Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan/
Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah/ Peradilan Agama dan Jurusan/ Program Studi Ilmu Hukum
Oleh:
KHAERUNI AISYA
NPM: 14010108007
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2012 M / 1433 H
PERSETUJUAN
Disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Tata Fathurrohman, SH., MH. Dr. H. Tamyiez Dery, Drs., M.Ag.
Mengetahui :
i
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dimunaqasyahkan oleh tim penguji skripsi pada hari kamis,
tanggal 9 dan 30 Agustus 2012, dan telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
Ketua Sekretaris
TIM PENGUJI :
ii
)9 : (
iii
ABSTRAK
Kata Kunci: Hak Waris, Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan, Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Hukum Islam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, menyebutkan
bahwa anak yang lahir diluar perkawinan dapat mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya apabila dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum. Hubungan perdata diantaranya menyangkut hubungan nasab dan
hak waris. Hukum Islam menegaskan, anak yang lahir diluar perkawinan dalam
arti anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya, sehingga ia
pun hanya berhak mewarisi harta peninggalan dari ibunya saja. Sebagaimana
faktor pewarisan dalam Islam ialah adanya hubungan nasab, sedangkan anak yang
lahir diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya
Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu dengan cara
menggambarkan kasus anak yang lahir diluar perkawinan serta akibat hukumnya
mengenai masalah waris, dan selanjutnya melakukan analisis terhadap masalah
hak waris anak yang lahir diluar perkawinan. Pendekatan yang digunakan adalah
yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menerapkan dan
menafsirkan Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Pasal 186 KHI yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dengan meninjau
pertimbangan dan putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 serta dari segi hukum Islamnya.
Hasil dari penelitian ini dapat ditarik simpulan, bahwa status anak dan hak
waris anak yang lahir diluar perkawinan menurut Putusan MK yang ditinjau dari
Hukum Islam adalah bertentangan dan tidak sesuai, karena menurut putusan MK
anak yang lahir diluar perkawinan dapat mempunyai hubungan darah termasuk
hubungan perdata dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. Menurut
Hukum Islam, status anak yang lahir diluar perkawinan hanya bernasab kepada
ibunya saja, meskipun terbukti terdapat hubungan darah antara anak dengan ayah
biologisnya melalui tes DNA. Nasab seorang anak kepada ayahnya hanya dapat
ditentukan secara hukum, yaitu harus terjadi akad perkawinan yang sah antara
laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan. Hubungan perdata
salah satunya menyangkut masalah hak waris, sehingga menurut putusan MK,
anak yang lahir diluar perkawinan berhak mewarisi harta peninggalan kedua
orang tuanya. Menurut Hukum Islam, salah satu faktor pewarisan ialah adanya
hubungan nasab. Anak yang lahir diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan
nasab dengan ayahnya, melainkan hanya dengan ibunya saja, karena tidak terjadi
akad perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya, sehingga ia hanya dapat
mewarisi harta dari ibunya saja dan tidak berhak mewarisi harta dari ayahnya.
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim,
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul Hak Waris Anak Yang Lahir Diluar
sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dari segi
Secara khusus penulis sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada kedua orang tuaku, Ibu Euis Komariah dan Bapak Ahmad Sujai Abdullah
yang telah banyak memberikan dukungan, doa, bimbingan dan kasih sayangnya,
Penulis juga sampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. H. Tata
Drs., M.Ag, selaku Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga
Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
v
Bapak Prof. Dr. M. Thaufiq Siddiq Boesoirie, dr., M.S., Sp.T.H.T.,
Ibu Prof. Dr. Hj. Mella Ismelina FR, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Bapak H.M. Roji Iskandar, Drs., MH, selaku Wakil Dekan I Fakultas
Ibu Dr. Dini Dewi Heniarti, SH., MH, selaku Wakil Dekan I Fakultas
Ibu Dr. Hj. Ratna Januarita, SH., LL.M., MH, selaku Ketua Bagian
Bapak Deddy Effendi, SH., MH, selaku dosen penelaah pada seminar
Seluruh Dosen dan Staff Tata Usaha Fakultas Syariah dan Fakultas
Bapak Prof. Dr. H.M. Salim Umar., MA, selaku Ketua Komisi Fatwa MUI
vi
Bapak Dr. Mujiyo., M.Ag, selaku Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW
penulis.
penulis.
oleh penulis.
untuk wisuda tahun ini, serta semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, terima kasih yang tidak terhingga atas dukungan
dan bantuannya.
vii
Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada mereka
penulisan skripsi ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang akan menjadi
pegangan bagi penulis di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membaca dan yang membutuhkan.
Penulis,
Khaeruni Aisya
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN 1
1. Konsonan
No Arab Latin
1
2 b
3 t
4 ts
5 j
6 h
7 kh
8 d
9 dz
10 r
11 z
12 s
13 sy
14 sh
15 dh
16 th
17 zh
18
19 gh
20 f
2`1 q
22 k
23 l
1
Panitia Penyusun Tafsir Al-Quran Juz I, Tafsir Al-Quran Juz I, LSI UNISBA, Bandung, 2012,
hlm. vii
ix
24 m
25 n
26 w
27 h
28 y
29 ( mudhaf) t
30 ( waqaf) h
2. Vocal Pendek
Arab Latin
= a
= i
= u
3. Vocal Panjang
Arab Latin
=
=
=
4. Diptong
Arab Latin
= ai
= au
5. Pembauran
Arab Latin
= al-
= al-sy
( nisbah) i
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
xi
F. Faktor-Faktor Terjadinya Kewarisan ........................................32
D. Wawancara ...............................................................................65
xii
6. Wawancara dengan Drs. Acep Saifuddin., SH (Hakim
DILUAR PERKAWINAN
VIII/2010 .................................................................................. 91
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .................................................................................122
B. Saran ........................................................................................123
LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
warisan tersebut akan menjadi hak bagi para ahli warisnya yang masih hidup.
Salah satu cara untuk menentukan ahli waris ialah dengan melihat hubungan
nasabnya dengan pewaris. Anak merupakan salah satu dari ahli waris yang berhak
memperoleh harta warisan dari orang tuanya yang telah meninggal seperti yang
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk
1
2
Berdasarkan ayat tersebut bahwa anak merupakan ahli waris dari orang
pewaris disebabkan terjadinya suatu ikatan perkawinan antara ayah dan ibunya
yang merupakan anak diluar kawin. Anak yang dilahirkan hasil dari perkawinan
yang sah memiliki kedudukan lebih kuat, karena untuk membuktikan adanya
hubungan darah atau nasab harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah/otentik
bahwa kedua orang tua mereka telah melangsungkan perkawinan secara sah dan
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tertentu. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya
2
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, CV. Gema Risalah Press,
Bandung, 1993, hlm. 116-117.
3
perbuatan hukum itu. Perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka
anak yang lahir dari perkawinan itu merupakan anak yang tidak sah.3 Perkawinan
yang sah tercantum pada Pasal 2 ayat (1) UUP sebagaimana yang telah disebutkan
disebutkan dalam Pasal 42, 43 dan 44 UUP, yang terpenting adalah pernyataan
bahwa yang dianggap anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
3
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. ke-8, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987,
hlm. 15.
4
Ibid, hlm. 34.
4
Hukum Islam menjelaskan anak yang lahir diluar kawin dapat pula
dikategorikan sebagai anak yang lahir akibat perbuatan zina. Hukum Islam
memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Hal ini diungkapkan dalam
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
Ketika lahir anak tersebut merupakan anak hasil dari perbuatan zina kedua orang
tuanya dan hal itu akan menimbulkan keraguan mengenai siapa bapak dari anak
tersebut. Setiap anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah ialah mutlak
Terjadinya hubungan yang tidak jelas atau yang tidak sah antara kedua
orang tua anak tersebut akan berdampak negatif kepada anak mereka. Apakah
anak tersebut lahir karena perkawinan yang sah atau merupakan anak yang lahir
diluar perkawinan yang sah. Hal tersebut sangat berpengaruh kepada hak-hak
yang semestinya didapatkan oleh seorang anak, salah satunya adalah hak untuk
mendapatkan warisan.
Hak bagi setiap anak yang lahir telah diatur oleh UUD 1945 pada Pasal
28B ayat (2) yang menyatakan: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
5
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 429.
5
diskriminasi. Adapun pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan: Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
Hukum Islam
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang penelitian, maka penulis mencoba untuk
2. Bagaimana hak waris anak yang lahir diluar perkawinan menurut Putusan
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis dan menentukan status anak yang lahir diluar perkawinan
2. Untuk menganalisis dan menentukan hak waris anak yang lahir diluar
D. Kegunaan Penelitian
hal tersebut diharapkan ada kegunaannya, kegunaan disini dibagi kepada dua hal
yaitu :
1. Kegunaan teoritis
Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang hak waris anak yang
2. Kegunaan praktis
kewarisannya.
mengenai hak waris anak yang lahir diluar perkawinan itu sendiri.
7
Pengadilan Agama.
E. Kerangka Pemikiran
kewarisan, yaitu:
sebagai berikut:
kewarisan antara lain al-irts, al-faridh, al-tirkah. Al-irts dalam bahasa Arab
6
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya,
Jakarta, 1995, hlm. 3-4.
7
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III :Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm.
57.
8
Ibid, hlm. 58.
8
adalah bentuk mashdar dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Kata-kata itu berasal dari
kata asli waritsa, yang berakar kata dari huruf-huruf waw, ra, dan tsa yang
kepada ahli warisnya dengan saham yang pasti.10 Kata tirkah seringkali diartikan
sebagai harta peninggalan yang dipersiapkan oleh pewaris kepada ahli warisnya.11
pokok yakni:
2. Adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atau memiliki harta warisan dan
9
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 23.
10
Ibid, hlm. 29.
11
Ibid, hlm. 30.
12
Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Jakarta, 1992, hlm. 73.
13
http://library.usu.ac.id/download/fh/Hukum-Syaiful.pdf diunduh pada tanggal 11 Maret 2012
14
Ali Parman, Op.cit, hlm. 33.
9
Seorang anak berhak menjadi ahli waris karena adanya hubungan darah
atau nasab dengan orang tuanya. Sebagaimana salah satu faktor yang
jamai para ulama dan pakar hukum di Indonesia. Hukum kewarisan dalam KHI
menganut asas-asas yang konstan, konsisten dan saling berkaitan sehingga dapat
menjadi pedoman yang mudah bagi setiap orang yang berkepentingan. Asas-asas
tersebut antara lain ialah, asas ijbari (imperatif), asas akibat kematian, asas
keislaman, asas bilateral, asas ahli waris individual, asas pembagian secara adil
dan berimbang.16
15
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 116-117.
16
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam , Balqis Queen, Solo, 2009,
hlm. 31-32.
11
Salah satu asas kewarisan dalam KHI ialah asas hubungan kekerabatan
(nasab). Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang
antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan, tanpa memperhatikan
bagaimana cara si ibu itu mendapatkan kehamilan dan status hukum dari laki-laki
yang menggauli si ibu itu. Sedangkan hubungan nasab antara anak dengan ayah
tidak ditentukan oleh sebab alamiah, tetapi semata oleh sebab hukum artinya telah
berlangsung hubungan akad perkawinan yang sah antara si ibu dengan ayah yang
Bagi anak yang lahir diluar perkawinan atau anak dari hasil zina hanya
dahulu pokok pangkal terjadinya hubungan nasab itu. Sebab pertama terjadinya
saja karena telah terjadi akad perkawinan. Akan tetapi, harus pula terjadi
Sahnya hubungan nasab harus pula ditentukan dengan melihat dari segi
itu ( Pasal 2 ayat (1) ). Dari bunyi pasal 2 ayat (1) itu, bahwa perkawinan mutlak
itu, kalau tidak, maka perkawinan itu tidak sah.20 Status anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut ialah anak yang sah, namun anak yang dilahirkan hasil dari
hubungan diluar perkawinan maka status anaknya pun menjadi anak diluar kawin.
siapapun karena hal ini menyangkut kepada hak seseorang. Anak yang lahir diluar
kewarisan. Anak yang dapat menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya yaitu
ayah dan ibunya ialah anak sah yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.
( :
-
, , .)
21
. , ,
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR.
Muttafaq alaih) dari haditsnya dan dari hadits Aisyah di dalam sebuah
kisah, Dari Ibnu Masud pada An-Nasai serta dari Utsman disisi Abu
Daud.
Al-Firsy secara etimologi ialah hamparan di atas permukaan bumi. Istilah
ini salah satunya diambil untuk seorang istri. Maksudnya bahwa anak milik orang
yang memiliki al-firsy (laki-laki yang memiliki istri dari perkawinan yang sah).22
20
K. Wantjik Saleh, Op.cit, hlm. 16.
21
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Ibnu Katsir, Juz 2
(Hadits No. 1948), Beirut, 1987, hlm. 724. Lihat juga Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar
Ihya at-Turats al-Araby, Juz 2 (Hadits No. 36 (1457)), Beirut, tt, hlm. 1080.
13
:
(
)
23
Dan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya
Nabi saw bersabda, Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu adalah
anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi. (HR Tirmidzi). 24
Pasal 42 UUP mendefinisikan: Anak yang sah adalah anak yang
Pasal 43 ayat (1) UUP menjelaskan bahwa: Anak yang dilahirkan diluar
ibunya.
Pasal 186 KHI menyatakan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari
pihak ibunya.25
pada tanggal 13 Februari 2012 menjelaskan, bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP yang
menyatakan:
22
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram , Pustaka Azzam, Jakarta,
2006, hlm. 699.
23
Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dhohhak at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar al-
Gharbu al-Islamiy, Juz 3 (Hadits No. 2113), Beirut, 1996, hlm. 615.
24
Muammal Hamidy, Imron A.M dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar Himpunan
Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 2068.
25
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 77.
14
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Pendekatan
2. Spesifikasi Penelitian
mengenai hak waris anak yang lahir diluar perkawinan, menyimpulkan data-
a. Data Primer
data dari hasil wawancara secara langsung dengan Majelis Ulama Indonesia
b. Data Sekunder
26
Ronny Hannitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1998, hlm.98.
15
- Bahan Hukum Sekunder, yaitu karya ilmiah para sarjana dan buku-buku
Metode analisis data yang digunakan adalah yuridis kualitatif yaitu dengan
mengkaji Hukum Islam dan Hukum positif yang berkaitan dengan masalah
A. Pengertian Perkawinan
25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, No 1/1974 sampai KHI), Prenada Media, Jakarta, 2004,
hlm. 38.
26
Ibid, hlm. 39.
27
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. kelima, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 47.
16
17
suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang biak dan melestarikan hidupnya.28 Perkawinan dapat dilihat dari tiga
sudut pandang, yaitu dari sudut hukum, sosial dan agama. Dari sudut hukum,
perkawinan merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat, disebut dengan kata
mereka yang tidak melakukan perkawinan. Dari sudut agama, perkawinan itu
dianggap sebagai suatu lembaga yang suci, yang mana kedua pihak dihubungkan
28
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Kawin Lengkap, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 6.
29
Sayuti Thalib, Op.cit, hlm. 47-48.
30
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, CV. Gema Risalah Press,
Bandung, 1993, hlm. 644.
18
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau mtsqan ghalzhan untuk
B. Tujuan Perkawinan
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagian, yakni kasih sayang antar
anggota keluarga.32
31
Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Jakarta, 1992, hlm. 18.
32
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 22.
33
Ibid, hlm. 23.
19
kasih sayangnya,
halal.
34
Ibid, hlm. 24.
20
12. Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam yang sesuai
dengan ajaran-Nya, terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan
kalimat Allah SWT, maka tujuan perkawinannya akan menyimpang.
13. Suatu tanda kebesaran Allah SWT.
14. Memperbanyak keturunan umat Islam dan menyemarakkan bumi
melalui proses perkawinan.
15. Untuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan kepada hal-
hal yang diharamkan.35
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram untuk shalat atau
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah) tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
menutup aurat untuk shalat atau menurut islam, calon pengantin laki-
laki/perempuan itu harus beragama Islam. Sah yaitu suatu pekerjaan (ibadah)
yaitu:
35
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Op.cit, hlm. 18-19.
36
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 18.
37
Abd. Rahman Ghazaly, Op.cit, hlm. 45-46.
21
syarat perkawinan.38
Sahnya perkawinan dalam UUP diatur dalam pasal 2 ayat (1) yang
1. Calon Suami.
2. Calon Istri.
3. Wali.
4. Saksi.
5. Ijab Qobul.
a. Beragama Islam.
b. Laki-laki.
c. Jelas orangnya.
a. Beragama Islam.
b. Perempuan.
38
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, PT. Dian Rakyat, Jakarta, 1986, hlm. 30.
22
c. Jelas orangnya.
3. Wali, syarat-syaratnya:
a. Laki-laki.
b. Dewasa.
4. Saksi, syarat-syaratnya:
d. Islam.
e. Dewasa.
c. Memakai kata-kata inkh, tazwj atau terjemahan dari kedua kata tersebut.
f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau
umrah.
23
g. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu
calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang
saksi.39
KHI mengatur mengenai rukun dan syarat perkawinan pada bab IV dari
pasal 14 sampai pasal 29. Pasal 14 KHI menyatakan bahwa untuk melaksanakan
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali;
5. Sighat akad.41
Salah satu rukun perkawinan yang diuraikan Imam Malik adalah mahar.
Kata mahar yang telah menjadi bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-
mahr, jamaknya al-muhr atau al-muhrah. Kata yang semakna dengan mahar
adalah al-shadaq, nihlah, fardhah, ajr, hiba, uqr, aliq, dan thaul. Kata-kata
39
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.cit, hlm. 62-63.
40
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 21.
41
Abd. Rahman Ghazaly, Op.cit, hlm. 47-48.
24
ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan mahar atau mas kawin. Mahar
secara istilah diartikan sebagai harta yang menjadi hak istri dari suaminya
Syariat mahar dalam Islam memiliki hikmah yang cukup dalam, antara
lain:
saling membutuhkan.
2. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat
3. Untuk menjadi pegangan bagi istri bahwa perkawinan mereka telah diikat
dengan perkawinan yang kuat, sehingga suami tidak mudah menceraikan istri
sesukanya.
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Secara garis besar, syarat-
haram dikawini.
42
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.cit, hlm. 66-67.
43
Abd. Rahman Ghazaly, Op.cit, hlm. 49.
25
pada Pasal 6 sampai Pasal 12. Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 memuat mengenai
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
44
M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997, hlm. 11-13.
26
belas) tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari Pengadilan atau
Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
wanita.
4. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 UUP.
5. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
menentukan lain.
tunggu.
Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah
sebagai berikut:
hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari, yang dihitung
tetap.
27
4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda
dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada
waktu tunggu.
yang:
8-9).
dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara
resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat
dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan istri
D. Pengertian Waris
pemilikan harta peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, menentukan
45
Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan Hukum Benda,
Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, hlm. 25-28.
29
siapa-siapa yang dapat menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagiannya
masing-masing.46
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
kewarisan, yaitu:
fardhah berarti sesuatu yang ditentukan jumlahnya. Menurut istilah faridh ialah
hak-hak kewarisan yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam al-Quran
dan Sunnah Nabi.50 Kata faridh seringkali diartikan sebagai saham-saham yang
telah dipastikan kadarnya, maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban
46
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam , Balqis Queen, Solo, 2009,
hlm. 17.
47
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid I :Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm.
57.
48
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 73.
49
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia Pustaka Jaya,
Jakarta, 1995, hlm. 3-4.
50
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 39.
30
yang tidak bisa diubah karena datangnya dari Tuhan. Saham-saham yang tidak
dapat diubah adalah angka pecahan 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3 yang terdapat
Suatu pembahasan menjadi tidak sempurna, jika salah satu rukun tidak ada
pendapat Imam Malik dan Imam Syafii perkawinan itu tidak sah. Sehubungan
mayyit yang akan dipusakai atau dibagi oleh para ahli waris setelah diambil untuk
peninggalan dalam kitab fiqih biasa disebut tirkah, yaitu apa-apa yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta secara mutlak. Istilah
warisan dalam kepustakaan sering pula disebut dengan irts, mrats, mauruts,
51
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 28-29.
52
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif
di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 56-57.
31
waris. Menurut para ulama fiqih, muwarrits dibedakan menjadi 3 macam, yakni:
1. Mati haqiqy (sejati) yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa
dan mati.
3. Mati taqdiry (menurut dugaan) yaitu suatu kematian yang bukan haqiqy
perkawinan.55
Syarat adalah sesuatu yang berada diluar substansi dari permasalahan yang
dibahas tetapi harus dipenuhi, seperti suci dari hadats merupakan syarat sahnya
53
Ibid, hlm. 60.
54
Ibid, hlm. 61.
55
A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, hlm. 9.
56
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Op.cit, hlm. 57.
32
dunia haqiqy (sejati), meninggal dunia hukmy (berdasarkan keputusan hakim) dan
pewaris meninggal dunia, maka harta warisan tidak boleh dibagikan kepada ahli
waris.
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli
Seseorang yang dapat mewarisi harta orang yang telah meninggal dunia
hubungan antara orang tua dengan anak dan hubungan saudara baik sekandung,
(memerdekakan budak).
hubungan famili. Hubungan kekerabatan ini menimbulkan hak mewaris jika salah
57
A. Rachmad Budiono, Op.cit, hlm. 10.
33
satu meninggal dunia, misalnya, anak dengan orang tuanya apabila orang tuanya
meninggal dunia maka anak tersebut mewarisi warisan dari orang tuanya,
demikian juga sebaliknya jika anak yang meninggal dunia maka orang tuanya
b. Karena perkawinan.
seorang suami meninggal dunia maka istrinya mewarisi harta suaminya, demikian
juga sebaliknya jika seorang istri meninggal dunia maka suaminya mewarisi harta
istrinya.
c. Karena wal.
Adanya hubungan tersebut, seorang tuan menjadi ahli waris dari budak
mempunyai ahli waris sama sekali, baik hubungan kekerabatan maupun karena
perkawinan. Faktor kewarisan karena wal pada masa sekarang ini sudah
kehilangan makna pentingnya dilihat dari segi praktis, karena pada masa sekarang
58
Ibid, hlm. 8.
34
pertama dalam hal menerima warisan dari orang tuanya.59 Kedudukan seorang
anak sebagai ahli waris dipengaruhi oleh perkawinan yang dilakukan oleh kedua
orang tuanya, apabila perkawinan ayah dan ibunya sah maka anak yang lahir dari
perkawinan tersebut akan menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya, namun
apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak sah maka anak tersebut hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. 60 Hal ini sesuai
dengan Pasal 186 KHI yang menyatakan bahwa: Anak yang lahir di luar
keluarga dari pihak ibunya.61 Pasal 174 ayat (1) KHI menjelaskan bahwa
Harta warisan yang akan dibagikan kepada para ahli warisnya terlebih
59
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/100mei091518_0854-8986.pdf diunduh pada tanggal 24
Mei 2012.
60
http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2011/05/Modul-Hukum-Waris-5-Pada-Ahli-
Waris.pdf diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
61
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 77.
62
Ibid, hlm. 74.
35
bentuk uang dan angka, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
dengan pewaris, baik yang ada ditempat atau tidak serta meneliti hal-hal
sebagai berikut:
keduanya atau tidak, apakah kelahiran anak tersebut sebagai akibat dari
pewaris ia telah nyata hidupnya atau tidak. Bagi pasangan suami atau
istri yang ditinggalkan, saat kematian itu apakah masih terikat dalam
kematian itu masih berada dalam iddah, talak raji atau tidak.
dengan ahli waris dan bahwa kematiannya bukan disebabkan oleh ahli
waris.
apakah ia dihijab secara hijab hirman oleh ahli waris yang ada
bersamanya.
menerima warisan atas bagian yang ditentukan atau dzawul furdh atau ahli
36
waris yang bagiannya masih bersifat terbuka alias ashabah atau hanya
Seorang anak dapat menjadi ahli waris dari orang tuanya apabila diantara
menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi, salah satunya ialah hak
untuk saling mewarisi. Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya
hubungan biologis yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu
bukan berdasarkan hubungan alamiah. Artinya seorang anak yang terlahir dari
perzinaan tidak dapat dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak itu karena
persetubuhannya tersebut tidak melalui akad yang diakui oleh syariat, tetapi anak
itu tetap dianggap sebagai anak ibunya karena dialah yang mengandung dan
pewarisan, hubungan mahram dan lain sebagainya berlaku untuk anak tersebut.
adalah bagian dari akad dalam perkawinan yang sah. Hal ini meskipun terbukti
terdapat hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya melalui tes DNA,
63
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 289-290.
64
http://isim-hikmah.blogspot.com/2012/02/hukum-menetapkan-nasab-seorang-anak.html
diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
37
Para ulama fiqih sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang
sah apabila melahirkan maka anak tersebut dinasabkan kepada suaminya itu.65
Pendapat mereka tersebut didasarkan antara lain pada hadits berikut ini:
( :
-
, , .)
. , ,
66
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu adalah
bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan yang
melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR. Muttafaq
alaih) dari haditsnya dan dari hadits Aisyah di dalam sebuah kisah, Dari Ibnu
Masud pada An-Nasai serta dari Utsman disisi Abu Daud.67
:
(
)
68
Dan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya Nabi
saw bersabda, Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan
merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu adalah anak zina, dia
tidak dapat mewarisi dan diwarisi. (HR Tirmidzi).69
Anak yang dilahirkan dapat dinasabkan kepada suami dari istri yang melahirkan
perkawinan. Jumhur ulama menambahkan dengan syarat suami isteri itu telah
3) Suami isteri pernah bertemu minimal satu kali setelah akad. Hal ini disepakati
menurut logika bisa terjadi, sehingga apabila wanita itu hamil selama enam
bulan sejak ia diperkirakan bertemu dengan suaminya, maka anak yang lahir
cacat syarat sahnya, misalnya mengawini wanita yang masih dalam masa iddah.
Kesepakatan ulama fiqih dalam penetapan nasab anak yang lahir dalam
perkawinan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam perkawinan yang sah,
akan tetapi ulama fiqih mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak
baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan isterinya
tidak hamil.
3) Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad
fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama
Hanafiyah). Anak yang lahir sebelum waktu enam bulan setelah akad atau
melakukan hubungan senggama, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada
isterinya. Nasab disini menjadi diakui bukan karena terjadinya perkawinan yang
sah dan bukan pula karena adanya senggama dalam akad yang fasid dan bukan
pula dari perbuatan zina tetapi karena telah terjadi kesalahdugaan, misalnya dalam
keadaan malam yang gelap seorang laki-laki menyenggamai seorang wanita yang
menurut keyakinannya adalah isterinya. Kasus seperti ini jika wanita itu hamil dan
melahirkan setelah enam bulan sejak terjadinya senggama syubhat dan sebelum
masa maksimal kehamilan maka anak yang lahir itu dinasabkan kepada laki-laki
yang menyenggamainya, akan tetapi jika anak itu lahir setelah masa maksimal
masa kehamilan maka anak itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki itu. 70
70
http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_JUmni%20Nelli.pdf diunduh pada tanggal
24 Mei 2012
40
Hak bagi setiap anak yang lahir telah diatur pada Pasal 28B ayat (2) UUD
1945 yang menyatakan bahwa: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Setiap anak meskipun ia lahir diluar perkawinan yang sah tetap
hukum sebagai ayah biologisnya dapat memberikan wasiat atau hibah kepada
anak tersebut sebagai bentuk tanggung jawabnya bagi kelangsungan hidup anak
tersebut dengan ketentuan wasiat dan hibah yang diberikan tidak lebih dari 1/3
Batasan wasiat dan hibah tersebut sesuai dengan ketentuan pada Pasal 201
dan 210 ayat (1) KHI. Pasal 201 KHI menyatakan bahwa: Apabila wasiat
melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak
71
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 82.
72
Ibid, hlm. 84.
BAB III
A. Kasus Posisi
H. Mochtar Ibrahim
Tangerang, Banten
Moerdiono
Tangerang, Banten.
41
42
Makta; dan iii) Miftachul I.A.A., yaitu advokat pada Kantor Hukum
Matulatuwa & Makta yang beralamat di Wisma Nugra Santana 14th Floor,
Suite 1416, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8 Jakarta 10220, baik sendiri-
sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
2. Duduk Perkara
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pasal ini ternyata
bagi Pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya
yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah
dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang
Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang
diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs.
Moerdiono;
tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) dan (2)
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan: Setiap orang berhak atas
Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di hadapan
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut adalah sah di hadapan hukum
termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan Pemohon
yang dilangsungkan sesuai dengan rukun kawin adalah sah tetapi terhalang
mengakibatkan perkawinan yang sah dan sesuai dengan rukun kawin agama
Islam (norma agama) menjadi tidak sah menurut norma hukum, kemudian hal
ini berdampak kepada status anak yang dilahirkan Pemohon ikut menjadi
tidak sah dan menjadi anak di luar kawin berdasarkan ketentuan norma
negara telah menghilangkan hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan
tidak adanya kepastian hukum atas perkawinan Pemohon dan anak yang
menuntut hak atas kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan batin serta
membuktikan dalil-dalilnya yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti
Perkawinan.
46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs.
46
Pemohon juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag.,
kepercayaannya;
memenuhi lima rukun, yaitu ijab qabul, calon mempelai pria, calon
mempelai wanita, dua orang saksi, dan wali dari pihak mempelai wanita;
tidak sah;
5. Karena perkawinan tersebut tidak sah, lebih lanjut Pasal 43 ayat (1) UU
memiliki nasab dan hubungan kekerabatan dengan ibu dan keluarga ibu.
Pada akta kelahirannya, anak tersebut akan ditulis sebagai anak dari ibu
tanpa bapak;
lahiriah lainnya;
di luar kawin yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya adalah bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) UUD
8. Dalam hukum Islam, anak lahir dalam keadaan bersih dan tidak
dosa turunan atau pelimpahan dosa dari satu pihak ke pihak lainnya;
10. Islam mengenal konsep anak zina yang hanya bernasab kepada ibu
kandungnya, namun ini anak dari perkawinan sah (yang telah memenuhi
syarat dan rukun). Anak yang lahir dari perkawinan sah secara Islam,
11. Bahkan dalam Islam dilarang melakukan adopsi anak jika adopsi tersebut
memutus hubungan nasab antara anak dengan bapak. Jika anak yang
akan diadopsi tidak diketahui asal muasal dan bapak kandungnya, maka
harus diakui sebagai saudara seagama atau aula/anak angkat; dan bukan
12. Dalam fiqh, tidak pernah disebutkan bahwa perkawinan harus dicatat,
tetapi terdapat perintah dalam Al Quran Surat an-Nisa untuk menaati ulil
13. Dengan demikian, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
14. Jika Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengandung
ringan;
seluruhnya;
bertentangan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, tidak
hukumnya;
Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka dimohonkan Putusan yang
b. Keterangan Pemerintah
dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal (2), Pasal (4), Pasal 5, Pasal 9, dan Pasal 12 UU
tidak berarti bahwa undang-undang ini melarang seorang suami untuk beristri
dengan istri kedua dan seterusnya, akan tetapi hal tersebut hanya dapat
dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 5 serta PP Nomor 9 Tahun 1975.
dapat dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, dengan
segala akibat hukumnya antara lain: tidak mempunyai status perkawinan yang
51
sah, dan tidak mempunyai status hak waris bagi suami, istri, dan anak-
anaknya.
menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) telah bertentangan dengan Pasal 28B ayat
(1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena pencatatan
timbul karena perkawinan seperti hak waris, hak untuk memperoleh akte
yang sah dan mendapat hak status anak yang dilahirkannya. Pemerintah
yang berlaku yang dilakukan secara sadar dan nalar yang sepatutnya dapat
karena pembatasan yang demikian telah sejalan dengan ketentuan Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa: Dalam menjalankan hak dan
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
hukum seorang anak yang lahir dari seorang perempuan, memiliki hubungan
hukum sebagai anak dengan seorang laki-laki yang tidak terikat dalam suatu
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945, dapat
standing);
Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2)
c. Keterangan DPR RI
pada tanggal 24 Februari 2011, yang menguraikan bahwa terhadap dalil para
diatur dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 telah dirugikan, DPR menyampaikan penjelasan bahwa akibat dari suatu
hukum kepada pihak-pihak yang terkait dalam perkawinan (suami, istri dan
kewajiban memberi nafkah dan hak waris. Berdasarkan hal tersebut, maka
setiap perkawinan.
sehingga hal ini berimplikasi terhadap hak-hak keperdataan yang timbul dari
akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
undangan.
Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan
terhadap kepastian hukum atas status keperdataan anak yang lahir dari
ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
56
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
4. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tetap
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili perkara ini karena maksud dan
tujuan permohonan para Pemohon adalah untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang merupakan
dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang
merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan
58
perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Kedua,
oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat
luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan
suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait
dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat
usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak
tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan
tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik
sebagai buktinya.
yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan
tentang sahnya anak. Secara alamiah tidaklah mungkin seorang perempuan hamil
tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan
yang menyebabkan terjadinya pembuahan, oleh karena itu tidak tepat dan tidak
adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan
perempuan tersebut sebagai ibunya. Tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai
seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak
laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban
secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan
kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-
hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun
Mengadili :
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat
administratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang
dilakukan. Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan
bahkan bertentangan. Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa
perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur bahwa perkawinan
62
akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi berwenang.
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 jika dimaknai sebagai pencatatan secara administratif
yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu perkawinan, maka
hal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi
(1) UU Perkawinan juga akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara
Islam.
Adanya penelantaran istri dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, fenomena
kawin kontrak, fenomena istri simpanan (wanita idaman lain), dan lain
secara utuh. Esensi pencatatan, selain demi tertib administrasi, adalah untuk
diletakkan setidaknya dalam dua konteks utama, yaitu (i) mencegah dan (ii)
terhadap hak-hak wanita sebagai istri dan hak-hak anak-anak yang kelak
dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hak anak yang dilindungi oleh Pasal 28B
ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tidak dirugikan oleh adanya Pasal 2
terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945, justru akan dapat dimaksimalkan apabila semua perkawinan
dicatatkan sehingga dengan mudah akan diketahui silsilah anak dan siapa yang
dimensi sosial yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas status dan
akibat hukum dari suatu peristiwa hukum seperti juga pencatatan tentang
Konstitusi Maria Farida Indrati tidak ada kerugian konstitusional yang dialami
dalam hal ini UU 1/1974, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai
perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita (istri) sangat
beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat
64
sebagai istri, hanya dapat dilakukan jika perkawinan dilakukan secara sadar sesuai
mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak lain yang timbul
dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak wanita (istri)
harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan
suaminya.
untuk merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian
bagi anak yang paling utama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak
dan hak-hak keperdataan lainnya. Keberadaan seorang anak yang tidak memiliki
sebagai anak haram. Stigma ini adalah sebuah potensi kerugian bagi anak,
menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut
tuanya. Hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam) tidak
mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang
dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah dosa
dengan UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan
perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan
pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan, terlepas dari sah
kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya.
D. Wawancara
Data primer yang penulis gunakan untuk penelitian ini ialah melalui
wawancara dengan Bapak M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi
Jawa Barat), Bapak Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masaail NU Jawa Barat,
66
Bapak Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Persatuan Islam), Bapak Zae
MK?
akan tetapi perkawinannya ini merupakan kawin sirri. Artinya kawin sirri
itu ialah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan agama hanya belum
tersebut menurut agama adalah sah meskipun tidak mendapat akta nikah.
yaitu mempelai laki-laki, mempelai wanita, wali, 2 orang saksi dan ijab
67
mempunyai akta nikah, jika tidak mempunyai akta nikah maka dapat
menetapkan nikah sirri sudah sah menurut agama tetapi wajib dicatatkan
sulit mendapat akta kelahiran dan sulit mendapat hak waris. Keputusan
ayah. Menurut fiqih tidak demikian, anak zina tidak mempunyai hubungan
dengan ayah dan keluarga ayah sehingga anak tersebut hanya menjadi
hubungan dengan orang tua khususnya ayah, dan ini yang bertentangan
kami putusan itu sebaiknya berbunyi anak yang lahir dari perkawinan
ayah dan keluarga ayah. Anak diluar perkawinan menurut Islam tetap
tidak bernasab kepada ayahnya, karena tidak memenuhi syarat dan tidak
terjadi ijab qobul antara suami dan istri tersebut. Hubungan suami-istri
baru dapat dilakukan apabila telah menjadi suami istri yang sah dengan
wali, 2 orang saksi dan ijab qobul. Machica kemungkinan telah memenuhi
ayahnya dapat menjadi wali dan dapat dianggap sebagai keturunan yang
sah dari ayahnya. MUI tidak setuju dengan putusan MK tersebut karena
bunyinya anak yang lahir diluar perkawinan apabila bunyinya anak yang
dilahirkan dari perkawinan sirri, MUI setuju. Anak yang lahir diluar
perkawinan dapat dikatakan sama dengan anak hasil zina, anak hasil
kumpul kebo ataupun anak hasil selingkuh, dan itu tidak bisa dikatakan
69
anak tersebut adalah anak hasil zina sehingga tidak mempunyai hubungan
3. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak
Menurut Islam anak yang lahir diluar perkawinan dalam arti anak hasil
zina tidak mempunyai hubungan nasab dan juga tidak mempunyai hak
yang mana hubungan perdata itu antara lain ialah hak untuk mendapat
anak dengan ayah itu menyangkut masalah waris dan wali, apabila tidak
ada hubungan dengan ayah maka tidak boleh mendapat waris dan tidak
boleh menjadi wali karena laki-laki itu bukan ayahnya melainkan orang
lain. Ayah biologis sebenarnya dalam Islam tidak ada, artinya hubungan
perzinaan.
4. Anak merupakan salah satu ahli waris yang berhak mendapat harta
dengan ayahnya?
70
pasangan suami istri yang sah dan sudah melalui perkawinan yang sah.
Setiap anak yang lahir itu baik, yang berdosa adalah ayah dan ibunya,
dan yang disyaratkan itu ialah hubungan suami istri, yang mana baru
yang sah dengan akad nikah yang sah pula, sehingga anak dapat
kepada umum, jadi MUI Pusat hanya memberi surat putusan tersebut
selain hal tersebut MUI tidak sepakat dan tetap berpendapat bahwa anak
71
M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), wawancara pada hari senin
tanggal 21 Mei 2012, di MUI Propinsi Jawa Barat Jl. RE.Martadinata No.105Bandung.
71
MK?
terjadi perkawinan yang sah secara agama dan telah memenuhi syarat
perkawinan yang lima (5) yaitu calon suami, calon istri, wali, saksi, ijab
benar. Perkawinan yang semacam itu sering kita sebut dengan nikah sirri,
dan NU berpendapat bahwa nikah sirri adalah sah karena telah sesuai
dan memenuhi syarat perkawinan yang lima (5). Status anak apabila
putusan MK atau dengan kata lain kasus nikah sirri, maka anak dapat
dalam hubungannya antara orang tua dan anak yaitu berkaitan dengan:
c. Hak waris.
3. Apabila salah satu kategori hubungan perdata ialah hak saling mewarisi,
diluar perkawinan ialah termasuk kepada anak hasil zina, anak hasil
apabila anak tersebut lahir dari hasil perkawinan yang sah atau
mewarisi dengan ayah dan ibunya, namun diluar kasus tersebut tetap
seorang anak hanya dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga
ibunya saja.
4. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak
dengan ibunya dan telah terpenuhi lima (5) syarat perkawinan, dan anak
5. Anak merupakan salah satu ahli waris yang berhak mendapat harta
warisan, apa kriteria seorang anak dapat saling mewarisi dengan kedua
dianggap sah apabila kedua orang tuanya telah melalui perkawinan yang
sah dan memenuhi lima (5) syarat perkawinan terlebih dahulu, apabila
lima (5) syarat perkawinan tersebut tidak terpenuhi atau anak tersebut
merupakan anak hasil zina dan sebagainya, maka anak tersebut hanya
72
Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar), wawancara pada hari rabu tanggal
23 Mei 2012, di PW Nahdlatul Ulama Jawa Barat Jln. Terusan Galunggung No. 09 Bandung.
74
Islam)
MK?
sedangkan menurut syariat Islam anak yang lahir itu adalah anak
ayahnya, adapun akibat dari pada kelakuan kedua orang tuanya yang
meraka, tetapi tetap yang lahir itu adalah anaknya dan sebagai ahli waris.
Mengenai hal ini sebetulnya yang mesti mempunyai dalil itu bukan yang
2. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak
Anak yang lahir diluar perkawinan tetap merupakan anak dari kedua
anaknya apalagi dikatakan bukan sebagai ahli waris, ketika anak tersebut
ayahnya.
75
3. Hubungan nasab seorang anak dengan orang tuanya terkait hal apa saja?
Anak yang lahir tetap berasal dari bibit ayahnya, adapun akibat dari pada
campur tanpa perkawinan, itu urusan dosa kedua orang tersebut dan anak
anak dan tetap sebagai ahli waris karena apabila tidak diakui sebagai
kami sudah menetapkan hukum yang jelas yaitu anak yang lahir tanpa
perkawinan itu adalah anaknya. Anak tersebut tetap mendapat hak waris
dari kedua orang tuanya apabila anak itu tidak mendapat hak waris berarti
ia bukan sebagai ahli waris dan nanti bisa menjadi sah untuk
73
Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara pada hari
sabtu tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran,
Pameungpeuk Kab. Bandung.
76
Islam)
karena itu menurut agama perkawinan tersebut sah sehingga anak tersebut
itu benar merupakan anak dari ayah dan ibunya maka anak itu tentunya
dari ayah dan ibunya maka bagaimanapun juga seorang anak tetaplah
anak dari kedua orang tuanya meskipun tanpa terjadi perkawinan antara
ayah dan ibunya. Nasab merupakan suatu hubungan antara orang tua
dengan anak, nisbat kepada laki-laki sebagai ayah dan nisbat kepada
dari kedua orang tuanya maka ia adalah anak dari kedua orang tuanya
dan bernasab keduanya. Anak yang lahir diluar perkawinan maupun yang
lahir dari perkawinan yang sah tetap bernasab kepada ayahnya, karena
secara biologis ia adalah anak dari ayah dan ibunya. Hubungan nasab
tidak terkait dengan akad perkawinan yang sah, karena akad itu sebagai
Hubungan perdata itu dilihat dari hukum positif, saya hanya melihat dari
3. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak
Sebab waris dalam Islam ada tiga yaitu karena perkawinan, karena
hubungan nasab dan wala. Seorang anak apabila benar merupakan anak
dari ayah dan ibunya maka berdasarkan sebab waris yaitu karena adanya
hubungan nasab, anak itu berhak mendapatkan warisan dari kedua orang
tuanya, oleh karena itu sebab waris seorang anak kepada orang tuanya
ialah karena adanya hubungan nasab dan tidak terkait pada hubungan
4. Hubungan nasab seorang anak dengan orang tuanya terkait hal apa saja?
Akad itu bukan sebagai penentu nasab, akad hanya berkaitan dengan
74
Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara pada hari sabtu
tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran,
Pameungpeuk Kab. Bandung.
79
Saya kira sama dengan hukum perdata pada umumnya, anak yang lahir
Menurut hukum Islam juga seperti itu anak yang lahir diluar perkawinan
hanya menjadi anak ibunya tidak menjadi anak ayahnya, karena apabila
menjadi anak ayahnya maka apa bedanya antara kawin dan tidak kawin.
Kawin dan tidak kawin adalah sebagai pembeda seorang anak dapat
menjadi anak ayah dan ibunya, apabila kawin maka ia menjadi anak ayah
dan ibunya karena memang legal dan anak tersebut secara hukum menjadi
anak ayah dan ibunya sehingga ia menjadi ahli waris dari ayah dan
ibunya, apabila tidak kawin berarti hal tersebut adalah zina dan status
anak tersebut dari ayahnya menjadi tidak sah karena tidak ada dasar
hanya sah menjadi anak dari ibunya saja karena ibulah yang
sesuatu yang sah, maka dari itu perlu adanya perkawinan. Perkawinan itu
adalah untuk memperjelas nasab dan akibat hukumnya, seperti hak waris
adalah akibat hukum, yaitu dengan adanya perkawinan yang sah sehingga
80
menimbulkan akibat hukum berupa hak waris dari kedua belah pihak,
seseorang tidak dapat menjadi ahli waris. Menjadi ahli waris dan tidak
menjadi ahli waris ialah sebagai bentuk dari akibat hukum tentang hak dan
kewajiban seseorang.
Hubungan perdata ialah hubungan yang bersifat materiil dan yang bersifat
antara kawin dan tidak kawin. Hukum Islam sangat tegas mengenai
masalah kawin dan tidak kawin bahkan seseorang yang berzina dihukum
rajam, namun dalam putusan MK tidak diberi sanksi bagi yang melakukan
hukum, suami secara hukum dan istri secara hukum dan apabila putusan
MK dijalankan maka tidak akan ada bedanya antara kawin dan tidak
kawin.
81
3. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak
Hubungan nasab antara orang tua dengan anak ialah masalah hukum,
dapat disebut sebagai ayah, ibu dan anak yaitu oleh hukum. Dalam Islam
tidak ada ibnu atau binti. Seorang anak dapat saja memiliki hubungan
nasab dari kedua orang tuanya namun apabila tidak melalui perkawinan
yang sah, maka seorang anak tidak mempunyai akibat hukum dengan
penjelas status anak dan kepastian bahwa anak itu adalah anak ayahnya
yang sah. Teknologi yang ada pada zaman sekarang seperti tes DNA tidak
produk hukum yang bisa menentukan status seseorang sebagai ayah, ibu
dan anak, sehingga ketika tidak ada ikatan perkawinan maka tidak ada
yang disebut sebagai ayah ataupun anak dan tidak ada produk hukum.
Tidak semua nasab berarti produk hukum seperti masalah perzinaan ini,
meskipun anak tersebut lahir dari ayah dan ibunya namun secara hukum ia
hukum anak dan ibu yaitu dengan dilahirkannya seorang anak dari rahim
dengan satu pembuktian saja yaitu DNA, karena nasab terkait dengan
4. Anak merupakan salah satu ahli waris yang berhak mendapat harta warisan,
apa kriteria seorang anak dapat saling mewarisi dengan kedua orang tuanya
Seorang anak disebut sebagai ahli waris karena produk hukum yang sah,
yaitu anak menurut hukum bukan anak menurut kelahirannya karena kita
meninjau dari segi hukumnya. Hukum waris menjadi ada karena dihasilkan
oleh perkawinan yang sah terlebih dahulu. Fungsi hukum dalam Islam
perkawinan akal menjadi tidak terjaga, jiwanya pun tidak sehat karena
akta kelahiran dan tidak diakui oleh lembaga resmi, sehingga hukum akan
Secara eksplisit kami tidak ada sikap terhadap putusan tersebut, namun
menjunjung tinggi agama Islam dan hukum Islam karena hanya hukum
pasti tidak akan menerima putusan tersebut bahwa anak yang lahir diluar
nantinya banyak yang tidak dapat dijalankan karena hukum itu dapat
berlaku apabila ada dua hal yaitu politik hukum dan kesadaran hukum,
dapat dijalankan. Kita bisa sebut putusan MK ini hanya bersifat produk
semantik dalam arti putusan tersebut hanya berupa produk yang hanya
dibuat saja namun tidak bisa dijalankan oleh masyarakat muslim karena
hukum masyarakat. Hukum yang baik itu mencakup tiga aspek, aspek
rasa keadilan, kita tinjau masalah anak yang lahir diluar perkawinan yang
sebenarnya tidak adil karena menganiaya orang yang kawin sehingga yang
kawin dan tidak kawin akan menjadi sama dan tidak ada bedanya, karena
dengan benar atau tidak dan sejauhmana majelis konstitusi pada waktu itu
ketiga aspeknya tidak baik maka produk hukumnya pun tidak baik.75
75
Muhammad Rizal Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat), wawancara pada
hari senin tanggal 28 Mei 2012, di PW Muhammadiyah Jawa Barat Jln. Sancang No. 06
Bandung.
85
Bandung)
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
86
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawian;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun
1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau
isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.
dinyatakan sah, maka anak yang lahir dari perkawinan tersebut dalam
kacamata agama sah dan dapat dinasabkan kepada ayah dan ibunya.
anak yang lahir diluar perkawinan bukan anak hasil zina melainkan
Anak hasil zina dalam pandangan Hukum Islam statusnya sudah jelas
anak yaitu:
87
dilahirkan.
anaknya.
tuanya.
Sodiki (Wakil Ketua MK) dalam Sitinjau News 12 Mei 2012, hubungan
putusan MK adalah hanya sebatas hak dan kewajiban antara anak dan
orang tuanya (orang tua tidak boleh menelantarkan anak walaupun yang
dengan nasab.
3. Apabila salah satu kategori hubungan perdata ialah hak saling mewarisi,
Anak tersebut dapat saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya,
dalam pandangan Hukum Islam pun apabila kriteria anak yang lahir
bahwa anak yang lahir diluar perkawinan bukan anak hasil zina melainkan
Pengadilan Agama melalui isbat nikah, maka jelas anak tersebut dapat
saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya, kecuali anak yang
lahir diluar perkawinan dimaknai sebagai anak hasil zina, maka jelas anak
tersebut tidak dapat saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya.
4. Salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan nasab. Apakah anak
sirri dan bukan merupakan anak hasil zina, maka jelas ia mempunyai
5. Hubungan nasab seorang anak dengan orang tuanya terkait hal apa saja?
Apakah kedua orang tuanya harus melakukan perkawinan yang sah terlebih
Pertalian nasab kaitannya dengan orang tua laki-laki (ayah), lahir sebagai
akibat dari:
karena itu harus ada penjelasan resmi tentang maksud putusan tersebut.
7. Jika ada kasus seperti ini yang diajukan ke Pengadilan Agama, bagaimana
MK ini?
dalam kasus seperti ini aturan hukum yang berlaku yang dapat dipakai
76
Acep Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung), wawancara pada hari selasa tanggal 12
Juni 2012, di Pengadilan Agama Bandung Jln. Terusan Jakarta No. 120 Antapani Bandung.
BAB IV
DILUAR PERKAWINAN
Islam
merupakan permohonan uji materiil Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP
terhadap Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica dan Muhammad Iqbal
perkawinan tersebut dan mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yakni
perkawinan.
91
92
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum. MK mendasari putusan
perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik
itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir
memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Tidak tepat dan
tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan
biologis yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari
tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum
dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban
secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan
kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-
hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun
darah anak yang lahir diluar perkawinan dengan ayah biologisnya, penulis
akibat dari adanya suatu percampuran antara ayah dan ibunya, jadi secara darah
anak tersebut jelas mempunyai hubungan dengan kedua orang tuanya karena
didalam diri anak tersebut mengalir darah kedua orang tuanya dan anak tersebut
berasal dari bibit kedua orang tuanya sehingga ia bisa lahir ke dunia ini. Mengenai
94
hubungan perdata anak yang lahir diluar perkawinan dengan ayah biologisnya,
penulis tetap tidak sependapat dengan putusan MK. Ketentuan hukum Islam
menyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan yang dapat pula disebut
sebagai anak hasil zina tidak dapat dinyatakan memiliki hubungan perdata dengan
( :
-
77
.)
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR.
Muttafaq alaih)
Al-Firsy secara etimologi ialah hamparan di atas permukaan bumi. Istilah
ini salah satunya diambil untuk seorang istri. Maksudnya bahwa anak milik orang
yang memiliki al-firsy (laki-laki yang memiliki istri dari perkawinan yang sah).78
tertentu. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya
perbuatan hukum itu. Perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka
anak yang lahir dari perkawinan itu merupakan anak yang tidak sah. 79 Hubungan
perdata merupakan akibat hukum dari suatu perbuatan hukum yang telah
dilakukan sebelumnya, dalam hal ini hubungan perdata antara anak dengan orang
77
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Ibnu Katsir, Juz 2
(Hadits No. 1948), Beirut, 1987, hlm. 724. Lihat juga Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar
Ihya at-Turats al-Araby, Juz 2 (Hadits No. 36 (1457)), Beirut, tt, hlm. 1080.
78
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram , Pustaka Azzam, Jakarta,
2006, hlm. 699.
79
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet. ke-8, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987,
hlm. 15.
95
UUP mendefinisikan: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan:
agamanya dan kepercayaannya itu, dari ketentuan tersebut jelas dapat dipahami
bahwa yang dapat dikatakan sebagai anak yang sah yang secara otomatis dapat
mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan ibunya ialah anak yang lahir
akibat dari perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah menurut UUP yaitu
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama, dari ketentuan ini
dapat dipahami pula bahwa yang menjadi tolak ukur seorang anak dapat memiliki
perkawinan yang sah yang didasarkan pada ketentuan agama yaitu agama Islam
yang berpegang pada ketentuan Allah, bukan pada ketentuan manusia. Ketentuan
Allah tidak dapat dikesampingkan oleh ketentuan apapun apalagi oleh ketentuan
yang lahir diluar perkawinan hanya kepada ibu dan keluarga ibunya saja, karena
seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan dengannya
yang terjadi secara alamiah karena ibulah yang mengandung dan melahirkan anak
tersebut. Seorang anak dapat mempunyai hubungan sebagai anak sah dengan
ayahnya tidak dapat terjadi secara alamiah sebagaimana yang terjadi pada ibu
namun terjadi secara hukum, maksudnya ialah bahwa ayah dari anak tersebut
haruslah mempunyai ikatan hukum dengan ibunya yaitu ikatan perkawinan yang
sah menurut agama Islam, jika antara ayah dan ibunya tidak ada ikatan
perkawinan yang sah maka anak yang lahir tidak dapat dikatakan mempunyai
96
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang
mahram (nasab) antara anak dengan ayahnya. Hakikatnya setiap anak yang lahir
berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun
kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat
perkawinan akan menjadi sah dan halal melakukan hubungan biologis, yang
kemudian akan lahir seorang bayi. Sejak adanya bayi itu maka terciptalah
hubungan hukum nasab, bayi tersebut mempunyai hubungan hukum sebagai anak,
yang laki-laki sebagai anak laki-laki (ibnun) dan yang perempuan sebagai anak
mempunyai hubungan hukum nasab sebagai ayah (abun) dan pihak perempuan
yaitu istri mempunyai hubungan hukum nasab sebagai ibu (ummun). Bayi yang
lahir meskipun pembuahan antara sperma dan ovum dari suami istri yang sah
tersebut dilakukan melalui proses tabung, tetap saja hubungan hukum itu berlaku
80
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, No 1/1974 sampai KHI), Prenada Media, Jakarta, 2004,
hlm. 276.
81
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 175.
97
mendahuluinya.82
kerabat atau nasab dengan ibu yang melahirkannya, karena anak tersebut jelas
keluar dari rahim ibunya dan tidak ada seorangpun yang membantah mengenai hal
ini. Hubungan keibuan ini bersifat alamiah dan telah berlaku sejak adanya
menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan, apabila dapat dipastikan secara
hukum bahwa laki-laki tersebut adalah yang mengawini ibunya dan yang
menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan, maka hubungan nasab atau kerabat
seorang anak berlaku pula dengan laki-laki itu, yang selanjutnya laki-laki itu
disebut sebagai ayahnya. Hubungan keibuan dapat berlaku secara alamiah, namun
dilahirkan diluar perkawinan yang sah dengan ayah biologisnya tidak akan pernah
dinyatakan ada tanpa adanya akad perkawinan sah yang menyebabkannya. Islam
hukum diluar Islam pengesahan anak dikenal, yang mana dengan pengakuan anak
maka anak yang tidak mempunyai hubungan sah melalui upaya hukum bisa
dijalin oleh ikatan perkawinan yang sah, maka tanpa suatu perbuatan hukum
82
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 101.
83
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 175-176.
98
sebagai ayah sah sebagaimana perempuan itu menjadi ibu sah dari anak yang
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?".85
Maksud dari ayat tersebut ialah bahwa sama halnya seperti pemberian
rezeki yaitu hanya dari yang baik, pemberian anak cucu juga hanya dari yang
baik-baik yakni karena ikatan perkawinan yang sah bukan zina yang keji.
berbunyi: Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
dipahami bahwa anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel
telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi
ini haruslah terjadi dalam perkawinan yang sah, dari sinilah penetapan anak sah
tersebut dilakukan.87 Penentuan nasab seorang anak kepada seorang lelaki sebagai
ayahnya adalah bagian dari akad dalam perkawinan yang sah. Hal ini meskipun
terbukti terdapat hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya melalui tes
84
Ibid, hlm. 102.
85
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, CV. Gema Risalah Press,
Bandung, 1993, hlm. 412.
86
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 106-107.
87
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.cit, hlm. 279.
99
DNA, karena sebagaimana dijelaskan di atas nasab anak kepada ayahnya hanya
nya ialah hasil dari pertemuan dua bibit yang menyebabkan pembuahan dan
menghasilkan janin dalam rahin ibu. Hal tersebut tidak mungkin diketahui oleh
siapa pun kecuali Allah swt, karena hukum harus didasarkan kepada sesuatu yang
nyata dan dapat diukur serta dipersaksikan. Sesuatu yang dapat dipersaksikan dan
yang menimbulkan anggapan kuat bahwa sebab haqiqi yang disebutkan diatas
terdapat padanya. Sesuatu hal yang nyata yang dijadikan pengganti sebab haqiqi
yang tidak nyata itu, dikalangan ulama ushul fiqih disebut mazhinnah.
antara seorang anak dengan ayahnya ialah akad perkawinan yang sah, yang telah
berlaku antara seorang laki-laki dan ibu yang melahirkan anak tersebut, yang
ayahnya, apabila anak tersebut lahir dari hasil atau akibat perkawinan yang sah
Jumhur ulama berpendapat bahwa hanya akad perkawinan yang sah belum
menjamin hubungan kekerabatan atau nasab yang sah. Sahnya hubungan nasab
disamping akad perkawinan yang sah, disyaratkan pula bahwa diantara suami-istri
88
http://isim-hikmah.blogspot.com/2012/02/hukum-menetapkan-nasab-seorang-anak.html
diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
89
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 176.
100
yang sah sudah cukup untuk menetapkan hubungan nasab antara anak dengan
ayahnya. Menurut ulama ini, anak yang lahir adalah anak yang sah dari laki-laki
hubungan nasab antara seorang anak dengan seorang laki-laki sebagai ayahnya,
yaitu dengan adanya akad perkawinan yang sah antara laki-laki itu dengan ibu
pernah terjadi dan hubungan biologis yang menghasilkan pembuahan itu berlaku
saat ikatan perkawinan masih ada, walaupun kelahiran berlaku pada waktu
Semua ulama sepakat bahwa anak yang dilahirkan adalah anak yang sah
bagi seorang suami apabila anak tersebut lahir tidak kurang dari waktu minimal
yang ditentukan dan tidak melebihi waktu maksimal yang ditetapkan. Anak yang
lahir sewaktu ikatan perkawinan masih berlangsung, yang diukur adalah waktu
minimal yaitu jarak waktu minimal antara perkawinan dengan kelahiran. Anak
yang lahir setelah hubungan perkawinan putus yang diukur adalah waktu
maksimal, yaitu jarak waktu antara putus perkawinan dengan kelahiran. Para
ulama mujtahid terdahulu sepakat bahwa minimal waktu hamil adalah 6 bulan.
Hal ini sesuai dengan kenyataan yang berlaku sampai sekarang. Kehamilan 6
90
Ibid, hlm. 177.
91
Ibid, hlm. 178.
101
bulan telah menghasilkan janin yang sempurna sedangkan kurang dari waktu itu
janin belum sempurna untuk lahir dalam keadaan hidup. Batas minimal waktu
hamil itu selaras pula dengan petunjuk Al-Quran apabila kita hubungkan dua ayat
yang menyatakan masa menyusui sebagaimana tersebut dalam surat Luqman ayat
14 yaitu 24 bulan dengan surat Al-Ahqaf ayat 15 yang menyatakan masa hamil
dihubungkan dapat kita simpulkan bahwa masa hamil tidak mungkin kurang dari
6 bulan. Batas minimal waktu hamil antara akad perkawinan dan kelahiran itu
adalah 6 bulan untuk menetapkan sahnya hubungan nasab dengan laki-laki yang
tahun. Pendapat ini mereka dasarkan pada atsar Aisyah yang menyatakan bahwa
janin tidak mungkin tinggal dalam perut ibunya lebih dari dua tahun. Berdasarkan
tahun. Pendapat yang kuat dikalangan Malikiyah juga empat tahun, demikian pula
dalam kalangan ulama Hanabilah, walaupun ada yang menukilkan pendapat dari
Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan
dari hubungan perkawinan yang sah secara syari atau dengan kata lain buah dari
hubungan haram antara laki-laki dan wanita. Anak yang lahir karena perbuatan
zina adalah keturunan dari ibunya karena jelas terlihat wanita tersebut yang
92
Ibid, hlm. 179.
93
Ibid, hlm. 179-180.
102
mempunyai hubungan nasab sebagai ayah dengannya dapat dilakukan jika ada
seorang laki-laki yang mengakuinya anak, tetapi laki-laki itu tidak mengakuinya
lahir dari perbuatan zina dengan ibu anak itu. Anak tersebut dapat dinasabkan
kepadanya jika syarat-syaratnya telah terpenuhi, namun jika laki-laki itu berkata
bahwa anak itu adalah anaknya dari hasil perbuatan zina, maka menurut jumhur
ulama anak itu tidak bisa dinasabkan kepadanya. Nasab atau keturunan adalah
sebuah nikmat dan itu tidak bisa diperoleh dari perbuatan tercela, sedangkan
Para ulama fiqih sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad
yang sah apabila melahirkan maka anak tersebut dinasabkan kepada suaminya
itu.95 Pendapat mereka tersebut didasarkan antara lain pada hadits berikut ini:
( :
-
96
.)
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR.
Muttafaq alaih) 97
94
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Cet. ke-1, Senayan Abadi
Publishing, Jakarta, 2004, hlm. 401.
95
http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_JUmni%20Nelli.pdf diunduh pada tanggal
24 Mei 2012.
96
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Op.cit, hlm. 724.
97
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Op.cit, hlm. 699.
103
cacat syarat sahnya, misalnya mengawini wanita yang masih dalam masa iddah.
Kesepakatan ulama fiqih dalam penetapan nasab anak yang lahir dalam
perkawinan fasid sama dengan penetapan nasab anak dalam perkawinan yang sah.
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dalam keyakinannya adalah
isterinya. Nasab disini menjadi diakui bukan karena terjadinya perkawinan yang
sah dan bukan pula karena adanya senggama dalam akad yang fasid dan bukan
pula dari perbuatan zina tetapi karena telah terjadi kesalahdugaan, misalnya dalam
keadaan malam yang gelap seorang laki-laki menyenggamai seorang wanita yang
menurut keyakinannya adalah isterinya. Kasus seperti ini jika wanita itu hamil dan
melahirkan setelah enam bulan sejak terjadinya senggama syubhat dan sebelum
masa maksimal kehamilan maka anak yang lahir itu dinasabkan kepada laki-laki
yang menyenggamainya, akan tetapi jika anak itu lahir setelah masa maksimal masa
kehamilan maka anak itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki itu.98
Mengenai status anak yang lahir diluar perkawinan, Prof. Dr. H.M. Salim
Umar., MA (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat) berpendapat bahwa:
Menurut fiqih anak yang lahir diluar perkawinan (zina) tidak mempunyai
hubungan dengan ayah dan keluarga ayah sehingga anak tersebut hanya
menjadi anak ibunya karena tidak menggunakan ijab qobul, sedangkan
dalam kasus Machica dan Moerdiono menggunakan ijab qobul.
98
http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_JUmni%20Nelli.pdf diunduh pada tanggal
24 Mei 2012
104
mempunyai pendapat mengenai anak yang lahir diluar perkawinan antara lain
Mengenai anak diluar perkawinan apabila anak itu benar merupakan anak
dari ayah dan ibunya maka anak itu tentunya bernasab kepada orang
tuanya. Seorang anak tidak terkait masalah perkawinan, apabila diketahui
99
M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), wawancara pada hari senin
tanggal 21 Mei 2012, di MUI Propinsi Jawa Barat Jl. RE.Martadinata No.105 Bandung.
100
Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jawa Barat), wawancara pada hari rabu
tanggal 23 Mei 2012, di PW Nahdlatul Ulama Jawa Barat Jln. Terusan Galunggung No. 09
Bandung.
105
benar bahwa anak tersebut adalah anak dari ayah dan ibunya maka
bagaimanapun juga seorang anak tetaplah anak dari kedua orang tuanya
meskipun tanpa terjadi perkawinan antara ayah dan ibunya. Nasab
merupakan suatu hubungan antara orang tua dengan anak, nisbat kepada
laki-laki sebagai ayah dan nisbat kepada perempuan sebagai ibu, apabila
anak itu benar-benar merupakan anak dari kedua orang tuanya maka ia
adalah anak dari kedua orang tuanya dan bernasab keduanya. Anak yang
lahir diluar perkawinan maupun yang lahir dari perkawinan yang sah tetap
bernasab kepada ayahnya, karena secara biologis ia adalah anak dari ayah
dan ibunya. Hubungan nasab tidak terkait dengan akad perkawinan yang
sah, karena akad itu hanya sebagai pengesahan hubungan suami istri.101
Hal senada dinyatakan pula oleh Usman Shalehuddin (Ketua Dewan
Hisbah Pimpinan Pusat Persis) mengenai anak yang lahir diluar perkawinan yaitu:
Menurut syariat Islam anak yang lahir itu adalah anak ayahnya, adapun
akibat dari pada kelakuan kedua orang tuanya yang melakukan campur
diluar perkawinan ialah merupakan tanggung jawab meraka, tetapi tetap
yang lahir itu adalah anaknya dan sebagai ahli waris. Melalui teknologi
sekarang seperti tes DNA, dapat dibuktikan dengan jelas bahwa ia adalah
anaknya. Akad dalam perkawinan fungsinya untuk menghalalkan yang
asalnya haram, kelahiran seorang anak tidak ada kaitannya dengan halal
haramnya percampuran itu, ia tetap sebagai anak dan tetap sebagai ahli
waris karena apabila tidak diakui anak tersebut bisa melangsungkan
perkawinan dengan ayahnya. Kami sudah menetapkan hukum yang jelas
yaitu bahwa anak yang lahir tanpa perkawinan itu adalah anaknya. Anak
tersebut tetap mendapat hak waris dari kedua orang tuanya apabila anak itu
tidak mendapat hak waris berarti ia bukan sebagai ahli waris dan nanti bisa
menjadi sah untuk melangsungkan perkawinan dengan ayahnya. 102
Muhammad Rizal Fadillah., SH (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa
Saya kira sama dengan hukum perdata pada umumnya, anak yang lahir
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.
Menurut hukum Islam juga seperti itu anak yang lahir diluar perkawinan
hanya menjadi anak ibunya tidak menjadi anak ayahnya, karena apabila
menjadi anak ayahnya maka apa bedanya antara kawin dan tidak kawin.
Kawin dan tidak kawin adalah sebagai pembeda seorang anak dapat
101
Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara pada hari sabtu
tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran,
Pameungpeuk Kab. Bandung.
102
Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), wawancara pada hari
sabtu tanggal 26 Mei 2012, di Pimpinan Daerah Persis Pameungpeuk di Jln. Raya Banjaran,
Pameungpeuk Kab. Bandung.
106
menjadi anak ayah dan ibunya, apabila kawin maka ia menjadi anak ayah
dan ibunya karena memang legal dan anak tersebut secara hukum menjadi
anak ayah dan ibunya sehingga ia menjadi ahli waris dari ayah dan ibunya,
apabila tidak kawin berarti hal tersebut adalah zina dan status anak
tersebut dari ayahnya menjadi tidak sah karena tidak ada dasar hukum
untuk mengikatkan diri kepada ayahnya, namun anak tersebut hanya sah
menjadi anak dari ibunya saja karena ibulah yang melahirkannya. Menurut
hukum Islam, anak yang lahir diluar perkawinan tidak boleh memakai bin
ayahnya karena pemakaian bin merupakan sesuatu yang sah, maka dari itu
perlu adanya perkawinan. Perkawinan itu adalah untuk memperjelas nasab
dan akibat hukumnya, seperti hak waris adalah akibat hukum, yaitu akibat
dari perkawinan yang sah sehingga menimbulkan akibat hukum berupa
hak waris dari kedua belah pihak, sedangkan akibat hukum dari tidak
dilangsungkannya perkawinan ialah seseorang tidak dapat menjadi ahli
waris. Menjadi ahli waris dan tidak menjadi ahli waris ialah sebagai
bentuk dari akibat hukum tentang hak dan kewajiban seseorang.103
Mengenai petikan dari bunyi amar putusan MK yang membahas tentang
anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan
103
Muhammad Rizal Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat), wawancara pada
hari senin tanggal 28 Mei 2012, di PW Muhammadiyah Jawa Barat Jln. Sancang No. 06
Bandung.
107
Dr. H.M. Salim Umar., MA (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), Dr.
Rizal Fadillah., SH (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat) dan Drs. Acep
dengan pendapat dari Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat
Persis) dan Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis).
Penulis berpendapat bahwa anak yang lahir diluar perkawinan tidak dapat
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja Hal ini sesuai dengan Pasal 100
KHI telah menjelaskan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
seorang anak kepada ayahnya hanya dapat ditentukan secara hukum bukan secara
alamiah sebagaimana penentuan nasab anak kepada ibunya, karena jelas dan tidak
dapat diragukan lagi bahwa ibulah yang mengandung dan melahirkan anak
104
Acep Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung), wawancara pada hari selasa tanggal
12 Juni 2012, di Pengadilan Agama Bandung Jln. Terusan Jakarta No. 120 Antapani Bandung.
105
Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Jakarta, 1992, hlm. 47.
108
hukum, dalam arti harus terjadi akad perkawinan yang sah antara laki-laki yang
biologis) baru dapat dilakukan setelah akad perkawinan yang sah dilangsungkan
oleh seorang laki-laki dan perempuan. Hukum Islam menjelaskan anak yang lahir
diluar kawin dapat pula dikategorikan sebagai anak yang lahir akibat perbuatan
zina. Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Hal ini
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
Ketika lahir anak tersebut merupakan anak hasil dari perbuatan zina kedua orang
tuanya dan hal itu akan menimbulkan keraguan mengenai siapa bapak dari anak
tersebut. Setiap anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah ialah mutlak
menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuan darinya. Anak yang
lahir diluar perkawinan dalam Islam disebut sebagai anak hasil zina, anak ini lahir
tanpa adanya suatu ikatan perkawinan yang sah antara laki-laki yang menjadi
106
Departemen Agama Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 429.
109
ayahnya dengan ibunya, sehingga jelas anak tersebut hanya mempunyai hubungan
kalimat anak yang lahir diluar perkawinan tersebut ditafsirkan seperti yang terjadi
putusan MK ini yang mana kasus tersebut sering kita kenal dengan sebutan
perkawinan sirri, maka anak yang lahir tetap dinasabkan kepada ayah dan ibunya,
karena perkawinan semacam ini (perkawinan sirri) ialah perkawinan yang telah
sah secara agama dan telah terpenuhi syarat dan rukunnya namun tidak dicatatkan
di Petugas Pencatat Perkawinan. Perkawinan seperti ini hanya tidak sah secara
tersebut telah sah sehingga anak yang dilahirkan pun dapat dinasabkan kepada
B. Analisis Hak Waris Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Menurut Putusan
Islam
hubungan perdata. Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat yaitu Prof. Dr.
perdata antara lain ialah berhak mendapatkan waris, ayahnya dapat menjadi wali
dan dapat dianggap sebagai keturunan yang sah dari ayahnya. 107 Dr. Mujiyo.,
Fadillah., SH bahwa hubungan perdata ialah hubungan yang bersifat materiil dan
yang bersifat transaksional seperti waris dan status anak.109 Drs. Acep Saifuddin.,
107
M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), Op.cit.
108
Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar), Op.cit.
109
Muhammad Rizal Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat), Op.cit.
111
hubungan perdata salah satunya ialah menyangkut masalah hak waris, apabila dari
putusan MK tersebut menyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan dapat
berdasarkan hal tersebut pula anak yang lahir diluar perkawinan dapat memiliki
anak yang lahir diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan
keluarga ayahnya, yang berarti pula anak tersebut mempunyai hak saling
perdata diantara keduanya. Menurut hukum kewarisan Islam, ada tiga faktor
nasab antara keduanya. Kedudukan seorang anak sebagai ahli waris yang
perkawinan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, apabila perkawinan ayah
dan ibunya sah maka anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan menjadi ahli
waris dari kedua orang tuanya, namun apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak
110
Acep Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung), Op.cit.
111
A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, hlm. 8.
112
sah maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
:
(
113
)
Dan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya
Nabi saw bersabda, Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu adalah
anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi. (HR Tirmidzi).114
Hal ini sesuai dengan Pasal 186 KHI yang menyatakan: Anak yang lahir
perkawinan telah berlangsung maka resmilah ada pasangan suami istri yang
kemudian lahir keturunan dari pasangan tersebut yakni seorang anak. Sahnya
hubungan nasab bukan saja telah terjadi akad perkawinan, akan tetapi harus pula
terjadi hubungan biologis antara suami-istri.116 Anak yang lahir diluar perkawinan
112
http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2011/05/Modul-Hukum-Waris-5-Pada-Ahli-
Waris.pdf diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
113
Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dhohhak at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Dar al-
Gharbu al-Islamiy, Juz 3 (Hadits No. 2113), Beirut, 1996, hlm. 615.
114
Muammal Hamidy, Imron A.M dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar Himpunan
Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 2068.
115
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 77.
116
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 65.
113
yang sah menurut agama disebut dengan anak zina. Pengertian ini sangat tegas
menyatakan bahwa yang menjadi ukuran adalah hukum agama. Status hukum
anak yang lahir akibat perzinaan tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya.117
Para ulama sepakat bahwa anak yang lahir kurang dari enam bulan
ayahnya. Para ulama Syiah bahkan menegaskan bahwa anak zina selain tidak
bisa dinasabkan kepada ayahnya juga tidak bisa dinasabkan kepada ibunya. Ini
dimaksudkan agar setiap orang hati-hati dalam menjaga diri dan kehormatan diri
dan keturunannya. Para ulama berbeda pendapat mengenai tenggang waktu enam
bulan tersebut. Imam Malik dan Imam Syafii berpendapat jika seorang laki-laki
mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah, dalam
waktu kurang dari enam bulan kemudian wanita tersebut melahirkan anak setelah
enam bulan dari akad perkawinannya bukan dari masa berkumpulnya maka anak
yang dilahirkan itu tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang
darah, mungkin saja laki-laki tersebut adalah ayahnya tetapi secara hukum tidak
bisa dibenarkan. Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu
tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya, oleh karena itu anak yang
dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada ayahnya sebagai anak sah. 118 Dasar
117
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Cet. ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 127.
118
Ibid, hlm. 128-129.
114
( :
-
119
.)
Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, Anak itu
adalah bagi pemilik kasur/suami (perkawinan yang sah) dari perempuan
yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum). (HR.
Muttafaq alaih)
Hadits yang serupa diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim (Muttafaq
alaih) yang bersumber dari Aisyah serta diriwayatkan oleh An-Nasai yang
bersumber dari Ibnu Masud dan diriwayatkan oleh Abu Daud yang bersumber
dari Utsman. Hadits riwayat An-Nasai dari sumber Ibnu Masud adalah shahih
dan para perawinya tsiqah (terpercaya). Adapun hadits dari Utsman yang
tidak mewarisi dari ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab
diantara mereka, anak zina hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, begitu
juga sebaliknya ibunya dan saudara-saudaranya yang seibu yang bisa mewarisi
harta peninggalannya.121
Hubungan kewarisan anak hasil perbuatan zina hanya dari pihak ibunya
saja tidak dengan pihak laki-laki yang menggauli ibunya, hal ini disebabkan
terjadinya hubungan nasab antara anak yang lahir dengan ibunya adalah secara
hubungan nasab antara ibu yang melahirkan dengan anak yang dilahirkan tanpa
memperhatikan bagaimana cara ibu itu mendapatkan kehamilan dan status hukum
119
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Op.cit, hlm. 724.
120
Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Op.cit, hlm. 699.
121
Ahmad Rofiq, Op.cit, hlm. 129.
115
dari laki-laki yang menggauli ibu itu. Hubungan nasab antara anak dengan ayah
tidak ditentukan oleh sebab alamiah, tetapi semata-mata oleh sebab hukum artinya
telah berlangsung hubungan akad perkawinan yang sah antara ibu dengan ayah
yang menyebabkan anak itu lahir. Anak hasil perbuatan zina tidak mempunyai
status hukum seperti ini, oleh karena itu ia hanya mempunyai hubungan kewarisan
dengan ibunya dan orang-orang yang berhubungan nasab dengan ibunya dan tidak
Perbuatan zina tidak menetapkan hubungan nasab antara anak dengan laki-
laki yang membuahi ibunya, untuk selanjutnya tidak ada hubungan kewarisan
diantara keduanya. Menurut Hukum Islam tidak ada cara apapun untuk dapat
dinyatakan bahwa:
:
(
124
)
Dan dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari datuknya: Sesungguhnya
Nabi saw bersabda, Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu adalah
anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan diwarisi. (HR Tirmidzi).125
122
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 148-149.
123
Ibid, hlm. 182.
124
Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dhohhak at-Tirmidzi, Op.cit, hlm. 615.
125
Muammal Hamidy, Imron A.M dan Umar Fanany, Op.cit, hlm. 2068.
116
Pasal 186 KHI menyatakan bahwa: Anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari
pihak ibunya.126
Prof. Dr. H.M. Salim Umar., MA (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi
anak yang lahir diluar perkawinan dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya
Menurut Islam anak yang lahir diluar perkawinan dalam arti anak hasil
zina tidak mempunyai hubungan nasab dan juga tidak mempunyai hak
saling mewarisi dengan ayahnya. Seorang anak yang lahir diluar
perkawinan tidak dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya,
yang mana hubungan perdata itu antara lain ialah hak untuk mendapat
waris, hak untuk menjadi wali apabila anaknya perempuan. Hubungan
anak dengan ayah itu menyangkut masalah waris dan wali, apabila tidak
ada hubungan dengan ayah maka tidak boleh mendapat waris dan tidak
boleh menjadi wali karena laki-laki itu bukan ayahnya melainkan orang
lain. Ayah biologis sebenarnya dalam Islam tidak ada, artinya hubungan
biologis boleh dilakukan setelah dilegalkan terlebih dahulu yaitu dengan
adanya akad perkawinan, karena apabila tidak dilegalkan maka disebut
perzinaan. Setiap anak yang lahir itu baik, yang berdosa adalah ayah dan
ibunya, dan yang disyaratkan itu ialah hubungan suami istri, yang mana
baru dapat dilakukan setelah keduanya berstatus sebagai pasangan suami
istri yang sah dengan akad perkawinan yang sah pula, sehingga anak dapat
dinasabkan kepada ayahnya dan juga mendapatkan hak waris.127
Menurut Dr. Mujiyo., M.Ag (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU
Jabar), putusan MK yang menyebutkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, dimana salah
satu kategori yang termasuk dalam hubungan perdata ialah hak waris, maka Dr.
126
Republik Indonesia, Op.cit, hlm. 77.
127
M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), Op.cit.
117
hasil perkawinan yang sah atau perkawinan sirri yang sah menurut agama.
Sepanjang putusan MK tersebut ditafsirkan sesuai dengan kasus Machica
yang merupakan dasar diputusnya putusan MK, maka seorang anak
mempunyai hak saling mewarisi dengan ayah dan ibunya, namun diluar
kasus tersebut tetap seorang anak hanya dapat saling mewarisi dengan ibu
dan keluarga ibunya saja. Seorang anak dapat saling mewarisi dengan
kedua orang tuanya khususnya dengan ayahnya, apabila anak tersebut
merupakan anak dari garis keturunan yang sah dengan ayahnya. Garis
keturunan dapat dianggap sah apabila kedua orang tuanya telah melalui
perkawinan yang sah dan memenuhi lima (5) syarat perkawinan terlebih
dahulu, apabila lima (5) syarat perkawinan tersebut tidak terpenuhi atau
anak tersebut merupakan anak hasil zina dan sebagainya, maka anak
tersebut hanya dapat saling mewarisi dengan ibu dan keluarga ibunya.128
Menurut Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis),
Sebab waris dalam Islam ada tiga yaitu karena perkawinan, karena
hubungan nasab dan wala. Seorang anak apabila benar merupakan anak
dari ayah dan ibunya maka berdasarkan sebab waris yaitu karena adanya
hubungan nasab, anak itu berhak mendapatkan warisan dari kedua orang
tuanya, oleh karena itu sebab waris seorang anak kepada orang tuanya
ialah karena adanya hubungan nasab dan tidak terkait pada hubungan
perkawinan kedua orang tuanya.129
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Usman Shalehuddin (Ketua
Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), bahwa hak waris anak yang lahir diluar
perkawinan ialah:
Anak yang lahir diluar perkawinan tetap merupakan anak dari kedua
orang tuanya dan bernasab kepada keduanya, kalau dikatakan bukan
anaknya apalagi dikatakan bukan sebagai ahli waris, ketika anak tersebut
sudah besar nanti berarti ia bisa melangsungkan perkawinan dengan
ayahnya. Anak yang lahir tetap berasal dari bibit ayahnya, adapun akibat
dari pada campur tanpa perkawinan, itu urusan dosa kedua orang tersebut
dan anak tidak ikut campur urusan dosanya. Akad dalam perkawinan
fungsinya untuk menghalalkan yang asalnya haram, kelahiran seorang
anak tidak ada kaitannya dengan halal haramnya percampuran itu, ia tetap
sebagai anak dan tetap sebagai ahli waris karena apabila tidak diakui
sebagai anak, ia bisa melangsungkan perkawinan dengan ayahnya.130
128
Mujiyo (Ketua Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jabar), Op.cit.
129
Zae Nandang (Sekretaris Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), Op.cit.
130
Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persis), Op.cit.
118
Barat), mengemukakan pendapatnya mengenai hak saling mewarisi antara anak yang
lahir diluar perkawinan dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil dan
Seorang anak disebut sebagai ahli waris karena produk hukum yang sah,
yaitu anak menurut hukum bukan anak menurut kelahirannya karena kita
meninjau dari segi hukum. Hukum waris menjadi ada karena dihasilkan
oleh perkawinan yang sah terlebih dahulu. Fungsi hukum dalam Islam
yaitu untuk menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga
keturunan sehingga diadakan yang namanya lembaga perkawinan yaitu
untuk menjaga hal-hal tersebut yang dalam Islam disebut sebagai
maqashid asy-syariah, dengan dilangsungkannya perkawinan maka akan
selamat dan terjaga maqashid asy-syariah tersebut. Seorang anak dapat
saja memiliki hubungan nasab dari kedua orang tuanya namun apabila
tidak melalui perkawinan yang sah, maka seorang anak tidak mempunyai
akibat hukum dengan orang tuanya khususnya dengan ayahnya.
Perkawinan berfungsi sebagai penjelas status anak dan kepastian bahwa
anak itu adalah anak ayahnya yang sah. Teknologi yang ada pada zaman
sekarang seperti tes DNA tidak memberi pengaruh kepada hukum, hanya
pengertiannya sebatas nasab saja, karena nasab tidak identik dengan
hukum. Tidak semua nasab berarti produk hukum seperti masalah
perzinaan ini, meskipun anak tersebut lahir dari ayah dan ibunya namun
secara hukum ia tetap bukan anaknya. Syariat Islam membatasi
pembuktian hubungan hukum anak dan ibu yaitu dengan dilahirkannya
seorang anak dari rahim ibunya maka jelas ia mempunyai hubungan
hukum dengan ibunya, namun mengenai hubungan hukum ayah dengan
anaknya tidak cukup hanya dengan satu pembuktian saja yaitu DNA,
karena nasab terkait dengan masalah keabsahan. Islam membatasi
mengenai anak yang lahir diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan
perdata termasuk hak waris dengan ayahnya, hanya dengan ibunya saja
karena ibulah yang melahirkannya.131
Mengenai hak waris anak yang lahir diluar perkawinan, Drs. Acep
131
Muhammad Rizal Fadillah (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat), Op.cit.
119
diluar perkawinan bukan anak hasil zina melainkan anak hasil perkawinan
sirri dan telah disahkan perkawinannya oleh Pengadilan Agama melalui
isbat nikah, maka jelas anak tersebut dapat saling mewarisi dengan ayah
dan keluarga ayahnya, kecuali anak yang lahir diluar perkawinan dimaknai
sebagai anak hasil zina, maka jelas anak tersebut tidak dapat saling
mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya.132
Berdasarkan uraian tersebut penulis sependapat dengan pendapat dari Prof.
Dr. H.M. Salim Umar., MA (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), Dr.
Rizal Fadillah., SH (Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat) dan Drs. Acep
anak yang lahir diluar perkawinan yang sah tidak memiliki hak saling mewarisi
dengan laki-laki yang menjadi ayahnya dan hanya memiliki hak saling mewarisi
dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Berdasarkan uraian diatas pula penulis tidak
Pimpinan Pusat Persis) dan Usman Shalehuddin (Ketua Dewan Hisbah Pimpinan
Pusat Persis) yang menyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan tetap
bernasab kepada ayahnya sehingga berhak menjadi ahli waris dan mendapatkan
harta warisan. Mereka berpendapat bahwa sebab kewarisan anak dengan ayah
ialah karena adanya hubungan nasab, dan hubungan nasab tersebut tidak terkait
dengan hubungan perkawinan yang terjalin antara ayah dan ibunya dan tidak
terkait pula dengan halal haramnya percampuran yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya, ia tetap sebagai anak dan tetap sebagai ahli waris karena apabila tidak
132
Acep Saifuddin (Hakim Pengadilan Agama Bandung), Op.cit.
120
Mengenai hak waris anak yang lahir diluar perkawinan, penulis berpendapat
bahwa sepanjang kalimat anak yang lahir diluar perkawinan itu ditafsirkan bukan
sebagai anak yang lahir hasil dari perzinaan melainkan anak yang lahir hasil dari
perkawinan sirri, maka anak tersebut tetap mempunyai hak saling mewarisi
dengan ayah dan keluarga ayahnya, karena diantara ayah dan ibunya terdapat
ikatan perkawinan yang sah menurut agama sehingga diantara anak dengan
ayahnya jelas terjalin hubungan nasab yang merupakan salah satu sebab terjadinya
kewarisan. Anak yang lahir diluar perkawinan apabila dimaknai sebagai anak
hasil zina, hukum Islam menetapkan bahwa anak tersebut tidak memiliki hak
untuk saling mewarisi dengan ayah dan keluarga ayahnya melainkan hanya
dengan ibu dan keluarga ibunya saja, karena tidak ada hubungan nasab antara
anak tersebut dengan laki-laki yang menjadi ayahnya. Hubungan nasab yang sah
dapat diperoleh apabila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah antara ibu dan
laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan. Hubungan nasab anak
dengan ayahnya terjalin secara hukum, yaitu antara ayah dan ibunya harus terikat
menyebabkan kelahiran anak tersebut, namun lain halnya dengan hubungan nasab
antara anak dan ibunya terjalin secara alamiah, karena jelas ibulah yang
mengandung dan melakirkan anak tersebut. Anak yang lahir hasil dari perbuatan
zina tidak memiliki status seperti itu, karena ayah dan ibunya tidak terikat dalam
perkawinan yang sah bahkan tidak ada akad perkawinan yang mendahului
hubungan biologis yang mereka lakukan sehingga lahirnya anak tersebut, dengan
demikian antara anak dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya hamil dan
121
melahirkannya tidak terjalin hubungan nasab karena tidak sah secara hukum dan
syariat, yang kemudian tidak ada hak untuk saling mewarisi antara seorang anak
yang lahir diluar perkawinan dengan ayahnya melainkan dengan ibu dan keluarga
ibunya saja. Setiap anak yang lahir berhak atas kelangsungan hidupnya, begitu
pula hal tersebut berlaku bagi anak yang lahir diluar perkawinan yang sah. Anak
yang lahir diluar perkawinan tidak dapat menerima harta warisan dari laki-laki
yang menjadi ayah biologisnya melainkan ia hanya mendapat harta warisan dari
ibunya saja. Laki-laki tersebut apabila terbukti berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum sebagai ayah biologisnya, ia
dapat memberikan wasiat atau hibah kepada anak tersebut sebagai bentuk
bahwa wasiat dan hibah yang diberikan besarnya maksimal 1/3 dari harta benda
yang dimilikinya.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Menurut Hukum Islam, anak yang lahir diluar perkawinan yang sah hanya
mempunyai status hukum nasab dengan ibunya saja. Anak yang lahir diluar
biologisnya melalui tes DNA, nasab seorang anak kepada ayahnya hanya dapat
ditentukan secara hukum, dalam arti harus terjadi akad perkawinan yang sah
antara laki-laki yang menyebabkan ibu itu hamil dan melahirkan. Penentuan
nasab anak kepada ibunya berlaku secara alamiah, karena jelas dan tidak dapat
diragukan lagi bahwa ibu lah yang mengandung dan melahirkan anak tersebut.
Hal ini berkaitan dengan hadits yang telah penulis uraikan sebelumnya pada
122
123
(nafkah), hak waris, dan hak wali apabila anaknya perempuan. Hak waris anak
Menurut Hukum Islam salah satu faktor pewarisan ialah adanya hubungan
nasab. Anak yang lahir diluar perkawinan tidak mempunyai hubungan hukum
nasab dengan ayah biologisnya, karena tidak terjadi perkawinan antara kedua
orang tuanya. Anak yang lahir diluar perkawinan tidak berhak mewarisi harta
dari ayahnya, ia hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya. Hal tersebut
pembahasan, yang menyatakan bahwa siapa saja laki-laki yang berzina dengan
seorang perempuan merdeka atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu
adalah anak zina, dia tidak dapat mewarisi harta dari ayahnya dan tidak dapat
B. Saran
anak yang lahir diluar perkawinan, yaitu dengan dimaknai sebagai anak yang
124
lahir hasil dari perkawinan sirri. Pengertian anak yang lahir diluar perkawinan
sepanjang tidak dimaknai sebagai anak yang lahir hasil dari perkawinan sirri
dalam arti anak yang lahir hasil dari perzinaan, hendaknya diberikan ketegasan
bahwa hubungan perdata yang berlaku hanya pada ibu dan keluarga ibunya
saja tidak pada ayahnya. Hal ini apabila anak yang lahir hasil dari perzinaan
dimaknai sama dengan anak yang lahir hasil dari perkawinan sirri pada kalimat
yang terdapat pada petikan amar putusan MK yaitu anak yang lahir diluar
dalam mengambil keputusan hukum mengenai hak-hak yang terkait pada anak
yang lahir diluar perkawinan seperti hubungan nasab dan hak waris.
2. Anak yang lahir diluar perkawinan tetap mempunyai hak atas kelangsungan
sebagai ayah biologisnya, dapat memberikan wasiat atau hibah kepada anak
anak tersebut tetap terjamin meskipun tidak ada keterkaitan hubungan nasab
diantara keduanya, dengan ketentuan bahwa wasiat dan hibah yang diberikan
besarnya tidak boleh lebih dari 1/3 harta benda yang dimilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Prenada Media Group, Jakarta, 2006.
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Hukum Fiqih Islam Lengkap, PT. Rineka
Cipta, Solo, 1994.
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Cet. ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1993.
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995.
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974
sampai KHI), Prenada Media, Jakarta, 2004.
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, PT. Dian Rakyat, Jakarta, 1986.
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, PT. Dunia
Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.
125
126
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Cet. ke-1,
Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004.
M. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid III : Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1993.
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Muammal Hamidy, Imron A.M dan Umar Fanany, Terjemahan Nailul Authar
Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993.
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Ibnu
Katsir, Juz 2, Beirut, 1987.
Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn Dhohhak at-Tirmidzi, Sunan at-
Tirmidzi, Dar al-Gharbu al-Islamiy Juz 3, Beirut, 1996.
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, Balqis
Queen, Solo, 2009.
Panitia Penyusun Tafsir Al-Quran Juz I, Tafsir Al-Quran Juz I, LSI UNISBA,
Bandung, 2012.
Ronny Hannitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1998.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Cet. kelima, UI-Press, Jakarta,
1986.
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan
Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
B. Peraturan Perundang-undangan
C. Sumber Lain
http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2011/05/Modul-Hukum-Waris-5-
Pada-Ahli-Waris.pdf diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
http://isim-hikmah.blogspot.com/2012/02/hukum-menetapkan-nasab-seorang-
anak.html diunduh pada tanggal 24 Mei 2012.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/100mei091518_0854-8986.pdf diunduh
pada tanggal 24 Mei 2012.
http://www.uinsuska.info/syariah/attachments/145_JUmni%20Nelli.pdf diunduh
pada tanggal 24 Mei 2012.
M. Salim Umar (Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Jawa Barat), wawancara
pada hari senin tanggal 21 Mei 2012, di MUI Propinsi Jawa Barat Jl.
RE.Martadinata No.105 Bandung.
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 14 Juni
2010 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan
Mahkamah) pada hari Senin tanggal 14 Juni 2010 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Permohonan Nomor 211/PAN.MK/2010 dan diregistrasi pada Rabu tanggal 23 Juni 2010
dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada tanggal 9 Agustus 2010, menguraikan hal-hal sebagai berikut:
Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut dan bukti-bukti terlampir maka dengan
ini Pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai
berikut:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, bertentangan Pasal 28B
ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya;
Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka dimohonkan Putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono);
Selain itu, Pemohon juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag., yang
telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan memberikan keterangan tertulis dalam
persidangan tanggal 4 Mei 2011, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah jelas mengakui bahwa perkawinan adalah sah jika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya;
2. Namun keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyebutkan tiaptiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, mengakibatkan
adanya dua pemahaman. Di satu sisi, perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut
agama atau kepercayaan masing-masing; di sisi lain perkawinan dimaksud tidak memiliki
kekuatan hukum karena tidak dicatat;
3. Dari perspektif hukum Islam, perkawinan dinyatakan sah apabila telah memenuhi lima
rukun, yaitu ijab qabul, calon mempelai pria, calon mempelai wanita, dua orang saksi,
dan wali dari pihak mempelai wanita;
4. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan tidak jelas, kabur, dan kontradiktif dengan Pasal 2 ayat
(1) UU Perkawinan, serta berdampak pada pernikahan seseorang yang telah memenuhi
syarat dan rukun secara Islam tetapi karena tidak dicatat di KUA maka pernikahannya
menjadi tidak sah;
5. Karena perkawinan tersebut tidak sah, lebih lanjut Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
mengatur bahwa anak dari perkawinan tersebut hanya memiliki nasab dan hubungan
kekerabatan dengan ibu dan keluarga ibu. Pada akta kelahirannya, anak tersebut akan
ditulis sebagai anak dari ibu tanpa bapak;
6. Anak tersebut juga akan mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat,
kesulitan biaya pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriah lainnya;
7. Keharusan mencatatkan pernikahan yang berimplikasi pada status anak di luar nikah yang
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya adalah bertentangan
dengan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, karena anak yang seharusnya dilindungi dari
berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi akhirnya tidak terlindungi hanya karena
orang tuanya terlanjur melaksanakan perkawinan yang tidak dicatat;
8. Dalam hukum Islam, anak lahir dalam keadaan bersih dan tidak menanggung beban dosa
orang tuanya. Islam tidak mengenal konsep dosa turunan atau pelimpahan dosa dari satu
pihak ke pihak lainnya;
9. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam bersifat individu. Seseorang tidak dapat
menanggung beban dosa orang lain, apalagi bertanggung jawab terhadap dosa orang lain,
sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran Surat al-Isra/17:15; Surat al-Anam/6:164;
Surat Fatir/35:18; Surat az-Zumar/39:7; dan Surat an-Najm/53:38;
10. Islam mengenal konsep anak zina yang hanya bernazab kepada ibu kandungnya, namun
ini bukan anak dari perkawinan sah (yang telah memenuhi syarat dan rukun). Anak yang
lahir dari perkawinan sah secara Islam, meskipun tidak dicatatkan pada instansi terkait,
tetap harus bernasab kepada kedua bapak dan ibunya;
11. Bahkan dalam Islam dilarang melakukan adopsi anak jika adopsi tersebut memutus
hubungan nasab antara anak dengan bapak. Jika anak yang akan diadopsi tidak diketahui
asal muasal dan bapak kandungnya, maka harus diakui sebagai saudara seagama atau
aula/anak angkat; dan bukan dianggap sebagai anak kandung;
12. Dalam fiqh, tidak pernah disebutkan bahwa pernikahan harus dicatat, tetapi terdapat
perintah dalam Al Quran Surat an-Nisa untuk menaati ulil amri (dalam hal ini Undang-
Undang sebagai produk ulil amri);
13. Dengan demikian, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bersifat
diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 27, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945;
14. Jika Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengandung madharat, tetapi
menghapusnya juga menimbulkan madharat, maka dalam kaidah hukum Islam, harus
dipilih madharat-nya yang paling ringan;
I . Pokok Permohonan
Bahwa para Pemohon yang berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia
mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan),
yang pada intinya sebagai berikut:
a. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para
Pemohon, khususnya yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anak
yang dihasilkan dari hasil perkawinan Pemohon I;
b. Bahwa hak konstitusional para Pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam
Undang-Undang Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena
perkawinan Pemohon I adalah sah dan sesuai dengan rukun nikah dalam islam. Merujuk
ke norma konstitusionai yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 maka
perkawinan Pemohon I yang dilangsungkan sesuai rukun nikah adalah sah tetapi
terhalang oleh Pasal 2 UU Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma
hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum
anak (Pemohon II ) yang dilahirkan dari perkawinan Pemohon I menjadi anak di luar
nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan
permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah.
c. Singkatnya menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak
sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskrimintaif, karena
itu menurut para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
B. Penjelasan Terhadap Materi Muatan Norma Yang Dimohonkan Untuk Diuji Oleh
Para Pemohon.
Sehubungan dengan anggapan para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan
bahwa Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu:
Pasal 2 yang menyatakan:
Ayat (2): Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang
berlaku
Pasal 43 yang menyatakan:
Ayat (1): Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya
Ketentuan tersebut di atas oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan ketentuan
Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1), UUD 1945, yang menyatakan
sebagai berikut:
Pasal 28B ayat (1): Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah.
Pasal 28B ayat (2): Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
IV. Kesimpulan
Keterangan DPR RI
Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo, DPR
dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum
(legal standing) dapat dijelaskan sebagai berikut:
II. Pengujian UU Perkawinan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berlakunya ketentuan Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan telah menghalang-halangi pelaksanaan hak
konstitusionalnya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah, hak anak dalam perkawinan, dan kepastian hukum atas status perkawinannya
sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
telah dirugikan. DPR menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
1. Bahwa perlu dipahami oleh para Pemohon, bahwa untuk memahami UU Perkawinan
terkait dengan ketentuan Pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian,
dipandang perlu untuk memahami dahulu pengertian dari Perkawinan yaitu ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa. Ketentuan ini mengandung makna bahwa perkawinan sebagai ikatan
antara seorang pria dan seorang wanita berhubungan erat dengan agama/kerohanian. Jika
dilihat dari pengertiannya maka setiap perkawinan yang dilakukan berdasarkan agama
adalah sah. Namun jika dikaitkan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan sejahtera serta keturunan, maka akibat dari perkawinan memunculkan
hak dan kewajiban keperdataan.
2. Bahwa untuk menjamin hak-hak keperdataan dan kewajibannya yang timbul dari akibat
perkawinan yang sah maka setiap perkawinan perlu dilakukan pencatatan. Meskipun
perkawinan termasuk dalam lingkup keperdataan, namun negara wajib memberikan
jaminan kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak
yang terkait dalam perkawinan (suami, istri dan anak) terutama dalam hubungannya
dengan pencatatan administrasi kependudukan terkait dengan hak keperdataan dan
kewajibannya. Oleh karena itu pencatatan tiap-tiap perkawinan menjadi suatu kebutuhan
formal untuk legalitas atas suatu peristiwa yang dapat mengakibatkan suatu konsekuensi
yuridis dalam hak-hak keperdataan dan kewajibannya seperti kewajiban memberi nafkah
dan hak waris. Pencatatan perkawinan dinyatakan dalam suatu akte resmi (akta otentik)
dan dimuat dalam daftar pencatatan yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan. Bahwa tujuan pencatatan perkawinan yaitu sebagai berikut:
a. untuk tertib administrasi perkawinan;
b. jaminan memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akte kelahiran, membuat Kartu
Tanda Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan lain-lain);
c. memberikan perlindungan terhadap status perkawinan;
d. memberikan kepastian terhadap status hukum suami, istri maupun anak;
e. memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil yang diakibatkan oleh adanya
perkawinan;
3. Bahwa atas dasar dalil tersebut, maka ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang
berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku merupakan norma yang mengandung legalitas sebagai suatu bentuk formal
perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta perkawinan (akta otentik) menjadi
penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk
setiap perkawinan. Dengan demikian DPR berpendapat bahwa dalil Pemohon yang
menyatakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan telah menimbulkan
ketidakpastian hukum adalah anggapan yang keliru dan tidak berdasar.
4. Bahwa terhadap anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa para Pemohon tidak
dapat melakukan pencatatan perkawinannya karena UU Perkawinan pada prinsipnya
berasaskan monogami sehingga menghalanghalangi para Pemohon untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah sebagaimana dijamin
dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, DPR merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 12/PUU-V/2007 dalam pertimbangan hukum halaman 97-98
menyebutkan:
Bahwa Pasal-Pasal yang tercantum dalam UU Perkawinan yang memuat alasan, syarat,
dan prosedur poligami sesungguhnya semata-mata sebagai upaya untuk menjamin dapat
dipenuhinya hak-hak istri dan calon istri yang menjadi kewajiban suami yang akan
berpoligami dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan. Oleh karena itu penjabaran
persyaratan poligami tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian alasan para Pemohon tidak dapat mencatatkan perkawinannya karena
UU Perkawinan pada prinsipnnya berasas monogami adalah sangat tidak berdasar.
Pemohon tidak dapat mencatatkan perkawinannya karena tidak dapat memenuhi
persyaratan poligami sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan. Oleh karena itu
sesungguhnya persoalan para Pemohon bukan persoalan konstitusionalitas norma
melainkan persoalan penerapan hukum yang tidak dipenuhi oleh para Pemohon.
5. Bahwa oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai peristiwa
perkawinan yang tidak memenuhi syarat formil, sehingga hal ini berimplikasi terhadap
hak-hak keperdataan yang timbul dari akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Bahwa selain itu, perlu disampaikan bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat berimplikasi
terhadap pembuktian hubungan keperdataan anak dengan ayahnya. Dengan demikian,
anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat tersebut, tentu hanya mempunyai
hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya.
7. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, menurut DPR justru dengan berlakunya
ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan akan menjamin terwujudnya tujuan
perkawinan, serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap status
keperdataan anak dan hubungannya dengan ibu serta keluarga ibunya. Apabila ketentuan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini dibatalkan justru akan berimplikasi terhadap
kepastian hukum atas status keperdataan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
dicatat. Dengan demikian ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan
dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon kiranya
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat memberikan amar putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya
permohonan a quo tidak dapat diterima;
2. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
3. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
28D ayat (1) UUD 1945;
4. Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tetap memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, kami mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu
yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah untuk menguji Pasal
2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU 1/1974) terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya
disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusanputusan selanjutnya
berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD
1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-
tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan
[3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum
(legal standing) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa pada pokoknya para Pemohon mendalilkan sebagai perorangan
warga negara Indonesia yang mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945
yaitu:
Pasal 28B ayat (1) yang menyatakan, Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, dan
Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum;
Hak konstitusional tersebut telah dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974;
[3.9] Menimbang bahwa dengan memperhatikan akibat yang dialami oleh para Pemohon
dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah, terdapat hubungan
sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.10] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo,
dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
Pendapat Mahkamah
Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian
konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan Pasal 43 ayat (1) UU
1/1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, khususnya mengenai hak untuk
mendapatkan status hukum anak;
[3.13] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di
luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa yang dilahirkan di
luar perkawinan. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu
dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan
antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara
lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh
karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari
suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan
dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai
bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada
memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki
tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan
hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan
hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek
hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada
pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang
dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang
dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak
berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki
kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-
tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk
terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU
1/1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya harus dibaca, Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;
[3.15] Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para
Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum.
Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional)
yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
4. KONKLUSI
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
ttd.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
ttd. ttd.
Terhadap Putusan Mahkamah ini, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati memiliki alasan
berbeda (concurring opinion), sebagai berikut:
[6.1] Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974 adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
sedangkan mengenai syarat sahnya perkawinan Pasal 2 UU 1/1974 menyatakan bahwa: ayat
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Sementara ayat (2) menyatakan, Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas bagi pemaknaan Pasal 2
ayat (1) UU 1/1974 karena pencatatan yang dimaksud oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a
quo tidak ditegaskan apakah sekadar pencatatan secara administratif yang tidak berpengaruh
terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah dilangsungkan menurut agama atau
kepercayaan masing-masing, ataukah pencatatan tersebut berpengaruh terhadap sah atau
tidaknya perkawinan yang dilakukan.
Keberadaan norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan perundangundangan yang
sama, memiliki potensi untuk saling melemahkan bahkan bertentangan. Dalam perkara ini,
potensi saling meniadakan terjadi antara Pasal 2 ayat (1) dengan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974.
Pasal 2 ayat (1) yang pada pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan
menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya, ternyata menghalangi dan
sebaliknya juga dihalangi oleh keberlakuan Pasal 2 ayat (2) yang pada pokoknya mengatur
bahwa perkawinan akan sah dan memiliki kekuatan hukum jika telah dicatat oleh instansi
berwenang atau pegawai pencatat nikah.
Jika Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 dimaknai sebagai pencatatan secara administratif yang tidak
berpengaruh terhadap sah atau tidak sahnya suatu pernikahan, maka hal tersebut tidak
bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terjadi penambahan terhadap syarat perkawinan.
Seturut dengan itu, kata perkawinan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang a quo juga
akan dimaknai sebagai perkawinan yang sah secara Islam atau perkawinan menurut rukun
nikah yang lima.
Namun demikian, berdasarkan tinjauan sosiologis tentang lembaga perkawinan dalam
masyarakat, sahnya perkawinan menurut agama dan kepercayaan tertentu tidak dapat secara
langsung menjamin terpenuhinya hak-hak keperdataan istri, suami, dan/atau anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut karena pelaksanaan norma agama dan adat di masyarakat
diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran individu dan kesadaran masyarakat tanpa dilindungi
oleh otoritas resmi (negara) yang memiliki kekuatan pemaksa.
[6.3] Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam prakteknya, hukum tidak selalu dapat
dilaksanakan sesuai yang dikehendaki oleh pembuatnya. Pada kenyataannya, hingga saat ini
masih terdapat perkawinan-perkawinan yang mengabaikan UU 1/1974, dan hanya
menyandarkan pada syarat perkawinan menurut ajaran agama dan kepercayaan tertentu.
Terhadap perkawinan secara hukum agama atau kepercayaan yang tidak dilaksanakan
menurut UU 1/1974 yang tentunya juga tidak dicatatkan, negara akan mengalami kesulitan
dalam memberikan perlindungan secara maksimal terhadap hak-hak wanita sebagai istri dan
hak-hak anak-anak yang kelak dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, adalah
bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Saya menilai, Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD
1945 karena Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a quo yang mensyaratkan pencatatan, meskipun
faktanya menambah persyaratan untuk melangsungkan perkawinan, namun ketiadaannya
tidak menghalangi adanya pernikahan itu sendiri. Kenyataan ini dapat terlihat adanya
pelaksanaan program/kegiatan perkawinan massal dari sejumlah pasangan yang telah lama
melaksanakan perkawinan tetapi tidak dicatatkan.
Selain itu hak anak yang dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945, tidak dirugikan oleh adanya Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang mensyaratkan pencatatan
perkawinan. Perlindungan terhadap hak anak sebagaimana diatur oleh Pasal 28B ayat (2) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, justru akan dapat dimaksimalkan apabila semua perkawinan
dicatatkan sehingga dengan mudah akan diketahui silsilah anak dan siapa yang memiliki
kewajiban terhadap anak dimaksud. Pencatatan perkawinan adalah dimensi sosial yang
dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas status dan akibat hukum dari suatu peristiwa
hukum seperti juga pencatatan tentang kelahiran dan kematian.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut saya tidak ada kerugian konstitusional yang
dialami para Pemohon sebagai akibat keberadaan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974, walaupun jika
pencatatan ditafsirkan sebagai syarat mutlak bagi sahnya perkawinan, pasal a quo potensial
merugikan hak konstitusional Pemohon I.
[6.4] Harus diakui bahwa praktek hukum sehari-hari menunjukkan adanya pluralisme
hukum karena adanya golongan masyarakat yang dalam hubungan keperdataannya sehari-hari
berpegang pada hukum agama, atau secara utuh berpegang pada hukum nasional, maupun
mendasarkan hubungan keperdataannya kepada hukum adat setempat. Pluralisme hukum ini
diatur dan secara tegas dilindungi oleh UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan cita-cita
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai implikasi pluralisme hukum, memang tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi,
baik yang sederhana maupun yang kompleks, terkait praktek-praktek hukum nasional, hukum
agama, maupun hukum adat dimaksud. Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi
dan efek negatif dari friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional (peraturan
perundangundangan) yang berusaha menjadi payung bagi pluralisme hukum. Tidak dapat
dihindarkan jika upaya membuat sebuah payung yang mengayomi pluralisme hukum, di satu
sisi harus menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan hukum agama maupun hukum adat. Praktek
pembatasan semacam ini mendapatkan pembenarannya dalam paham konstitusionalisme,
yang bahkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa, Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Dalam kenyataannya, di Indonesia masih banyak terdapat perkawinan yang hanya
mendasarkan pada hukum agama atau kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat
sahnya perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu tanpa melakukan
pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum dari negara atas akibat dari
suatu perkawinan. Kenyataan ini dalam prakteknya dapat merugikan wanita, sebagai istri, dan
anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait dengan perlindungan terhadap wanita
dan anak anak sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat perbedaan kerugian akibat
perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 dari sisi subjek hukumnya, yaitu (i) akibat
bagi wanita atau istri; dan (ii) akibat bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan dimaksud.
[6.5] Secara teoritis, norma agama atau kepercayaan memang tidak dapat dipaksakan oleh
negara untuk dilaksanakan, karena norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah
keyakinan transendental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia dengan
penciptanya; sedangkan norma hukum, dalam hal ini UU 1/1974, merupakan ketentuan yang
dibuat oleh negara sebagai perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara
sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara (Pemerintah).
Potensi kerugian akibat perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita (istri)
sangat beragam, tetapi sebenarnya yang terpenting adalah apakah kerugian tersebut dapat
dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial UU 1/1974 terutama pengaturan mengenai
pencatatan perkawinan. Dalam konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara
(Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama terhadap wanita sebagai istri,
hanya dapat dilakukan jika perkawinan dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974,
yang salah satu syaratnya adalah perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 2 UU 1/1974). Konsekuensi lebih
jauh, terhadap perkawinan yang dilaksanakan tanpa dicatatkan, negara tidak dapat
memberikan perlindungan mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak
lain yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan adanya hak wanita
(istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya perkawinan antara wanita (istri) dengan
suaminya.
[6.6] Perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 juga memiliki potensi untuk
merugikan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Potensi kerugian bagi anak yang
terutama adalah tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak biologis)-nya,
yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya kewajiban bapak kandungnya untuk
membiayai kebutuhan hidup anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu, dalam
masyarakat yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai tradisional, pengertian
keluarga selalu merujuk pada pengertian keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak). Keberadaan anak dalam keluarga
yang tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau tidak memiliki pengakuan dari
bapak biologisnya, akan memberikan stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma
ini adalah sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-psikologis,
yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui hubungan anak dengan bapak
biologisnya. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, pembedaan perlakuan terhadap
anak karena sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan oleh tindakan anak
bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan yang diskriminatif.
Potensi kerugian tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang
menyatakan, Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Keberadaan Pasal a quo menutup kemungkinan bagi
anak untuk memiliki hubungan keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal tersebut adalah
risiko dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak dilaksanakan
menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya jika anak harus ikut menanggung
kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap
sebagai sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini agama Islam)
tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung sanksi akibat tindakan yang dilakukan
oleh kedua orang tuanya, atau yang dikenal dengan istilah dosa turunan. Dengan kata lain,
potensi kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan UU 1/1974
merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko
yang harus ditanggung oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dengan
demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari suatu perkawinan,
terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan tersebut menurut hukum negara, tetap menjadi
kewajiban kedua orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Mardian Wibowo