli waris yang berhak mendapat harta

warisan, apa kriteria seorang anak dapat saling mewarisi dengan kedua

orang tuanya khususnya dengan ayahnya?

Seorang anak dapat saling mewarisi dengan kedua orang tuanya

khususnya dengan ayahnya, apabila anak tersebut merupakan anak dari

garis keturunan yang sah dengan ayahnya. Garis keturunan dapat

dianggap sah apabila kedua orang tuanya telah melalui perkawinan yang

sah dan memenuhi lima (5) syarat perkawinan terlebih dahulu, apabila

lima (5) syarat perkawinan tersebut tidak terpenuhi atau anak tersebut

merupakan anak hasil zina dan sebagainya, maka anak tersebut hanya

dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga ibunya.

6. Bagaimana sikap Nahdlatul Ulama (NU) terhadap putusan MK tersebut?

NU belum punya sikap terhadap putusan MK tersebut, karena NU masih

mengkaji mengenai hal tersebut. NU baru akan mengkaji dan membahas

putusan MK tersebut di MUNAS (Musyawarah Nasional) yang akan

dilangsungkan pada bulan september mendatang. Suatu pendapat di

dalam NU baru dapat dinyatakan sebagai suara NU apabila telah

disepakati dalam Mutamar atau Bahtsul Masail dan setelah disahkan

oleh Syuriyah (Majelis Syuro).72

72
Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar), wawancara pada hari rabu tanggal
23 Mei 2012, di PW Nahdlatul Ulama Jawa Barat Jln. Terusan Galunggung No. 09 Bandung.
74

3. Wawancara dengan Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Persatuan

Islam)

1. Bagaimana pendapat bapak mengenai status anak yang lahir diluar

perkawinan, apakah menurut Hukum Islam anak tersebut dapat dinasabkan

kepada ayah biologisnya sebagaimana yang tercantum dalam putusan

MK?

Saya tidak mendengar dalil dari diputuskannya putusan MK tersebut,

sedangkan menurut syariat Islam anak yang lahir itu adalah anak

ayahnya, adapun akibat dari pada kelakuan kedua orang tuanya yang

melakukan campur diluar perkawinan ialah merupakan tanggung jawab

meraka, tetapi tetap yang lahir itu adalah anaknya dan sebagai ahli waris.

Mengenai hal ini sebetulnya yang mesti mempunyai dalil itu bukan yang

menyatakan bahwa ia adalah anaknya melainkan yang menyatakan bahwa

ia bukan anaknya. Melalui teknologi sekarang seperti tes DNA, dapat

dibuktikan dengan jelas bahwa ia adalah anaknya.

2. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak

yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan nasab dengan ayah

biologisnya sehingga berhak untuk saling mewarisi?

Anak yang lahir diluar perkawinan tetap merupakan anak dari kedua

orang tuanya dan bernasab kepada keduanya, kalau dikatakan bukan

anaknya apalagi dikatakan bukan sebagai ahli waris, ketika anak tersebut

sudah besar nanti berarti ia bisa melangsungkan perkawinan dengan

ayahnya.
75

3. Hubungan nasab seorang anak dengan orang tuanya terkait hal apa saja?

Apakah kedua orang tuanya harus melakukan perkawinan dengan akad

yang sah terlebih dahulu atau tidak?

Anak yang lahir tetap berasal dari bibit ayahnya, adapun akibat dari pada

campur tanpa perkawinan, itu urusan dosa kedua orang tersebut dan anak

tidak ikut campur urusan dosanya. Akad dalam perkawinan fungsinya

untuk menghalalkan yang asalnya haram, kelahiran seorang anak tidak

ada kaitannya dengan halal haramnya percampuran itu, ia tetap sebagai

anak dan tetap sebagai ahli waris karena apabila tidak diakui sebagai

anak, ia bisa melangsungkan perkawinan dengan ayahnya.

4. Bagaimana sikap Persis terhadap putusan MK tersebut?

Kami belum merasa perlu untuk mengajukan tanggapan apapun, karena

kami sudah menetapkan hukum yang jelas yaitu anak yang lahir tanpa

perkawinan itu adalah anaknya. Anak tersebut tetap mendapat hak waris

dari kedua orang tuanya apabila anak itu tidak mendapat hak waris berarti

ia bukan sebagai ahli waris dan nanti bisa menjadi sah untuk

melangsungkan perkawinan dengan ayahnya.73

73
Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara pada hari
sabtu tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran,
Pameungpeuk Kab. Bandung.
76

4. Wawancara dengan Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Persatuan

Islam)

1. Bagaimana pendapat bapak mengenai status anak yang lahir diluar

perkawinan, apakah menurut Hukum Islam anak tersebut dapat dinasabkan

kepada ayah biologisnya sebagaimana yang tercantum dalam putusan MK?

Kasus yang kita bicarakan yaitu mengenai Machica dan Moerdiono,

mereka telah melangsungkan perkawinan namun tidak dicatatkan, oleh

karena itu menurut agama perkawinan tersebut sah sehingga anak tersebut

bernasab kepada ayahnya. Mengenai anak diluar perkawinan apabila anak

itu benar merupakan anak dari ayah dan ibunya maka anak itu tentunya

bernasab kepada orang tuanya. Seorang anak tidak terkait masalah

perkawinan, apabila diketahui benar bahwa anak tersebut adalah anak

dari ayah dan ibunya maka bagaimanapun juga seorang anak tetaplah

anak dari kedua orang tuanya meskipun tanpa terjadi perkawinan antara

ayah dan ibunya. Nasab merupakan suatu hubungan antara orang tua

dengan anak, nisbat kepada laki-laki sebagai ayah dan nisbat kepada

perempuan sebagai ibu, apabila anak itu benar-benar merupakan anak

dari kedua orang tuanya maka ia adalah anak dari kedua orang tuanya

dan bernasab keduanya. Anak yang lahir diluar perkawinan maupun yang

lahir dari perkawinan yang sah tetap bernasab kepada ayahnya, karena

secara biologis ia adalah anak dari ayah dan ibunya. Hubungan nasab

tidak terkait dengan akad perkawinan yang sah, karena akad itu sebagai

pengesahan hubungan suami istri.


77

2. Petikan dari bunyi amar putusan MK salah satunya mengenai hubungan

perdata, apa saja yang termasuk dalam kategori hubungan perdata?

Hubungan perdata itu dilihat dari hukum positif, saya hanya melihat dari

sisi syariat yaitu kepada Al-Quran dan Hadits sebagai acuannya.

3. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak

yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan nasab dengan ayah

biologisnya sehingga berhak untuk saling mewarisi?

Sebab waris dalam Islam ada tiga yaitu karena perkawinan, karena

hubungan nasab dan wala. Seorang anak apabila benar merupakan anak

dari ayah dan ibunya maka berdasarkan sebab waris yaitu karena adanya

hubungan nasab, anak itu berhak mendapatkan warisan dari kedua orang

tuanya, oleh karena itu sebab waris seorang anak kepada orang tuanya

ialah karena adanya hubungan nasab dan tidak terkait pada hubungan

perkawinan kedua orang tuanya.

4. Hubungan nasab seorang anak dengan orang tuanya terkait hal apa saja?

Apakah kedua orang tuanya harus melakukan perkawinan dengan akad

yang sah terlebih dahulu atau tidak?

Akad itu bukan sebagai penentu nasab, akad hanya berkaitan dengan

perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan, akad juga hanya

sebagai penghalalan untuk melakukan campur (jima) antara pasangan

suami istri tersebut. Seorang anak bagaimanapun juga meskipun ia lahir


78

tanpa melalui perkawinan antara kedua orang tuanya terlebih dahulu,

anak tersebut tetap merupakan anak dari ayah dan ibunya.74

74
Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara pada hari sabtu
tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran,
Pameungpeuk Kab. Bandung.
79

5. Wawancara dengan Muhammad Rizal Fadillah., SH (Wakil Ketua PW

Muhammadiyah Jawa Barat)

1. Bagaimana pendapat bapak mengenai status anak yang lahir diluar

perkawinan, apakah menurut Hukum Islam anak tersebut dapat dinasabkan

kepada ayah biologisnya sebagaimana yang tercantum dalam putusan MK?

Saya kira sama dengan hukum perdata pada umumnya, anak yang lahir

diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.

Menurut hukum Islam juga seperti itu anak yang lahir diluar perkawinan

hanya menjadi anak ibunya tidak menjadi anak ayahnya, karena apabila

menjadi anak ayahnya maka apa bedanya antara kawin dan tidak kawin.

Kawin dan tidak kawin adalah sebagai pembeda seorang anak dapat

menjadi anak ayah dan ibunya, apabila kawin maka ia menjadi anak ayah

dan ibunya karena memang legal dan anak tersebut secara hukum menjadi

anak ayah dan ibunya sehingga ia menjadi ahli waris dari ayah dan

ibunya, apabila tidak kawin berarti hal tersebut adalah zina dan status

anak tersebut dari ayahnya menjadi tidak sah karena tidak ada dasar

hukum untuk mengikatkan diri kepada ayahnya, namun anak tersebut

hanya sah menjadi anak dari ibunya saja karena ibulah yang

melahirkannya. Menurut hukum Islam, anak yang lahir diluar perkawinan

tidak boleh memakai bin ayahnya karena pemakaian bin merupakan

sesuatu yang sah, maka dari itu perlu adanya perkawinan. Perkawinan itu

adalah untuk memperjelas nasab dan akibat hukumnya, seperti hak waris

adalah akibat hukum, yaitu dengan adanya perkawinan yang sah sehingga
80

menimbulkan akibat hukum berupa hak waris dari kedua belah pihak,

sedangkan akibat hukum dari tidak dilangsungkannya perkawinan ialah

seseorang tidak dapat menjadi ahli waris. Menjadi ahli waris dan tidak

menjadi ahli waris ialah sebagai bentuk dari akibat hukum tentang hak dan

kewajiban seseorang.

2. Petikan dari bunyi amar putusan MK salah satunya mengenai hubungan

perdata, apa yang termasuk dalam kategori hubungan perdata?

Hubungan perdata ialah hubungan yang bersifat materiil dan yang bersifat

transaksional seperti waris dan status anak. MK tidak mengecualikan

masalah waris dalam putusannya, karena hubungan perdata salah satunya

ialah termasuk hak waris, sehingga putusan ini menimbulkan banyak

permasalahan. Saya sendiri tidak setuju dengan putusan MK, karena

secara tidak langsung dapat melegalkan perzinaan sehingga apa bedanya

antara kawin dan tidak kawin. Hukum Islam sangat tegas mengenai

masalah kawin dan tidak kawin bahkan seseorang yang berzina dihukum

rajam, namun dalam putusan MK tidak diberi sanksi bagi yang melakukan

perzinaan bahkan dilegalkan. Lembaga perkawinan akan menjadi tidak

ada gunanya apabila putusan MK ini dijalankan, karena lembaga

perkawinanlah yang menetapkan status seseorang sebagai anak secara

hukum, suami secara hukum dan istri secara hukum dan apabila putusan

MK dijalankan maka tidak akan ada bedanya antara kawin dan tidak

kawin.
81

3. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak

yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan nasab dengan ayah

biologis nya sehingga berhak untuk saling mewarisi?

Hubungan nasab antara orang tua dengan anak ialah masalah hukum,

dapat disebut sebagai ayah, ibu dan anak yaitu oleh hukum. Dalam Islam

disebut ibnu dan binti, apabila tidak melangsungkan perkawinan maka

tidak ada ibnu atau binti. Seorang anak dapat saja memiliki hubungan

nasab dari kedua orang tuanya namun apabila tidak melalui perkawinan

yang sah, maka seorang anak tidak mempunyai akibat hukum dengan

orang tuanya khususnya dengan ayahnya. Perkawinan berfungsi sebagai

penjelas status anak dan kepastian bahwa anak itu adalah anak ayahnya

yang sah. Teknologi yang ada pada zaman sekarang seperti tes DNA tidak

memberi pengaruh kepada hukum, hanya pengertiannya sebatas nasab

saja, karena nasab tidak identik dengan hukum. Putusan MK merupakan

produk hukum yang bisa menentukan status seseorang sebagai ayah, ibu

dan anak, sehingga ketika tidak ada ikatan perkawinan maka tidak ada

yang disebut sebagai ayah ataupun anak dan tidak ada produk hukum.

Tidak semua nasab berarti produk hukum seperti masalah perzinaan ini,

meskipun anak tersebut lahir dari ayah dan ibunya namun secara hukum ia

tetap bukan anaknya. Syariat Islam membatasi pembuktian hubungan

hukum anak dan ibu yaitu dengan dilahirkannya seorang anak dari rahim

ibunya maka jelas ia mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, namun

mengenai hubungan hukum ayah dengan anaknya tidak cukup hanya


82

dengan satu pembuktian saja yaitu DNA, karena nasab terkait dengan

masalah keabsahan. Islam membatasi mengenai anak yang lahir diluar

perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya hanya

dengan ibunya saja karena ibulah yang melahirkannya.

4. Anak merupakan salah satu ahli waris yang berhak mendapat harta warisan,

apa kriteria seorang anak dapat saling mewarisi dengan kedua orang tuanya

khususnya dengan ayahnya?

Seorang anak disebut sebagai ahli waris karena produk hukum yang sah,

yaitu anak menurut hukum bukan anak menurut kelahirannya karena kita

meninjau dari segi hukumnya. Hukum waris menjadi ada karena dihasilkan

oleh perkawinan yang sah terlebih dahulu. Fungsi hukum dalam Islam

yaitu untuk menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga

keturunan sehingga diadakan yang namanya lembaga perkawinan yaitu

untuk menjaga hal-hal tersebut yang dalam Islam disebut sebagai

maqashid asy-syariah, maka dari itu diadakan lembaga perkawinan,

dengan dilangsungkannya perkawinan maka akan selamat dan terjaga

maqashid asy-syariah tersebut, namun apabila tidak melangsungkan

perkawinan akal menjadi tidak terjaga, jiwanya pun tidak sehat karena

orang sehat hidup berumah tangga dengan melangsungkan perkawinan

terlebih dahulu sehingga ada pengakuan dari masyarakat, dari segi

keturunan menjadi tidak aman karena anak-anaknya tidak bisa membuat

akta kelahiran dan tidak diakui oleh lembaga resmi, sehingga hukum akan

menjadi kacau apabila hal tersebut dilegalkan.


83

5. Bagaimana sikap Muhammadiyah terhadap putusan MK tersebut?

Secara eksplisit kami tidak ada sikap terhadap putusan tersebut, namun

karena Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi Islam yang

menjunjung tinggi agama Islam dan hukum Islam karena hanya hukum

Allah yang bisa mengatur ketertiban sebagaimana kalimat tersebur tertera

dalam muqadimah anggaran dasarnya, berarti Muhammadiyah sudah

pasti tidak akan menerima putusan tersebut bahwa anak yang lahir diluar

perkawinan punya hubungan perdata dengan ayahnya. Putusan MK pada

nantinya banyak yang tidak dapat dijalankan karena hukum itu dapat

berlaku apabila ada dua hal yaitu politik hukum dan kesadaran hukum,

mungkin putusan MK sudah termasuk politik hukum namun kesadaran

hukum masyarakat tidak dapat menerima putusan tersebut, maka tidak

dapat dijalankan. Kita bisa sebut putusan MK ini hanya bersifat produk

semantik dalam arti putusan tersebut hanya berupa produk yang hanya

dibuat saja namun tidak bisa dijalankan oleh masyarakat muslim karena

bertentangan dengan hukum Allah dan bertentangan dengan kesadaran

hukum masyarakat. Hukum yang baik itu mencakup tiga aspek, aspek

filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara filosofis hukum harus memenuhi

rasa keadilan, kita tinjau masalah anak yang lahir diluar perkawinan yang

mendapat waris dari ayahnya, kelihatannya hal tesebut adil namun

sebenarnya tidak adil karena menganiaya orang yang kawin sehingga yang

kawin dan tidak kawin akan menjadi sama dan tidak ada bedanya, karena

keadilan tidak boleh bersifat keadilan kumutatif yaitu keadilan yang


84

bersifat sama. Secara yuridis, prosedur hukumnya apakah sudah ditempuh

dengan benar atau tidak dan sejauhmana majelis konstitusi pada waktu itu

menghadirkan tokoh-tokoh agama dan pakar Hukum Islam untuk dimintai

pendapat. Secara sosiologis, apakah putusan tersebut diterima oleh

masyarakat atau tidak. Berdasarkan uraian tadi dapat disimpulkan apabila

ketiga aspeknya tidak baik maka produk hukumnya pun tidak baik.75

75
Muhammad Rizal Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat), wawancara pada
hari senin tanggal 28 Mei 2012, di PW Muhammadiyah Jawa Barat Jln. Sancang No. 06
Bandung.
85

6. Wawancara dengan Drs. Acep Saifuddin., SH (Hakim Pengadilan Agama

Bandung)

1. Bagaimana pendapat bapak mengenai status anak yang lahir diluar

perkawinan, apakah menurut Hukum Islam anak tersebut dapat dinasabkan

kepada ayah biologisnya sebagaimana yang tercantum dalam putusan MK?

Perlu terlebih dahulu dipahami bahwa putusan MK itu diajukan untuk

menjawab kasus Machica yang telah menikah dengan Moerdiono secara

sirri berdasarkan ketentuan Hukum Islam.

Perkawinan yang dilakukan tersebut apabila telah terpenuhi rukun dan

syarat-syaratnya sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, maka hal tersebut

sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa : Perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Berdasarkan hal diatas, maka perkawinan tersebut

adalah sah secara materiil, namun secara formil perkawinan yang

bersangkutan tidak dicatat di KUA. Hukum Islam (fiqih) memandang

bahwa apabila perkawinan yang telah dilaksanakan memenuhi rukun dan

syarat perkawinan maka perkawinan tersebut adalah sah. Pengujian

mengenai perkawinan sirri yang dilakukan tersebut telah memenuhi rukun

dan syarat-syaratnya tentu harus mengajukan permohonan isbat nikah ke

Pengadilan Agama sehingga mempunyai legalitas hukum, sebagaimana

tercantum dalam Pasal 7 KHI yang menyatakan bahwa:

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
86

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun
1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau
isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.

Perkawinan yang diajukan untuk isbat nikah tersebut apabila telah

dinyatakan sah, maka anak yang lahir dari perkawinan tersebut dalam

kacamata agama sah dan dapat dinasabkan kepada ayah dan ibunya.

Anak yang lahir diluar perkawinan dalam putusan MK tersebut, jangan

dimaknai dengan anak hasil zina. Hal tersebut sebagaimana diklarifikasi

oleh Mahfud MD sendiri bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa

anak yang lahir diluar perkawinan bukan anak hasil zina melainkan

anak hasil perkawinan sirri.

Anak hasil zina dalam pandangan Hukum Islam statusnya sudah jelas

hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya,

karenanya ia tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya.

2. Petikan dari bunyi amar putusan MK salah satunya mengenai hubungan

perdata, apa saja yang termasuk dalam kategori hubungan perdata?

Kategori hubungan perdata yang ditimbulkan akibat lahirnya seorang

anak yaitu:
87

a. Seorang perempuan yang melahirkan, menjadi ibu dari anak yang

dilahirkan.

b. Ayah mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup

anaknya.

c. Adanya hubungan saling mewarisi antara anak dan kedua orang

tuanya.

Adapun untuk memahami hubungan perdata yang dimaksud oleh putusan

MK tentu harus mohon penjelasan kepada MK sendiri yang membuat

putusan dimaksud. Beberapa sumber yang dapat dikutip bahwa yang

dimaksud dengan hubungan perdata dalam putusan MK (menurut Achmad

Sodiki (Wakil Ketua MK) dalam Sitinjau News 12 Mei 2012, hubungan

perdata adalah hubungan yang mengatur hak dan kewajiban seseorang

dengan orang lain. Ketua MK, Mahfud MD juga dalam pernyataannya

pada saat pengajian konstitusi di PP Tebuireng Jombang tanggal 7 April

2012, menyatakan bahwa hubungan keperdataan yang dimaksud dalam

putusan MK adalah hanya sebatas hak dan kewajiban antara anak dan

orang tuanya (orang tua tidak boleh menelantarkan anak walaupun yang

dihasilkan diluar perkawinan), dan hubungan perdata disini tidak terkait

dengan nasab.

3. Apabila salah satu kategori hubungan perdata ialah hak saling mewarisi,

apakah berdasarkan putusan MK tersebut anak yang lahir diluar

perkawinan memiliki hak waris dari ayah dan keluarga ayahnya?

Bagaimana menurut Hukum Islam?


88

Anak tersebut dapat saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya,

dalam pandangan Hukum Islam pun apabila kriteria anak yang lahir

diluar perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya yaitu

bahwa anak yang lahir diluar perkawinan bukan anak hasil zina melainkan

anak hasil perkawinan sirri dan telah disahkan perkawinannya oleh

Pengadilan Agama melalui isbat nikah, maka jelas anak tersebut dapat

saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya, kecuali anak yang

lahir diluar perkawinan dimaknai sebagai anak hasil zina, maka jelas anak

tersebut tidak dapat saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya.

4. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak

yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan nasab dengan ayah

biologisnya sehingga berhak untuk saling mewarisi?

Anak yang lahir diluar perkawinan apabila dikriteriakan sebagaimana

yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu merupakan anak hasil perkawinan

sirri dan bukan merupakan anak hasil zina, maka jelas ia mempunyai

hubungan nasab dengan ayahnya dan mereka dapat saling mewarisi.

5. Hubungan nasab seorang anak dengan orang tuanya terkait hal apa saja?

Apakah kedua orang tuanya harus melakukan perkawinan yang sah terlebih

dahulu atau tidak?

Pertalian nasab kaitannya dengan orang tua laki-laki (ayah), lahir sebagai

akibat dari:

a. Perkawinan yang sah.

b. Perkawinan yang fasid.


89

c. Akibat hubungan badan yang syubhat.

Pertalian nasab kaitannya dengan orang tua perempuan (Ibu), lahir

sebagai akibat dari:

a. Perkawinan yang sah.

b. Perkawinan yang fasid.

c. Akibat hubungan badan yang syubhat.

d. Akibat hubungan badan.

6. Bagaimana sikap Pengadilan Agama terhadap putusan MK tersebut?

Putusan MK secara konstitusi harus dilaksanakan, namun demikian

putusan MK tersebut telah menimbulkan perbedaan pemahaman, oleh

karena itu harus ada penjelasan resmi tentang maksud putusan tersebut.

Sepanjang pemahaman terhadap putusan MK tersebut sebagaimana yang

telah diuraikan sebelumnya yaitu bahwa anak yang lahir diluar

perkawinan bukan merupakan anak hasil zina melainkan anak hasil

perkawinan sirri, maka putusan MK tersebut dapat dipahami.

7. Jika ada kasus seperti ini yang diajukan ke Pengadilan Agama, bagaimana

sikap hakim dalam memutuskan perkara tersebut setelah adanya putusan

MK ini?

Putusan MK telah banyak menimbulkan penafsiran, sehingga Hakim dalam

memutus perkara harus berpijak kepada aturan hukum yang berlaku,

dalam kasus seperti ini aturan hukum yang berlaku yang dapat dipakai

sebagai rujukan yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang


90

Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang

Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan Putusan MK itu sendiri.76

76
Acep Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung), wawancara pada hari selasa tanggal 12
Juni 2012, di Pengadilan Agama Bandung Jln. Terusan Jakarta No. 120 Antapani Bandung.
BAB IV

ANALISIS TERHADAP HAK WARIS ANAK YANG LAHIR

DILUAR PERKAWINAN

A. Analisis Status Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Menurut Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Ditinjau Dari Hukum

Islam

1. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang

merupakan permohonan uji materiil Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP

terhadap Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang

diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica dan Muhammad Iqbal

Ramadhan. Pokok permasalahan hukum dari permohonan yang diajukan para

pemohon yaitu mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-

undangan yakni mengenai makna hukum (legal meaning) dari pencatatan

perkawinan tersebut dan mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yakni

mengenai makna hukum (legal meaning) frasa yang dilahirkan di luar

perkawinan.

Putusan MK menetapkan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di

luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai

91
92

menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut

hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat

tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,

termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;

Berdasarkan Putusan MK tersebut, maka status anak yang lahir diluar

perkawinan dapat mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata

dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan

dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. MK mendasari putusan

tersebut dengan pemikiran bahwa secara alamiah tidaklah mungkin seorang

perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik

melalui hubungan biologis (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan

perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan, oleh karena

itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir

dari suatu kehamilan karena hubungan biologis di luar perkawinan hanya

memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Tidak tepat dan

tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan

biologis yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari

tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum

meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya, lebih-lebih


93

manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat

dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.

Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang

didahului dengan hubungan biologis antara seorang perempuan dengan seorang

laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban

secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.

Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena

adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian

adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.

Terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan

harus mendapatkan perlindungan hukum. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki

kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan

stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan

kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-

hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun

keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, mengenai hubungan

darah anak yang lahir diluar perkawinan dengan ayah biologisnya, penulis

sependapat dengan putusan MK tersebut karena seorang anak dapat dilahirkan

akibat dari adanya suatu percampuran antara ayah dan ibunya, jadi secara darah

anak tersebut jelas mempunyai hubungan dengan kedua orang tuanya karena

didalam diri anak tersebut mengalir darah kedua orang tuanya dan anak tersebut

berasal dari bibit kedua orang tuanya sehingga ia bisa lahir ke dunia ini. Mengenai
94

hubungan perdata anak yang lahir diluar perkawinan dengan ayah biologisnya,

penulis tetap tidak sependapat dengan putusan MK. Ketentuan hukum Islam

menyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan yang dapat pula disebut

sebagai anak hasil zina tidak dapat dinyatakan memiliki hubungan perdata dengan

ayah biologisnya, sebagaimana dalam suatu hadits dinyatakan bahwa:

( :

-
77
.)
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR.
Muttafaq alaih)
Al-Firsy secara etimologi ialah hamparan di atas permukaan bumi. Istilah

ini salah satunya diambil untuk seorang istri. Maksudnya bahwa anak milik orang

yang memiliki al-firsy (laki-laki yang memiliki istri dari perkawinan yang sah).78

Perkawinan sebagai salah satu perbuatan hukum mempunyai akibat hukum

tertentu. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya

perbuatan hukum itu. Perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka

anak yang lahir dari perkawinan itu merupakan anak yang tidak sah. 79 Hubungan

perdata merupakan akibat hukum dari suatu perbuatan hukum yang telah

dilakukan sebelumnya, dalam hal ini hubungan perdata antara anak dengan orang

tuanya akan timbul setelah dilangsungkannya perkawinan yang sah. Pasal 42

77
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Ibnu Katsir, Juz 2
(Hadits No. 1948), Beirut, 1987, hlm. 724. Lihat juga Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar
Ihya at-Turats al-Araby, Juz 2 (Hadits No. 36 (1457)), Beirut, tt, hlm. 1080.
78
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram , Pustaka Azzam, Jakarta,
2006, hlm. 699.
79
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. ke-8, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987,
hlm. 15.
95

UUP mendefinisikan: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau

sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, dari ketentuan tersebut jelas dapat dipahami

bahwa yang dapat dikatakan sebagai anak yang sah yang secara otomatis dapat

mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan ibunya ialah anak yang lahir

akibat dari perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah menurut UUP yaitu

perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama, dari ketentuan ini

dapat dipahami pula bahwa yang menjadi tolak ukur seorang anak dapat memiliki

hubungan perdata dengan ayahnya ialah apabila ia dilahirkan akibat dari

perkawinan yang sah yang didasarkan pada ketentuan agama yaitu agama Islam

yang berpegang pada ketentuan Allah, bukan pada ketentuan manusia. Ketentuan

Allah tidak dapat dikesampingkan oleh ketentuan apapun apalagi oleh ketentuan

manusia. Penulis berpendapat bahwa mengenai hubungan perdata seorang anak

yang lahir diluar perkawinan hanya kepada ibu dan keluarga ibunya saja, karena

seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan dengannya

yang terjadi secara alamiah karena ibulah yang mengandung dan melahirkan anak

tersebut. Seorang anak dapat mempunyai hubungan sebagai anak sah dengan

ayahnya tidak dapat terjadi secara alamiah sebagaimana yang terjadi pada ibu

namun terjadi secara hukum, maksudnya ialah bahwa ayah dari anak tersebut

haruslah mempunyai ikatan hukum dengan ibunya yaitu ikatan perkawinan yang

sah menurut agama Islam, jika antara ayah dan ibunya tidak ada ikatan

perkawinan yang sah maka anak yang lahir tidak dapat dikatakan mempunyai
96

hubungan perdata dengan ayahnya hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibu dan keluarga ibunya saja.

2. Menurut Hukum Islam

Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang

sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan

mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Hakikatnya setiap anak yang lahir

berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun

hukum Islam memberikan ketentuan lain.80 Hubungan nasab atau hubungan

kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat

kelahiran.81 Seorang laki-laki dan perempuan setelah melangsungkan akad

perkawinan akan menjadi sah dan halal melakukan hubungan biologis, yang

kemudian akan lahir seorang bayi. Sejak adanya bayi itu maka terciptalah

hubungan hukum nasab, bayi tersebut mempunyai hubungan hukum sebagai anak,

yang laki-laki sebagai anak laki-laki (ibnun) dan yang perempuan sebagai anak

perempuan (bintun), sedangkan pihak laki-laki yang berakad yaitu suami

mempunyai hubungan hukum nasab sebagai ayah (abun) dan pihak perempuan

yaitu istri mempunyai hubungan hukum nasab sebagai ibu (ummun). Bayi yang

lahir meskipun pembuahan antara sperma dan ovum dari suami istri yang sah

tersebut dilakukan melalui proses tabung, tetap saja hubungan hukum itu berlaku

80
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, No 1/1974 sampai KHI), Prenada Media, Jakarta, 2004,
hlm. 276.
81
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 175.
97

sama dikarenakan adanya status akad perkawinan yang sah yang

mendahuluinya.82

Seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan

kerabat atau nasab dengan ibu yang melahirkannya, karena anak tersebut jelas

keluar dari rahim ibunya dan tidak ada seorangpun yang membantah mengenai hal

ini. Hubungan keibuan ini bersifat alamiah dan telah berlaku sejak adanya

kelahiran anak tersebut. Hubungan nasab anak dengan laki-laki yang

menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan, apabila dapat dipastikan secara

hukum bahwa laki-laki tersebut adalah yang mengawini ibunya dan yang

menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan, maka hubungan nasab atau kerabat

seorang anak berlaku pula dengan laki-laki itu, yang selanjutnya laki-laki itu

disebut sebagai ayahnya. Hubungan keibuan dapat berlaku secara alamiah, namun

hubungan keayahan hanya dapat berlaku secara hukum.83

Menurut Hukum Islam hubungan hukum nasab antara anak yang

dilahirkan diluar perkawinan yang sah dengan ayah biologisnya tidak akan pernah

dinyatakan ada tanpa adanya akad perkawinan sah yang menyebabkannya. Islam

tidak mengenal ketentuan mengenai pengesahan anak, meskipun menurut aturan

hukum diluar Islam pengesahan anak dikenal, yang mana dengan pengakuan anak

maka anak yang tidak mempunyai hubungan sah melalui upaya hukum bisa

berubah menjadi dinyatakan sah. Seorang perempuan yang melahirkan karena

dijalin oleh ikatan perkawinan yang sah, maka tanpa suatu perbuatan hukum

apapun suami perempuan tersebut akan mempunyai hubungan hukum nasab

82
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 101.
83
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 175-176.
98

sebagai ayah sah sebagaimana perempuan itu menjadi ibu sah dari anak yang

dilahirkannya.84 Al-Quran surat An-Nahl ayat 72 menyatakan:

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?".85
Maksud dari ayat tersebut ialah bahwa sama halnya seperti pemberian

rezeki yaitu hanya dari yang baik, pemberian anak cucu juga hanya dari yang

baik-baik yakni karena ikatan perkawinan yang sah bukan zina yang keji.

Ketentuan yang serupa sebagaimana dikemukakan dalam UUP Pasal 42 yang

berbunyi: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

dari perkawinan yang sah.86

Pandangan fiqih berkenaan dengan anak sah jika dianalisis dapatlah

dipahami bahwa anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel

telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi

ini haruslah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari sinilah penetapan anak sah

tersebut dilakukan.87 Penentuan nasab seorang anak kepada seorang lelaki sebagai

ayahnya adalah bagian dari akad dalam perkawinan yang sah. Hal ini meskipun

terbukti terdapat hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya melalui tes

84
Ibid, hlm. 102.
85
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, CV. Gema Risalah Press,
Bandung, 1993, hlm. 412.
86
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 106-107.
87
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.cit, hlm. 279.
99

DNA, karena sebagaimana dijelaskan di atas nasab anak kepada ayahnya hanya

didasarkan pada pengakuan hukum (syariat), bukan hubungan alamiah.88

Penyebab haqiqi hubungan kekerabatan antara seorang anak dengan ayah

nya ialah hasil dari pertemuan dua bibit yang menyebabkan pembuahan dan

menghasilkan janin dalam rahin ibu. Hal tersebut tidak mungkin diketahui oleh

siapa pun kecuali Allah swt, karena hukum harus didasarkan kepada sesuatu yang

nyata dan dapat diukur serta dipersaksikan. Sesuatu yang dapat dipersaksikan dan

yang menimbulkan anggapan kuat bahwa sebab haqiqi yang disebutkan diatas

terdapat padanya. Sesuatu hal yang nyata yang dijadikan pengganti sebab haqiqi

yang tidak nyata itu, dikalangan ulama ushul fiqih disebut mazhinnah.

Mazhinnah yang dapat dijadikan sebagai sebab hubungan kekerabatan

antara seorang anak dengan ayahnya ialah akad perkawinan yang sah, yang telah

berlaku antara seorang laki-laki dan ibu yang melahirkan anak tersebut, yang

selanjutnya akad perkawinan tersebut yang menjadi faktor penentu hubungan

kekerabatan itu. Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa hubungan

kekerabatan berlaku antara seorang anak dengan seorang laki-laki sebagai

ayahnya, apabila anak tersebut lahir dari hasil atau akibat perkawinan yang sah

yang berlaku antara seorang laki-laki dengan ibu yang melahirkannya.89

Jumhur ulama berpendapat bahwa hanya akad perkawinan yang sah belum

menjamin hubungan kekerabatan atau nasab yang sah. Sahnya hubungan nasab

disamping akad perkawinan yang sah, disyaratkan pula bahwa diantara suami-istri

88
http://isim-hikmah.blogspot.com/2012/02/hukum-menetapkan-nasab-seorang-anak.html
diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
89
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 176.
100

diduga kuat telah berlangsung hubungan biologis. Pihak ulama Hanafiyah

mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut mereka, adanya akad perkawinan

yang sah sudah cukup untuk menetapkan hubungan nasab antara anak dengan

ayahnya. Menurut ulama ini, anak yang lahir adalah anak yang sah dari laki-laki

yang mengawini ibu tersebut.90

Pendapat ulama Hanafiyah tersebut cukup mudah untuk menetapkan

hubungan nasab antara seorang anak dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya,

yaitu dengan adanya akad perkawinan yang sah antara laki-laki itu dengan ibu

yang melahirkannya. Menurut pandangan jumhur ulama justru masih diperlukan

lagi pembuktian selanjutnya, bahwa hubungan biologis antara keduanya memang

pernah terjadi dan hubungan biologis yang menghasilkan pembuahan itu berlaku

saat ikatan perkawinan masih ada, walaupun kelahiran berlaku pada waktu

hubungan perkawinan telah putus.91

Semua ulama sepakat bahwa anak yang dilahirkan adalah anak yang sah

bagi seorang suami apabila anak tersebut lahir tidak kurang dari waktu minimal

yang ditentukan dan tidak melebihi waktu maksimal yang ditetapkan. Anak yang

lahir sewaktu ikatan perkawinan masih berlangsung, yang diukur adalah waktu

minimal yaitu jarak waktu minimal antara perkawinan dengan kelahiran. Anak

yang lahir setelah hubungan perkawinan putus yang diukur adalah waktu

maksimal, yaitu jarak waktu antara putus perkawinan dengan kelahiran. Para

ulama mujtahid terdahulu sepakat bahwa minimal waktu hamil adalah 6 bulan.

Hal ini sesuai dengan kenyataan yang berlaku sampai sekarang. Kehamilan 6

90
Ibid, hlm. 177.
91
Ibid, hlm. 178.
101

bulan telah menghasilkan janin yang sempurna sedangkan kurang dari waktu itu

janin belum sempurna untuk lahir dalam keadaan hidup. Batas minimal waktu

hamil itu selaras pula dengan petunjuk Al-Quran apabila kita hubungkan dua ayat

yang menyatakan masa menyusui sebagaimana tersebut dalam surat Luqman ayat

14 yaitu 24 bulan dengan surat Al-Ahqaf ayat 15 yang menyatakan masa hamil

dan menyusui yaitu 30 bulan. Berdasarkan kedua ayat tersebut apabila

dihubungkan dapat kita simpulkan bahwa masa hamil tidak mungkin kurang dari

6 bulan. Batas minimal waktu hamil antara akad perkawinan dan kelahiran itu

adalah 6 bulan untuk menetapkan sahnya hubungan nasab dengan laki-laki yang

menikahi ibunya, berlaku dalam perkawinan yang normal yaitu perempuan

tersebut bebas dari kehamilan hasil perzinaan.92

Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa maksimal masa hamil adalah dua

tahun. Pendapat ini mereka dasarkan pada atsar Aisyah yang menyatakan bahwa

janin tidak mungkin tinggal dalam perut ibunya lebih dari dua tahun. Berdasarkan

penelitiannya, Imam Syafii menetapkan maksimal masa hamil adalah empat

tahun. Pendapat yang kuat dikalangan Malikiyah juga empat tahun, demikian pula

dalam kalangan ulama Hanabilah, walaupun ada yang menukilkan pendapat dari

Imam Ahmad yang mengatakan dua tahun.93

Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan

dari hubungan perkawinan yang sah secara syari atau dengan kata lain buah dari

hubungan haram antara laki-laki dan wanita. Anak yang lahir karena perbuatan

zina adalah keturunan dari ibunya karena jelas terlihat wanita tersebut yang

92
Ibid, hlm. 179.
93
Ibid, hlm. 179-180.
102

melahirkan dan tidak diragukan lagi. Penentuan seorang laki-laki yang

mempunyai hubungan nasab sebagai ayah dengannya dapat dilakukan jika ada

seorang laki-laki yang mengakuinya anak, tetapi laki-laki itu tidak mengakuinya

lahir dari perbuatan zina dengan ibu anak itu. Anak tersebut dapat dinasabkan

kepadanya jika syarat-syaratnya telah terpenuhi, namun jika laki-laki itu berkata

bahwa anak itu adalah anaknya dari hasil perbuatan zina, maka menurut jumhur

ulama anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya. Nasab atau keturunan adalah

sebuah nikmat dan itu tidak bisa diperoleh dari perbuatan tercela, sedangkan

balasan yang sesuai untuk perbuatan zina adalah adzab.94

Adapun dasar-dasar untuk menetapkan nasab dari seorang anak kepada

ayahnya bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :

a. Melalui perkawinan yang sah.

Para ulama fiqih sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad

yang sah apabila melahirkan maka anak tersebut dinasabkan kepada suaminya

itu.95 Pendapat mereka tersebut didasarkan antara lain pada hadits berikut ini:

( :

-
96
.)
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR.
Muttafaq alaih) 97

94
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Cet. ke-1, Senayan Abadi
Publishing, Jakarta, 2004, hlm. 401.
95
http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_JUmni%20Nelli.pdf diunduh pada tanggal
24 Mei 2012.
96
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Op.cit, hlm. 724.
97
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Op.cit, hlm. 699.
103

b. Nasab yang ditetapkan melalui perkawinan fasid.

Perkawinan fasid adalah perkawinan yang dilangsungkan dalam keadaan

cacat syarat sahnya, misalnya mengawini wanita yang masih dalam masa iddah.

Kesepakatan ulama fiqih dalam penetapan nasab anak yang lahir dalam

perkawinan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam perkawinan yang sah.

c. Nasab yang disebabkan karena senggama syubhat.

Senggama syubhat yang dimaksud ialah terjadinya hubungan seksual

antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dalam keyakinannya adalah

isterinya. Nasab disini menjadi diakui bukan karena terjadinya perkawinan yang

sah dan bukan pula karena adanya senggama dalam akad yang fasid dan bukan

pula dari perbuatan zina tetapi karena telah terjadi kesalahdugaan, misalnya dalam

keadaan malam yang gelap seorang laki-laki menyenggamai seorang wanita yang

menurut keyakinannya adalah isterinya. Kasus seperti ini jika wanita itu hamil dan

melahirkan setelah enam bulan sejak terjadinya senggama syubhat dan sebelum

masa maksimal kehamilan maka anak yang lahir itu dinasabkan kepada laki-laki

yang menyenggamainya, akan tetapi jika anak itu lahir setelah masa maksimal masa

kehamilan maka anak itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki itu.98

Mengenai status anak yang lahir diluar perkawinan, Prof. Dr. H.M. Salim

Umar., MA (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat) berpendapat bahwa:

Menurut fiqih anak yang lahir diluar perkawinan (zina) tidak mempunyai
hubungan dengan ayah dan keluarga ayah sehingga anak tersebut hanya
menjadi anak ibunya karena tidak menggunakan ijab qobul, sedangkan
dalam kasus Machica dan Moerdiono menggunakan ijab qobul.

98
http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_JUmni%20Nelli.pdf diunduh pada tanggal
24 Mei 2012
104

Permintaan Machica pada MK hanya untuk mengesahkan anaknya tetapi


keputusan MK terlalu luas, semua anak yang dilahirkan diluar perkawinan
dianggap mempunyai hubungan dengan orang tua khususnya ayah, dan ini
yang bertentangan dengan fiqih. Anak diluar perkawinan menurut Islam
tetap tidak bernasab kepada ayahnya, karena tidak memenuhi syarat dan
tidak terjadi ijab qobul antara suami dan istri tersebut. Hubungan suami-
istri baru dapat dilakukan apabila telah menjadi suami istri yang sah
dengan melakukan perkawinan yang sah yang memenuhi syarat-syarat
perkawinan menurut agama yaitu mempelai laki-laki, mempelai wanita,
wali, 2 orang saksi dan ijab qobul.99
Mengenai putusan MK yang berkaitan dengan masalah anak yang lahir

diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga

ayahnya, Dr. Mujiyo., M.Ag (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar)

mengemukakan pendapatnya bahwa:

Berkenaan dengan kasus Machica sebagai dasar diputusnya putusan MK


tersebut, yang menyatakan bahwa antara Machica dan Moerdiono telah
terjadi perkawinan yang sah secara agama dan telah memenuhi syarat
perkawinan yang lima (5) yaitu calon suami, calon istri, wali, saksi, ijab
qobul, sehingga putusan MK tersebut menurut fiqih sudah tepat dan benar.
Perkawinan yang semacam itu sering kita sebut dengan nikah sirri, dan NU
berpendapat bahwa nikah sirri adalah sah karena telah sesuai dan
memenuhi syarat perkawinan yang lima (5). Status anak apabila
didasarkan kepada kasus Machica yang merupakan dasar diputusnya
putusan MK atau dengan kata lain kasus nikah sirri, maka anak dapat
dinasabkan kepada ayahnya, karena telah terjadi perkawinan yang sah
menurut agama antara ayah dan ibunya.100

Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis)

mempunyai pendapat mengenai anak yang lahir diluar perkawinan antara lain

ialah sebagai berikut:

Mengenai anak diluar perkawinan apabila anak itu benar merupakan anak
dari ayah dan ibunya maka anak itu tentunya bernasab kepada orang
tuanya. Seorang anak tidak terkait masalah perkawinan, apabila diketahui

99
M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), wawancara pada hari senin
tanggal 21 Mei 2012, di MUI Propinsi Jawa Barat Jl. RE.Martadinata No.105 Bandung.
100
Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jawa Barat), wawancara pada hari rabu
tanggal 23 Mei 2012, di PW Nahdlatul Ulama Jawa Barat Jln. Terusan Galunggung No. 09
Bandung.
105

benar bahwa anak tersebut adalah anak dari ayah dan ibunya maka
bagaimanapun juga seorang anak tetaplah anak dari kedua orang tuanya
meskipun tanpa terjadi perkawinan antara ayah dan ibunya. Nasab
merupakan suatu hubungan antara orang tua dengan anak, nisbat kepada
laki-laki sebagai ayah dan nisbat kepada perempuan sebagai ibu, apabila
anak itu benar-benar merupakan anak dari kedua orang tuanya maka ia
adalah anak dari kedua orang tuanya dan bernasab keduanya. Anak yang
lahir diluar perkawinan maupun yang lahir dari perkawinan yang sah tetap
bernasab kepada ayahnya, karena secara biologis ia adalah anak dari ayah
dan ibunya. Hubungan nasab tidak terkait dengan akad perkawinan yang
sah, karena akad itu hanya sebagai pengesahan hubungan suami istri.101
Hal senada dinyatakan pula oleh Usman Shalehuddin (Ketua Dewan

Hisbah Pimpinan Pusat Persis) mengenai anak yang lahir diluar perkawinan yaitu:

Menurut syariat Islam anak yang lahir itu adalah anak ayahnya, adapun
akibat dari pada kelakuan kedua orang tuanya yang melakukan campur
diluar perkawinan ialah merupakan tanggung jawab meraka, tetapi tetap
yang lahir itu adalah anaknya dan sebagai ahli waris. Melalui teknologi
sekarang seperti tes DNA, dapat dibuktikan dengan jelas bahwa ia adalah
anaknya. Akad dalam perkawinan fungsinya untuk menghalalkan yang
asalnya haram, kelahiran seorang anak tidak ada kaitannya dengan halal
haramnya percampuran itu, ia tetap sebagai anak dan tetap sebagai ahli
waris karena apabila tidak diakui anak tersebut bisa melangsungkan
perkawinan dengan ayahnya. Kami sudah menetapkan hukum yang jelas
yaitu bahwa anak yang lahir tanpa perkawinan itu adalah anaknya. Anak
tersebut tetap mendapat hak waris dari kedua orang tuanya apabila anak itu
tidak mendapat hak waris berarti ia bukan sebagai ahli waris dan nanti bisa
menjadi sah untuk melangsungkan perkawinan dengan ayahnya. 102
Muhammad Rizal Fadillah., SH (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa

Barat) berpendapat mengenai anak yang lahir diluar perkawinan yaitu:

Saya kira sama dengan hukum perdata pada umumnya, anak yang lahir
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.
Menurut hukum Islam juga seperti itu anak yang lahir diluar perkawinan
hanya menjadi anak ibunya tidak menjadi anak ayahnya, karena apabila
menjadi anak ayahnya maka apa bedanya antara kawin dan tidak kawin.
Kawin dan tidak kawin adalah sebagai pembeda seorang anak dapat
101
Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara pada hari sabtu
tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran,
Pameungpeuk Kab. Bandung.
102
Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara pada hari
sabtu tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran,
Pameungpeuk Kab. Bandung.
106

menjadi anak ayah dan ibunya, apabila kawin maka ia menjadi anak ayah
dan ibunya karena memang legal dan anak tersebut secara hukum menjadi
anak ayah dan ibunya sehingga ia menjadi ahli waris dari ayah dan ibunya,
apabila tidak kawin berarti hal tersebut adalah zina dan status anak
tersebut dari ayahnya menjadi tidak sah karena tidak ada dasar hukum
untuk mengikatkan diri kepada ayahnya, namun anak tersebut hanya sah
menjadi anak dari ibunya saja karena ibulah yang melahirkannya. Menurut
hukum Islam, anak yang lahir diluar perkawinan tidak boleh memakai bin
ayahnya karena pemakaian bin merupakan sesuatu yang sah, maka dari itu
perlu adanya perkawinan. Perkawinan itu adalah untuk memperjelas nasab
dan akibat hukumnya, seperti hak waris adalah akibat hukum, yaitu akibat
dari perkawinan yang sah sehingga menimbulkan akibat hukum berupa
hak waris dari kedua belah pihak, sedangkan akibat hukum dari tidak
dilangsungkannya perkawinan ialah seseorang tidak dapat menjadi ahli
waris. Menjadi ahli waris dan tidak menjadi ahli waris ialah sebagai
bentuk dari akibat hukum tentang hak dan kewajiban seseorang.103
Mengenai petikan dari bunyi amar putusan MK yang membahas tentang

anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan

keluarga ayahnya, Drs. Acep Saifuddin., SH (Hakim Pengadilan Agama

Bandung) berpendapat mengenai hal tersebut yang mana ia menjelaskan bahwa:

Perlu terlebih dahulu dipahami bahwa putusan MK itu diajukan untuk


menjawab kasus Machica yang telah menikah dengan Moerdiono secara
sirri berdasarkan ketentuan Hukum Islam. Perkawinan yang dilangsungkan
tersebut apabila telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya sesuai dengan
ketentuan Hukum Islam, sebagaimana hal tersebut sesuai pula dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP yang menyatakan bahwa: Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Berdasarkan hal diatas, maka perkawinan yang
terjadi pada kasus Machica yang telah melangsungkan perkawinan dengan
Moerdiono secara sirri berdasarkan ketentuan Hukum Islam adalah sah
secara materiil, namun secara formil perkawinan yang bersangkutan tidak
dicatat di KUA.

Hukum Islam (fiqih) memandang bahwa apabila perkawinan yang telah


dilaksanakan memenuhi rukun dan syarat perkawinan maka perkawinan
tersebut adalah sah. Adapun pengujian mengenai perkawinan sirri yang
dilakukan apakah telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya tentu harus
mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama sehingga

103
Muhammad Rizal Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat), wawancara pada
hari senin tanggal 28 Mei 2012, di PW Muhammadiyah Jawa Barat Jln. Sancang No. 06
Bandung.
107

mempunyai legalitas hukum. Perkawinan yang diajukan untuk isbat nikah


tersebut apabila telah dinyatakan sah, maka anak yang lahir dari
perkawinan tersebut dalam kacamata agama sah dan dapat dinasabkan
kepada ayah dan ibunya. Anak hasil zina dalam pandangan Hukum Islam
statusnya sudah jelas hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan
keluarga ibunya, karenanya ia tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah
biologisnya. Anak yang lahir diluar perkawinan dalam putusan MK
tersebut, jangan dimaknai dengan anak hasil zina. Hal tersebut
sebagaimana diklarifikasi oleh Mahfud MD sendiri bahwa yang dimaksud
majelis dengan frasa anak yang lahir diluar perkawinan bukan anak hasil
zina melainkan anak hasil perkawinan sirri.104

Berdasarkan uraian diatas penulis sependapat dengan pendapat dari Prof.

Dr. H.M. Salim Umar., MA (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), Dr.

Mujiyo., M.Ag (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar), Muhammad

Rizal Fadillah., SH (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat) dan Drs. Acep

Saifuddin., SH (Hakim Pengadilan Agama Bandung) namun tidak sependapat

dengan pendapat dari Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat

Persis) dan Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis).

Penulis berpendapat bahwa anak yang lahir diluar perkawinan tidak dapat

dikatakan memiliki hubungan nasab dengan ayahnya akan tetapi ia hanya

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja Hal ini sesuai dengan Pasal 100

KHI telah menjelaskan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.105 Nasab

seorang anak kepada ayahnya hanya dapat ditentukan secara hukum bukan secara

alamiah sebagaimana penentuan nasab anak kepada ibunya, karena jelas dan tidak

dapat diragukan lagi bahwa ibulah yang mengandung dan melahirkan anak

104
Acep Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung), wawancara pada hari selasa tanggal
12 Juni 2012, di Pengadilan Agama Bandung Jln. Terusan Jakarta No. 120 Antapani Bandung.
105
Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Jakarta, 1992, hlm. 47.
108

tersebut, sehingga setelah anak dilahirkan secara otomatis ia mempunyai

hubungan nasab dengan ibunya.

Penentuan nasab seorang anak kepada ayahnya dapat berlaku secara

hukum, dalam arti harus terjadi akad perkawinan yang sah antara laki-laki yang

menyebabkan ibu itu hamil dan melahirkan, karena percampuran (hubungan

biologis) baru dapat dilakukan setelah akad perkawinan yang sah dilangsungkan

oleh seorang laki-laki dan perempuan. Hukum Islam menjelaskan anak yang lahir

diluar kawin dapat pula dikategorikan sebagai anak yang lahir akibat perbuatan

zina. Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Hal ini

diungkapkan dalam al-Quran surat Al-Isra ayat 32:

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu

perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.106

Perbuatan zina tersebut dapat mengakibatkan ketidakjelasan keturunan.

Ketika lahir anak tersebut merupakan anak hasil dari perbuatan zina kedua orang

tuanya dan hal itu akan menimbulkan keraguan mengenai siapa bapak dari anak

tersebut. Setiap anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah ialah mutlak

menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuan darinya. Anak yang

lahir diluar perkawinan dalam Islam disebut sebagai anak hasil zina, anak ini lahir

tanpa adanya suatu ikatan perkawinan yang sah antara laki-laki yang menjadi

106
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 429.
109

ayahnya dengan ibunya, sehingga jelas anak tersebut hanya mempunyai hubungan

nasab dengan ibu dan keluarga ibunya saja.

Mengenai petikan dari bunyi amar putusan MK yang salah satunya

menyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan

perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, penulis berpendapat sepanjang

kalimat anak yang lahir diluar perkawinan tersebut ditafsirkan seperti yang terjadi

pada kasus Machica dan Moerdiono yang merupakan dasar diputuskannya

putusan MK ini yang mana kasus tersebut sering kita kenal dengan sebutan

perkawinan sirri, maka anak yang lahir tetap dinasabkan kepada ayah dan ibunya,

karena perkawinan semacam ini (perkawinan sirri) ialah perkawinan yang telah

sah secara agama dan telah terpenuhi syarat dan rukunnya namun tidak dicatatkan

di Petugas Pencatat Perkawinan. Perkawinan seperti ini hanya tidak sah secara

administrasi karena tidak ada pencatatan, namun secara agama perkawinan

tersebut telah sah sehingga anak yang dilahirkan pun dapat dinasabkan kepada

ayah dan ibunya.

B. Analisis Hak Waris Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Menurut Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Ditinjau Dari Hukum

Islam

1. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Putusan MK yang diputus pada tanggal 13 Februari 2012 menjelaskan,

bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP yang menyatakan:


110

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan


perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya harus dibaca, Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya

Petikan dari bunyi amar putusan MK salah satunya membahas mengenai

hubungan perdata. Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat yaitu Prof. Dr.

H.M. Salim Umar., MA berpendapat bahwa yang termasuk kategori hubungan

perdata antara lain ialah berhak mendapatkan waris, ayahnya dapat menjadi wali

dan dapat dianggap sebagai keturunan yang sah dari ayahnya. 107 Dr. Mujiyo.,

M.Ag (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar) menyatakan bahwa:

Hubungan perdata yaitu hubungan keluarga dan hubungan ekonomi, dalam


hubungannya antara orang tua dan anak yaitu berkaitan dengan:
a. Hubungan nasab (dari garis keturunan yang sah).
b. Hak asuh (nafkah).
c. Hak waris.
d. Hak wali apabila anaknya perempuan.108
Menurut Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat, Muhammad Rizal

Fadillah., SH bahwa hubungan perdata ialah hubungan yang bersifat materiil dan

yang bersifat transaksional seperti waris dan status anak.109 Drs. Acep Saifuddin.,

SH (Hakim Pengadilan Agama Bandung) mengemukakan bahwa:

Kategori hubungan perdata yang ditimbulkan akibat lahirnya seorang anak


yaitu:
a. Seorang perempuan yang melahirkan, menjadi ibu dari anak yang
dilahirkan.
b. Ayah mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup
anaknya.

107
M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), Op.cit.
108
Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar), Op.cit.
109
Muhammad Rizal Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat), Op.cit.
111

c. Adanya hubungan saling mewarisi antara anak dan kedua orang


tuanya.110

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas bahwa yang termasuk kategori

hubungan perdata salah satunya ialah menyangkut masalah hak waris, apabila dari

putusan MK tersebut menyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan dapat

mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, maka

berdasarkan hal tersebut pula anak yang lahir diluar perkawinan dapat memiliki

hak untuk saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya.

Penulis tidak sependapat dengan putusan MK yang menyatakan bahwa

anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan

keluarga ayahnya, yang berarti pula anak tersebut mempunyai hak saling

mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya dikarenakan adanya hubungan

perdata diantara keduanya. Menurut hukum kewarisan Islam, ada tiga faktor

terjadinya kewarisan, yaitu karena hubungan kekerabatan (nasab), karena

perkawinan, karena wala (memerdekakan budak).111 Seorang anak dapat

memiliki hak saling mewarisi dengan ayahnya dikarenakan adanya hubungan

nasab antara keduanya. Kedudukan seorang anak sebagai ahli waris yang

mempunyai hubungan nasab dengan kedua orang tuanya dipengaruhi oleh

perkawinan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, apabila perkawinan ayah

dan ibunya sah maka anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan menjadi ahli

waris dari kedua orang tuanya, namun apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak

110
Acep Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung), Op.cit.
111
A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, hlm. 8.
112

sah maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan

keluarga ibunya.112 Sebagaimana dalam suatu hadits dinyatakan bahwa:


:
(
113
)
Dan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya
Nabi saw bersabda, Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu adalah
anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi. (HR Tirmidzi).114
Hal ini sesuai dengan Pasal 186 KHI yang menyatakan: Anak yang lahir

di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya

dan keluarga dari pihak ibunya.115

2. Menurut Hukum Islam

Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Penyebab

pertama terjadinya kewarisan adalah adanya hubungan perkawinan, apabila

perkawinan telah berlangsung maka resmilah ada pasangan suami istri yang

kemudian lahir keturunan dari pasangan tersebut yakni seorang anak. Sahnya

hubungan nasab bukan saja telah terjadi akad perkawinan, akan tetapi harus pula

terjadi hubungan biologis antara suami-istri.116 Anak yang lahir diluar perkawinan

112
http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2011/05/Modul-Hukum-Waris-5-Pada-Ahli-
Waris.pdf diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
113
Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dhohhak at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar al-
Gharbu al-Islamiy, Juz 3 (Hadits No. 2113), Beirut, 1996, hlm. 615.
114
Muammal Hamidy, Imron A.M dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar Himpunan
Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 2068.
115
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 77.
116
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 65.
113

yang sah menurut agama disebut dengan anak zina. Pengertian ini sangat tegas

menyatakan bahwa yang menjadi ukuran adalah hukum agama. Status hukum

anak yang lahir akibat perzinaan tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya.117

Para ulama sepakat bahwa anak yang lahir kurang dari enam bulan

terhitung sejak akad perkawinan dilangsungkan tidak dapat dinasabkan kepada

ayahnya. Para ulama Syiah bahkan menegaskan bahwa anak zina selain tidak

bisa dinasabkan kepada ayahnya juga tidak bisa dinasabkan kepada ibunya. Ini

dimaksudkan agar setiap orang hati-hati dalam menjaga diri dan kehormatan diri

dan keturunannya. Para ulama berbeda pendapat mengenai tenggang waktu enam

bulan tersebut. Imam Malik dan Imam Syafii berpendapat jika seorang laki-laki

mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah, dalam

waktu kurang dari enam bulan kemudian wanita tersebut melahirkan anak setelah

enam bulan dari akad perkawinannya bukan dari masa berkumpulnya maka anak

yang dilahirkan itu tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang

menyebabkannya mengandung. Batasannya ialah akad perkawinan yang

dilangsungkan bukan perbuatan zinanya. Secara biologis misalnya melalui tes

darah, mungkin saja laki-laki tersebut adalah ayahnya tetapi secara hukum tidak

bisa dibenarkan. Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu

tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya, oleh karena itu anak yang

dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada ayahnya sebagai anak sah. 118 Dasar

hukum yang digunakan adalah petunjuk umum sabda Rasulullah saw:

117
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Cet. ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 127.
118
Ibid, hlm. 128-129.
114

( :

-
119
.)
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR.
Muttafaq alaih)
Hadits yang serupa diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaq

alaih) yang bersumber dari Aisyah serta diriwayatkan oleh An-Nasai yang

bersumber dari Ibnu Masud dan diriwayatkan oleh Abu Daud yang bersumber

dari Utsman. Hadits riwayat An-Nasai dari sumber Ibnu Masud adalah shahih

dan para perawinya tsiqah (terpercaya). Adapun hadits dari Utsman yang

diriwayatkan Abu Daud, para perawi haditsnya tsiqah.120

Penjelasan diatas menegaskan bahwa menurut mayoritas Ulama, anak zina

tidak mewarisi dari ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab

diantara mereka, anak zina hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, begitu

juga sebaliknya ibunya dan saudara-saudaranya yang seibu yang bisa mewarisi

harta peninggalannya.121

Hubungan kewarisan anak hasil perbuatan zina hanya dari pihak ibunya

saja tidak dengan pihak laki-laki yang menggauli ibunya, hal ini disebabkan

terjadinya hubungan nasab antara anak yang lahir dengan ibunya adalah secara

alamiah, dalam arti kelahiran anak tersebut secara otomatis menimbulkan

hubungan nasab antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan tanpa

memperhatikan bagaimana cara ibu itu mendapatkan kehamilan dan status hukum
119
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Op.cit, hlm. 724.
120
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Op.cit, hlm. 699.
121
Ahmad Rofiq, Op.cit, hlm. 129.
115

dari laki-laki yang menggauli ibu itu. Hubungan nasab antara anak dengan ayah

tidak ditentukan oleh sebab alamiah, tetapi semata-mata oleh sebab hukum artinya

telah berlangsung hubungan akad perkawinan yang sah antara ibu dengan ayah

yang menyebabkan anak itu lahir. Anak hasil perbuatan zina tidak mempunyai

status hukum seperti ini, oleh karena itu ia hanya mempunyai hubungan kewarisan

dengan ibunya dan orang-orang yang berhubungan nasab dengan ibunya dan tidak

mempunyai hubungan kewarisan dengan ayahnya.122

Perbuatan zina tidak menetapkan hubungan nasab antara anak dengan laki-

laki yang membuahi ibunya, untuk selanjutnya tidak ada hubungan kewarisan

diantara keduanya. Menurut Hukum Islam tidak ada cara apapun untuk dapat

menyebabkan sahnya anak tersebut mendapatkan warisan dari laki-laki yang

membuahi ibunya, meskipun Hukum Islam memperbolehkan untuk mengawini

perempuan yang hamil karena zina.123 Sebagaimana dalam suatu hadits

dinyatakan bahwa:


:
(
124
)
Dan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya
Nabi saw bersabda, Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu adalah
anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi. (HR Tirmidzi).125

122
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 148-149.
123
Ibid, hlm. 182.
124
Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dhohhak at-Tirmidzi, Op.cit, hlm. 615.
125
Muammal Hamidy, Imron A.M dan Umar Fanany, Op.cit, hlm. 2068.
116

Pasal 186 KHI menyatakan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan

hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari

pihak ibunya.126

Prof. Dr. H.M. Salim Umar., MA (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi

Jawa Barat) mengemukakan pendapatnya mengenai hak saling mewarisi antara

anak yang lahir diluar perkawinan dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya

hamil dan melahirkannya ialah sebagai berikut:

Menurut Islam anak yang lahir diluar perkawinan dalam arti anak hasil
zina tidak mempunyai hubungan nasab dan juga tidak mempunyai hak
saling mewarisi dengan ayahnya. Seorang anak yang lahir diluar
perkawinan tidak dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya,
yang mana hubungan perdata itu antara lain ialah hak untuk mendapat
waris, hak untuk menjadi wali apabila anaknya perempuan. Hubungan
anak dengan ayah itu menyangkut masalah waris dan wali, apabila tidak
ada hubungan dengan ayah maka tidak boleh mendapat waris dan tidak
boleh menjadi wali karena laki-laki itu bukan ayahnya melainkan orang
lain. Ayah biologis sebenarnya dalam Islam tidak ada, artinya hubungan
biologis boleh dilakukan setelah dilegalkan terlebih dahulu yaitu dengan
adanya akad perkawinan, karena apabila tidak dilegalkan maka disebut
perzinaan. Setiap anak yang lahir itu baik, yang berdosa adalah ayah dan
ibunya, dan yang disyaratkan itu ialah hubungan suami istri, yang mana
baru dapat dilakukan setelah keduanya berstatus sebagai pasangan suami
istri yang sah dengan akad perkawinan yang sah pula, sehingga anak dapat
dinasabkan kepada ayahnya dan juga mendapatkan hak waris.127
Menurut Dr. Mujiyo., M.Ag (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU

Jabar), putusan MK yang menyebutkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan

mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, dimana salah

satu kategori yang termasuk dalam hubungan perdata ialah hak waris, maka Dr.

Mujiyo., M.Ag berpendapat bahwa:

NU tetap berpendapat bahwa seorang anak mempunyai hubungan nasab


dan mewarisi dengan kedua orang tuanya apabila anak tersebut lahir dari

126
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 77.
127
M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), Op.cit.
117

hasil perkawinan yang sah atau perkawinan sirri yang sah menurut agama.
Sepanjang putusan MK tersebut ditafsirkan sesuai dengan kasus Machica
yang merupakan dasar diputusnya putusan MK, maka seorang anak
mempunyai hak saling mewarisi dengan ayah dan ibunya, namun diluar
kasus tersebut tetap seorang anak hanya dapat saling mewarisi dengan ibu
dan keluarga ibunya saja. Seorang anak dapat saling mewarisi dengan
kedua orang tuanya khususnya dengan ayahnya, apabila anak tersebut
merupakan anak dari garis keturunan yang sah dengan ayahnya. Garis
keturunan dapat dianggap sah apabila kedua orang tuanya telah melalui
perkawinan yang sah dan memenuhi lima (5) syarat perkawinan terlebih
dahulu, apabila lima (5) syarat perkawinan tersebut tidak terpenuhi atau
anak tersebut merupakan anak hasil zina dan sebagainya, maka anak
tersebut hanya dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga ibunya.128
Menurut Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis),

hak waris anak yang lahir diluar perkawinan ialah:

Sebab waris dalam Islam ada tiga yaitu karena perkawinan, karena
hubungan nasab dan wala. Seorang anak apabila benar merupakan anak
dari ayah dan ibunya maka berdasarkan sebab waris yaitu karena adanya
hubungan nasab, anak itu berhak mendapatkan warisan dari kedua orang
tuanya, oleh karena itu sebab waris seorang anak kepada orang tuanya
ialah karena adanya hubungan nasab dan tidak terkait pada hubungan
perkawinan kedua orang tuanya.129
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Usman Shalehuddin (Ketua

Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), bahwa hak waris anak yang lahir diluar

perkawinan ialah:

Anak yang lahir diluar perkawinan tetap merupakan anak dari kedua
orang tuanya dan bernasab kepada keduanya, kalau dikatakan bukan
anaknya apalagi dikatakan bukan sebagai ahli waris, ketika anak tersebut
sudah besar nanti berarti ia bisa melangsungkan perkawinan dengan
ayahnya. Anak yang lahir tetap berasal dari bibit ayahnya, adapun akibat
dari pada campur tanpa perkawinan, itu urusan dosa kedua orang tersebut
dan anak tidak ikut campur urusan dosanya. Akad dalam perkawinan
fungsinya untuk menghalalkan yang asalnya haram, kelahiran seorang
anak tidak ada kaitannya dengan halal haramnya percampuran itu, ia tetap
sebagai anak dan tetap sebagai ahli waris karena apabila tidak diakui
sebagai anak, ia bisa melangsungkan perkawinan dengan ayahnya.130

128
Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar), Op.cit.
129
Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), Op.cit.
130
Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), Op.cit.
118

Muhammad Rizal Fadillah., SH (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa

Barat), mengemukakan pendapatnya mengenai hak saling mewarisi antara anak yang

lahir diluar perkawinan dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil dan

melahirkannya ialah sebagai berikut:

Seorang anak disebut sebagai ahli waris karena produk hukum yang sah,
yaitu anak menurut hukum bukan anak menurut kelahirannya karena kita
meninjau dari segi hukum. Hukum waris menjadi ada karena dihasilkan
oleh perkawinan yang sah terlebih dahulu. Fungsi hukum dalam Islam
yaitu untuk menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga
keturunan sehingga diadakan yang namanya lembaga perkawinan yaitu
untuk menjaga hal-hal tersebut yang dalam Islam disebut sebagai
maqashid asy-syariah, dengan dilangsungkannya perkawinan maka akan
selamat dan terjaga maqashid asy-syariah tersebut. Seorang anak dapat
saja memiliki hubungan nasab dari kedua orang tuanya namun apabila
tidak melalui perkawinan yang sah, maka seorang anak tidak mempunyai
akibat hukum dengan orang tuanya khususnya dengan ayahnya.
Perkawinan berfungsi sebagai penjelas status anak dan kepastian bahwa
anak itu adalah anak ayahnya yang sah. Teknologi yang ada pada zaman
sekarang seperti tes DNA tidak memberi pengaruh kepada hukum, hanya
pengertiannya sebatas nasab saja, karena nasab tidak identik dengan
hukum. Tidak semua nasab berarti produk hukum seperti masalah
perzinaan ini, meskipun anak tersebut lahir dari ayah dan ibunya namun
secara hukum ia tetap bukan anaknya. Syariat Islam membatasi
pembuktian hubungan hukum anak dan ibu yaitu dengan dilahirkannya
seorang anak dari rahim ibunya maka jelas ia mempunyai hubungan
hukum dengan ibunya, namun mengenai hubungan hukum ayah dengan
anaknya tidak cukup hanya dengan satu pembuktian saja yaitu DNA,
karena nasab terkait dengan masalah keabsahan. Islam membatasi
mengenai anak yang lahir diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan
perdata termasuk hak waris dengan ayahnya, hanya dengan ibunya saja
karena ibulah yang melahirkannya.131
Mengenai hak waris anak yang lahir diluar perkawinan, Drs. Acep

Saifuddin., SH (Hakim Pengadilan Agama Bandung) berpendapat bahwa:

Anak yang lahir diluar perkawinan sepanjang ditafsirkan sebagai anak


hasil perkawinan sirri bukan anak hasil zina, maka anak tersebut dapat
saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya, dalam pandangan
Hukum Islam pun apabila kriteria anak yang lahir diluar perkawinan
sebagaimana yang telah diuraikan diatas yaitu bahwa anak yang lahir

131
Muhammad Rizal Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat), Op.cit.
119

diluar perkawinan bukan anak hasil zina melainkan anak hasil perkawinan
sirri dan telah disahkan perkawinannya oleh Pengadilan Agama melalui
isbat nikah, maka jelas anak tersebut dapat saling mewarisi dengan ayah
dan keluarga ayahnya, kecuali anak yang lahir diluar perkawinan dimaknai
sebagai anak hasil zina, maka jelas anak tersebut tidak dapat saling
mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya.132
Berdasarkan uraian tersebut penulis sependapat dengan pendapat dari Prof.

Dr. H.M. Salim Umar., MA (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), Dr.

Mujiyo., M.Ag (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar), Muhammad

Rizal Fadillah., SH (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat) dan Drs. Acep

Saifuddin., SH (Hakim Pengadilan Agama Bandung) yang menyatakan bahwa

anak yang lahir diluar perkawinan yang sah tidak memiliki hak saling mewarisi

dengan laki-laki yang menjadi ayahnya dan hanya memiliki hak saling mewarisi

dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Berdasarkan uraian diatas pula penulis tidak

sependapat dengan pendapat dari Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah

Pimpinan Pusat Persis) dan Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan

Pusat Persis) yang menyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan tetap

bernasab kepada ayahnya sehingga berhak menjadi ahli waris dan mendapatkan

harta warisan. Mereka berpendapat bahwa sebab kewarisan anak dengan ayah

ialah karena adanya hubungan nasab, dan hubungan nasab tersebut tidak terkait

dengan hubungan perkawinan yang terjalin antara ayah dan ibunya dan tidak

terkait pula dengan halal haramnya percampuran yang dilakukan oleh kedua orang

tuanya, ia tetap sebagai anak dan tetap sebagai ahli waris karena apabila tidak

diakui sebagai anak, ia bisa melangsungkan perkawinan dengan ayahnya.

132
Acep Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung), Op.cit.
120

Mengenai hak waris anak yang lahir diluar perkawinan, penulis berpendapat

bahwa sepanjang kalimat anak yang lahir diluar perkawinan itu ditafsirkan bukan

sebagai anak yang lahir hasil dari perzinaan melainkan anak yang lahir hasil dari

perkawinan sirri, maka anak tersebut tetap mempunyai hak saling mewarisi

dengan ayah dan keluarga ayahnya, karena diantara ayah dan ibunya terdapat

ikatan perkawinan yang sah menurut agama sehingga diantara anak dengan

ayahnya jelas terjalin hubungan nasab yang merupakan salah satu sebab terjadinya

kewarisan. Anak yang lahir diluar perkawinan apabila dimaknai sebagai anak

hasil zina, hukum Islam menetapkan bahwa anak tersebut tidak memiliki hak

untuk saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya melainkan hanya

dengan ibu dan keluarga ibunya saja, karena tidak ada hubungan nasab antara

anak tersebut dengan laki-laki yang menjadi ayahnya. Hubungan nasab yang sah

dapat diperoleh apabila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah antara ibu dan

laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan. Hubungan nasab anak

dengan ayahnya terjalin secara hukum, yaitu antara ayah dan ibunya harus terikat

dalam perkawinan yang sah ketika melakukan hubungan biologis yang

menyebabkan kelahiran anak tersebut, namun lain halnya dengan hubungan nasab

antara anak dan ibunya terjalin secara alamiah, karena jelas ibulah yang

mengandung dan melakirkan anak tersebut. Anak yang lahir hasil dari perbuatan

zina tidak memiliki status seperti itu, karena ayah dan ibunya tidak terikat dalam

perkawinan yang sah bahkan tidak ada akad perkawinan yang mendahului

hubungan biologis yang mereka lakukan sehingga lahirnya anak tersebut, dengan

demikian antara anak dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil dan
121

melahirkannya tidak terjalin hubungan nasab karena tidak sah secara hukum dan

syariat, yang kemudian tidak ada hak untuk saling mewarisi antara seorang anak

yang lahir diluar perkawinan dengan ayahnya melainkan dengan ibu dan keluarga

ibunya saja. Setiap anak yang lahir berhak atas kelangsungan hidupnya, begitu

pula hal tersebut berlaku bagi anak yang lahir diluar perkawinan yang sah. Anak

yang lahir diluar perkawinan tidak dapat menerima harta warisan dari laki-laki

yang menjadi ayah biologisnya melainkan ia hanya mendapat harta warisan dari

ibunya saja. Laki-laki tersebut apabila terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum sebagai ayah biologisnya, ia

dapat memberikan wasiat atau hibah kepada anak tersebut sebagai bentuk

tanggung jawabnya bagi kelangsungan hidup anak tersebut dengan ketentuan

bahwa wasiat dan hibah yang diberikan besarnya maksimal 1/3 dari harta benda

yang dimilikinya.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan kajian pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa

simpulan sebagai berikut:

1. Status anak yang lahir diluar perkawinan menurut Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang ditinjau dari Hukum Islam adalah

bertentangan dan tidak sesuai, karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 menjelaskan bahwa status anak yang lahir diluar

perkawinan dapat mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata

dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.

Menurut Hukum Islam, anak yang lahir diluar perkawinan yang sah hanya

mempunyai status hukum nasab dengan ibunya saja. Anak yang lahir diluar

perkawinan meskipun terbukti terdapat hubungan darah dengan ayah

biologisnya melalui tes DNA, nasab seorang anak kepada ayahnya hanya dapat

ditentukan secara hukum, dalam arti harus terjadi akad perkawinan yang sah

antara laki-laki yang menyebabkan ibu itu hamil dan melahirkan. Penentuan

nasab anak kepada ibunya berlaku secara alamiah, karena jelas dan tidak dapat

diragukan lagi bahwa ibu lah yang mengandung dan melahirkan anak tersebut.

Hal ini berkaitan dengan hadits yang telah penulis uraikan sebelumnya pada

122
123

pembahasan, yang menyatakan bahwa anak adalah milik suami (perkawinan

yang sah) dari perempuan yang melahirkannya.

2. Hubungan perdata diantaranya menyangkut masalah hubungan nasab, hak asuh

(nafkah), hak waris, dan hak wali apabila anaknya perempuan. Hak waris anak

yang lahir diluar perkawinan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 yang ditinjau dari Hukum Islam adalah bertentangan dan

tidak sesuai, karena berdasarkan hal tersebut, hubungan perdata yang

dinyatakan oleh MK salah satunya menyangkut hak waris, sehingga menurut

putusan MK anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hak saling

mewarisi dengan ayah dan ibunya.

Menurut Hukum Islam salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan

nasab. Anak yang lahir diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan hukum

nasab dengan ayah biologisnya, karena tidak terjadi perkawinan antara kedua

orang tuanya. Anak yang lahir diluar perkawinan tidak berhak mewarisi harta

dari ayahnya, ia hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya. Hal tersebut

berkaitan dengan hadits yang telah penulis uraikan sebelumnya pada

pembahasan, yang menyatakan bahwa siapa saja laki-laki yang berzina dengan

seorang perempuan merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu

adalah anak zina, dia tidak dapat mewarisi harta dari ayahnya dan tidak dapat

diwarisi pula oleh ayahnya.

B. Saran

1. Mahkamah Konstitusi hendaknya memberikan batasan mengenai pengertian

anak yang lahir diluar perkawinan, yaitu dengan dimaknai sebagai anak yang
124

lahir hasil dari perkawinan sirri. Pengertian anak yang lahir diluar perkawinan

sepanjang tidak dimaknai sebagai anak yang lahir hasil dari perkawinan sirri

dalam arti anak yang lahir hasil dari perzinaan, hendaknya diberikan ketegasan

bahwa hubungan perdata yang berlaku hanya pada ibu dan keluarga ibunya

saja tidak pada ayahnya. Hal ini apabila anak yang lahir hasil dari perzinaan

dimaknai sama dengan anak yang lahir hasil dari perkawinan sirri pada kalimat

yang terdapat pada petikan amar putusan MK yaitu anak yang lahir diluar

perkawinan, maka akan menimbulkan pertentangan antara putusan MK dengan

ketentuan Hukum Islam, dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah umat

muslim. Adanya pembatasan mengenai makna anak yang lahir diluar

perkawinan, diharapkan masyarakat muslim dapat mengambil sikap tegas

dalam mengambil keputusan hukum mengenai hak-hak yang terkait pada anak

yang lahir diluar perkawinan seperti hubungan nasab dan hak waris.

2. Anak yang lahir diluar perkawinan tetap mempunyai hak atas kelangsungan

hidupnya. Meskipun ia tidak berhak mendapatkan harta peninggalan ayah

biologisnya, namun hendaknya bagi laki-laki yang terbukti secara hukum

sebagai ayah biologisnya, dapat memberikan wasiat atau hibah kepada anak

tersebut sebagai wujud dari pertanggungjawabannya, agar kelangsungan hidup

anak tersebut tetap terjamin meskipun tidak ada keterkaitan hubungan nasab

diantara keduanya, dengan ketentuan bahwa wasiat dan hibah yang diberikan

besarnya tidak boleh lebih dari 1/3 harta benda yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Hukum Fiqih Islam Lengkap, PT. Rineka
Cipta, Solo, 1994.

Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, Pustaka Azzam,


Jakarta, 2006.

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta.

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Cet. ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1993.

Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995.
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974
sampai KHI), Prenada Media, Jakarta, 2004.

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, PT. Dian Rakyat, Jakarta, 1986.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, CV. Gema


Risalah Press, Bandung, 1993.

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.

Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan


Hukum Benda, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009.

Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia
Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.

Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab


Undang-undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. ke-8, Ghalia Indonesia,


Jakarta, 1987.

125
126

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Cet. ke-1,
Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004.
M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III : Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1993.

Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisa Undang-undang


No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta,
1996.

Muammal Hamidy, Imron A.M dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar
Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993.

Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Ibnu
Katsir, Juz 2, Beirut, 1987.

Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dhohhak at-Tirmidzi, Sunan at-
Tirmidzi, Dar al-Gharbu al-Islamiy Juz 3, Beirut, 1996.

Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, Balqis
Queen, Solo, 2009.
Panitia Penyusun Tafsir Al-Quran Juz I, Tafsir Al-Quran Juz I, LSI UNISBA,
Bandung, 2012.
Ronny Hannitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1998.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. kelima, UI-Press, Jakarta,
1986.
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan
Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
127

Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan


Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama, Jakarta, 1992.

C. Sumber Lain

Acep Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung), wawancara pada hari


selasa tanggal 12 Juni 2012, di Pengadilan Agama Bandung Jln. Terusan
Jakarta No. 120 Antapani Bandung.

http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2011/05/Modul-Hukum-Waris-5-
Pada-Ahli-Waris.pdf diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.

http://isim-hikmah.blogspot.com/2012/02/hukum-menetapkan-nasab-seorang-
anak.html diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/100mei091518_0854-8986.pdf diunduh
pada tanggal 24 Mei 2012.

http://library.usu.ac.id/download/fh/Hukum-Syaiful.pdf diunduh pada tanggal


11 Maret 2012.

http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_JUmni%20Nelli.pdf diunduh
pada tanggal 24 Mei 2012.

M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), wawancara
pada hari senin tanggal 21 Mei 2012, di MUI Propinsi Jawa Barat Jl.
RE.Martadinata No.105 Bandung.

Muhammad Rizal Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat),


wawancara pada hari senin tanggal 28 Mei 2012, di PW
Muhammadiyah Jawa Barat Jln. Sancang No. 06 Bandung.

Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jawa Barat), wawancara pada


hari rabu tanggal 23 Mei 2012, di PW Nahdlatul Ulama Jawa Barat Jln.
Terusan Galunggung No. 09 Bandung.

Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara


pada hari sabtu tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis
Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran, Pameungpeuk Kab. Bandung.

Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara


pada hari sabtu tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis
Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran, Pameungpeuk Kab. Bandung.
LAMPIRAN
PUTUSAN
Nomor 46/PUU-VIII/2010
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

[1.2] 1. Nama : Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.


Mochtar Ibrahim
Tempat dan Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 20 Maret 1970
Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008,
Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok
Aren, Kabupaten Tangerang, Banten

2. Nama : Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono


Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 5 Februari 1996
Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008,
Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok
Aren, Kabupaten Tangerang, Banten.

Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 58/KH.M&M/K/VIII/2010 bertanggal 5 Agustus 2010,


memberi kuasa kepada i) Rusdianto Matulatuwa; ii) Oktryan Makta; dan iii) Miftachul I.A.A.,
yaitu advokat pada Kantor Hukum Matulatuwa & Makta yang beralamat di Wisma Nugra
Santana 14th Floor, Suite 1416, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8 Jakarta 10220, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;

[1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon;


Mendengar keterangan dari para Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon;
Mendengar keterangan ahli dari para Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat;
Membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon;

2. DUDUK PERKARA

[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 14 Juni
2010 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan
Mahkamah) pada hari Senin tanggal 14 Juni 2010 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Permohonan Nomor 211/PAN.MK/2010 dan diregistrasi pada Rabu tanggal 23 Juni 2010
dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 9 Agustus 2010, menguraikan hal-hal sebagai berikut:

A. Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon


1. Bahwa Pemohon adalah Perorangan warga negara Indonesia;
2. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan:
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
Selanjutnya Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan:
Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan demikian, Pemohon diklasifikasikan sebagai perorangan warga negara
Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya disebabkan diperlakukan berbeda di
muka hukum terhadap status hukum perkawinannya oleh undang-undang;
3. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi
untuk permohonan uji materiil ini, yaitu apakah Pemohon memiliki legal standing
dalam perkara permohonan uji materiil undang-undang ini? Syarat kesatu adalah
kualifikasi untuk bertindak sebagai Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK. Syarat kedua adalah bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon tersebut dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang;
4. Bahwa telah dijelaskan terdahulu, Pemohon adalah warga negara Indonesia yang
merupakan Perorangan Warga Negara Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK. Karenanya, Pemohon memiliki kualifikasi sebagai
Pemohon dalam permohonan uji materiil ini;
5. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya
dan kepercayaannya itu, sehingga oleh karenanya pemikahan yang telah dilakukan
oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sebagaimana
tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal
18 Juni 2008, halaman ke-5, alinea ke-5 yang menyatakan:
"... Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pemikahan
antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim) dengan
seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H. Moctar
Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M.
Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000
Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab
yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs.
Moerdiono;
6. Bahwa Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional
Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan;
Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
Ketentuan UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang
merupakan warga negara Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga negara
Indonesia Iainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa
dibedakan dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum;
Sedangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Ketentuan UUD 1945 ini jelas melahirkan norma konstitusi bahwa anak Pemohon
juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama di hadapan hukum.
Artinya, UUD 1945 mengedepankan norma hukum sebagai bentuk keadilan terhadap
siapapun tanpa diskriminatif. Tetapi, UU Perkawinan berkata lain yang
mengakibatkan Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya. Secara konstitusional,
siapapun berhak melaksanakan perkawinan sepanjang itu sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing. Dalam hal ini, Pemohon telah melaksanakan
perkawinannya sesuai dengan norma agama yang dianutnya yaitu Islam, serta sesuai
dengan rukun nikah sebagaimana diajarkan oleh Islam. Bagaimana mungkin norma
agama diredusir oleh norma hukum sehingga perkawinan yang sah menjadi tidak sah.
Akibat dari diredusirnya norma agama oleh norma hukum, tidak saja perkawinan
Pemohon statusnya menjadi tidak jelas tetapi juga mengakibatkan keberadaan
eksistensi anaknya di muka hukum menjadi tidak sah;
7. Bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan:
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka anak Pemohon hanya
mempunyai hubungan keperdataan ke ibunya, dan hal yang sama juga dianut dalam
Islam. Hanya saja hal ini menjadi tidak benar, jika norma hukum UU Perkawinan
menyatakan seorang anak di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya, karena berpijak pada sah atau tidaknya suatu
perkawinan menurut norma hukum. Begitupun dalam Islam, perkawinan yang sah
adalah berdasarkan ketentuan yang telah diatur berdasarkan Al-Quran dan Sunnah,
dalam hal ini, perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai rukun nikah serta norma
agama sebagaimana diajarkan Islam. Perkawinan Pemohon bukanlah karena perbuatan
zina atau setidaktidaknya dianggap sebagai bentuk perzinahan. Begitu pula anaknya
adalah anak yang sah. Dalam pandangan Islam hal yang berbeda dan sudah barang
tentu sama dengan ketentuan dalam UU Perkawinan adalah menyangkut seorang
wanita yang hamil dan tidak terikat dalam perkawinan maka nasib anaknya adalah
dengan ibu dan keluarga ibunya. Jadi, pertanyaannya adalah bagaimana mungkin
perkawinan yang sah menurut norma agama, tetapi norma hukum meredusirnya
menjadi tidak sah?
Dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional
Pemohon selaku ibu dan anaknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahannya
serta status hukum anaknya yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan;
8. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Merujuk pada ketentuan UUD 1945 ini maka Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
UU Perkawinan tidaklah senafas dan sejalan serta telah merugikan hak konstitusional
Pemohon sekaligus anaknya. Ditilik berdasarkan kepentingan norma hukum jelas telah
meredusir kepentingan norma agama karena pada dasamya sesuatu yang oleh norma
agama dipandang telah sah dan patut menjadi berbeda dan tidak sah berdasarkan
pendekatan memaksa dari norma hukum. Akibat dari bentuk pemaksa yang dimiliki
norma hukum dalam UU Perkawinan adalah hilangnya status hukum perkawinan
Pemohon dan anaknya Pemohon. Dengan kata lain, norma hukum telah melakukan
pelanggaran terhadap norma agama;
9. Bahwa sementara itu, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
menyebabkan kerugian terhadap hak konstitusional Pemohon dan anaknya yang
timbul berdasarkan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pengesahan terhadap pemikahan sekaligus
status hukum anaknya Pemohon. Sebagai sebuah peraturan perundang-undang, maka
Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mempunyai kekuatan mengikat
dan wajib ditaati oleh segenap rakyat. Sekalipun sesungguhnya ketentuan tersebut
mengandung kesalahan yang cukup fundamental karena tidak sesuai dengan hak
konstitusional yang diatur Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon
sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Secara spesifik akan diuraikan dalam uraian
selanjutnya yang secara mutatis mutandis mohon dianggap sebagai satu kesatuan
argumentasi;
10. Bahwa berdasarkan semua uraian tersebut, jelas menunjukkan bahwa Pemohon
memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam
permohonan uji materiil undang-undang;

B. Alasan-Alasan Permohonan Uji Materiil UU Perkawinan


11. Bahwa Pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan
hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama
berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru
menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon
berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari
hasil perkawinan;
12. Bahwa hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan merugikan tersebut
adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2)
UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut,
maka Pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan
pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Hak konstitusional yang
dimiliki oleh Pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam UU Perkawinan.
Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan Pemohon adalah
sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam Islam. Merujuk ke norma konstitusional
yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan Pemohon yang
dilangsungkan sesuai dengan rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2 ayat
(2) UU Perkawinan. Norma hukum yang mengharuskan sebuah perkawinan dicatat
menurut peraturan perundangundangan yang berlaku telah mengakibatkan perkawinan
yang sah dan sesuai dengan rukun nikah agama Islam (norma agama) menjadi tidak
sah menurut norma hukum. Kemudian hal ini berdampak ke status anak yang
dilahirkan Pemohon ikut tidak menjadi sah menurut norma hukum dalam UU
Perkawinan. Jadi, jelas telah terjadi pelanggaran oleh norma hukum dalam UU
Perkawinan terhadap perkawinan Pemohon (norma agama). Hal senada juga
disampaikan oleh Van Kan: Kalau pelaksanaan norma-norma hukum tersebut tidak
mungkin dilakukan, maka tata hukum akan memaksakan hal lain, yang sedapat
mungkin mendekati apa yang dituju norma-norma hukum yang bersangkutan atau
menghapus akibat-akibat dari pelanggaran norma-norma hukum itu. (Van Kan,
Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan dari Incleiding tot de Rechtswetenshap oleh Mr.
Moh. O. Masduki), PT. Pembangunan, Jkt, cet. III, 1960, hal. 9-11.)
13. Bahwa konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang
sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahan dan status
hukum anaknya. Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di hadapan hukum.
Tidak ada diskriminasi dalam penerapan norma hukum terhadap setiap orang
dikarenakan cara pernikahan yang ditempuhnya berbeda dan anak yang dilahirkan dari
pemikahan tersebut adalah sah di hadapan hukum serta tidak diperlakukan berbeda.
Tetapi, dalam praktiknya justru norma agama telah diabaikan oleh kepentingan
pemaksa yaitu norma hukum. Perkawinan Pemohon yang sudah sah berdasarkan
rukun nikah dan norma agama Islam, menurut norma hukum menjadi tidak sah karena
tidak tercatat menurut Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Akibatnya, pemberlakuan
norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak yang dilahirkan dari
perkawinan Pemohon menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum
dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Di sisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah
barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum
menjadi tidak jelas dan sah. Padahal, dalam UUD 1945 dinyatakan anak terlantar saja,
yang status orang-tuanya tidak jelas, dipelihara oleh negara. Dan, hal yang berbeda
diperlakukan terhadap anak Pemohon yang dihasilkan dari perkawinan yang sah,
sesuai dengan rukun nikah dan norma agama justru dianggap tidak sah oleh UU
Perkawinan. Konstitusi Republik Indonesia tidak menghendaki sesuatu yang sudah
sesuai dengan norma agama justru dianggap melanggar hukum berdasarkan norma
hukum. Bukankah hal ini merupakan pelanggaran oleh norma hukum terhadap norma
agama;
14. Bahwa dalam kedudukannya sebagaimana diterangkan terdahulu, maka telah terbukti
Pemohon memiliki hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
konstitusional dengan berlakunya UU Perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1), yaitu yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan dan hubungan
hukum anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Telah terjadi
pelanggaran atas hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Republik
Indonesia, karena Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Hal ini mengakibatkan pemikahan Pemohon yang telah dilakukan secara sah
sesuai dengan agama yang dianut Pemohon tidak mendapatkan kepastian hukum
sehingga menyebabkan pula anak hasil pemikahan Pemohon juga tidak mendapatkan
kepastian hukum pula; Jelas hak konstitusional dari anak telah diatur dan diakui dalam
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Kenyataannya sejak Iahirnya anak Pemohon telah
mendapatkan perlakuan diskriminatif yaitu dengan dihilangkannya asalusul dari anak
Pemohon dengan hanya mencantumkan nama Pemohon dalam Akta Kelahirannya dan
negara telah menghilangkan hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang karena dengan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya
menyebabkan suami dari Pemohon tidak mempunyai kewajiban hukum untuk
memelihara, mengasuh dan membiayai anak Pemohon. Tidak ada seorang anakpun
yang dilahirkan di muka bumi ini dipersalahkan dan diperlakukan diskriminatif karena
cara pemikahan yang ditempuh kedua orang tuanya berbeda tetapi sah menurut
ketentuan norma agama. Dan, anak tersebut adalah anak yang sah secara hukum dan
wajib diperlakukan sama di hadapan hukum;
Kenyataannya maksud dan tujuan diundangkannya UU Perkawinan berkaitan
pencatatan perkawinan dan anak yang lahir dari sebuah perkawinan yang tidak
dicatatkan, dianggap sebagai anak di luar perkawinan sehingga hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya. Kenyataan ini telah memberikan ketidakpastian
secara hukum dan mengganggu serta mengusik perasaan keadilan yang tumbuh dan
hidup di masyarakat, sehingga merugikan Pemohon;
Kelahiran anak Pemohon ke dunia ini bukanlah suatu kehadiran yang tanpa sebab,
tetapi sebagai hasil hubungan kasih-sayang antara kedua orang tuanya (Pemohon dan
suaminya), namun akibat dari ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan,
menyebabkan suatu ketidakpastian hukum hubungan antara anak dengan bapaknya.
Hal tersebut telah melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-usulnya.
Juga menyebabkan beban psikis terhadap anak dikarenakan tidak adanya pengakuan
dari bapaknya atas kehadirannya di dunia. Tentu saja hal tersebut akan menyebabkan
kecemasan, ketakutan dan ketidaknyamanan anak dalam pergaulannya di masyarakat;
15. Bahwa Pemohon secara objektif mengalami kerugian materi atau finansial, yaitu
Pemohon harus menanggung biaya untuk kehidupan Pemohon serta untuk membiayai
dalam rangka pengasuhan dan pemeliharaan anak. Hal ini dikarenakan adanya
ketentuan dalam UU Perkawinan yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum
atas pernikahan Pemohon dan anak yang dihasilkan dari pemikahan tersebut.
Akibatnya, Pemohon tidak bisa menuntut hak atas kewajiban suami memberikan
nafkah lahir dan batin serta biaya untuk mengasuh dan memelihara anak.
Tegasnya, UU Perkawinan tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat dan
secara objektif-empiris telah memasung hak konstitusional Pemohon sebagai warga
negara Republik Indonesia untuk memperoleh kepastian hukum dan terbebas dari rasa
cemas, ketakutan, dan diskriminasi terkait pernikahan dan status hukum anaknya.
Bukankah Van Apeldoorn dalam bukunya Incleiding tot de Rechtswetenschap in
Nederland menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup
secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara manusia
dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang
tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya
terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-
golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-
kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain
kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian dengan mengadakan
keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, di mana setiap orang harus
memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya (Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu
Hukum, terjemahan Incleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht oleh Mr.
Oetarid Sadino, Noordhoff-kalff N.V. Jkt. Cet. IV, 1958, hal. 13).
Norma konstitusi yang termaktub dalam UUD 1945 salah satunya mengandung tujuan
hukum. Tujuan hukum dapat ditinjau dari teori etis (etische theorie) yang menyatakan
hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Kelemahannya adalah
peraturan tidak mungkin dibuat untuk mengatur setiap orang dan setiap kasus, tetapi
dibuat untuk umum, yang sifatnya abstrak dan hipotetis. Dan, kelemahan lainnya
adalah hukum tidak selalu mewujudkan keadilan. Di sisi lain, menurut teori utilitis
(utilities theorie), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah
saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada
orang sebanyak-banyaknya. Kelemahannya adalah hanya memperhatikan hal-hal
umum, dan terlalu individualistis, sehingga tidak memberikan kepuasan bagi perasaan
hukum. Teori selanjutnya adalah campuran dari kedua teori tersebut yang
dikemukakan oleh para sarjana ini. Bellefroid menyatakan bahwa isi hukum harus
ditentukan menurut dua asas, yaitu keadilan dan faedah. Utrecht menyatakan hukum
bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam pergaulan
manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan
serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga
yaitu hukum bertugas polisionil (politionele taak van het recht). Hukum menjaga agar
dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrichting). Sedangkan,
Wirjono Prodjodikoro berpendapat tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan
bahagia dan tertib dalam masyarakat (Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu
Hukum, Pustaka Kartini, Cet. Pertama, 1991, hal. 23-26). Berdasarkan penjelasan
tersebut, norma hukum yang termaktub dalam UU Perkawinan telah melanggar hak
konstitusional yang seharusnya didapatkan oleh Pemohon;
16. Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut, maka MK berwenang untuk
mengadili dan memutuskan Perkara Permohonan Uji Materiil Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan terhadap Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;

Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut dan bukti-bukti terlampir maka dengan
ini Pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai
berikut:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, bertentangan Pasal 28B
ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya;
Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka dimohonkan Putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono);

[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan


alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-6, sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Bukti P-2 : Fotokopi Penetapan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs.
3. Bukti P-3 : Fotokopi Rekomendasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Nomor
230/KPAI/VII/2007.
4. Bukti P-4 : Fotokopi Surat Tanda Penerimaan Pengaduan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia Nomor 07/KPAI/II/2007.
5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Nomor 173/KH.M&M/K/X/2006 perihal Somasi tertanggal
16 Oktober 2006.
6. Bukti P-6 : Fotokopi Surat Nomor 03/KH.M&M/K/I/2007 perihal Undangan dan
Klarifikasi tertanggal 12 Januari 2007.

Selain itu, Pemohon juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag., yang
telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan memberikan keterangan tertulis dalam
persidangan tanggal 4 Mei 2011, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah jelas mengakui bahwa perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya;
2. Namun keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyebutkan tiaptiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengakibatkan
adanya dua pemahaman. Di satu sisi, perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut
agama atau kepercayaan masing-masing; di sisi lain perkawinan dimaksud tidak memiliki
kekuatan hukum karena tidak dicatat;
3. Dari perspektif hukum Islam, perkawinan dinyatakan sah apabila telah memenuhi lima
rukun, yaitu ijab qabul, calon mempelai pria, calon mempelai wanita, dua orang saksi,
dan wali dari pihak mempelai wanita;
4. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tidak jelas, kabur, dan kontradiktif dengan Pasal 2 ayat
(1) UU Perkawinan, serta berdampak pada pernikahan seseorang yang telah memenuhi
syarat dan rukun secara Islam tetapi karena tidak dicatat di KUA maka pernikahannya
menjadi tidak sah;
5. Karena perkawinan tersebut tidak sah, lebih lanjut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
mengatur bahwa anak dari perkawinan tersebut hanya memiliki nasab dan hubungan
kekerabatan dengan ibu dan keluarga ibu. Pada akta kelahirannya, anak tersebut akan
ditulis sebagai anak dari ibu tanpa bapak;
6. Anak tersebut juga akan mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat,
kesulitan biaya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriah lainnya;
7. Keharusan mencatatkan pernikahan yang berimplikasi pada status anak di luar nikah yang
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya adalah bertentangan
dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, karena anak yang seharusnya dilindungi dari
berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi akhirnya tidak terlindungi hanya karena
orang tuanya terlanjur melaksanakan perkawinan yang tidak dicatat;
8. Dalam hukum Islam, anak lahir dalam keadaan bersih dan tidak menanggung beban dosa
orang tuanya. Islam tidak mengenal konsep dosa turunan atau pelimpahan dosa dari satu
pihak ke pihak lainnya;
9. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam bersifat individu. Seseorang tidak dapat
menanggung beban dosa orang lain, apalagi bertanggung jawab terhadap dosa orang lain,
sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran Surat al-Isra/17:15; Surat al-Anam/6:164;
Surat Fatir/35:18; Surat az-Zumar/39:7; dan Surat an-Najm/53:38;
10. Islam mengenal konsep anak zina yang hanya bernazab kepada ibu kandungnya, namun
ini bukan anak dari perkawinan sah (yang telah memenuhi syarat dan rukun). Anak yang
lahir dari perkawinan sah secara Islam, meskipun tidak dicatatkan pada instansi terkait,
tetap harus bernasab kepada kedua bapak dan ibunya;
11. Bahkan dalam Islam dilarang melakukan adopsi anak jika adopsi tersebut memutus
hubungan nasab antara anak dengan bapak. Jika anak yang akan diadopsi tidak diketahui
asal muasal dan bapak kandungnya, maka harus diakui sebagai saudara seagama atau
aula/anak angkat; dan bukan dianggap sebagai anak kandung;
12. Dalam fiqh, tidak pernah disebutkan bahwa pernikahan harus dicatat, tetapi terdapat
perintah dalam Al Quran Surat an-Nisa untuk menaati ulil amri (dalam hal ini Undang-
Undang sebagai produk ulil amri);
13. Dengan demikian, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bersifat
diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945;
14. Jika Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengandung madharat, tetapi
menghapusnya juga menimbulkan madharat, maka dalam kaidah hukum Islam, harus
dipilih madharat-nya yang paling ringan;

[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah menyampaikan


keterangan secara lisan dalam persidangan tanggal 9 Februari 2011, dan menyampaikan
keterangan tertulis bertanggal 18 Februari 2011 dan diterima Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 30 Maret 2011, yang menyatakan sebagai berikut.

I . Pokok Permohonan
Bahwa para Pemohon yang berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia
mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan),
yang pada intinya sebagai berikut:
a. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para
Pemohon, khususnya yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anak
yang dihasilkan dari hasil perkawinan Pemohon I;
b. Bahwa hak konstitusional para Pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam
Undang-Undang Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena
perkawinan Pemohon I adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam islam. Merujuk
ke norma konstitusionai yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 maka
perkawinan Pemohon I yang dilangsungkan sesuai rukun nikah adalah sah tetapi
terhalang oleh Pasal 2 UU Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma
hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum
anak (Pemohon II ) yang dilahirkan dari perkawinan Pemohon I menjadi anak di luar
nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan
permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah.
c. Singkatnya menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak
sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskrimintaif, karena
itu menurut para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

I I . Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon


Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, maka agar
seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum
dalam permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu
harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1)
UU MK.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap
telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Jika memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka para Pemohon dalam permohonan
ini memiliki kualifikasi atau bertindak selaku perorangan warga negara Indonesia, yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan atas berlakunya
Undang-Undang a quo atau anggapan kerugian tersebut sebagai akibat berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan pengujian tersebut.
Bahwa dari seluruh uraian permohonan para Pemohon, menurut Pemerintah anggapan
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalitas yang terjadi terhadap diri para
Pemohon, bukanlah karena berlakunya dan/atau sebagai akibat berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian tersebut, karena pada kenyataannya yang dialami oleh Pemohon
I dalam melakukan perkawinan dengan seorang laki-laki yang telah beristri tidak memenuhi
prosedur, tata cara dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal (2), Pasal
(4), Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 12 UU Perkawinan serta PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU Perkawinan, oleh karenanya maka perkawinan Poligami yang dilakukan oleh
Pemohon tidak dapat dicatat.
Seandainya Perkawinan Pemohon I dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang
terdapat dalam Undang-Undang a quo, maka Pemohon I tidak akan mendapatkan hambatan
dalam melakukan pencatatan perkawinan, dan dijamin bahwa Pemohon I akan memperoleh
status hukum perkawinan yang sah dan mendapat hak status anak yang dilahirkannya.
Karena itu, Pemerintah melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memohon
kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan
yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah permasalahan yang terjadi
terhadap para Pemohon adalah tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan
materi muatan norma Undang-Undang a quo yang dimohonkan untuk diuji tersebut, akan
tetapi berkaitan dengan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang dilakukan secara sadar dan nalar yang sepatutnya dapat diketahui resiko akibat
hukumnya dikemudian hari.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah adalah tepat jika Mahkamah
Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi
untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) atau tidak dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang a quo,
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun berdasarkan putusan-
putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007).

III. Keterangan Pemerintah atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan
Sebelum Pemerintah memberikan penjelasan/argumentasi secara rinci terhadap dalil-
dalil maupun anggapan para Pemohon tersebut di atas, dapat disampaikan hal-hal sebagai
berikut:

A. Secara umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak


bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Perkawinan adalah sebuah pranata untuk mengesahkan hubungan dua anak manusia yang
berbeda jenis kelamin sehingga menjadi pasangan suami istri. Secara umum perkawinan
dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan keluarga yang lestari, utuh, harmonis,
bahagia lahir dan batin. Karena itu dengan sendirinya diperlukan kesesuaian dari kedua
belah pihak yang akan menyatu menjadi satu dalam sebuah unit terkecil dalam
masyarakat, sehingga latar belakang kehidupan kedua belah pihak menjadi penting, dan
salah satu latar belakang kehidupan itu adalah agama.
Agama menurut ahli sosiologi merupakan sesuatu yang sangat potensial untuk
menciptakan integrasi, tetapi di sisi lain sangat mudah sekali untuk memicu konflik.
Karenanya jika UU Perkawinan menganut aliran monotheism tidak semata-semata karena
mengikuti ajaran agama tertentu saja, yang mengharamkan adanya perkawinan beda
agama, melainkan juga karena persamaan agama lebih menjanjikan terciptanya sebuah
keluarga yang kekal, harmonis, bahagia lahir dan batin, daripada menganut aliran
heterotheism (antar agama) yang sangat rentan terhadap terjadinya perpecahan, tidak
harmonis, tidak bahagia dan tidak sejahtera.
Perkawinan adalah salah satu bentuk perwujudan hak-hak konstitusional warga negara
yang harus dihormati (to respect), dilindungi (to protect) oleh setiap orang dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD
1945, dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28B ayat (1): "Setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah", dan
Pasal 28J ayat (1): "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib bermasyarakat, berbangsa dan bernegara". Dengan demikian perlu disadari bahwa
di dalam hak-hak konstitusional tersebut, terkandung kewajiban penghormatan atas hak-
hak konstitusional orang lain. Sehingga tidaklah mungkin hak-hak konstitusional yang
diberikan oleh negara tersebut dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya oleh setiap orang,
karena bisa jadi pelaksanaan hak konstitusional seseorang justru akan melanggar hak
konstitusional orang lain, karenanya diperlukan adanya pengaturan pelaksanaan hak-hak
konstitusional tersebut. Pengaturan tersebut sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J ayat
(2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.
Meskipun pengaturan yang dituangkan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, pada
hakikatnya adalah mengurangi kebebasan, namun pengaturan tersebut bertujuan dalam
rangka kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat luas, yakni agar pelaksanaan
hak konstitusional seseorang tidak mengganggu hak konstitusional orang lain. Selain itu
pengaturan pelaksanaan hak konstitusional tersebut merupakan konsekuensi logis dari
kewajiban negara yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, "... untuk membentuk
Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa ....
Artinya bahwa pembentukan Undang-Undang meskipun di dalamnya mengandung norma
atau materi yang dianggap membatasi hak konstitusional seseorang, namun
sesungguhnya hal tersebut merupakan bagian dari upaya yang dilakukan oleh negara
dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia, untuk memajukan ketertiban umum,
kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan lain sebagainya.
Sebagaimana halnya ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, adalah perwujudan pelaksanaan hak-hak konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 khususnya hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan, akan tetapi ketentuan a quo sekaligus memberi batasan terhadap pelaksanaan
hak konstitusional yang semata-mata bertujuan untuk melindungi warga negara untuk
terciptanya masyarakat adil makmur dan sejahtera, seperti yang dicita-citakan dalam
Pembukaan UUD 1945. Oleh karenanya perkawinan adalah suatu lembaga yang sangat
menentukan terbentuknya sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera, maka keluarga
yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat itulah yang akan membentuk masyarakat
bangsa Indonesia menjadi masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Jika keluarga
yang terbentuk adalah keluarga yang tidak harmonis, tidak bahagia, dan tidak sejahtera,
mustahil akan terbentuk masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang sejahtera.
Dengan demikian, maka UU Perkawinan telah sejalan dengan amanat konstitusi dan
karenanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena UU Perkawinan tidak
mengandung materi muatan yang mengurangi dan menghalang-halangi hak seseorang
untuk melakukan perkawinan, akan tetapi undang-undang perkawinan mengatur
bagaimana sebuah perkawinan seharusnya dilakukan sehingga hak-hak konstitusional
seseorang terpenuhi tanpa merugikan hak-hak konstitusional orang lain.

B. Penjelasan Terhadap Materi Muatan Norma Yang Dimohonkan Untuk Diuji Oleh
Para Pemohon.
Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan
bahwa Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu:
Pasal 2 yang menyatakan:
Ayat (2): Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang
berlaku
Pasal 43 yang menyatakan:
Ayat (1): Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya
Ketentuan tersebut di atas oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1), UUD 1945, yang menyatakan
sebagai berikut:
Pasal 28B ayat (1): Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
Pasal 28B ayat (2): Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Terhadap anggapan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat menyampaikan


penjelasan sebagai berikut:
1. Terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Bahwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.
Kemudian pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang a quo menyatakan bahwa suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya
dan kepercayaannya itu; dan pada Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa Tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa menurut Undang-Undang a quo, sahnya perkawinan disandarkan kepada hukum
agama masing-masing, namun demikian suatu perkawinan belum dapat diakui
keabsahannya apabila tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
bertujuan untuk:
a. tertib administrasi perkawinan;
b. memberikan kepastian dan perlindungan terhadap status hukum suami, istri maupun
anak; dan
c. memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang timbul karena
perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akte kelahiran, dan lain-lain;
Pemerintah tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa
Pasal 2 ayat (2) telah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945, karena pencatatan perkawinan bukanlah dimaksudkan untuk
membatasi hak asasi warga negara melainkan sebaliknya yakni melindungi warga negara
dalam membangun keluarga dan melanjutkan keturunan, serta memberikan kepastian
hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.
Bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo memang tidak berdiri sendiri, karena frasa
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki pengertian
bahwa pencatatan perkawinan tidak serta merta dapat dilakukan, melainkan bahwa
pencatatan harus mengikuti persyaratan dan prosedur yang ditetapkan dalam perundang-
undangan. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak suami, istri, dan anak-anaknya benar-benar
dapat dijamin dan dilindungi oleh negara. Persyaratan dan prosedur tersebut meliputi
ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 12 UU
Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
Perkawinan khususnya Pasal 2 sampai dengan Pasal 9.
Bahwa benar UU Perkawinan menganut asas monogami, akan tetapi tidak berarti bahwa
undang-undang ini melarang seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (poligami).
Apabila dikehendaki, seorang suami dapat melakukan poligami dengan istri kedua dan
seterusnya, akan tetapi hal tersebut hanya dapat dilakukan setelah yang bersangkutan
memenuhi persyaratan dan prosedur yang ditetapkan dalam Undang-Undang a quo
khususnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 serta PP
Nomor 9 Tahun 1975.
Apabila suatu perkawinan poligami tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang
Perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak dapat dicatatkan di Kantor Urusan Agama
atau Kantor Catatan Sipil, dengan segala akibat hukumnya antara lain: tidak mempunyal
status perkawinan yang sah, dan tidak mempunyal status hak waris bagi suami, istri, dan
anak-anaknya.
Bahwa ketentuan mengenai persyaratan dan prosedur perkawinan poligami yang diatur
dalam UU Perkawinan berlaku untuk setiap warga negara Indonesia dan tidak
memberikan perlakuan yang diskriminatif terhadap orang atau golongan tertentu
termasuk terhadap para Pemohon. Di samping itu ketentuan tersebut sejalan dengan
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dari uraian tersebut di atas, tergambar dengan jelas dan tegas bahwa pencatatan
perkawinan baik di Kantor Urusan Agama maupun Kantor Catatan Sipil menurut
Pemerintah tidak terkait dengan masalah konstitusionalitas keberlakuan materi muatan
norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Dengan demikian maka
ketentuan Pasal 2 ayat (2) tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
2. Terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: Anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,
menurut Pemerintah bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum
terhadap hubungan keperdataan antara anak dan ibunya serta keluarga ibunya, karena
suatu perkawinan yang tidak dicatat dapat diartikan bahwa peristiwa perkawinan tersebut
tidak ada, sehingga anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak dicatat menurut
Undang-Undang a quo dikategorikan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang
sah. Ketentuan dalam pasal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya pengaturan
mengenai persyaratan dan prosedur perkawinan yang sah atau sebaliknya yang tidak sah
berdasarkan Undang-Undang a quo, karenanya menjadi tidak logis apabila undang-
undang memastikan hubungan hukum seorang anak yang lahir dari seorang perempuan,
memiliki hubungan hukum sebagai anak dengan seorang laki-laki yang tidak terikat
dalam suatu perkawinan yang sah.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang a quo justru bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian
hukum terhadap hubungan keperdataan antara anak dan ibunya serta keluarga ibunya.
Oleh karena itu menurut Pemerintah Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak
bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 kaena apabila perkawinan tersebut dilakukan secara sah maka hak-hak para
Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 dapat dipenuhi.
Lebih lanjut Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan para Pemohon yang
menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut di atas telah memberikan perlakuan dan
pembatasan yang bersifat diskriminatif terhadap Pemohon, karena pembatasan yang demikian
telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan perimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Berdasarkan uraian tersebut di atas ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
UU Perkawinan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah


Konstitusi yang mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya
menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Namun demikian apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan
yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat


memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 9 Februari 2011 dan menyampaikan
keterangan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Februari 2011,
yang menguraikan sebagai berikut:

Keterangan DPR RI
Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo, DPR
dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum
(legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:

I. Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon


Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam
ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disingkat UU MK), yang menyatakan bahwa Para Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1)
tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa
hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk hak
konstitusional.
Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima
sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan aquo sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan
Pasal 51 ayat (1) dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan
pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh
para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau
kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara
pengujian Undang-Undang a quo, maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan
hukum (legal standing) sebagai Pemohon.
Menanggapi permohonan para Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa para
Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas
berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan
adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari
diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya
kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai
apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana
yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara
Nomor 011/PUU-V/2007.

II. Pengujian UU Perkawinan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berlakunya ketentuan Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan telah menghalang-halangi pelaksanaan hak
konstitusionalnya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah, hak anak dalam perkawinan, dan kepastian hukum atas status perkawinannya
sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
telah dirugikan. DPR menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
1. Bahwa perlu dipahami oleh para Pemohon, bahwa untuk memahami UU Perkawinan
terkait dengan ketentuan Pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian,
dipandang perlu untuk memahami dahulu pengertian dari Perkawinan yaitu ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa. Ketentuan ini mengandung makna bahwa perkawinan sebagai ikatan
antara seorang pria dan seorang wanita berhubungan erat dengan agama/kerohanian. Jika
dilihat dari pengertiannya maka setiap perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama
adalah sah. Namun jika dikaitkan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan sejahtera serta keturunan, maka akibat dari perkawinan memunculkan
hak dan kewajiban keperdataan.
2. Bahwa untuk menjamin hak-hak keperdataan dan kewajibannya yang timbul dari akibat
perkawinan yang sah maka setiap perkawinan perlu dilakukan pencatatan. Meskipun
perkawinan termasuk dalam lingkup keperdataan, namun negara wajib memberikan
jaminan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak
yang terkait dalam perkawinan (suami, istri dan anak) terutama dalam hubungannya
dengan pencatatan administrasi kependudukan terkait dengan hak keperdataan dan
kewajibannya. Oleh karena itu pencatatan tiap-tiap perkawinan menjadi suatu kebutuhan
formal untuk legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan suatu konsekuensi
yuridis dalam hak-hak keperdataan dan kewajibannya seperti kewajiban memberi nafkah
dan hak waris. Pencatatan perkawinan dinyatakan dalam suatu akte resmi (akta otentik)
dan dimuat dalam daftar pencatatan yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan. Bahwa tujuan pencatatan perkawinan yaitu sebagai berikut:
a. untuk tertib administrasi perkawinan;
b. jaminan memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akte kelahiran, membuat Kartu
Tanda Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan lain-lain);
c. memberikan perlindungan terhadap status perkawinan;
d. memberikan kepastian terhadap status hukum suami, istri maupun anak;
e. memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil yang diakibatkan oleh adanya
perkawinan;
3. Bahwa atas dasar dalil tersebut, maka ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang
berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku merupakan norma yang mengandung legalitas sebagai suatu bentuk formal
perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta perkawinan (akta otentik) menjadi
penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk
setiap perkawinan. Dengan demikian DPR berpendapat bahwa dalil Pemohon yang
menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan telah menimbulkan
ketidakpastian hukum adalah anggapan yang keliru dan tidak berdasar.
4. Bahwa terhadap anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa para Pemohon tidak
dapat melakukan pencatatan perkawinannya karena UU Perkawinan pada prinsipnya
berasaskan monogami sehingga menghalanghalangi para Pemohon untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, DPR merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 12/PUU-V/2007 dalam pertimbangan hukum halaman 97-98
menyebutkan:
Bahwa Pasal-Pasal yang tercantum dalam UU Perkawinan yang memuat alasan, syarat,
dan prosedur poligami sesungguhnya semata-mata sebagai upaya untuk menjamin dapat
dipenuhinya hak-hak istri dan calon istri yang menjadi kewajiban suami yang akan
berpoligami dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan. Oleh karena itu penjabaran
persyaratan poligami tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian alasan para Pemohon tidak dapat mencatatkan perkawinannya karena
UU Perkawinan pada prinsipnnya berasas monogami adalah sangat tidak berdasar.
Pemohon tidak dapat mencatatkan perkawinannya karena tidak dapat memenuhi
persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan. Oleh karena itu
sesungguhnya persoalan para Pemohon bukan persoalan konstitusionalitas norma
melainkan persoalan penerapan hukum yang tidak dipenuhi oleh para Pemohon.
5. Bahwa oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai peristiwa
perkawinan yang tidak memenuhi syarat formil, sehingga hal ini berimplikasi terhadap
hak-hak keperdataan yang timbul dari akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Bahwa selain itu, perlu disampaikan bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat berimplikasi
terhadap pembuktian hubungan keperdataan anak dengan ayahnya. Dengan demikian,
anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat tersebut, tentu hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya.
7. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut DPR justru dengan berlakunya
ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan akan menjamin terwujudnya tujuan
perkawinan, serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap status
keperdataan anak dan hubungannya dengan ibu serta keluarga ibunya. Apabila ketentuan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini dibatalkan justru akan berimplikasi terhadap
kepastian hukum atas status keperdataan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
dicatat. Dengan demikian ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan
dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan amar putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
permohonan a quo tidak dapat diterima;
2. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
4. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tetap memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, kami mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 11


Mei 2011 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 Mei 2011 yang pada
pokoknya tetap pada pendiriannya;

[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu
yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk menguji Pasal
2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU 1/1974) terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah


Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo;

Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya
disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar;

[3.4] Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji


konstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 terhadap UUD
1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah
berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon


[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang
dapat mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah
mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh
UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang
diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusanputusan selanjutnya
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan
[3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum
(legal standing) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut:

[3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya para Pemohon mendalilkan sebagai perorangan
warga negara Indonesia yang mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945
yaitu:
Pasal 28B ayat (1) yang menyatakan, Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan
Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum;
Hak konstitusional tersebut telah dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974;

[3.9] Menimbang bahwa dengan memperhatikan akibat yang dialami oleh para Pemohon
dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat hubungan
sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo,
dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;

Pendapat Mahkamah
Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian
konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan Pasal 43 ayat (1) UU
1/1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, khususnya mengenai hak untuk
mendapatkan status hukum anak;

[3.12] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan


menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning)
pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b
UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan,
... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-
tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan


bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan
merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan
oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan
perkawinan oleh negara melalui peraturan perundangundangan merupakan kewajiban
administratif.
Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut
Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan
dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan
tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I
ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai
pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan
konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal
28J ayat (2) UUD 1945].
Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar
perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang
bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari
dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga
perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu
perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan
dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat
terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang
memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai
asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak
dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan
pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien
bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya;

[3.13] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di
luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa yang dilahirkan di
luar perkawinan. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu
dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan
antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara
lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh
karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari
suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan
dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai
bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada
memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki
tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan
hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan
hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek
hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada
pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang
dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang
dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak
berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki
kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-
tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan;

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU
1/1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya harus dibaca, Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;

[3.15] Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para
Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum.
Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional)
yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas,


Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian;

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-


Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076);

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili,

Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim


Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki,
Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M.
Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masingmasing sebagai Anggota, pada hari Senin,
tanggal tiga belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam Sidang
Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Jumat, tanggal tujuh belas,
bulan Februari, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh.
Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati,
Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan
Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian
Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya,
Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,

ttd.

Moh. Mahfud MD.

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd. ttd.

Achmad Sodiki Maria Farida Indrati

ttd. ttd.

Harjono Ahmad Fadlil Sumadi

ttd. ttd.

Anwar Usman Hamdan Zoelva

ttd. ttd.

M. Akil Mochtar Muhammad Alim

6. ALASAN BERBEDA (CONCURRING OPINION)

Terhadap Putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki alasan
berbeda (concurring opinion), sebagai berikut:
[6.1] Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974 adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
sedangkan mengenai syarat sahnya perkawinan Pasal 2 UU 1/1974 menyatakan bahwa: ayat
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Sementara ayat (2) menyatakan, Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2
ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a
quo tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh
terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau
kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau
tidaknya perkawinan yang dilakukan.
Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan perundangundangan yang
sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan bahkan bertentangan. Dalam perkara ini,
potensi saling meniadakan terjadi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974.
Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan
menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya, ternyata menghalangi dan
sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur
bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi
berwenang atau pegawai pencatat nikah.
Jika Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan secara administratif yang tidak
berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, maka hal tersebut tidak
bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan terhadap syarat perkawinan.
Seturut dengan itu, kata perkawinan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang a quo juga
akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara Islam atau perkawinan menurut rukun
nikah yang lima.
Namun demikian, berdasarkan tinjauan sosiologis tentang lembaga perkawinan dalam
masyarakat, sahnya perkawinan menurut agama dan kepercayaan tertentu tidak dapat secara
langsung menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri, suami, dan/atau anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut karena pelaksanaan norma agama dan adat di masyarakat
diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa dilindungi
oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan pemaksa.

[6.2] Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada pihak-pihak


dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari inkonsistensi penerapan
ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan
menurut agama dan kepercayaan tersebut. Dengan kata lain, pencatatan perkawinan
diperlukan untuk menghindari penerapan hukum agama dan kepercayaannya itu dalam
perkawinan secara sepotong-sepotong untuk meligitimasi sebuah perkawinan, sementara
kehidupan rumah tangga pascaperkawinan tidak sesuai dengan tujuan perkawinan dimaksud.
Adanya penelantaran istri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena kawin kontrak,
fenomena istri simpanan (wanita idaman lain), dan lain sebagainya, adalah bukti tidak adanya
konsistensi penerapan tujuan perkawinan secara utuh.
Esensi pencatatan, selain demi tertib administrasi, adalah untuk melindungi wanita dan anak-
anak. Syarat pencatatan perkawinan dimaksud dapat diletakkan setidaknya dalam dua konteks
utama, yaitu (i) mencegah dan (ii) melindungi, wanita dan anak-anak dari perkawinan yang
dilaksanakan secara tidak bertanggung jawab. Pencatatan sebagai upaya perlindungan
terhadap wanita dan anak-anak dari penyalahgunaan perkawinan, dapat dilakukan dengan
menetapkan syarat agar rencana perkawinan yang potensial menimbulkan kerugian dapat
dihindari dan ditolak.
Negara mengatur (mengundangkan) syarat-syarat perkawinan sebagai upaya positivisasi
norma ajaran agama atau kepercayaan dalam hukum perkawinan. Syarat-syarat perkawinan
yang dirumuskan oleh negara, yang pemenuhannya menjadi syarat pencatatan nikah sekaligus
syarat terbitnya Akta Nikah, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan
perkawinan dan administrasi kependudukan. Saya berharap adanya upaya sinkronisasi
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan dengan
konstruksi hukum negara mengenai perkawinan dan administrasi kependudukan. Saya
berharap adanya upaya sinkronisasi hukum dan peraturan perundangundangan yang berkaitan
dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya dan masalah yang menyangkut
administrasi kependudukan.

[6.3] Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam prakteknya, hukum tidak selalu dapat
dilaksanakan sesuai yang dikehendaki oleh pembuatnya. Pada kenyataannya, hingga saat ini
masih terdapat perkawinan-perkawinan yang mengabaikan UU 1/1974, dan hanya
menyandarkan pada syarat perkawinan menurut ajaran agama dan kepercayaan tertentu.
Terhadap perkawinan secara hukum agama atau kepercayaan yang tidak dilaksanakan
menurut UU 1/1974 yang tentunya juga tidak dicatatkan, negara akan mengalami kesulitan
dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap hak-hak wanita sebagai istri dan
hak-hak anak-anak yang kelak dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, adalah
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Saya menilai, Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD
1945 karena Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo yang mensyaratkan pencatatan, meskipun
faktanya menambah persyaratan untuk melangsungkan perkawinan, namun ketiadaannya
tidak menghalangi adanya pernikahan itu sendiri. Kenyataan ini dapat terlihat adanya
pelaksanaan program/kegiatan perkawinan massal dari sejumlah pasangan yang telah lama
melaksanakan perkawinan tetapi tidak dicatatkan.
Selain itu hak anak yang dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, tidak dirugikan oleh adanya Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang mensyaratkan pencatatan
perkawinan. Perlindungan terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh Pasal 28B ayat (2) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru akan dapat dimaksimalkan apabila semua perkawinan
dicatatkan sehingga dengan mudah akan diketahui silsilah anak dan siapa yang memiliki
kewajiban terhadap anak dimaksud. Pencatatan perkawinan adalah dimensi sosial yang
dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas status dan akibat hukum dari suatu peristiwa
hukum seperti juga pencatatan tentang kelahiran dan kematian.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut saya tidak ada kerugian konstitusional yang
dialami para Pemohon sebagai akibat keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974, walaupun jika
pencatatan ditafsirkan sebagai syarat mutlak bagi sahnya perkawinan, pasal a quo potensial
merugikan hak konstitusional Pemohon I.
[6.4] Harus diakui bahwa praktek hukum sehari-hari menunjukkan adanya pluralisme
hukum karena adanya golongan masyarakat yang dalam hubungan keperdataannya sehari-hari
berpegang pada hukum agama, atau secara utuh berpegang pada hukum nasional, maupun
mendasarkan hubungan keperdataannya kepada hukum adat setempat. Pluralisme hukum ini
diatur dan secara tegas dilindungi oleh UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan cita-cita
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai implikasi pluralisme hukum, memang tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi,
baik yang sederhana maupun yang kompleks, terkait praktek-praktek hukum nasional, hukum
agama, maupun hukum adat dimaksud. Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi
dan efek negatif dari friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional (peraturan
perundangundangan) yang berusaha menjadi payung bagi pluralisme hukum. Tidak dapat
dihindarkan jika upaya membuat sebuah payung yang mengayomi pluralisme hukum, di satu
sisi harus menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan hukum agama maupun hukum adat. Praktek
pembatasan semacam ini mendapatkan pembenarannya dalam paham konstitusionalisme,
yang bahkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa, Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Dalam kenyataannya, di Indonesia masih banyak terdapat perkawinan yang hanya
mendasarkan pada hukum agama atau kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat
sahnya perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu tanpa melakukan
pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum dari negara atas akibat dari
suatu perkawinan. Kenyataan ini dalam prakteknya dapat merugikan wanita, sebagai istri, dan
anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait dengan perlindungan terhadap wanita
dan anak anak sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat perbedaan kerugian akibat
perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 dari sisi subjek hukumnya, yaitu (i) akibat
bagi wanita atau istri; dan (ii) akibat bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan dimaksud.

[6.5] Secara teoritis, norma agama atau kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan oleh
negara untuk dilaksanakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah
keyakinan transendental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia dengan
penciptanya; sedangkan norma hukum, dalam hal ini UU 1/1974, merupakan ketentuan yang
dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara
sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah).
Potensi kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita (istri)
sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat
dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial UU 1/1974 terutama pengaturan mengenai
pencatatan perkawinan. Dalam konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara
(Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama terhadap wanita sebagai istri,
hanya dapat dilakukan jika perkawinan dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974,
yang salah satu syaratnya adalah perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 2 UU 1/1974). Konsekuensi lebih
jauh, terhadap perkawinan yang dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat
memberikan perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak
lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak wanita
(istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan
suaminya.

[6.6] Perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 juga memiliki potensi untuk
merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian bagi anak yang
terutama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak biologis)-nya,
yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk
membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu, dalam
masyarakat yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai tradisional, pengertian
keluarga selalu merujuk pada pengertian keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak). Keberadaan anak dalam keluarga
yang tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau tidak memiliki pengakuan dari
bapak biologisnya, akan memberikan stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma
ini adalah sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-psikologis,
yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui hubungan anak dengan bapak
biologisnya. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, pembedaan perlakuan terhadap
anak karena sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan oleh tindakan anak
bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif.
Potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang
menyatakan, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Keberadaan Pasal a quo menutup kemungkinan bagi
anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah
risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan
menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung
kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap
sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam)
tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan
oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah dosa turunan. Dengan kata lain,
potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974
merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko
yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan
demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan,
terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi
kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya.

PANITERA PENGGANTI,

ttd.

Mardian Wibowo

Anda mungkin juga menyukai