Anda di halaman 1dari 116

PERINGATAN !!!

Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan


referensi

2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila


Anda mengutip dari Dokumen ini

3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan


pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan
karya ilmiah

4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah

Selamat membaca !!!

Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

UPT PERPUSTAKAAN UNISBA


PENJUALAN DENDENG SAPI YANG MENGANDUNG
DAGING BABI DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN jo. UU NO. 7
TAHUN 1996 TENTANG PANGAN DAN
HUKUM ISLAM

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memenuhi Salah Satu
Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) dan
Sarjana Hukum (S.H.) pada Fakultas Syariah dan Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung

OLEH :
MILDI HAKIM
14010103001

PROGRAM KEMBARAN
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2010 M / 1431 H 
PERSETUJUAN

Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

(Hj. Tatty Aryani Ramli S.H., M.H.) (H. Asep Ramdan H., Drs., M.Si.)

Mengetahui :

Dekan Ketua Jurusan


Fakultas Syariah Program Studi Peradilan Agama

(H. M. Zainuddin, Drs., Lc., Dipl., M.H.) (Neneng Nurhasanah, Dra., M.H.)



PENGESAHAN

Skripsi ini telah dimunaqosahkan oleh tim penguji pada hari sabtu, tanggal 20

Februari 2010, dan telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana (SI) pada jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah Universitas

Islam Bandung.

Bandung, 20 Februari 2010 M


6 Rabiul Awal 1431 H

Panitia Ujian Munaqosah :

Ketua Sekertaris

(H. M. Zainuddin, Drs., Lc., Dipl., M.H.) (Neneng Nurhasanah, Dra., M.H.)

Tim Penguji

1. Hj. Tatty Aryani Ramli, S.H., M.H.

2. H. M. Faiz Mufidi, S.H., M.H.

3. H. M. Roji Iskandar, Drs., M.H.



MOTTO

 

   


 
   

  


 



  
  
   

 



KOLOM PERSEMBAHAN

 !"#$$$%&'(!) !"#$$$%&'(!) !"#$$$%&'(!)

'#$$!$$!$$$$'#**#))'#$#$$

$$#)$$!&$$!'!*#))'&$$!!'!*#))'

$$#+,"

+# -"-),+*+"!.!!*!#*#+/

,#*'-"0!*1 !-$
1 '*-!*!**,-$!##.2

.-*#$!,!)-*3'!1"*2*,-"!$)#,-"#*'*!+$'$))-*.+!

3$*+-!'#.*4-)1,-$!#'!).#*!'1%'1*2'*$$)-)#$!+*

,-$!#,!++-!+!'#.'!'#*!)#.#*'!+!"5)!*66

2*'2)#$)!$
"7$)82*-$$#)-),!),!*.-*#$!'"!

+-0!$!*$$)-)*!$,-$!#'!!!*2#.2.-*#$!!'+)-*2!).*

'"!3$*)$)42$$).#*!$'1*2,-"!+*$"))#

'*3'!+*,-$!#'!*"),%),)#2*$-5)!*6



ABSTRAK

PENJUALAN DENDENG SAPI YANG MENGANDUNG DAGING BABI


DITINJAU DARI UU NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN JO. UU NO.7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN DAN
HUKUM ISLAM
Mildi Hakim

Kata Kunci : Dendeng, Daging Babi, Hukum Positif dan Hukum Islam

Fenomena yang terjadi dimasyarakat terkait perlindungan hak konsumen


muslim adalah penjualan dendeng sapi yang ternyata mengandung daging babi.
Pelaku usaha wajib memperhatikan hak-hak konsumen dan tidak melakukan
larangan yang telah diatur dalam UU terkait.Produk seyogianya dijual dengan
memenuhi standar yang telah ditentukan dan sesuai dengan janji yang terdapat
pada label atau etiket.
Meskipun sudah ada UU yang mengatur, tapi dalam kenyataan masih
beredar produk-produk yang mengancam konsumen muslim, sehingga ditentukan
identifikasi masalah yaitu bagaimana ketentuan hukum mengatur keamanan
produk pangan, kemudian siapa yang bertugas mengawasi keamanan produk
pangan supaya terjamin kehalalannya dan bagaimana prinsip tanggung jawab bagi
pihak-pihak yang terlibat dalam penjualan baik menurut hukum positif maupun
hukum Islam.
Metode penelitian yang digunakan adalah normatif kualitatif karena
bertitik tolak pada peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif dan
hukum Islam serta pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi lainnya,
dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis yaitu menggambarkan,
menganalisa, menghubungkan dan membandingkan masalah penggunaan daging
babi pada dendeng menurut hukum positif dan hukum Islam.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut bahwa baik ketentuan hukum positif
maupun hukum Islam sudah cukup baik dalam mengatur pangan (dendeng) yang
cacat, adapun ketentuan tersebut terdapat pada UUPK, UU Pangan dan peraturan
pelaksana yang terkait, Peraturan BPOM khusus Industri Rumah Tangga dan
hukum Islam didalam Al-Quran dan Hadis. Pihak-pihak yang bertugas
mengawasi keamanan pangan (dendeng) adalah BPKN, LPKSM, BPOM,
LPPOM-MUI, dan Masyarakat. Tanggung jawab, pelaku usaha menurut UUPK
akan bertanggung jawab dengan prinsip product liability terhadap kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi dendeng tersebut. Sedangkan menurut hukum
Islam bahwa pelaku usaha melakkukan jarimah mutlak harus bertanggung jawab



KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Segala puji kehadirat Allah SWT, dimana atas rahmat dan hidayatnya

penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul PENJUALAN

DENDENG SAPI YANG MENGANDUNG DAGING BABI DITINJAU

DARI UU NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLIDUNGAN KONSUMEN

jo. UU NO. 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN DAN HUKUM ISLAM.

Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya dan para pengikut setianya,

dimana berkat ajaran-ajarannya kita bias terbebas dari kebodohan dan kegelapan

dunia menuju kepada dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan cahaya

kebenaran.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengankat permasalahan mengenai

Penjualan Dendeng Sapi Yang Mengandung Daging Babi Menurut Hukum Positif

dan Hukum Islam. Oleh karena itu, penulis meneliti lebih jauh masalah tersebut

sehingga penulis menyampaikannya melalui penulisan skripsi ini.

Adalah sangat tidak bijaksana apabila dalam kata pengantar ini penulis

tidak menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang

telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sebagai

manusia yang penuh dengan keterbatasan, penulis menyadari dengan sepenuh hati



dan setulus jiwa bahwa tapa bantuan mereka tentu penulis tidak akan mampu

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menghaturkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Ibunda H. E. Sofia dan ayahanda K. H. Syamsul Kamil, Drs. (Alm.)

yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik dan mendoakan serta

senantiasa menyediakan lautan maaf, dan member kasih saying yang

tiada batas kepada penulis.

2. Rakanda Lela Gifty Cleria, S.E., Riska Nurselectian, Ruhma Devi,

S.Pd. yang telah mendukung baik moril maupun materil dalam

menyelesaikan skripsi ini.

3. Adindan Alisiana Ulfah, Elga Gauziah, dan Deftian Fahmi yang

memberikan motivasi secara tidak langsung bagi penyelesaian

penulisan skripsi ini.

4. Keluarga besar K.H. Zaenuddin (Mama Aed) atas doa dan dukungan

morilnya

5. Kelurga besar K.H. Marfu Kamil atas doa dan dukungan morilnya

6. Bapak H. M. Zainuddin, Drs., Lc., Dipl., M.H., selaku dekan Fakultas

Syariah yang secara langsung maupun tidak langsung banyak

memberikan bekal keilmuan dan wawasan bagi penulis, semoga Allah

SWT senantiasa membalas jasa-jasa dan budi baik beliau.

7. Bapak Dr. H. Asyhar Hidayat, S.H., M.H., selaku dekan Fakultas

Hukum baik secara langsung maupun tidak langsung telah banyak

memberikan bantuan berupa keilmuan dan wawasan pada penulis,



semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa dan budi baik

beliau.

8. Bapak H. Asep Ramdan Hidayat, Drs., M.Si., selaku dosen wali dan

sekretaris Fakultas Syariah, sekaligus pembimbing yang dengan

penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan nasehat kepada

penulis.

9. Ibu Hj. Tatty Aryani Ramli, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing di

Fakultas Hukum yang secara langsung banyak memberikan bekal

keilmuan dan wawasan pada penulis sehingga dapat terselesaikannya

penulisan skripsi ini.

10. Para dosen Fakultas Syariah dan Fakultas Hukum serta seluruh civitas

akademik yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

memberikan ilmu, wawasan, dan cakrawala berfikir kepada penulis.

11. Special Thanks to Ria Trisnawati S.H., S.H.I. dan keluarga yang telah

membantu baik dalam bentuk pemikiran maupun dorongan dalam

penyelesaian skripsi ini.

12. Untuk sahabatku Deri dan orang yang dekat denganku yang tak bias

saya sebutkan namanya terimakasih atas segala bentuk bantuannya.

13. Nono S.H., S.H.I., Rina S.H., S.H.I., Fabian, S.H., S.H.I., Dewi S.H.,

S.H.I., dan semua kawan di Fakultas Syariah dan Hukum serta kawan

kawan Taekwondo UNISBA, terima kasih atas semua dukungannya

serta bantuan buku dan pemikirannya.



14. Kepada semua pihak yang telah membantu penulisan, sehingga

terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Hanya kepada Allah SWT semua penulis kembalikan, semoga Allah SWT

membalas segala apa yang mereka berikan dengan imbalan yang setimpal. Amin.

Kepada Allah SWT lah kita memohon agar skripsi ini dapat member

manfaat, agar Dia member rizki kepada kita berupa kelurusan kata dan tindakan,

menjauhkan kita dari tergelincirnya pikiran dan pena. Sesungguhnya Allah maha

mendengar permohonan.

Wassalamualaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh

Bandung, Februari 2010

Mildi Hakim



DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN ............................................................................................... i
PENGESAHAN SKRIPSI ............................................................................... ii
MOTTO ............................................................................................................ iii
KOLOM PERSEMBAHAN ............................................................................. iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1


A. Latar Belakang Penelitian ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 6
D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 7
E. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 8
F. Metodologi Penelitian ......................................................................... 15
G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 19

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENJUALAN DENDENG SAPI


MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM................... 22
I. Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Positif ............................... 22
A. Jual Beli Pada Umumnya ................................................................... 22
B. Konsumen dan Pelaku Usaha Menurut UUPK .................................. 23
1. Pengertian Konsumen ................................................................... 23
2. Hak-Hak Konsumen ...................................................................... 24
3. Kewajiban Konsumen ................................................................... 27
4. Pengertian Pelaku Usaha.............................................................. 28
5. Hak-Hak Pelaku Usaha ................................................................. 29
6. Kewajiban Pelaku Usaha .............................................................. 30



C. Pengertian Pangan menurut UU Pangan ............................................ 33
D. Pengertian Produk .............................................................................. 34
1. Pengertian Produk Cacat ............................................................... 35
2. Macam-Macam Produk Cacat ........................................................ 37
3. Pengertian Tanggung Jawab Produk (product Liability) ................. 38
II. Landasan SyarI (Jual Beli Dendeng Sapi yang Mengandung Daging
Babi) ..................................................................................................... 41
A. Komponen Dalam Islam .................................................................... 41
B. Muamalah ......................................................................................... 43
1. Pengertian Muamalah ................................................................... 43
2. Ruang Lingkup Muamalah ........................................................... 44
C. Jual beli Dalam Islam .......................................................................... 45
1. Pengertian Jual Beli ....................................................................... 45
2. Landasan Hukum Jual beli ............................................................. 46
3. Rukun dan Syarat Sah Jual Beli ..................................................... 47
D. Bentuk-Bentuk Jual Beli ..................................................................... 49
E. Jual Beli yang Dilarang Dalam Islam .................................................. 51

BAB III PENJUALAN DENDENG SAPI YANG MENGANDUNG DAGING


BABI DITINJAU DARI UUPK DAN UU PANGAN SERTA HUKUM
ISLAM ..................................................................................................... 54
A. Dendeng Sapi ..................................................................................... 54
1. SNI Dendeng .................................................................................. 54
2. Produk Dendeng Sapi Yang Mengandung Daging Babi .............. 57
B. Pengaturan Mengenai Produksi dan Perdagangan (Dendeng) Menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam ...................................................... 59
1. Produksi dan Perdagangan Pangan Menurut UUPK.................... 59
2. Produksi dan Perdagangan Pangan Menurut UU Pangan ............ 60
3. Peraturan-Peraturan Terkait Produksi dan Perdagangan Pangan . 67
4. Produksi dan Perdagangan Pangan Menurut Hukum Islam......... 68



C. Badan/Lembaga Perlindungan Konsumen Yang Mengawasi Peredaran
Pangan ................................................................................................ 76
D. Peran Dan Fungsi Badan/Lembaga Perlindungan Konsumen Yang
Mengawasi Peredaran Pangan ............................................................ 79
E. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Pada Kenyataannya Yang
Merugikan Konsumen ........................................................................ 83

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM ATAS


PEREDARAN DENDENG SAPI YANG MENGANDUNG DAGING
BABI ........................................................................................................ 85
A. Analisis Mengenai Ketentuan Hukum Yang Mengatur Tentang
Keamanan Produk Pangan Supaya Terjamin Kehalalannya Bagi Umat
Muslim .............................................................................................. 86
B. Analisis Mengenai Lembaga Yang Bertanggung Jawab Dalam
Peredaran Pangan Menurut Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
............................................................................................................ 91
C. Analisis Mengenai Prinsip Tanggung Jawab Penjual Dendeng Sapi
Yang Mengandung Daging Babi Menurut Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Jo Undang-Undang No.
7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Dan Menurut Hukum Islam ........... 94
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 97
A. Kesimpulan ...................................................................................... 97
B. Penutup .............................................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... xiii



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia sekitar 216 juta jiwa atau 88% dari

penduduk Indonesia1. Dalam menjalankan aktivitas dan memenuhi kehidupannya

umat Islam tidak terlepas dari syariat Islam begitupun dalam memenuhi

kebutuhan pangan sebagai kebutuhan dasar harus memenuhi kriteria halalan

thayibban. Hukum positif melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen jo Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan

telah memberikan proteksi supaya umat muslim dalam mendapatkan atau

mengkonsumsi pangan yang beredar dimasyarakat terjaga kehalalannya.

Pangan merupakan kebutuhan dasar hidup manusia, tidak terkecuali umat

muslim. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut tidak dapat dilakukan sendiri, maka

peluang tersebut ditangkap oleh para pelaku ekonomi dengan menciptakan

peluang usaha, maka munculah produsen-produsen yang mekhususkan diri

menjual barang-barang yang diidentifikasi sebagai makanan halal. Untuk

menciptakan kesadaran antara pelaku usaha yang menghormati hak konsumen,

maka para pihak perlu memperhatikan beberapa pertimbangan :

1. Bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling


membutuhkan; usaha produsen tidak akan berkembang dengan baik

 
1
http://parakontel.net/in/?p=75#more-75 (dikutip 19 mei 2009)






bila konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat


banyaknya produk yang cacat;
2. Bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam
melakukan kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya
merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan produsen
yang jujur dan bertanggung jawab;
3. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi
produsen yang bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan
jalan merugikan kepentingan konsumen, tetapi dapat dicapai
melalui penindakan terhadap produsen yang melakukan kecurangan
dalam melakukan kegiatan usahanya;
4. Bahwa beban konpensasi atas kerugian konsumen akibat
pemakaian produk cacat telah diperhitungkan sebagai komponen
produksi, tetapi ditanggung bersama oleh konsumen yang memakai
produk tidak cacat2.

Dalam menciptakan kesadaran tersebut diperlukanlah piranti hukum yang

melindungi konsumen dan tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku

usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim

berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam

menghadapi persaingan3. selain itu bahwa pangan sebagai komoditas dagang

memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung

jawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta

turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional4;

Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus

diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Dengan demikian, sesungguhnya

pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup, harga yang terjangkau

juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, halal. Jadi, sebelum

 
2
kristiyanti, Celina Tri Siwi.. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika. Jakarta. 2008.Hlm
.12.
3
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Penjelasannya ,
Visimedia, Jakarta, 2007. hlm. 51
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pertimbangan bagian
(c)





pangan tersebut didistribusikan harus memenuhi persyaratan kualitas, penampilan

dan cita rasa, maka terlebih dahulu pangan tersebut harus benar-benar aman untuk

dikonsumsi. Artinya, pangan tidak boleh mengandung bahan berbahaya seperti

cemaran pestisida, logam berat, mikroba pantogen ataupun tercemar oleh bahan-

bahan yang dapat mengganggu kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat.

Salah satu kasus konsumen yang ditemukan di masyarakat adalah

penggunaan daging babi pada dendeng/abon sapi yang diproduksi oleh usaha kecil

dan menengah (UKM). Usaha kecil dan menengah (UKM) merupakan salah satu

bagian penting dari perekonomian suatu negara ataupun daerah, tidak terkecuali di

Indonesia. Jadi, usaha kecil dan menengah (UKM) mempunyai peran penting

dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, kendatipun UKM telah melakukan

kecurangan dalam menjalankan usahanya yaitu mengoplos dendeng/abon sapi

dengan daging babi. Sebagai gambaran, kendati sumbangannya dalam output

nasional (PDRB) hanya 56,7 persen dan dalam ekspor nonmigas hanya 15

persen, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99 persen dalam jumlah badan

usaha di Indonesia serta mempunyai andil 99,6 persen dalam penyerapan tenaga

kerja5.

Dendeng sebagai produk UKM adalah salah satu makanan tradisional yang

mempunyai peran berarti dalam perbaikan gizi masyarakat. Dendeng merupakan

salah satu produk awetan daging tradisional yang sangat populer di Indonesia.

 
5
Aloysius, Gunadi Brata Distribusi Spasial Ukm Di Masa Krisis Ekonomi,
www.ekonomirakyat.org [Artikel - th. ii - no. 8 - nopember 2003]





Dendeng adalah lembaran daging yang dikeringkan dengan menambahkan

campuran gula, garam, serta bumbu-bumbu lain6.

Selain mengandung protein tinggi, dalam dendeng terdapat beberapa

kandungan mineral seperti kalsium, fosfor, dan besi. Sebagai produk olahan, masa

simpannya lebih lama dibanding daging sapi segar, sehingga produk dendeng

mudah didistribusikan ke daerah-daerah yang potensial kurang makanan7.

Melalui pemberitaan baik media cetak maupun elektronik, ditemukan

adanya penggunaan daging babi pada produk dendeng/abon sapi dengan nomor

CKS No. SP:0094/13.06/92, dan CPM No. SP:030/1130/94 berdasarkan

pengujian oleh Balai Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet (BPPHK)

Cikole, Kec. Lembang, Kab. Bandung8. Perkembangan selanjutnya melalui

penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

terhadap 15 produk dendeng dan 20 produk abon yang ada dipasaran, ditemukan 5

produk yang positif mengandung daging babi yaitu :

1. Dendeng/Abon Sapi Gurih Cap Kepala Sapi kemasan 250 gram

2. Abon/Dendeng Sapi Asli Cap A.C.C

3. Abon & Dendeng Sapi Cap LIMAS kemasan 100 gram) diproduksi

Langgeng, Salatiga.

4. Dendeng Sapi Istimewa Beef Jerky Lezaaat kemasan 100 gram diproduksi

MDC Food Surabaya

 
6
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1083217242,86128
7
Ibid
8
Surat Kabar Harian Pikiran Rakyat. Hal-1. Rabu 25 Maret 2009






5. Dendeng Daging Sapi Istimewa No.1 Cap 999, 250 gram diproduksi S.

Hendropurnomo, Malang9.

Bagi umat muslim tentu saja kasus ini sangat meresahkan sehingga

konsumen ragu bahkan bisa menolak untuk mengkonsumsi produk tersebut. Pada

dasarnya umat muslim khususnya dan umumnya seluruh masyarakat Indonesia

sangat mencita-citakan adanya bisnis yang jujur, sehat dan tidak mengabaikan

hak-hak konsumen, selain itu juga konsumen dapat membudayakan dirinya

sehingga bisa mandiri dan waspada terhadap produk-produk yang ditawarkan

kepada mereka. Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen adalah salah satu langkah untuk perlindungan konsumen di Indonesia,

juga secara khusus Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang pangan memberikan

perlindungan terhadap konsumen dalam medapatkan pangan yang beredar

dipasaran. Islam menganggap perdagangan sebagai salah satu wasilah kerja yang

disyariatkan, sehingga Al-Quran memberikan sifat yang baik kepadanya10.

Maka mencari rezeki dengan jalan berdagang ini dinamakan mencari sebagian

karunia Allah11. Seorang Muslim harus dipenuhi rasa suka sama suka pada

masing-masing pihak dalam transaksi jual-beli bukan karena paksaan, tetapi

dengan memberikan kebebasan individu dalam melakukan segala bentuk

 
9
http://grandparagon.com/index.php/2009/04/16/5-produk-abondendeng-yang-dioplos-daging-
babi/
10
Qardhawi, yusuf.1995.Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid I.Gema Insani Press.Jakarta. Hlm-752a
11
Ibid.hal-753





muamalah atau pertukaran manfaat dalam rangka tolong menolong untuk

kebajikan dan ketakwaan (al-birr wa at-taqwa)12.

Dengan latar belakang yang penulis uraikan diatas, maka penulis

menyimpulkan dengan sebuah judul PENJUALAN DENDENG SAPI YANG

MENGANDUNG DAGING BABI DITINJAU DARI UU NO. 8 TAHUN

1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN jo UU NO. 7 TAHUN

1996 TENTANG PANGAN DAN HUKUM ISLAM .

B. Identifikasi masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan identifikasi masalah :

1. Bagaimana ketentuan hukum mengatur keamanan produk pangan ?

2. Siapa yang bertugas mengawasi keamanan produk pangan supaya terjamin

kehalalannya ?

3. Bagaimana prinsip tanggung jawab bagi pihak-pihak yang terlibat dalam

penjualan baik menurut hukum positif maupun hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian

Dari ketiga identifikasi masalah di atas maka penulis mempunyai tujuan :

1. Untuk mengetahui peraturan hukum yang berlaku di Indonesia yang mengatur

keamanan produk pangan khususnya bagi umat muslim.

2. Untuk mengetahui pihak-pihak yang terkait dalam pengawasan terhadap

keamanan produk pangan di Indonesia.

 
12
Juhaya S. Praja, 1995: 114 sebagaimana dikutip dalam situs
http://www.mediakonsumen.com/Artikel1127.html





3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip tanggung jawab yang dapat diterapkan bagi

pihak-pihak yang terlibat dalam penjualan baik menurut hukum positif

maupun hukum Islam.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan berguna

pada dua aspek:

1. Kegunaan Teoritis

a) Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu hukum dan hukum

islam, khususnya hukum perlindungan konsumen tentang produk halal.

b) Diharapkan dapat menambah wawasan bagi penulis dan masyarakat luas

pada umumnya mengenai titik taut atau benang merah permasalahan

mengenai produksi dan pemasaran dendeng/abon yang mengandung

daging babi menurut hukum positif dan hukum Islam;

c) Sebagai sumbangan moral bagi ilmu pengetahuan.

2. Kegunaan Praktis

a) Diharapkan penelitian ini agar dapat memberikan dasar serta landasan

dalam melakukan penelitian sejenis pada penelitian selanjutnya

b) Diharapkan pula dapat memberi masukan bagi praktisi hukum, pelaku

usaha, konsumen, ulama tentang jaminan produk halal bagi umat muslim

khususnya dan non muslim umumnya.





E. Kerangka pemikiran

Indonesia adalah negara hukum yang ruang gerak pemerintahan maupun

rakyatnya dibatasi oleh hukum sesuai dengan pernyataan undang-undang dasar

1945 Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara Hukum13. Sumber

hukum dalam hukum Indonesia adalah hukum adat, hukum Islam, dan hukum BW

yang pada perkembangannya telah banyak di adopsi menjadi hukum positif serta

satu sama lain saling mewarnai sehingga merefresentasikan kebutuhan masyarkat

untuk mencapai tujuan hidup bersama yaitu suasana perikehidupan bangsa yang

aman, tenteram, tertib, dan damai.

Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Jumlah pemeluk agama

Islam di Indonesia sekitar 216 juta jiwa atau 88% dari penduduk Indonesia14.

Dalam menjalankan aktivitas dan memenuhi kehidupannya umat Islam tidak

terlepas dari syariat Islam begitupun pangan sebagai kebutuhan dasar harus

memenuhi kriteria halalan thayibban. Hukum positif melalui Undang- Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo Undang No. 7

Tahun 1996 tentang Pangan telah memberikan proteksi supaya umat muslim

dalam mendapatkan atau mengkonsumsi pangan yang beredar dimasyarakat

terjaga kehalalannya.

Didalam undang undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

dicantumkan pada pasal 4 mengenai hak-hak konsumen yaitu :

Hak konsumen adalah :

 
13
UUD 45 Beserta Amandemennya. Bintang Pustaka Abadi
14
http://parakontel.net/in/?p=75#more-75 .loc.cit





a hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barangdan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barangdan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Disamping pengaturan hak-hak dalam pasal 4 di atas, pengaturan

mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi hak-hak konsumen diatur

dalam pasal 7. Kewajiban pelaku usaha dan hak-hak konsumen merupakan





persyaratan yang memang harus tertuang dalam upaya perlindungan konsumen.

Oleh karena itu, kewajiban pelaku usaha harus dilihat sebagi hak-hak konsumen15.

Maka berkenaan dengan hak-hak konsumen tersebut diperlukanlah

pengaturan yang lebih lanjut berkaitan dengan masalah pangan yang beredar

dipasaran bagi umat muslim khususnya dan non muslim umumnya yang berada di

Indonesia. Didalam Pasal 8 ayat (1) dinyatakan :

pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang


dan/atau jasa yang : huruf (a) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
setandar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, huruf (e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi,
proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
huruf (h) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal yang
dicantumkan dalam label;16 .

Sangat jelas sekali bahwa pasal diatas telah melarang peredaran suatu

produk yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan seperti produk

dendeng/abon yang mengandung daging babi dan telah beredar dipasaran, dimana

didalam latar belakang telah dipaparkan mengenai temuan dendeng/abon yang

mengandung daging babi melalui pengujian oleh Balai Penyidikan Penyakit

Hewan dan Kesmavet (BPPHK) Cikole, Kec. Lembang, Kab. Bandung juga

Badan pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Bahkan ayat (3) secara lebih

spesifik menyatakan :

Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan

informasi secara lengkap dan benar.


 
15
Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen.Ghalia
Indonesia.Bogor. 2008 hal-51
16
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Penjelasannya , op
cit hal-2. hlm 10





Di dalam penjelasan dikatakan sediaan farmasi dan pangan yang

dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Bahwa larangan-larangan yang tertuju pada produk

sebagaimana dimaksudkan diatas adalah untuk memberikan perlindungan

terhadap kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang

dibawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada nilai harga yang

dibayar17.

Dalam Pasal 21 huruf (c) undang-undang no.7 tahun 1996 tentang Pangan

dinyatakan :

Setiap orang dilarang mengedarkan : pangan yang mengandung bahan

yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan18.

Tentu saja pelarangan ini berlaku untuk setiap produk makanan yang

sudah diketahui menggunakan bahan yang dilarang pada waktu melakukan proses

produksi, pada Pasal 26 huruf (b) dikatakan :

Setiap orang dilarang memperdagangkan : pangan yang mutunya berbeda

atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan19.

Pasal ini berkenaan dengan larangan pemasaran produk dengan

menjanjikan mutu yang baik akan tetapi diketahui mengandung bahan yang

dilarang.

 
17
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2005, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.hlm-66
18
Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan hlm-5 (adobe reader.net)
19
Ibid. hlm-6





Dalam masalah pangan ini Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang

Pangan memberikan suatu otonomi bagi pemeluk agama tertentu khususnya umat

muslim dengan pencantuman Pasal 2 yaitu :

Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar

manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan

kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.

Untuk memenuhi amanat Undang-Undang tersebut yaitu : Terbebasnya

masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan tidak

sesuai dengan keyakinan masyarakat. Konkretnya, yaitu keamanan pangan bisa

dibedakan dalam dua hal besar, yaitu aman secara rohani dan aman secara

teknis.Aman secara rohani berhubungan dengan kepercayaan dan agama suatu

masyarakat, apalagi untuk sebagian besar konsumen Indonesia yang beragama

Islam, maka faktor kehalalan menjadi suatu prasyarat yang tidak bisa ditawar-

tawar lagi; Sedangkan ciri teknis kemanan pangan, yaitu tidak mengandung

cemaran yang berbahaya, baik secara kimia, fisik, maupun mikro biologi20.

Berhubungan dengan prasyarat halal bagi muslim, maka Islam sendiri jauh

sebelumnya telah memberikan tuntunan kepada manusia melalui firman Allah :

  

    
   

   
    
     


   


 
20
Purwiyatno Hariyadi dan Nuri Andarwulan, (SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor),
Mengonsolidasi Sistem Keamanan Pangan Di Indonesia. Sebagaimana dikutip oleh
Shofie,Yusuf. kapita selekta Hukum perlindungan konsumen di indonesia. PT Citra Aditya
Bhakti.2008. hlm-352





Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang

terdapat di bumi, (al-Baqarah 168) 21

Allah telah menyerukan kepada umat manusia melalui Nabi untuk

memakan makanan yang halal lagi baik, halal berarti dibolehkan oleh syara serta

baik berarti bergizi dan sehat; Asal dari segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah

adalah halal dan mubah (dibolehkan), tidak ada satupun yang haram kecuali ada

nas yang sah dan tegas dari syari (yang berwenang membuat hukum itu sendiri,

yaitu Allah dan Rasulnya) yang mengharamkannya22.

Maka sesuatu yang dihalalkan dalam Islam sangatlah luas sebaliknya yang

diharamkan sangat sempit. Bahkan didalam firmannya Allah menegaskan :

 #  "  


 !


Dan Sesungguhnya Allah Telah menjelaskan kepada kamu apa yang

diharamkan-Nya atasmu, (al-anam 119)

Bahwa perkara yang haram itu sangat jelas hal ini diperkuat dengan hadis

nabi dari mutafaqun alaih yaitu ; sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang

haram pun jelas... Oleh karena itu didalam masalah makananpun Allah telah

memberikan kejelasan mengenai makanan yang diharamkan berdasarkan

firmannya dalam surat al-Baqarah ayat (173) yang berbunyi :

 
21
Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-quan Al-quran dan terjemahnya..depag
.1971
22
Qardhawi, Yusuf Halal dan Haram Dalam Islam, alih bahasa oleh Muammal Hamidy.PT
Bina Ilmu.Surabaya.1990 hal-()14-15)


 





  # ! *" )  !(   ' 


  " 
%&
 $  "  
 

-.$,& #)%#+   ( 


"'  !&  ! *%$

Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,

daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain

Allah. (al-Baqarah 173)

Di dalam ayat ini sangat jelas sekali bahwa salah satu makanan yang

diharamkan oleh Allah adalah babi. Dalam tinjauan fiqih, babi digolongkan

sebagai binatang haram dikonsumsi secara substansinya (liainiha), baik

dagingnya, lemaknya maupun kulitnya. Artinnya, jalur rangkaian usaha untuk

beternak, memanfaatkannya, menjualbelikannya, memproses sesuatu yang

berkaitan dengan babi dan seterusnya adalah haram mutlak.

Pada prinsipnya Islam tidak melarang perdagangan, kecuali ada unsur-

unsur kedzaliman, penindasan, penipuan dan mengarah kepada sesuatu yang

dilarang oleh Islam seperti memperdagangkan daging babi. Orang yang

memperdagangkannya tidak dapat diselamatkan oleh kebenaran dan kejujurannya,

sebab pokok perdagangannya sudah mungkar yang ditentang dan tidak dibenarkan

oleh Islam dengan jalan apapun23.

Maka didalam Islam diwajibkan mencari ilmu dengan kewajiban belajar se

umur hidup atau sejak dari buaian hingga ke liang lahad24, demikianpun untuk

berdagang; diriwayatkan bahwa umar bin khotob r.a. mengelilingi pasar dan

memukul sebagian pedagang dengan cemetinya sambil berkata :Tidak boleh

 
23
Al-Ashyar, Thobieb. Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian
Rohani.PT.Al-Mawardi Prima.Jakarta. 2003 hal-(203-204)
24
Qardhawi, Yusuf. Op cit hal-190






berjualan dipasar kami melainkan orang yang faqih (mengerti peraturan jual beli).

Kalau tidak, niscaya dia memakan riba baik yang disengaja maupun tidak.

Karena hanya orang-orang yang mengetahui ilmu perdagangan menurut ajaran

Islam yang dapat menerapkan prinsip-prinsip perdagangan islam dan prinsip

taqwa25.

F. Metodologi Penelitian

1. Metode pendekatan penelitian

Menurut Ronny Hanitijo Soemitro penelitian hukum normatif dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut

juga penelitian hukum kepustakaan26. Penelitian hukum normatif merupakan

penelitian terhadap data sekunder27 . Dengan metode pendekatan penelitian ini

dimaksudkan untuk mencari data-data berupa norma-norma maupun asas-asas

hukum yang dapat memberikan jawaban mengenai permasalahan sesuai dengan

topik yang dibahas oleh penulis baik mengenai keamanan, pengawasan maupun

tanggung jawab yang dapat diberlakukan. Adapun data sekunder dibidang hukum

(dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya) dapa dibedakan menjadi :

 
25
Yakub, Hamzah. Kode Etik Dagang Dalam Islam. Diponegoro. Bandung.1984 hal-28
26
Sumitro, Ronny Hanitiyo.Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan Jurimetri.Jakarta.
Ghalia Indonesia, 1990
27
Ibid, hlm-11


 


1. Bahan-bahan hukum primer :

a. Norma dan dasar pancasila

b. Peraturan dasar; batang tubuh UUD 1945, ketetapan-ketetapan

MPR

c. Peraturan perundang-undangan

d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan

e. Yurisprudensi

f. Traktat

2. Bahan-bahan hukum sekunder , yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami

bahan hukum primer, adalah :

a. Rancangan peraturan perundang-undangan

b. Hasil karya ilmiah para sarjana

c. Hasil-hasil penelitian

3. Bahan-hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya :

a. Bibliografi

b. Indeks kumulatif28.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum normatif

ini adalah deskriptip anlitis yaitu menggambarkan, menganalisa, menghubungkan

dan membandingkan data yang berkaitan dengan masalah penggunaan daging

 
28
Ibid, hlm 11-12


 


babi pada dendeng/abon menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

seperti, KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, dan

menurut hukum Islam.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dari sumber-sumber data; Menurut Suharsimi

Arikunto yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari

mana data dapat diperoleh29. Adapun teknik yang dilakukan dalam melakukan

penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan :

a) Riset kepustakaan (library research) yakni menganalisis bahan-

bahan hukum primer berupa Al-Quran, As-Sunah, KUHPerdata,

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan,

buku-buku fikih dan kepustakaan lainnya dijadikan sebagai data

sekunder.

b) Penelitian lapangan,dalam rangka mengumpulkan data dengan cara

studi lapangan ke lembaga-lembaga terkait seperti : BPOM, MUI

untuk memperoleh data primer yang dibutuhkan sebagai

pendukung analisis

 
29
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (ed. Revisi V), Rineka Cipta
, Jakarta, 1997. hlm.107


 


4. Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dalam satu tahap penelitian yaitu penelitian

kepustakaan, yang dimaksudkan untuk mencari konsep, teori dan pendapat dalam

rangka mendapatkan data sekunder. Rangkaiannya terdiri dari:

a. Pembuatan Rancangan Penelitian.

Pada tahapan ini, penulis mempersiapkan sketsa awal penelitian dan mengestimasi

waktu dan biaya yang diperlukan selama penelitian ini.

b. Pengumpulan Bahan

Pada tahapan ini, penulis mulai mengumpulkan bahan kepustakaan yang

kemudian menjadi bahan dasar penelitian. Bahan-bahan ini terdiri atas:

1) Bahan hukum primer berupa: al-Quran, al-Hadits KUHPerdata,

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan.

2) Bahan hukum sekunder : karangan ilmiah dan catatan ilmiah

3) Bahan hukum tersier berupa : kamus, internet, ensiklopedia, dan

sumber-sumber lain yang representatif

c. Penelitian Kepustakaan

Setelah bahan-bahan kepustakaan diperoleh, baik bahan primer maupun

bahan sekunder dan tersier diperoleh, maka penulis melakukan penelitian terhadap

permasalahan yang sedang dibahas.

d. Analisis Data

Setelah memiliki bahan-bahan kajian dan melakukan pemilahan-

pemilahan bahan yang diperlukan, maka penulis melakukan analisis terhadap





data-data yang terkait tersebut secara seksama sehingga memperoleh apa yang

diharapkan dari penelitian ini.

e. Penyusunan Laporan

Pada tahapan ini merupakan tahapan akhir dari rangkaian penelitian.

Semua hasil penelitian ini dituangkan ke dalam tulisan ilmiah.

5. Metode Analisis

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya kemudian

mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di

dalam gejala yang bersangkutan30.

Adapun metode analisis data yang penulis gunakan adalah normatif

kualitatif, normatif karena penulisan ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan

yang ada sebagai norma hukum positif dan hukum Islam; kualitatif yaitu data

yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi lainnya.

kemudian data yang diperoleh disusun secara sistematis dan dianalisa untuk

mendapat kejelasan masalah yang akan dibahas.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menuangkan ide pokok bahasannya

ke dalam lima bab, yakni:

 
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. hlm. 43





BAB I Pendahuluan; pembahasannya meliputi: Latar Belakang Penelitian,

Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka

Pemikiran, Metodologi Penelitian Dan Sistematika Penulisan.

BAB II Pada bab ini pembahasannya meliputi: Tinjauan Umum Mengenai

Penjualan Dendeng Sapi Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam, berupa

Perlindungan Konsumen Dalam Hukum Positif yaitu Jual Beli Pada Umumnya,

Konsumen dan Pelaku Usaha Menurut UUPK berupa Pengertian Konsumen,

Hak-Hak Konsumen, Kewajiban Konsumen, Pengertian Pelaku Usaha, Hak-Hak

Pelaku Usaha, Kewajiban Pelaku Usaha, Pengertian Pangan menurut UU Pangan,

Pengertian Produk, Pengertian Produk Cacat, Macam-Macam Produk Cacat,

Pengertian Tanggung Jawab Produk (product Liability). Landasan SyarI Tentang

Jual Beli Dendeng Sapi yang Mengandung Daging Babi, berupa Komponen

Dalam Islam, Muamalah yaitu Pengertian Muamalah, Ruang Lingkup

Muamalah, Jual beli Dalam Islam, yaitu Pengertian Jual Beli, Landasan Hukum

Jual beli, Rukun dan Syarat Sah Jual Beli, Bentuk-Bentuk Jual Beli dan Jual Beli

yang Dilarang Dalam Islam.

BAB III Pada bab ini pembahasannya meliputi: Penjualan Dendeng Sapi

Yang Mengandung Daging Babi Ditinjau Dari UUPK dan UU Pangan Serta

Hukum Islam, berupa Dendeng Sapi yaitu SNI Dendeng, Produk Dendeng Sapi

Yang Mengandung Daging Babi, Pengaturan Mengenai Produksi dan

Perdagangan (Dendeng) Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, berupa

Produksi dan Perdagangan Pangan Menurut UUPK, Produksi dan Perdagangan

Pangan Menurut UU Pangan, Peraturan-Peraturan Terkait Produksi dan





Perdagangan Pangan, Produksi dan Perdagangan Pangan Menurut Hukum Islam,

Badan/Lembaga Perlindungan Konsumen Yang Mengawasi Peredaran Pangan,

Peran Dan Fungsi Badan/Lembaga-Lembaga Lembaga Perlindungan Konsumen

Yang Mengawasi Peredaran Pangan, Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Pada

Kenyataannya Yang Merugikan Konsumen.

BAB IV Pada bab ini pembahasannya meliputi : Analisis Perlindungan

Konsumen Muslim Atas Peredaran Dendeng Sapi Yang Mengandung Daging

Babi berupa ; Analisis Mengenai Ketentuan Hukum Yang Mengatur Tentang

Keamanan Produk Pangan Supaya Terjamin Kehalalannya Bagi Umat Muslim,

Analisis Mengenai Lembaga Yang Bertanggung Jawab Dalam Peredaran Pangan

Menurut Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, Analisis Mengenai Prinsip

Tanggung Jawab Penjual Dendeng Sapi Yang Mengandung Daging Babi Menurut

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo Undang-

Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dan Menurut Hukum Islam.

BAB V Penutup: Simpulan, Saran.

Daftar Pustaka


BAB II

TINJAUN UMUM MENGENAI PENJUALAN DENDENG SAPI

MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

I. Perlindungan Konsumen dalam Hukum Positif

A. Jual Beli Pada Umumnya


Didalam pasal 1457 KUH perdata, Jual beli dikatakan sebagai suatu

perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan

suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah

dijanjikan,1 artinya jual beli adalah suatu perjanjian dimana yang menjual wajib

menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli, dan pembeli wajib

membayar harga barang tersebut. Jika barang sudah diserahkan kepada pembeli,

maka barang itu sudah menjadi hak pembeli.2

Jual beli sebagai representasi dari asas kebebasan berkontrak, dituangkan

oleh pembuat Undang-undang dalam pasal 1338 ayat (1) BW3. Asas ini

menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak

(perjanjian) yang berisi dan macam apapun (perjanjian bernama dan perjanjian

yang tidak bernama)4 asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan

dan ketertiban umum.5 Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh pelaku usaha akan

 
1
Subekti dan Tjitrosudibio Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta.2004 hal 366
2
Furqon, Andang. Harumiati. Imaniyati, Neni Sri dan Wiyanti Diana Pengantar Hukum
Indonesia , Fakultas Hukum Unisba.2005 hal 54
3
Syahrani, Riduan. Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung. 2004.hal-212
4
Badrulzaman, Mariam Darus, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya.
Alumni. Bandung. 1996 hal 107
5
Subekti, Hukum Perjanjian .Intermasa,.Jakarta.1979 sebagaimana dikutip oleh ; Syahrani,
Riduan. Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung. 2004.hal-212


 

menimbulkan hak dan kewajiban pada para pihak; adapun kewajiban utama dari

penjual menurut pasal 1474 KUHPdt ialah menyerahkan barang dan

menanggungnya. Penyerahan barang dilakukan pada waktu jual beli dilakukan

terkecuali ada perjanjian lain; adapun penanggungan yang menjadi kewajiban si

penjual terhadap sipembeli menurut pasal 1491 KUHPdt adalah untuk menjamin

dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram;

kedua terhadap adanya cacat-cacat tersebut yang tersembunyi, atau yang

sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya.6

Lebih tegas mengenai cacat tersembunyi dalam pasal 1504 KUHPdt disebutkan si

penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang

dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud,

atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya sipembeli

mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak

akan membelinya selain dengan harga yang kurang7. Dan sebaliknya kewajiban si

pembeli menurut pasal 1513 KUHPdt ialah membayar harga pembelian, pada

waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.8

B. Konsumen dan Pelaku Usaha menurut UUPK

1. Pengertian Konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen

sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).UUPK menyatakan,

 
6
Subekti dan Tjitrosudibio.OP.Cit. hal 380
7
Ibid hal 374
8
Ibid. hal 375

 
 

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan.9

Penjelasan pasal tersebut mengutarakan sebagai berikut :

Kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara.

Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,

sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk

sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen

dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.

Ahmadi Miru menyatakan bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai

konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut

orang akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir

yaitu badan hukum yang mengonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak untuk

diperdagangkan.10

2. Hak-Hak Konsumen

Sebenarnya, hak dasar konsumen yang sudah berlaku secara universal

adalah terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu sebagai berikut :11

1. Hak atas keamanan dan kesehatan.

2. Hak atas informasi yang jujur.

3. Hak pilih.

4. Hak untuk didengar.

 
9
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2006. hlm.1-2
10
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit hlm-5
11
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya
Bakti, Bandung. 2005, hlm 229

 
 

Ada delapan hak yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 UUPK,

sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka.

Hak-hak konsumen itu sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi serta

jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian jika

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau

tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang

lain.

 
 

Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari

akibat negatif persaingan curang.12 Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan

bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam

hukum dikenal dengan terminologi persaingan curang (unfair competition).

Disamping pengaturan hak-hak diatas, pengaturan mengenai kewajiban

pelaku usaha untuk memenuhi hak-hak konsumen diatur dalam pasal 7.

Kewajiban pelaku usaha dan hak-hak konsumen merupakan persyaratan yang

memang harus tertuang dalam upaya perlindungan konsumen. Oleh karena itu,

kewajiban pelaku usaha harus dilihat sebagi hak-hak konsumen.13

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin

keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan atau jasa

yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik

maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk.14

Selain daripada terdapat hak atas keamanan dan keselamatan di atas hak

atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang

disampaikan kepada konsumen dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat

produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi

yang tidak memadai. Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan

kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai

dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar.15

 
12
Shidarta, op.cit. hlm. 22
13
Sutedi, Adrian. Loc.cit
14
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm.41
15
ibid. hlm.41-42

 
 

3. Kewajiban Konsumen

Kewajiban konsumen diatur pada Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen :

Kewajiban konsumen, adalah:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi

dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan

dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan.

Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah

menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen

tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya dengan pengaturan

kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab,

jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan

kewajiban tersebut.16

Menyangkut kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada

transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena

 
16
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 48

 
 

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat

melakukan transaksi dengan produsen berbeda dengan pelaku usaha kemungkinan

terjadinya kerugian konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh

produsen (pelaku usaha).17

Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

dengan pelaku usaha, adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya

demikian.

Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah

kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patut.

4. Pengertian Pelaku Usaha

Definisi pelaku usaha terdapat pada Pasal 1 angka 3 UUPK Nomor 8

Tahun 1999 di mana pada pasal tersebut dinyatakan sebagai berikut :

Pelaku usaha adalah setiap perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 1 UUPK cukup luas karena

meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya, pada pengertian pelaku

usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri.

UUPK membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

 
17
Ibid. hlm. 49

 
 

Indonesia.18 Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan

memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian.

5. Hak-Hak Pelaku Usaha

Hak-hak yang dimiliki oleh pelaku usaha terdapat dalam Pasal 6 yaitu

antara lain :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang

diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beriktikad tidak baik;

c. Hak untuk pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum

sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai

tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku

usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang

 
18
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo .Ibid. hlm. 9

 
 

diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang

berlaku umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.19

Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c, d,

sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak

aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/pengadilan

dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut

diharapkan perlindungan konsumen secara berlebihan hingga mengabaikan

kepentingan pelaku usaha dapat dihindari.20

6. Kewajiban Pelaku Usaha

Sedangkan untuk kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 yaitu :

a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

 
19
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm 50
20
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo Ibid. hlm. 51

 
 

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai

dengan perjanjian.

Kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usaha

merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan

tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian

harus dilaksanakan dengan iktikad baik sedangkan Arrest H.R. di Negeri Belanda

memberikan peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap pra perjanjian,

bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori

kehendak.

Begitu pentingnya iktikad baik tersebut, sehingga dalam perundingan-

perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan

dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan

hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu

harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari

pihak lain.

Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu

kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar

terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak, atau masing-masing

pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak berkaitan

dengan iktikad baik.21

 
21
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo .Ibid, hlm. 52

 
 

Pada UUPK pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan

kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beriktikad baik dalam

melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

Kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya, konsumen

hanya diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa.

Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadi kerugian bagi

konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku

usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen

mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.22

Tentang kewajiban ke dua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang

benar, jelas, dan jujur, disebabkan karena informasi di samping merupakan hak

konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai

dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang

akan merugikan konsumen.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen

mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai

suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat

berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.23

Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi kepada

konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang

 
22
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo Ibid, hlm 54
23
.Ibid, hlm 55

 
 

diberikan kepada konsumen ini memegang peranan penting dalam kaitan dengan

keamanan suatu produk.24 Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk

menjamin efisiensi penggunaan produk, juga penting untuk mencegah timbulnya

kerugian bagi konsumen.25

C. Pengertian Pangan Menurut UU Pangan

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan

mendefinisikan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan

air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan

atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan

baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,

pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman26. Pengertian pangan

tersebut sangat luas, sehingga bisa dipastikan segala bentuk pangan yang beredar

dimasyarakat baik yang bersumber dari hayati maupun air selama itu bertujuan

untuk konsumsi manusia maka akan masuk dan terakomodir dalam perlindungan

Undang-undang Pangan tersebut.

Dalam ayat selanjutnya yaitu Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa Pangan

olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode

tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan27. Ini menunjukan bahwa pangan yang

dikombinasikan denga bahan-bahan tertentu akan diatur secara khusus, mana yang

boleh digunakan atau tidak. Bahan yang tidak boleh digunakan dalam hal ini

adalah bahan yang membahayakan bagi konsumen secara teknis maupun secara

 
24
Ibid. hlm. 58
25
Ibid. hlm. 60
26
UU Pangan.Op.Cit
27
Ibid.

 
 

rohani. Maka diperlukanlah sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi

kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran

dan kesejahteraan rakyat28; Sistem pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang

berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap

kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap

dikonsumsi manusia.

D. Pengertian Produk

Produk secara umum dapat diartikan sebagai barang yang secara nyata

dapat dilihat dan dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun tidak

bergerak. Namun dalam masalah tanggung jawab produsen product liability

produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat

intangible seperti listrik, produk alami (misal makanan binatang piaraan dengan

jenis binatang lain, tulisan (misal peta penerbangan yang diproduksi secara

massal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (misal berbagai fasilitas

rumah).29

Kata produk oleh Agnes M. Toar diartikan sebagai barang, baik bergerak

maupun tidak bergerak (tetap).30 Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa :

Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,baik


bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,
atau dimanfaatkan oleh konsumen.
 
28
Bagian Pertimbangan (b) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 Tentang
Pangan
29
E. Saefullah, Tanggung Jawab Produsen Di Era Perdagangan Bebas, Makalah Seminar
Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas, UNISBA,
Bandung, 9 Mei 1998. hlm. 35
30
Shidarta,op.cit. hlm. 54

 
 

Selain pengertian tersebut, ada berbagai macam definisi produk, di

antaranya menurut Stanton dan Kotler. William J Stanton memberikan pengerian

produk sebagai berikut:produk adalah suatu sifat yang kompleks baik dapat diraba

maupun tidak dapat diraba, termasuk bungkus, warna, harga, prestise perusahaan

dan pengecer, pelayanan persusahan dan pengecer yang diterima oleh pembeli

untuk memuaskan keinginan atau kebutuhannya.31

Sedangkan menurut Philip Kotler, batasan pengertian produk:produk

adalah sesuatu yang dapat ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan,

dimiliki, dipakai, atau dikonsumsi, sehingga dapat memuaskan keinginan atau

kebutuhan.32

1. Pengertian Produk Cacat

Di Indonesia produk cacat didefinisikan sebagai produk yang tidak dapat

memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam

proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau

tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka

dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan konsumen.33

Tim Kerja Penyusun Naskah Akademis Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman RI merumuskan pengertian produk yang cacat

sebagai berikut : 34

Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik

karena kesengajaan, atau kealpaan dalam proses produksinya maupun


 
31
Widyaningtyas Sistaningrum, Manajemen Penjualan Produk, Kanisius, Yogyakarta, 2002 hlm.1
32
Ibid. hlm. 1
33
AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,: Cetakan II Diadit Media,
Yogyakarta, 2001. hlm. 248.
34
Ibid. hlm. 249

 
 

disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak

menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka

dalam penggunaannya, sebagaimana layaknya diharapkan orang.

Pengertian cacat dalam KUHPerdata diartikan sebagai cacat yang

sungguh-sungguh bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu tidak

dapat digunakan dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya

dihayati oleh benda itu, atau cacat itu mengakibatkan berkurangnya manfaat

benda tersebut dari tujuan yang semestinya.35

Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa produk cacat/rusak yakni produk

yang rendah kualitasnya sehingga bila dikonsumsi akan menyebabkan kerugian

bagi konsumen, berkenaan dengan masalah cacat/rusak (defect) dalam pengertian

produk yang cacat/rusak (defective product) yang menyebabkan produsen harus

bertanggung jawab, dikenal tiga macam defect, yaitu production/manufacturing

defect, design defect, dan warning or instruction defect.36 Hal tersebut dinyatakan

kembali oleh A.Z.Nasution bahwa, suatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat

memenuhi tujuan pembuatannya) karena :37

1. Cacat produk atau manufaktur (production/manufacturing defect),

2. Cacat desain (design defect)

3. Cacat peringatan atau instruksi (warning or instruction defect),

 
35
Sabarudin Juni, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dilihat Dari Segi Kerugian Akibat
Barang Cacat Dan Berbahaya, Fakultas Hukum USU, Medan, 2002., hlm. 9.
36
E. Saefullah, loc.cit.
37
AZ. Nasution. loc.cit.

 
 

2. Macam-macam Produk Cacat/Rusak

Seperti yang telah disebutkan di atas dalam pengertian produk yang

cacat/rusak (defective product) dikenal tiga macam defect: 38

1. Production/manufacturing defect

2. Design defect

3. Warning / instruction defect

a. Production/Manufacturing Defect

Production/manufacturing defect yaitu keadaan produk yang umumnya

berada dibawah tingkat harapan konsumen.39 Atau apabila produk tersebut tidak

sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi

konsumen. Manufacturing defect dapat diartikan sebagai hubungan antara

kesesuaian perincian, kepuasan, pemakai, dan penyimpangan dari ketentuan.

Kegagalan untuk menyesuaikan dengan perincian yang diperjanjikan adalah

manufacturing defect yang jelas dan bukan suatu definisi baru.40

Pada pengetesan menggunakan definisi ini, seorang juri dapat

menunjukkan bahwa kerusakan perancangan terjadi ketika:41

1. Sebuah produk terlepas dari garis kumpulan pada kondisi yang tidak

memenuhi standar;

2. Sebuah produk berbeda dari hasil rancangan yang diharapkan; atau

3. Ketika sebuah produk berbeda dari identitas yang diharapkan.

 
38
E. Saefullah, loc.cit.
39
AZ. Nasution. loc.cit.
40
Amaliyah, Skripsi (Perlindungan Konsumen Atas Bahan Tambahan Pangan Pada UU Nomor. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen JO UU Nomor. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan,
Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 2003. hlm. 49
41
Ibid. hlm. 50

 
 

b. Design Defect

Design defect adalah apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar

daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari

disain produk tersebut lebih kecil risikonya.

Design defect dapat didefinisikan sebagai permintaan pemakai pada

umumnya terlalu banyak bahaya yang dapat dicegah. Produknya mungkin saja

tidak sempurna jika gagal untuk menampilkan sebisa mungkin seperti yang

diharapkan oleh konsumen pada umumnya. Ini diartikan dalam konteks yang

diharapkan, yang diduga, di mana dapat diduga memiliki kesamaan pengertian

diramalkan dalam kegagalan bentuk dan pengaruh atau kesalahan - pohon

analisa.42

c. Warning/instruction defect

Warning/instruction defect yakni apabila buku pedoman, buku panduan,

pengemasan, etiket, atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang

bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk penggunaanya

yang aman.

3. Pengertian Tanggung Jawab Produk (Product Liability)

Tanggung jawab produk (product liability) menurut Agnes M. Toar

diartikan sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya

kedalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat

yang melekat pada produk tersebut.43 Tanggung jawab itu dapat bersifat

 
42
Amaliyah .Ibid .hlm. 50
43
Toar, Agnes M. Tanggung Jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di Beberapa Negara
(Makalah, dibawakan dalam penataran Hukum Perikatan II, Ujung Pandang, 17-29 Juli 1989),1.

 
 

kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan Undang-undang (gugatannya atas dasar

perbuatan melawan hukum), 44 dasar gugatan untuk tanggung jawab produk dapat

dilakukan atas landasan adanya :

1. Pelanggaran jaminan (breach of warranty)

2. Kelalaian (negligence)

3. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khususnya

produsen), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat.

Pengertian cacat bisa terjadi dalam konstruksi barang (construction defect), desain

(design defect), dan/atau pelabelan (labeling defect).

Adapun yang dimaksud dengan kelalaian (negligence) adalah bila

sipelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukan, ia cukup berhati-hati

(reasonable care) dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki,

memasang label, atau mendistribusikan barang.45

Tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah perinsip tanggung jawab

yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan.46 Menurut

R.C.Hoeber et al, biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena

1. Konsumen tidak dalam posisi yang menguntungkan untuk membuktikan

adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang

kompleks,

   


Sebagaiamana dikutip oleh Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,
Jakarta, 2006. Hlm 80
44
Shidarta.op.cit. Hlm 80
45
Ibid hlm 81
46
Ibid hal 78

 
 

2. Di asumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada

gugatan atas kesalahannya,

3. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.47

Menurut Shidarta tanggung jawab produk ini dirumuskan dengan tegas

dalam pasal 19 ayat (1) UUPK dengan menyatakan : pelaku usaha bertanggung

jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan /atau kerugian

konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.48 Berkaitan dengan Undang-Undang Pangan, Pasal 41 ayat (1)

Undang-undang tersebut menyatakan pula bahwa Badan usaha yang memproduksi

pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha

yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab

atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang

mengkonsumsi pangan tersebut. Maksud pasal 41 ayat (1) tersebut menyatakan

pula dengan tegas mengenai tanggung jawab produk ini. Tetapi dipasal 19 ayat (5)

UUPK dan pasal 41 ayat (7) UU Pangan diberikan peluang bagi pelaku usaha

untuk bebas dari tuntutan selama pelaku usaha tersebut bisa membuktikan bahwa

kesalahan ada pada konsumen bukan atas kesalahan atau kelalaian dari pelaku

usaha, maka sistem pembuktiannya terbalik dalam arti pelaku usahalah yang harus

selalu membuktikan ketika ada gugatan dari konsumen atas kerugian yang diderita

akibat mengkonsumsi barang/jasa yang ditawarkan pelaku usaha.

 
47
Hoeber. R.C. Contemporary Busines Law, Principles and Cases (New York: McGraw-Hill Book
Co., 1986), 420. Sebagaimana dikutip oleh Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,
Grasindo, Jakarta, 2006. Hlm 78
48
Shidarta op.cit hal 82

 
 

Bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha adalah dengan mengganti

kerugian akibat mengkonsumsi barang/jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan

yang notabene rusak, tercemar dan menggangu kesehatan orang lain.

II. Landasan SyarI (Jual Beli dendeng Sapi yang Mengandung Daging Babi)

A. Komponen Dalam Islam

Islam sebagai comprehensive way of life49 mempunyai pengaruh yang

sangat besar bagi perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia seiiring dengan

di berlakukannya kaidah-kaidah hukum tertentu bagi pemeluk agama islam50.

Dengan mengikuti sistematika iman, islam, dan ikhsan yang berasal dari hadits

Nabi Muhammad, kerangka dasar agama islam yang terdiri dari (1) aqidah, (2)

syariah, dan (3) ahlak. Pada komponen syariah dan ahlak ruang lingkupnya jelas

mengenai ibadah, muamalah dan sikap terhadap khalik (Allah) serta mahluk.

Pada komponen aqidah, ruang lingkup itu akan tampak pula jika dihubungkan

dengan iman kepada Allah dan para Nabi serta para Rasullnya. Yang dimaksud

dengan :

1. Aqidah, secara etimologis (menurut ilmu bahasa yang menyelidki asal-

usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna) adalah ikatan,

sangkutan. Dalam pengertian teknis makna aqidah adalah iman, keyakinan

yang menjadi pegangan hidup setiap pemeluk agama islam. Aqidah,

 
49
Antonio SyafiI, Potensi dan peranan Sistem Ekonomi Islam Dalam upaya pembangunan umat
islam nasional, makalah, tanpa tahun hal 28. Sebagaimana dikutip oleh Furqon, Andang.
Harumiati. Imaniyati, Neni Sri dan Wiyanti Diana Pengantar Hukum Indonesia , Fakultas
Hukum Unisba.2005 hal 31
50
Bisa terbukti dengan beberapa aturan hukum Islam yang di adopsi jadi hukum positif seperti
KHI (kompilasi Hukum Islam) dan beberapa pasal yang dari aturan hukum yang mewajibakan
pemeluk agama islam untuk menjalankan agamanya.

 
 

karena itu selalu di tautkan dengan rukum iman atau arkanul iman yang

merupakan asas seluruh ajaran islam51.

2. Syariah, dalam pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh

(oleh setiap umat islam). Dalam arti teknis, syariah adalah seperangkat

norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan

manusia dengan manusia lain dalam kehidupan social, hubungan manusia

dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Norma ilahi yang mengatur

tata hubungan itu berupa (a) kaidah ibadah dalam arti khusus atau yang

disebut juga kaidah ibadah murni, mengatur cara dan upacara hubungan

manusia dengan Tuhan, dan (b) kaidah muamalah yang mengatur

hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.52

3. Ahlak, ahlak berasal dari khuluk yang berarti perangai, sikap, tingkah

laku, watak, budi pekerti. Perkataan itu mempunyai hubungan dengan

sikap, perangai, tingkah laku atau budi pekerti manusia terhadap khalik

(pencipta alam semesta) dan mahluk (yang diciptakan). Karena itu, sama

halnya dengan syariah, dalam garis besarnya ajaran ahlak juga dapat

dibagi dua yakni yang berkenaan dengan sikap dan perbuatan manusia

terhadap (a) khalik, Tuhan Maha Pencipta dan (b) terhadap sesama mahluk

(segala yang diciptakan oleh khalik). Sikap terhadap mahluk dapat di bagi

dua pula, yaitu (1) ahlak terhadap manusia yakni diri sendiri, keluarga,

tetangga dan masyarakat, dan (2) ahlak terhadap mahluk bukan manusia

yang ada disekitar lingkungan hidup kita. Yang terkahir ini dapat di bagi
 
51
Ali,Muhammd Daud, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 1998 hal 29
52
Ibid hal-30

 
 

lagi menjadi ahlak terhadap (a) tumbuh-tumbuhan dan ahlak terhadap (b)

hewan, bahkan (c) ahlak terhadap bumi dan air serta udara yang ada di

sekitar kita.53

B. Muamalah

1. Pengertian Muamalah

Muamalah sebagai bagian dari syariah yang mengatur hubungan manusia

dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat mempunyai peran yang cukup

penting dalam praktik kehidupan perekonomian umat islam, hukum berekonomi

dalam islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan ini sebagai

unsur ibadah dalam bingkai ibadah ghoiru mahdhoh.54

Adapun pengertian muamalah :

a. Secara etimologi 

  
  
 ) amala-yuamilu-muamalatan

berasal dari wajan 




  
 
  
 
) paala-yupailu-mupaalatan,
yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan55.

b. Secara terminology, pengertian muaamalah secara luas dan secara sempit.

Secara luas yaitu : aturan-aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam

kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan social56.

Sedangkan dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang

mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara

memperoleh dan mengembangkan harta benda.57


 
53
Ali,Muhammd Daud, ibid hal 34
54
Hidayat. Asep Ramdan, Hukum Ekonomi Islam dalam Akselerasi (Jurnal Jurusan Keuangan
dan Perbankan Syariah).Volume 1.Fakultas Syariah.UNISBA.Bandung 2006 hal 1
55
Syafei. Rahmat Fiqih Muamalah Pustaka Setia.Bandung. 2001. Hal 14
56
ibid hal 15

 


Al-fikri dalam kitabnya, Al-Muamalah al-madiyah wa al-adabiyah,

menyatakan bahwa muamalah dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut58 :

a. Al-Muamalah al-Madiyah adalah muamalah yang mengkaji objeknya

sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah

adalah muamalah bersifat kebendaan karena objek fiqih muamalah adalah

benda yang halal, haram, dan subhat untuk diperjual belikan, benda-benda

yang memadharatkan dan benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi

manusia, serta segi-segi yang lainnya.

b. Al-Muamalah al-Adabiyah ialah muamalah yang ditinjau dari segi cara

tukar menukar benda yang bersumber dari panca indera manusia, yang

unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya

jujur, hasud, dengki, dendam.

2. Ruang Lingkup Muamalah

Ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiah ialah ijab qabul, saling

meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban,

kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang

bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam

hidup masyarakat.

Ruang lingkup pembahasan madiyah ialah masalah jual beli (al-baiut

Tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan (kafalah dan dlaman),

pemindahan utang (hiwalah), jatuh bangkrut (taflis), batasan bertindak (al-hajru),

   


57
Ibid hal 16
58
Nana, Masduki FIqih Muamalah (diktat) Bandung IAIN Sunan Gunung Djati, 1987 hlm 4
sebagaimana dikutip oleh Syafei. Rahmat Fiqih Muamalah Pustaka Setia.Bandung. 2001.
Hal 17.

 


perseroan atau perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga (al-

mudharabah), sewa menyewa (al-ijarah), pemberian hak guna pakai (al-ariyah),

barang titipan (al-wadlitah), barang temuan (al-luqhatah), garapan tanah (al-

mujaraah), sewa menyewa tanah (al-mukharabah), upah (ujrat al-amal), gugatan

(al-syufah), sayembara (al-jialah), pembagian kekayaan bersama (al-qismah),

pemberian (al-hibbah), pembebasan (al-ibra), damai (al-shuhlu), da ditambah ,

dengan beberapa masalah muashira (muhaditsah), seperti masalah bunga bank,

asuransi, kredit, dan masalah-masalah baru lainnya.59

C. Jual Beli Dalam Islam

1. Pengertian Jual Beli


Menurut etimologi, jual beli diartikan :

 
  

Artinya pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)

Kata lain dari al-bai, al-tijarah, dan al-mubadalah60 sebagaimana Allah

SWT berfirman :

1# 

&%0+,/* 
Mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, ( Fathir :
29 )61

Menurut istilah terminology yang dimaksud jual beli adalah :

 
59
Suhendi, Hendi.Fiqih Muamalah.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta hal-5
60
M. Arifin Hamid Ibid. hal 73
61
Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-quan Al-quran dan terjemahnya. depag
.1971

 


Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan

melepaskan hak milik yang satu kepada yang lain atas dasar saling

merelakan (idris ahmad, fiqih al-syafiiyah : 5)

Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau

memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang

dibolehkan.

Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta atas harta, maka terjadilah

penukaran hak milik secara tetap.(Hasbi Ash-Shiddiqi, peng.Fiqh

muamalah :97)

Dari beberapa definisi tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwasanya jual

beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara

suka rela sehingga keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah

penukaran hak milik secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara.Yang

dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum adalah memenuhi persyaratan-

persyaratan, rukun-rukun dalam jual beli, maka jika syarat dan rukunnya tidak

terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara.62

2. Landasan Hukum Jual beli

Jual beli dibenarkan oleh Al-Quran, As Sunnah, dan Ijma umat.63

Landasan Quraninya Firman Allah :

1-2 " -


#!  '

 
62 62
Suhendi, Hendi.o.cit hal-
63
Sabiq, Sayyid . Fiqih Sunnah12. PT. Al-Maarif. Bandung.1987. hal 45

 


Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan


riba{174}64. (al-Baqarah 275)65

Landasan Sunnahnya sabda Rasulullah :

    !" #  $% "  &


 '  
 ()
 * +
 
perolehan yang paling afdhal adalah hasil seorang dan jual beli
yang mabrur(H.R. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifaah
Ibnu Rafi)

Landasan Ijma umatnya :

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan

bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya,

tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang

milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan

barang lainnya yang sesuai.66

3. Rukun dan Syarat Sah Jual Beli

a. Rukun jual beli

i. Akad
ii. Penjual dan pembeli
iii. Makud alaih(objek akad)
Aqad

Setidaknya ada 2 (dua) istilah dalam Al-Quran yang berhubungan

dengan perjanjian, yaitu al-aqdu (akad) dan al-ahdu (janji). Pengertian

 
64
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan
oleh orang yang meminjamkan. riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang
sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya Karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. riba yang dimaksud
dalam ayat Ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab
zaman Jahiliyah.
65
Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-quan. Op.cit
66
Syafei. Rahmat.op.cit. hal 75

 


akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabth)

maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan

mengikatkan salah satu nya pada yang lainnya hingga keduanya

bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.67 Para ahli hukum Islam

(jumhur ulama) memberikan definisi akad sebagai : pertalian antara Ijab

dan Kabul yang dibenarkan oleh syara yang menimbulkan akibat hukum

terhadap objeknya68

Unsur-unsur akad :

Pertalian ijab dan Kabul


Dibenarkan oleh syara
Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya69
Syarat Penjual dan Pembeli (Muaqid)

Menurut ulama Hanafiyah


a. Berakal dan mumayyiz
b. Aqid harus berbilang (minimal harus dua orang)70
Menurut ulama madzhab Maliki
a. Penjual dan pembeli harus mumayyiz
b. Keduanya pemilik barang atau yang dijadikan wakil
c. Keadaanya dalam keadaan sukarela. Jual beli berdasarkan paksaan adalah
tidak sah
d. Penjual harus sadar dan dewasa71
Menurut madzhab syafii
a. Dewasa atau sadar
b. Tidak dipaksa atau tanpa hak

 
67
Ghufron A. Masadi, Fiqih Muamalah Kontekstual.cet 1, Raja Grafindo Persada, 2002 hlm 75
68
Ibid hal 76
69
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Indonesia. Kencana.Jakarta. 2005 hal 48
70
Syafei. Rahmat.op.cit. hal 77
71
Ibid hal 81

 
 

c. Islam
d. Pembeli bukan musuh72
Menurut madzhab hambali
a. Dewasa
b. Ada keridhaan73
Syarat benda yang menjadi objek akad :

a. Suci, maka tidak sah penjualan benda-benda najis, kecuali anjing untuk
berburu.
b. Memberi manfaat menurut syara.
c. Jangan dikaitkan atau digantungkan dengan hal-hal lain, missal : jika
ayahku pergi kujual motor ini kepadamu.
d. Tidak dibatasi waktunya.
e. Dapat diserahkan dengan cepat ataupun lambat.
f. Milik sendiri.
g. Diketahui barang yang diperjual belikan tersebut baik berat, jumlah,
takaran dan lain-lainnya.74
D. Bentuk Bentuk Jual Beli

Dilihat dari segi sah atau tidak sahnya, para ulama membagi jual beli

kedalam tiga bentuk, jual beli yang shahih, jual beli yang bathil, dan jual beli yang

fasid (rusak).

1. Jual beli dikatakan shahih apabila jual beli itu sendiri memang

disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan; bukan milik

orang lain dan tidak ada hak khiar lagi.

2. Jual beli dikatakan bathil apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak

terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan.

 
72
Ibid hal 81-82
73
Ibid hal 84
74
suhendi,hendi.op.cit.hal 67-89

 



Misalnya, jual beli yang dilakukan anak-anak atau orang gila, barang-

barang yang diharamkan untuk dijual (seperti bangkai, darah, daging babi,

dan khamar).

Ada beberapa betuk jual beli yang bathil :

a) Jual beli sesuatu yang tidak ada b) Jual beli barang yang tidak dapat

diserahkan kepada pembeli c) Jual beli yang mengandung unsur penipuan

atau unsut spekulatif yang sangat tinggi d) Jual beli benda-benda najis e)

Jual beli urbun (uang panjar milik penjual apabila tidak jadi) f) Jual beli

air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang.

3. Adapun jual beli dikatakan fasid (rusak) apabila jual beli itu pada

dasarnya dibolehkan, tetapi sifatnya tidak memenuhi syarat. Ada beberapa

bentuk jual beli fasid yaitu :

a) jual beli majhul, jual beli barang yang tidak diketahui secara umum b)

Jual beli yang tergantung pada suatu syarat, c) Jual beli barang yang ghaib,

yang tidak pernah dihadirkan pada saat jual beli sehingga tidak dapat oleh

pembeli. d) Jual beli orang buta e) Jual beli denga harga yang diharamkan

f) Jual beli ajal g) Jual beli anggur dan buah-buahan lain untuk tujuan

pembuatan khamar h) Jual beli yang diiringi syarat i) Jual beli sebagian

barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kesatuannya. J) Jual

beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya atau

dipanen.75

 
75
Tim penulis (transliterator Ahmad Thib Raya). Ensiklopedi Islam. PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta 1996 hal 295

 



Menurut ulama hanafi jual beli fasid dapat menjadi sah apabila

kefasidannya diperbaiki.

E. Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam

Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah Al-Juhaili

meringkasnya sebagai berikut76 :

Terlarang sebab Ahliah (ahli akad)

Ulama telah sepakat bahwa jual beli di kategorikan sahih apabila

dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu

ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dpandang tidak sah jual

belinya adalah :

a). Jual beli orang gila, b). Jual beli anak kecil, c). Jual beli orang buta, d).

Jual beli terpaksa, e). Jual beli fudhul, f). Jual beli malja.

Terlarang sebab Shigat

Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan

pada keridhaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di

antara ijab dan qabul; berada disatu tempat, dan tidak terpisah oleh suatu

pemisah. Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang

tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih

diperdebatkan oleh para ulama adalah berikut ini.77

a). Jual beli Muathah, b). Jual beli melalui surat atau utusan, c). Jual beli

dengan surat atau tulisan, d). Jual beli barang yang tidak ada ditempat

 
76
Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqhul AL-Islami wa Adillatuh, Juz IV, hal 405-406 sebagaimana
dikutip oleh Syafei. Rahmat Fiqih Muamalah Pustaka Setia.Bandung. 2001. Hal 93-101
77
Ibid hal- 95

 



akad, e). Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan Kabul, f). Jual beli

munjiz

Terlarang sebab Maqud Alaih (barang jualan)

Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli di anggap sah apabila maqud

alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dan dapat

diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang berakad, tidak

bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan syara.78

Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian

ulama, tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, diantaranya berikut ini.

a). Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, b). Jual

beli barang yang tidak dapat diserahkan, c). Jual beli gharar, d). Jual beli

barang yang najis dan yang terkena najis,ulama sepakat tentang larangan

jual beli barang yang najis seperti khamar. Akan tetapi, mereka berbeda

pendapat tentang barang yang terkena najis (al-Muttanajis) yang tidak

mungkin dihilangkan, seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama

Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan,

sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan. e). Jual

beli barang yang tidak jelas, f). Jual beli barang yang tidak ada di tempat

akad (ghaib), tidak dapat dilihat, g). Jual beli sesuatu yang belum

dipegang, h). Jual beli buah-buahan atau tumbuhan

/ /0
 12 
/
 
/
. 3 4 ,  56
  1 , -. ,  
/3 7

 
78
Ibid hal- 97

 



sesama muslim bersaudara, tidak halal (boleh) bagi seorang


muslim menjual barangnya kepada muslim yang lain, padahal
barang itu terdapat cacat (aib). (HR Ibnu Majah)

 @ 7   >


 
 3
 ,  :
  /

 / 8 ; ?
 / 8 9 -:  ; <=
AB!1
Rasulullah SAW. Melarang jual beli yang mengandung penipuan
(HR Jamaah Ahli Hadis, selain Bukhari)79

Terlarang sebab syara

Ulama sepakat membolehkan jual-beli yang memenuhi persyaratan

dan rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang

diperselisihkan di antara para ulama, diantaranya berikut ini.80

a). Jual beli riba, b). Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan,

c). Jual beli barang dari hasil pencegatan barang, d). Jual beli waktu azan

jumat, e). Jual beli anggur untuk dijadikan khamar, f). Jual beli induk

tanpa anaknya yang masih kecil, g). Jual beli barang yang sedang dibeli

oleh orang lain, h). Jual beli memakai syarat

 
79
Hasan M.Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalah).PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta 2003 hal 140-141
80
Ibid hal-99

 
BAB III

PENJUALAN DENDENG SAPI YANG MENGANDUNG DAGING BABI


DITINJAU DARI UUPK DAN UU PANGAN SERTA HUKUM ISLAM

A. Dendeng Sapi

1. SNI Dendeng Sapi

Indonesia melalui Badan Standar Nasional (BSN) yang mempunyai tujuan

untuk memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kepada konsumen,

tenaga kerja dan masyarakat, mewujudkan jaminan mutu produk dan/atau jasa

serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha untuk mencapai

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mantap dan tercapainya persaingan yang

sehat dalam perdagangan serta menunjang kelestarian lingkungan hidup1.

Badan Standardisasi Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13

Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun

2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan

Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa

kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001,

merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok

mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia. Dalam

melaksanakan tugasnya Badan Standardisasi Nasional berpedoman pada

Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.2

 
1
Wahyuni, Endang Sri. Aspek Hukum Sertifikasi dan Ketekaitannya Dengan Perlindungan
Konsumen.Citra Aditya Bakti. Bandung 2003. Hal 103
2
http://www.bsn.go.id/index.php tgl 9 1 2010




Salah satu kerja yang dilakukan badan ini ialah melakukan standarisasi

terhadap produk dalam bidang industri yang didalamnya terdapat dendeng sapi.

Bahwa dendeng yang dijamin mutunya adalah dendeng yang bertanda SNI nomor

01-2908-1992 Standar ini menetapkan :

1. Syarat mutu,

a. Persyaratan mutu dendeng sapi dibedakan dalam mutu I dan

mutu II untuk jenis dendeng sapi irisan dan dendeng sapi

giling.

b. Dendeng sapi dikemas dalam kantong plastik rangkap dua

dengan berat tertentu.

c. Untuk pengiriman jarak jauh kemasan dendeng sapi ini

dikemas lagi dalam peti kayu atau kemasan lain yang sesuai.

d. Masing-masing kemasan, plastik maupun peti diberi

tanda/label yang tidak mudah luntur dan jelas dibaca.

2. cara pengujian mutu,

3. cara pengambilan contoh dan

4. cara pengemasan dendeng sapi.

SNI dendeng sapi ini termasuk kedalam kelompok daging dan produk

daging dengan kode ICS (international classification for standard): 1.

67.120.10, dan ditetapkan dengan SK Penetapan : 019/IV.2.06/HK.01.04/05/1992

Tanggal Penetapan : 07-05-1992.3

 
3
http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni_2/3281 dikutip tanggal 2-12-2009




Mengolah daging menjadi dendeng sudah merupakan pengetahuan umum

masyarakat Indonesia, dan tiap-tiap daerah mempunyai cara dan kehasan

tersendiri. Ada panduan tentang cara mengolah dendeng yang baik yang

didapatkan dari sebuah situs, 4 adapun cara pembuatannya yaitu :

1. Bahan 2. Alat 3. Cara Pembuatan

1) Daging sapi atau 1) Pisau 1) Pilih daging yang


kerbau (tidak baik, kemudian
berlemak) 4 kg cuci sampai
bersih;
2) Gula merah 1 kg 2) Alas perajang 2) Sayat daging tipis-
(talenan) tipis dengan
ketebalan kira-kira
3 ~ 5 mm;
3) Garam 4 ons 3) Tampah 3) Bumbu-bumbu
(lengkuas, jinten,
ketumbar, bawang
merah, bawang
putih, garam)
tumbuk sampai
halus dan
tambahkan sedikit
air;
4) Ketumbar 2 ons 4) Panci dan baskom 4) Potong-potong gula
merah kemudian
rebus dengan
sedikit air. Bumbu-
bumbu yang sudah
dihaluskan
masukkan ke dalam
rebusan air;

 
4
http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/artikel/pangan/PIWP/dendeng_sayat.pdf




5) Jinten 1 ons 5) Merang bersih (bila 5) Setelah gula


perlu) hancur, tuangkan
campuran gula dan
bumbu pada daging
yang sudah diiris
tipis tadi, aduk
sampai rata,
kemudian diamkan
selama 1 jam;
6) Bawang merah 1 ons 6) Alat penghancur 6) Angkat daging
bumbu (cobek dan berbumbu, letakkan
ulekan) diatas tampah yang
dilapisi merang
bersih;
7) Bawang putih 2 ons 7) Sendok 7) Jemur di bawah
sinar matahari
sampai kering, kira-
kira 6 ~ 7 hari
(tergantung cuaca).
Usahakan agar
seluruh permukaan
daging terkena
sinar matahari;
8) Lengkuas (laos) kg 8) Daging yang sudah
dijemur dapat
disimpan dalam
stoples, kantong
plastik, atau besek
9) Lada (bila perlu)
secukupnya
10) Jahe (bilaperlu)
secukupnya
11) Sendawa (NANO3)
(0,1%) 4 gram

2. Produk dendeng sapi yang mengandung daging babi

Panduan untuk membuat dendeng sapi yang baik pada kenyataannya tidak

dijalankan dengan sebagaimana mestinya, terbukti dengan adanya sebagian

pelaku usaha yang menjual produk dendeng sapi dipasaran ternyata mengandung

daging babi. Hal ini dibuktikan dengan berdasar pada pengujian oleh Balai




Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet (BPPHK) di Cikole, Kec. Lembang,

Kab. Bandung pada tanggal 24 maret 2009, dengan hasil ditemukannya

penggunaan daging babi pada produk dendeng/abon sapi5 dengan kode :

1. CKS No. SP:0094/13.06/92, dan

2. CPM No. SP:030/1130/94

Maka penemuan ini ditindak lanjuti dengan penelitian yang dilakukan oleh

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap 15 produk dendeng dan 20

produk abon yang ada dipasaran, dari hasil penelitian tersebut BPOM menemukan

5 produk yang positif mengandung daging babi yaitu :

1. Dendeng/Abon Sapi Gurih Cap Kepala Sapi kemasan 250 gram

2. Abon/Dendeng Sapi Asli Cap A.C.C

3. Abon & Dendeng Sapi Cap LIMAS kemasan 100 gram diproduksi

Langgeng, Salatiga.

4. Dendeng Sapi Istimewa Beef Jerky Lezaaat kemasan 100 gram diproduksi

MDC Food Surabaya

5. Dendeng Daging Sapi Istimewa No.1 Cap 999, 250 gram diproduksi

S.Hendropurnomo, Malang.6

 
5
Loc.cit. Hal-4
6
Loc.cit hal 5




B. Pengaturan Mengenai Produksi, dan Perdagangan Pangan (Dendeng)


Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam

1. Produksi dan Perdagangan Pangan Menurut UUPK

Ketentuan didalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa :

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang


dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar
yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

khusus mengenai produksi pangan akan ditindak lanjuti oleh Undang-

undang No.7 tahun 1997 tentang Pangan juga peraturan-peraturan lain yang

terkait. Selain ayat (1) diatas dalam pasal (3) dikatakan pula bahwa :

Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan


yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.

Adapun sanksi yang terdapat dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen pertama-tama menurut pasal 8 ayat (4) :

Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.

Kemudian sanksi yang lebih lanjut ialah :

1. Sanksi Administratif

a. Pasal 60

1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan


sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal
19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undangan.



2. Sanksi Pidana

a. Pasal 61

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau


pengurusnya.

b. Pasal 62

1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal
17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar
rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan
Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat,
cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang
berlaku.

(2) Pasal 63

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat


dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
1. perampasan barang tertentu;
2. pengumuman keputusan hakim;
3. pembayaran ganti rugi;
4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
6. pencabutan izin usaha.

2. Produksi Dan Perdagangan Pangan Menurut UUPangan

Definisi produksi pangan dalam pasal 1 ayat (5) Undang-undang No.7


Tahun 1996 Tentang pangan yaitu :

Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan,


mengolah, membuat,mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan
atau mengubah bentuk pangan.



Adapun perdagangan terdapat dalam ayat (8) nya berbunyi

Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan


dalam rangka penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk penawaran
untuk menjual pangan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan
pemindahtanganan pangan dengan mem-peroleh imbalan.

Dalam Pasal 21 huruf (c) undang-undang no.7 tahun 1996 tentang Pangan

dinyatakan :

Setiap orang dilarang mengedarkan : pangan yang mengandung bahan


yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan.7

pada Pasal 26 huruf (b) dikatakan :

Setiap orang dilarang memperdagangkan : pangan yang mutunya berbeda


atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan.8

sanksi yang ada dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan

ialah :

1. Tanggung jawab industri pangan yaitu :

a. Pasal 41

(1)Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan


atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab
terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan
pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang
mengkonsumsi pangan tersebut.
(5) Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan
dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau
membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka
badan usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengganti segala kerugian
yang secara nyata ditimbulkan.
(8)Besarnya ganti rugi, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), setinggi-
tingginya sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap
orang yang dirugikan kesehatannya atau kematian yang ditimbulkan.

 
7
Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan hlm-5 (adobe reader.net)
8
Ibid. hlm-6



Kemudian dalam Pasal 54 sebagai bentuk pengawasan, maka Pemerintah

berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pelanggaran ketentuan

Undang-Undang Pangan tersebut, didalam pasal (2) disebutkan Tindakan

administratif tersebut dapat berupa:

a. peringatan secara tertulis;


b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk
menarik produk pangan dari peredaran apabila terdapat risiko tercemarnya
pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan manusia;
c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa
manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
dan atau
f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.

2. Ketentuan Pidana

a. Pasal 55

Barangsiapa dengan sengaja:


f. mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan, sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e;
h. memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama
dengan mutu pangan yang dijanjikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 huruf b; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).

Mengenai Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai Industri Rumah

Tangga (IRT) maka dari hasil penelitian terhadap peraturan yang secara khusus

mengatur tentang produksinya; ditemukan beberapa peraturan yang dikeluarkan

oeh BPOM yang mengatur mengenai :

1. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia Nomor : hk. 00.05.5.1641 tentang Pedoman Pemeriksaan Sarana





Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (IRT). Didalam bagian a)

mengenai pertimbangannya dikatakan bahwa pemeriksaan sarana produksi

Perusahaan Pangan-Industri Rumah Tangga (PP-IRT) merupakan salah

satu factor yang penting untuk mengetahui seberapa besar pemahaman PP-

IRT dalam melaksanakan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB). Lalu

didalam lampirannya dibagian pendahuluan dikatakan bahwa pedoman

tersebut untuk petugas yang melakukan pemeriksaan sarana produksi

Perusahaan Pangan-Industri Rumah Tangga, adapun data hasil

pemeriksaan yang harus dikumpulkan oleh petugas pemeriksa tersebut

adalah data primer, yaitu data pemeriksaan langsung keadaan perusahaan

dan data sekunder, yaitu data hasil analisis laboratorium tentang mutu

bahan baku dan produk akhir (jika ada dan diperlukan).

Pertama-tama petugas melakukan pemeriksaan awal secara umum

dan menyeluruh, lalu dilakukan pemeriksaan lanjutan, yang perlu dinilai

selama pemeriksaan yaitu : (1) Lingkungan Produksi (2) Bangunan dan

Fasilitas (3) Peralatan Produksi (4) Suplai Air (5) Fasilitas dan Kegiatan

Higiene dan Sanitasi (6) Pengendalian Hama (7) Kesehatan dan Higiene

Karyawan (8) Pengendalian Proses (9) Label Pangan (10) Penyimpanan

(11) Manajemen Pengawasan (12) Pencatatan dan Dokumentasi (13)

Pelatihan Karyawan.

2. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia dengan Nomor : hk. 00.05.5.1639, Tentang Pedoman Cara

Produksi Pangan Yang Baik Untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT).





Didalam pertimbangan bagian a dikatakan bahwa Cara Produksi Pangan

yang Baik (CPPB) merupakan salah satu factor yang penting untuk

memenuhi standar mutu dan persyaratan yang ditetapkan untuk pangan,

lalu di bagian c dikatakan pula bahwa Cara Produksi Pangan yang Baik

(CPPB) untuk Industri Rumah Tangga perlu di aplikasikan pada Industri

berskala Rumah Tangga, bahwa Pedoman ini wajib di ikuti oleh IRT

sesuai dengan bunyi ketetapn di bagian kedua yaitu bahwa setiap industri

rumah tangga dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatannya wajib

berpedoman pada Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah

Tangga (CPPB IRT).

Pedoman ini dibagian pendahuluannya mengatakan bahwa melalui

CPPB ini, industri pangan diharapkan dapat menghasilkan pangan yang

bermutu, layak dikonsumsi dan aman untuk kesehatan; karena dengan

berkembangnya industri pangan yang menghasilkan pangan yang bermutu

dan aman untuk dikonsumsi, maka masyarakat pada umumnya akan

terlindungi dari penyimpangan mutu pangan dan bahaya yang mengancam

kesehatan.

Dibagian pengertian dikatakan bahwa Cara Produksi Pangan yang

Baik adalah suatu pedoman yang menjelaskan bagaimana memproduksi

pangan agar bermutu, aman dan layak untuk diknsumsi, maka tujuan

penerapannya pun 1) secara umum adalah umtuk menghasilkan pangan

yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen

baik konsumen domestik maupun internasional 2) secara khusus; a)






memberikan prinsip-prinsip dasar dalam memproduksi pangan yang baik;

b) mengarahkan IRT agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi

yang baik seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan

produksi, pengendalian hama, hygiene karyawan, pengendalian proses dan

pengawasan.

3. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia Nomor : hk. 00.05.5.1640 tentang Pedoman Tata Cara

Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga

(SPP-IRT), yang di bagian b mengenai pertimbangan dikatakan bahwa

untuk memperlancar operasional pelaksanaan berbagai kegiatan khususnya

dibidang sertifiksasi penyuluhan keamanan pangan industri rumah tangga;

dibagian pendahuluan dikatakan bahwa setiap perusahaan (dalam hal ini

IRT) wajib mematuhi peraturan perundang-undangan dibidang pangan,

SPP-IRT ini bertujuan meningkatkan pengetahuan penyelenggaraan PP-

IRT dalam rangka; 1) meningkatkan pengetahuan produsen dan karyawan

tentang pengolahan pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang

ke amanan pangan, 2) menumbuhkan kesadaran dan motivasi produsen

dan karyawan tentang pentingnya pengolahan pangan yang higienik dan

tanggung jawab terhadap keselamatan konsumen, 3) meningkatkan daya

saing dan kepercayaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan PP-

IRT.



4. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik

Indonesia Nomor Hk.00.05.1.23.3516 Tentang Izin Edar Produk Obat,

Obat Tradisional, Kosmetik, Suplemen Makanan Dan Makanan Yang

Bersumber, Mengandung, Dari Bahan Tertentu Dan Atau Mengandung

Alkohol. Dalam peraturan ini dicantumkan di bagian pertimbangan a

bahwa masyarakat perlu dilindungi dari penggunaan obat, obat tradisoanal,

kosmetika, suplemen makanan, dan makanan yang secara ilmiah tidak

memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan manfaat. Lalu bagian b

dikatakan pula bahwa ada obat, obat tradisonal, kosmetik, suplemen

makanan dan makanan yang bersumber, mengandung atau berasal dari

bahan tertentu yang secara syariah mengandung unsur bahan tidak halal

dan tidak lazim di gunakan oleh masyarakat Indonesia yang mayritas

beragama Islam.

Adapun yang dimaksud dengan izin edar dalam peraturan ini pasal

1 ayat (1) mengatakan izin edar adalah bentuk persetujuan registrasi bagi

produk obat, obat tradisoanal, kosmetik, suplemen makanan, dan makanan

yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia agar produk tersebut secara sah dapat di edarkan di wilayah

Indonesia; ayat (7), makanan dan atau minuman adalah pangan olahan

hasil proses dengan cara atau metode terentu dengan atau tanpa bahan

tambahan; ayat (8) bahan tertentu adalaha bahan yang bersumber, atau

mengandung, atau berasal dari hewan atau mahluk hidup lainnya dalam

bentuk tunggal atau campuran atau produk olahannya atau turunannya





tidak termasuk madu,lebah atau dalam proses bersinggungan dengan

bahan tertentu; dijelaskan pula dalam pasal 2 a bahwa hewan atau mahluk

hidup lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 butir 8 meliputi ; babi,

anjing dan anak yang lahirdari perkawinan keduanya. Untuk kategori

makanan dan minuman dalam pasal 6 ayat (1) bahwa produk makana dan

minuman yang bersumber, mengandung, atau berasal dari bahan tertentu

tidak diberikan izin edar (cet.BPOM), tetapi diberikan dispensasi di ayat

(2) yang bunyinya dikecualikan dar ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), produk makanan dan minuman yang bersumber, mengandung,

atau berasal dari babi, dapat diberikan izin edar dengan ketentuan harus

memenuhi persyaratan tentang keamanan, mutu, gizi dan persyaratan label

makanan juga harus mncantumkan tulisan da gambar mengandung babi +

gambar babi dalam kotak dengan warna merah diatas dasar warna putih

pada penandaan/label.

Peraturan ini memberikan sanksi bagi yang melanggar dengan

ketentuan dalam pasal 7 ayat (1) bahwa pelanggaran terhadap ketentuan

dalam peraturan ini dapat dikenai sanksi adminstratif berupa berupa : a)

peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali; b) penghentian sementara

kegiatan produksi dan distribusi; c) pembekuan dan atau surat persetujuan;

d) penarikan produk dari peredaran dan pemusnahan.

3. Peraturan-Peraturan Terkait Produksi Dan Perdagangan Pangan

a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004


Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan



b. Peraturan Pemerintah Republik Indoneasia Nomor 69 Tahun 1999


Tentang Label Dan Iklan Pangan
c. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 634/mpp/kep/9/2002 Tentang Ketentuan Dan
Tata Cara Pengawasan Barang Dan Atau Jasa Yang Beredar Di
Pasar
d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
382/men.kes/per/VI/1989 Tentang Pendaftaran Makanan
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
82/menkes/sk/1/1996 Tentang Pencatuman Tulisan Halal Pada
Label Makanan
f. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
23/men.kes/per/sk/I/1978 Tentang Pedoman Cara Produksi yang
Baik Untuk Makanan
g. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia Nomor :hk.00/05.1.2569 Tentang Kriteria Dan Tata
Laksana Penilaian Produk Pangan
h. Kesepakatan Bersama Antara Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Republik Indonesia Dengan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Nomor : hk.00.04.522.236 Nomor : 002/skb/d/iii/2008
Tentang Kemitraan Pelaksanaan Uji Klinis Produk Pangan

4. Produksi Dan Perdagangan Dalam Hukum Islam

a. Al-Quran

1-2 " -


#!  
Padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-
Baqarah 275)



Tafsir
-
#!   : Allah Telah menghalalkan jual beli

Jual beli adalah transaski yang menguntungkan kedua belah pihak, keuntungannya
diperoleh melalui kerja keras manusia, menuntut aktivitas manusia pula, dan
mengandung kemungkinan untung dan rugi tergantung pada kepandaian
mengelola serta kondisi dan situasi pasarpun ikut menentukan9.

-.# ! *") !( '


 " 
%&
$ " 
 

Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,


dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. (Al-Baqarah
173)

Tafsir
$ " 
  : Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu

' : daging babi

Allah mengharamkan kepada mereka daging babi, baik yang disembelih atau
karena mati biasa. Termasuk kedalam keharaman daging adalah bulunya.
Pengungkapan daging hanyalah untuk menyatakan bahwa daginglah yang biasa
dikonsumsi.10
Masalah : menurut Imam SyafiI dan ulama lainnya, susu dan telur yang menyatu
dengan barang najis adalah najis pula11.

. 1*2)3   ' . -%&  / +   ,


  +,
  6 * 05 ) 4  3
/    (.  !
) # ! *"!(283.1* 5
/470

Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - Karena

 
9
Tafsir Al-Misbah hal 593
10
Ar-Rifai. Muhammad Nasib.Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jilid I). Gema Insani. Jakarta 1999
hal271
11
Ibid.



Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah.".(Al-Anam 145)

Tafsir
 + ,
  ,
6* 05 : sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak

memakannya
/470
. : atau daging babi

1* 5
 : Karena Sesungguhnya semua itu kotor

Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, adalah orang-orang
jahiliah suka memakan berbagai hal dan tidak memakan makanan lain karena
jijik. Kemudia Allah menurunkan Nabi berikut kitabnya. Dia mengharamkan
makanan yang diharamkanNya dan menghalalkan makanan yang dihalalkanNya.
Dan perkara yang dibiarkanNya boleh dimakan. Imam Ahmad meriwayatkan dari
Ibnu Abbas, dia berkata, Domba Saudah binti Zammah mati. Dia bertanya,
Wahai Rasulullah, domba betinaku mati. Beliau bersabda,Maka mengapa
kalian tidak mengambil kulitnya? Saudah berkata, Apakah boleh kami
mengambil kulit domba? Beliau bersabda, Sesungguhnya Allah hanya
berfirman,Katakanlah, Aku tidak menemukan dalam wahyu yang diturunkan
kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang ingin memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, dan daging babi. Kamu tidak
boleh memakannya, harus menyamaknya, lalu memanfaatkannya. Kemudian
Saudah menguliti domba, menyamaknya, lalu dia membuat kantong air dari kulit
itu.12

2) # ! *"!( 47


 " 
%&
$ " 
 

Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah,


daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. (An-
Nahl 115)

 
12
Ar-Rifai. Muhammad Nasib.op.cit hal 305



Tafsir
Sama dengan surat Al-Baqarah ayat (173)

6
20+,/
+ 5!  =$'.> 
  3<4
 '  ;9:&

1#8
&   +1 #+  3)368
   7

29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(an-Nisa
ayat 29).

[287] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang
lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat
merupakan suatu kesatuan.

Tafsir
5!  =$'.> 
  3<4
 : janganlah kamu saling memakan harta sesamamu

dengan jalan yang batil


2 7 6
0+,  /
+   : kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku

dengan suka sama-suka di antara kamu

Allah taala melarang hamba-hambanya yang beriman memakan harta harta


mereka secara bathil, yakni melalui aneka jenis usaha yang tidak disyariatkan
seperti riba dan judi, serta beberapa jenis tipu muslihat yang sejalan denga kedua
cara itu, walaupun sudah jelas pelarangannya dalam hukum syara, seperti yang
dijelaskan Allah bahwa orang yang melakukan muslihat itu dimaksudakan untuk
mendapat riba. Itulah peraktik yang karenanya Allah berfirman, Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesame kamu dengan
batil.sehubungan dengan ayat itu, Ibnu ABi Hatim meriwayatkan dari Al-Qamah,
dari Abdullah, dia berkata, Ayat itu Muhkam. Ia tidak di Nasakh dan menasakh
hingga hari kiamat. Allah Taala Berfirman, kecuali dengan perdagangan
secara suka sama suka diantara kamu. Maksudnya, janganlah kamu melakukan
praktik-praktik yang diharamkan dalam memperoleh harta kekayaan, namun harus



melalui perdagangan yang disyariatkan dan berdasarkan kerelaan antara penjual


denga pembeli.13

b. Hadis


5#  $
 
   
J 9 I-

D  "5A  E :
 FGH;! 0  C
K!7! 
Bahwa Nabi saw ditanyai : mata pencaharian apakah yang paling baik, jawabnya :
seseorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang baik. (H.R
Al-Bazaar)14

$MP G 7 / 0  L  ,<
  F  M % & N  #  F - I ; 
 F M
 O / 8 C


>
Dan sesungguhnya Allah, apabila mengaharamkan makan Sesuatu kepada suatu
kaum, maka mengharamkan pula harganya. (H.R. Ahmad)

R'Q7 F  0? 1   K0B   Q
    B 
 F  M
 /  -: /8 C

/

Sesungguhnya Allah dan Rasullnya telah megaharamkan jual beli arak, bangkai,
babi dan patung-patung. (Muttafaqun Alaihi)

$MP7/
  3
1 2E
N 
! C $M
S 56
  1
Tidak halal bagi seseorang menjual Sesuatu, melainkan hendaklah dia
menerangkan (cacat) yang ada padanya. (H.R. Ahmad)

 
13
Ar-Rifai. Muhammad Nasib hal 693
14
Yusuf, Ahmad M dkk.HImpunan Dalil dalam Al-Quran dan Hadits.PT. Media Suara Agung.
Jakarta. 2008 hal 101



c. Bentuk Hukuman/sanksi dalam Islam

Untuk dapat menjamin hak-hak pemeliharaan terhadap agama, jiwa, harta,

keturunan, akal dan kehormatan, maka diperlukan sanksi bagi mereka yang

melanggar ketentuan dalam hukum Islam.

Asep Ramdan.H mengatakan Perbuatan yang dilarang oleh syara baik

perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda ataupun yang lainnya

disebut dengan jarimah yang sepadan dengan kata jinayah.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya perbuatan tersebut masuk pada

kategori jarimah adalah :

1. Nas yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya, dan

unsur ini biasanya disebut unsur formal (rukun syari). sebelum ada nas

(ketentuan) tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal

sehat.

2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-

perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut

unsur material (rukun maddi)

3. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat diminta

pertanggungjawaban terhdap jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini

biasanya disebut unsur moril (rukun adabi). 15

Jarimah ini bisa berakibat pelakunya di jatuhi hukuman, yakni: (1) hudd;

(2) jinyat; (3) tazr; (4) mukhlafat. 16

 
15
Hidayat. Asep Ramdan Hukuman Mati Dalam Perspektif Hukum Islam (Tahkim/Jurnal
Peradilan Agama) Fakultas Syariah Unisba. Bandung.2002 hal 59-60



1. Hudd

Secara bahasa, hudd berarti sesuatu yang membatasi di antara dua hal.

Secara syar, hudd bermakna sanksi atas kemaksiatan yang telah

ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan menjadi hak Allah. Di sebut hudd

karena umumnya mencegah pelakunya dari kemaksiatan serupa. Sebutan

hudud dikhususkan bagi sanksi kejahatan yang didalamnya terdapat hak

Allah. Hudd hanya dijatuhkan atas tindak kejahatan berikut: (1) zina

(pelaku dirajam [jika muhshan/telah menikah] atau cambuk 100 kali [jika

ghayr muhshan/belum menikah]); (2) homoseksual/liwth (pelaku

dibunuh); (3) qadzaf/menuduh berzina tanpa didukung 4 orang saksi

(pelaku dicambuk 80 kali); (4) minum khamar (pelaku dicambuk 40/80

kali); (5) murtad yang tidak mau kembali masuk Islam (pelaku dibunuh);

(6) membegal/hirbah (pelaku dibunuh jika hanya membunuh dan tidak

merampas; dibunuh dan disalib jika membunuh dan merampas harta;

dipotong tangan dan kaki secara bersilang jika hanya merampas harta dan

tidak membunuh; dibuang jika hanya meresahkan masyarakat. (7)

memberontak terhadap Negara/bught (pelaku diperangi dengan perang

yang bersifat edukatif, yakni agar pelakunya kembali taat pada Negara,

bukan untuk dihancurkan. (8) Mencuri (pelaku dipotong tangannya hingga

pergelangan tangan jika memang telah memenuhi syaratuntuk dipotong).

   


16
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/apa-saja-bentuk-bentuk-hukuman-dalam-sistem-
islam/ Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada 26 Januari 2007




2. Jinyt

Jinyt adalah penganiayaan atau penyerangan atas badan yang

mewajibkan adanya qishsh (balasan setimpal) atau diyt (denda).

Penganiayaan di sini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota

tubuh. Jenis-jenisnya adalah:

(1) Pembunuhan/penganiayaan yang berakhir dengan

pembunuhan;

(2) Penganiayaan tanpa berakhir dengan pembunuhan.

Qishsh diberlakukan jika tindakan penganiayaan dilakukan dengan

sengaja, sementara denda (diyt) diberlakukan jika penganiayaan

dilakukan tidak dengan sengaja atau jika tindakan itu kemudian dimaafkan

korban. Qishsh ataupun diyt tidak diberlakukan jika korban

membebaskan pelakunya dengan rela/tidak menuntutnya.

3. Tazr

Tazr secara bahasa bermakna pencegahan (al-manu). Secara istilah

tazr adalah hukuman edukatif (tadb) dengan maksud menakut-nakuti

(tankf). Sedangkan secara syar, tazr bermakna sanksi yang yang

dijatuhkan atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kafrat.

Dalilnya adalah perbuatan Rasul saw.

Kasus tazr secara umum terbagi menjadi: (1) pelanggaran terhadap

kehormatan; (2) pelanggaran terhadap kemuliaan; (3) perbuatan yang

merusak akal; (4) pelanggaran terhadap harta; (5) gangguan keamanan; (6)

subversi; (7) pelanggaran yang berhubungan dengan agama.





Sanksi tazr dapat berupa: (1) hukuman mati; (2) cambuk yang tidak

boleh lebih dari 10 kali; (3) penjara; (4) pengasingan; (5) pemboikotan; (6)

ganti rugi (ghuramah); (7) peyitaan harta; (8) mengubah bentuk barang;

(9) ancaman yang nyata; (10) nasihat dan peringatan; (11) pencabutan

sebagain hak kekayaan (hurmn); (12) pencelaan (tawbkh); (13)

pewartaan (tasyhr).

Bentuk sanksi tazr hanya terbatas pada bentuk-bentuk tersebut. Khalifah

atau yang mewakilinya yaitu qdh (hakim) diberikan hak oleh syariat

untuk memilih di antara bentuk-bentuk sanksi tersebut dan menentukan

kadarnya; ia tidak boleh menjatuhkan sanksi di luar itu.

4. Mukhlaft

Mukhalafat adalah pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan

negara. Syariat telah memberikan hak kepada Khalifah untuk memerintah

dan melarang warganya, menetapkan pelanggaran terhadapnya sebagai

kemaksiatan, serta menjatuhkan sanksi atas para pelanggarnya.

C. Badan/Lembaga Perlindungan Konsumen Yang Mengawasi


Peredaran Pangan (Dendeng)

1. LPKSM sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bahwa lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat adalah lembaga non-

pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang

mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen, Lembaga





Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ini

dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001

Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang tersebar

diseluruh wilayah Indonesia antara lain :

Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat17

1. DKI Jakarta [11] 2. Jawa Barat [39] 3. Jawa Tengah [13]


Nangroe Aceh
4. D.I. Yogjakarta [4] 5. Jawa Timur [10] 6.
Darussalam [1]
7. Sumatera Utara [7] 8. Sumatera Barat [4] 9. Riau [4]
10. Jambi [3] 11. Sumatera Selatan [5] 12. Lampung [1]
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
13. 14. 15. Kalimantan Selatan [2]
[1] [3]
Kalimantan Timur
16. 17. Sulawesi Utara [0] 18. Sulawesi Tengah [1]
[0]
Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
19. 20. 21. Maluku [0]
[4] [2]
Nusa Tenggara Barat
22. Bali [1] 23. 24. Nusa Tenggara Timur [0]
[0]
25. Papua [0] 26. Bengkulu [2] 27. Banten [8]
28. Maluku Utara [0] 29. Bangka Belitung [2] 30. Gorontalo [1]
31. Papua Barat [0] 32. Kepulauan Riau [5] 33. Sulawesi Barat [1]

2. BPKN sebagaimana diatur dalam pasal Pasal 1 ayat (12) Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bahwa

 
17
http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=lpksmbrw&PropinsiID=2 dikutip tanggal 20
desember 2009



badan perlindungan konsumen nasional adalah badan yang dibentuk

untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dilaksanakan

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 Tentang Badan

Perlindungan Konsumen Nasional.

3. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai representasi dari

perlindungan atas pangan secara teknis, BPOM ini bekerja dengan

mengacu pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103

Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,

Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non

Departemen Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Dengan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002, Nomor

46 Tahun 2002, Nomor 30 Tahun 2003, Nomor 9 Tahun 2004, Nomor

11 Tahun 2005, Terakhir Dengan Nomor 64 Tahun 2005.

4. Lembaga Pemeriksa Pengawas Obat Dan Makanan sebagai bagian dari

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melalui Keputusan Menteri

Agama Republik Indonesia Nomor 519 Tahun 2001 tanggal 30

nopember 2001 tentang lembaga untuk melaksanakan pemeriksaan

terhadap pangan supaya terjamin kehalalannya.

5. Masyarakat sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan

bahwa :



Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta


penerapan ketentuan peraturan perundangundangannya
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

D. Peran dan Fungsi Badan/Lembaga Yang Mengawasi Perlindungan


Konsumen
1. Peran dan fungsi LPKSM (lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat)

Didalam penjelasan pasal 1 angka 9 UUPK mengenai LPKSM

disana dinyatakan bahwa lembaga ini (LPKSM) di bentuk untuk

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen

serta menunjukan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab

bersama antara pemerintah dan masyarakat.18 Bahwa peran masyarakat

sangat dibutuhkan dalam upaya untuk mengawasi peredaran pangan dalam

masyarakat supaya terjaga ke amanannya, dan dalam peran masyarakat

selain secara individual bisa dalam bentuk kelompok melalui lembaga

yang masuk dalam lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

(LPKSM).

Adapun fungsi yang dimiliki LPKSM sesuai dengan pasal 44 ayat

(3) Tentang Perlindungan Konsumen yang ditindak lanjuti dengan Pasal 3

Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah :

 
18
Ibid hal 17



a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas


hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan
perlindungan konsumen;
d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk
menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.19

2. Peran dan Fungsi BPKN (badan perlindungan konsumen nasional)

Peran BPKN sebagai lembaga pemerintah yang bergerak khusus

dalam bidang perlindungan konsumen sangat penting karna pengawasan

yang dilakukannya mempunyai daya kekuatan menekan yang kuat

terhadap pelaku usaha supaya menjalankan aturan dengan baik.

Adapun fungsi BPKN ialah :

a. Pasal 33 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang ditindak lanjuti

dengan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001

Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah :

Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan


saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia.

b. Pasal 34 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang ditindak lanjuti

dengan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001

Tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah :

(1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,


Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:

 
19
UUPK op.cit hal 33



a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka


penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan
konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada
konsumen;
f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku
usaha; melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.20

3. Peran dan fungsi BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)

Didalam Pasal 67Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor

64 Tahun 2005 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,

Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non

Departemen dikatakan

BPOM mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang


pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

Adapun Fungsi BPOM adalah :

Pengaturan, regulasi, dan standardisasi;


Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan Cara-cara
Produksi yang Baik;
Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar;
Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian
laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan
dan penegakan hukum.
Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk;
 
20
UUPK .ibid hal 28



Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan;


Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.

4. Peran dan Fungsi LPPOM-MUI

Didalam Pasal 1 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia

Nomor 519 Tahun 2001 tanggal 30 Nopember 2001 Tentang Lembaga

Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal yang menyatakan bahwa :

Menunjuk Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga pelaksana


pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal, yang dikemas untuk
diperdagangkan di Indonesia.

Lalu didalam Pasal 2 dikatakan pula bahwa Pelaksanaan kegiatan


pemeriksaan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, meliputi :

a. pemeriksaan dan /atau verifikasi data pemohon;


b. pemeriksaan proses produksi;
c. pemeriksaan laboratorium;
d. pemeriksaan pengepakan, pengemasan dan pemyimpanan produk;
e. pemeriksaan sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian;
f. pemrosesan dan penetapan Sertifikasi Halal

5. Peran dan Fungsi Masyarakat, sesuai dengan pasal 3 UUPK diakatakan


bahwa :

Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen


swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang
beredar di pasar.

Lalu didalam pasal 5 UUPK memberekan kewenangan bagi

masyakat yaitu :

Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga


masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri
teknis.



E. Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Pada Pelaksanaannya Yang


Merugikan Konsumen.

Dari data yang diperoleh terhadap kasus penjualan dendeng sapi yang

mengandung daging babi ini dapat digambarkan bahwa :

1. Badan Pengawas Obat dan Makanan hanya menarik dan memusnahkan

produk dendeng yang terbukti mengandung daging babi, adapun

produk yang ditarik dan dimusnahkan tersebut ialah :

Daftar Dendeng dan Abon Babi yang diperintahkan untuk ditarik dan
dimusnahkan oleh BPOM RI21
Keterangan pers tentang penjelasan terkait produk dendeng/abon babi
nomor : KH.00.01.1.53.1674 tanggal 16 april 2009
No.
No Label/Nama Produk PRODUSEN KETERANGAN
Pendaftaran
Dendeng/Abon Sapi
SP No SP milik
1. Gurih Cap Kepala Sapi Tidak diketahui
0094/13.06.92 Perusahaan lain
(250 gram)
Langgeng,
Abon dan Dendeng Sapi SP No SP milik
2. Salatiga
Cap LIMAS (100 gram) 030/11.30/94 Perusahaan lain
(Produsen fiktif)
Abon/Dendeng Sapi
SP No SP milik
3. Asli Tidak diketahui
030/11.30/94 Perusahaan lain
Cap A.C.C
Dendeng Sapi Istimewa MDC Food,
PIRT
4. Beef Jerky Lezaaat Surabaya- -
201357812877
(100 gram) Indonesia
Dendeng Daging Sapi S.
PIRT
5. Istimewa No. 1 Cap 999 Hendropurnomo, -
201357301367
(250 gram) Malang

 
21
http://sandynata.wordpress.com/2009/06/02/daftar-dendeng-dan-abon-babi-yang-diperintahkan-
untuk-ditarik-dan-dimusnahkan-oleh-bpom-ri/ Posted on Juni 2, 2009 by sandynata



Keterangan Pers Tentang Penjelasan Lanjutan Terkait Produk Dendeng /


Abon Babi tanggal 1 juni 2009
No. Nama Produk No. Pendaftaran Produsen Keterangan
Mencantumkan Logo
Dendeng sapi Dua DEPKES RI
Malang Halal, tetapi tidak
1. daun Cabe Kwalitet PIRT
Indonesia mempunyai Sertifikat
Istimewa (200 gram) 201357303247
halal.
Dendeng Sapi Mencantumkan Logo
DEPKES RI
BRENGGOLO Malang Halal, tetapi tidak
2. PIRT
Kwalitet Istimewa Indonesia mempunyai Sertifikat
201357303247
(200 gram) halal.
Dendeng Sapi Mencantumkan Logo
DEPKES RI
BRENGGOLO Malang Halal, tetapi tidak
3. PIRT
Kwalitet Istimewa Indonesia mempunyai Sertifikat
201357303247
Giling (200 gram) halal.
Dendeng/Abon Sapi Mencantumkan logo
Produk Dua
Spesial Produk Dua DEPKES RI SP Halal, tetapi tidak
4. Dinar
Dinar Bandung (80 0365/10/01/95 mempunyai Sertifikat
Bandung
gram) halal.

2. Tidak ada tindak lanjut yang serius dari pihak-pihak yang berwenang

untuk menangani kasus ini dalam rangka menciptakan kepastian

hukum dalam masalah perlidungan konsumen di Indonesia.

3. Kurang pekanya masyarakat Muslim baik pelaku usaha maupun

konsumen dalam menuntut hak-haknya serta menerapkan nilai-nilai

hukum Islam.

4. Pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi kepada konsumen yang

menderita kerugian akibat mengkonsumsi dendeng sapi yang

mengandung daging babi tersebut.


BAB IV

ANALISIS PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM ATAS

PEREDARAN DENDENG SAPI YANG MENGANDUNG DAGING BABI

Pada dasarnya jual beli dendeng yang dilakukan antara konsumen dan

pelaku usaha tidak dilarang oleh undang-undang, artinya sah secara hukum (baik

hukum Positif maupun hukum Islam), akan tetapi ketika diketahui dikemudian

hari di temukan hal-hal lain seperti cacat yang dapat menyebabkan kerugian pada

salah satu pihak yaitu konsumen, maka konsumen dalam hal ini akan mendapat

perlindungan melalui undang-undang terhadap kerugian tersebut, baik dengan

ganti rugi maupun hal lain yang diatur oleh undang-undang tersebut. Dan pelaku

usaha karena kesalahan yang dilakukannya akan mendapatkan sanksi berdasarkan

aturan perundang-undangan pula.

Dari hasil penelitian terhadap peraturan yang berlaku di Indonesia baik

hukum positif maupun the living law (hukum Islam) ditemukan beberapa

peraturan yang melindungi konsumen dari praktek jual beli yang merugikan

seperti penjualan dendeng sapi yang mengandung daging babi sebagai produk

cacat dalam manufaktur (manufacturing defect) yang tentu saja bagi umat muslim

sebagai penduduk mayoritas dipercaya sangat merugikan bagi kesehatan maupun

bagi jiwa (secara spiritual) mereka. Adapun peraturan yang penulis inventarisir ini

digunakan untuk menjawab masalah :







A. Analisis Mengenai Ketentuan Hukum Yang Mengatur Tentang Keamanan


Produk Pangan Supaya Terjamin Kehalalannya Bagi Umat Muslim

Dari fakta yang didapatkan, terdapat beberapa ketentuan hukum yang

mengatur keamanan produk pangan. Peraturan-peraturan tersebut sangat protektif

untuk menjaring produk-produk pangan yang masuk kepasaran yang tidak aman

serta dapat merugikan konsumen. Peraturan-peraturan tersebut dapat memaksa

pelaku usaha menerapkan prinsip caveat venditor sehingga produk yang

dipasarkannya akan memenuhi standar kualitas sesuai dengan Standar Nasional

Indonesia (SNI). Apabila ketentuan dari peraturan-peraturan tersebut benar-benar

dilaksanakan, seharusnya pelaku usaha yang melakukan kecurangan dengan

menjual barang yang cacat seperti dendeng sapi yang mengandung daging babi ini

tidak akan terjadi. Langkah-langkah proteksi yang di atur pemerintah sifatnya

menyeluruh, mulai dari produksi sampai siap untuk dijual ke masyarakat,

ditambah lagi dengan pengawasan melalui lembaga-lembaga yang bertanggung

jawab untuk mengawasi peredaran pangan seperti BPOM dan LPPOM-MUI.

Untuk menjamin hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha

dilaksanakan dalam rangka memenuhi tujuan perlindungan konsumen untuk

meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri. Selain itu bagaimana perlindungan konsumen ini dapat

menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum

supaya menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha; dan pada akhirnya pelaku usaha mampu meningkatkan kualitas barang

dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa,



kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Serta memenuhi

tujuan pembangunan pangan yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan

dasar manusia yang memeberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan

kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat, maka

pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan diharapkan dapat 1)

menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi

kepentingan kesehatan, 2) menciptakan perdagangan yang jujur dan bertanggung

jawab dan 3) mewujududkan tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar

dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan. Maka sesuai dengan pasal 64 tentang

peralihan bahwa Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan

melindungi konsumen yang telah ada pada saat UUPK diundangkan, dinyatakan

tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan

dengan ketentuan dalam UUPK, Maka UU Pangan dan peraturan pelaksana yang

terkait dengannya tetap berlaku untuk melengkapi kekurangan pengaturan

terhadap masalah penjualan dendeng sapi yang mengandung daging babi. Lebih

jelasnya untuk pemenuhan hak dan kewajiban serta sanksi berlaku Undang-

Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, untuk keamanan

pangan khususnya dendeng secara teknis di atur oleh Undang-Undang No. 7 tahun

1996 tentang Pangan dan peraturan-peraturan terkait yang secara rinci di

cantumkan dibab 3, dan mengenai produksi pangan (dendeng) yang diproduksi

oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai Industri Rumah Tangga (IRT)

akan berlaku asas lex specialis derogate lex generalis yaitu dengan surat

keputusan dan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengenai



1) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia

Nomor : hk. 00.05.5.1641 tentang Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan

Industri Rumah Tangga (IRT). Bahwa pemeriksaan sarana produksi Perusahaan

Pangan-Industri Rumah Tangga (PP-IRT) merupakan salah satu factor yang

penting untuk mengetahui seberapa besar pemahaman PP-IRT dalam

melaksanakan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB). 2) Keputusan Kepala

Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor : hk.

00.05.5.1640 tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi

Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT), bahwa SPP-IRT digunakan untuk

memperlancar operasional pelaksanaan berbagai kegiatan khususnya dibidang

sertifiksasi penyuluhan keamanan pangan industri rumah tangga; SPP-IRT ini

mengatur bahwa perusahaan Industri Rumah Tangga (IRT) wajib mematuhi

peraturan perundang-undangan dibidang pangan, 3) Keputusan Kepala Badan

Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia dengan Nomor : hk.

00.05.5.1639, Tentang Pedoman Cara Produksi Pangan Yang Baik Untuk Industri

Rumah Tangga (CPPB-IRT). Bahwa Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB)

merupakan salah satu factor yang penting untuk memenuhi standar mutu dan

persyaratan yang ditetapkan untuk pangan, lalu di bagian c dikatakan pula bahwa

Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) untuk Industri Rumah Tangga perlu di

aplikasikan pada Industri berskala Rumah Tangga, bahwa Pedoman ini wajib di

ikuti oleh IRT sesuai dengan bunyi ketetapan di bagian kedua yaitu bahwa setiap

industri rumah tangga dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatannya wajib



berpedoman pada Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga

(CPPB IRT).

Dibagian pengertian dikatakan bahwa Cara Produksi Pangan yang Baik

adalah suatu pedoman yang menjelaskan bagaimana memproduksi pangan agar

bermutu, aman dan layak untuk dikonsumsi, maka tujuan penerapannya 1) secara

umum adalah umtuk menghasilkan pangan yang bermutu, aman dikonsumsi dan

sesuai dengan tuntutan konsumen baik konsumen domestik maupun internasional

2) secara khusus; a) memberikan prinsip-prinsip dasar dalam memproduksi

pangan yang baik; b) mengarahkan IRT agar dapat memenuhi berbagai

persyaratan produksi yang baik seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas,

peralatan produksi, pengendalian hama, hygiene karyawan, pengendalian proses

dan pengawasan.

Jika pelaku usaha Industri Rumah Tangga (IRT) dalam hal ini UKM

menjalankan ketentuan sebagaimana tercantum dalam ke tiga peraturan tersebut

maka mulai dari pra produksi,proses produksi sampai menghasilkan produk,

kecenderungan UKM dalam memproduksi dendeng sapi yang dicampur dengan

daging babi tidak akan terjadi disebabkan berdasarkan peraturan tersebut UKM

mempunyai kewajiban untuk menghasilkan produk yang baik dan berkualitas

dengan berpedoman pada peraturan-peraturan tersebut.

Khusus bagi umat Islam yang meyakini hukum Islam, maka dalam hal ini

ketentuan hukum Islam yang mengatur bidang muamalah mengenai jual beli dan

hal-hal yang terkait dengan jual beli dalam Islam sudah cukup kuat berdasarkan

Al-Quran, Hadits, dan hasil-hasil Ijtihad para sarjana Islam (ulama) yang



dituangkan dalam buku-buku fiqih sebagai pedoman dalam melakukan jual-beli,

baik dari segi :

1. Muamalah al-madiyah yang berhubungan dengan objek jual-beli,

seperti dendeng sapi yang ternyata mengandung daging babi yang

dalam Hukum Islam babi adalah binatang yang haram, maka

memperjual belikan babi adalah haram pula dikarenakan tidak akan

memenuhi syarat sah jual beli yaitu salah satunya objek jual beli harus

suci, maka pelaku usaha yang menjual dendeng tersebut menjadi

bathil karena dendeng sapi yang mengandung daging babi tersebut

tidak disyariatkan oleh karena haramnya babi tersebut. Selain itu

apabila berpijak kepada pendapat Wahbah Zuhaili, bahwa salah jual

beli yang dilarang dalam Islam adalah sebab Maqud alaih, yaitu Jual

beli barang yang najis dan yang terkena najis, juga beli garar.

2. Dari segi muamalah al-adabiyah yang berhubungan dengan sifat-sifat

dari penjual dan pembelinya, bahwa pelaku usaha yang nyata-nyata

telah menjual dendeng sapi yang mengandung daging babi pada

dasarnya telah melakukan penipuan terhadap konsumen untuk

mendapatkan keuntungan. Maka sifat pelaku usaha tersebut telah

bertentangan dengan Prinsip dalam Al-Quran mengenai larangan

untuk melakukan jual beli dengan cara yang bathil yaitu :

5!  =$'.> 


  3<4
 '  ;9:&
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil



selain itu hadis nabi yang mengatakan :

/ /0
 12 
/
 
/
. 3 4 ,  56
  1 , -. ,  
/3 7
sesama muslim bersaudara, tidak halal (boleh) bagi seorang muslim
menjual barangnya kepada muslim yang lain, padahal barang itu terdapat
cacat (aib). (HR Ibnu Majah)

 @ 7   >


 
 3
 ,  :
  /

 / 8 ; ?
 / 8 9 -:  ; <=
AB!1
Rasulullah SAW. Melarang jual beli yang mengandung penipuan (HR

Jamaah Ahli Hadis, selain Bukhari)

Maka jelaslah bahwa peraturan di dalam hukum Islam yang mengatur jual

beli, bahwa jual beli selain jual beli barang haram yang nyata dilarang, untuk

menjual sesuatu barang yang bercampur dengan barang haram, ataupun menjual

barang dari barang yang haram adalah dilarang. Adapun pelaranggaran terhadap

pelarangan dalam hukum Islam ini akan sanksi jarimah, baik berbentuk tazir dan

mukhalafat yang dikembalikan kepada peraturan yang dibuat Negara yang tidak

bertentangan dengan syariat Islam.

B. Analisis Mengenai Lembaga Yang Bertanggung Jawab Dalam Peredaran


Pangan Menurut Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan

Pengawasan produk merupakan hal penting yang tidak dapat dipisahkan

dari peraturan-peraturan yang mengatur tentang produk-produk yang aman dan

nyaman, berkaitan dengan produk dendeng sapi yang mengandung daging babi



yang sudah beredar dimasyarakat, pada dasarnya yang berkewajiban mengawasi

peredaran pangan menurut Pasal 30 ayat (1) adalah pemerintah, masyarakat,dan

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Akan tetapi masyarakat

dan LPKSM ini menurut ayat (4) hanya dilakukan terhadap barang dan/atau jasa

yang beredar dipasaran. Maka yang bertanggung jawab penuh terhadap

pengawasan pangan secara teknis mulai dari produksi, distribusi sampai dengan

perdagangan dan beredar dimasyarakat adalah pemerintah khusus mengenai

dendeng sapi yang termasuk pada produk pangan adalah Badan Pengawas Obat

dan Makanan yang berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor

64 Tahun 2005 yang mengatakan didalam Pasal 1 ayat (2) LPND (Lembaga

Pemerintah Non Departemen) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Presiden. Salah satu LPND ini dibagian kedua puluh tiga mengenai Badan

Pengawas Obat dan Makanan dalam Pasal 67 bahwa BPOM mempunyai tugas

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-undang

ini memberikan kewenangan-kewenangan dan peran supaya BPOM secara pro

aktif bisa mencegah beredarnya produk-produk khususnya pangan yang cacat

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satu

kewenangan yang dilakukan BPOM adalah dengan mengeluarkan peraturan

khusus Industri Rumah Tangga (IRT) berkaitan dengan masalah penjualan

dendeng sapi yang mengandung daging babi produk dari UKM yaitu dengan :

1. Melakukan Pemeriksaan terhadap Sarana Produksi Pangan Industri

Rumah Tangga (IRT).





2. Mengeluarkan Pedoman Cara Produksi Pangan Yang Baik Untuk

Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT) yang wajib di ikuti oleh

Industri Rumah Tangga

3. Menyelenggarakan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah

Tangga (SPP-IRT) sebagai acuan bahwa Industri Rumah Tangga

yang mendapatkan sertifikasi tersebut layak untuk memproduksi

produknya.

4. Mengeluarkan Izin Edar Produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik,

Suplemen Makanan Dan Makanan Yang Bersumber, Mengandung,

Dari Bahan Tertentu Dan Atau Mengandung Alkohol sebagai

acuan bahwa produk yang dikeluarkan oleh Industri Rumah

Tangga layak untuk di edarkan setelah melewati berbagai

pengujian mulai dari produk sampai label dari produk tersebut.

Jadi, dengan ketatnya pengawasan berdasarkan perundang-undangan yang

memberikan kewenangan bagi BPOM untuk mengawasi peredaran ditambah

dengan peraturan yang dikeluarkan oleh BPOM yang seharusnya, apabila

dilaksanakan dengan baik, maka Industri Rumah Tangga dalam hal ini UKM yang

memproduksi dendeng sapi yang ternyata mengandung daging babi tidak akan

mendapatkan izin untuk di edarkan ke pasaran. Selain itu lembaga yang bertugas

untuk mengawasi pangan secara rohani ialah LPPOM-MUI, akan tetapi lembaga

tersebut berdasarkan peraturan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia

Nomor 519 Tahun 2001 tanggal 30 Nopember 2001 Tentang Lembaga Pelaksana

Pemeriksaan Pangan Halal hanya bersifat pasif, karena perundang-undangan yang


 


berlaku tidak mensyaratkan adanya kewajiban untuk memberikan sertifikat halal

terhadap produk yang akan diperdagangkan oleh pelaku usaha hanya saja apabila

produk tersebut didalam kemasannya bertanda halal maka ada kewajiban pelaku

usaha untuk mempertanggung jawabkan isi dari produk tersebut.

C. Analisis mengenai prinsip tanggung jawab penjual dendeng sapi yang


mengandung daging babi Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen jo Undang-Undang No. 7 tahun 1996
tentang Pangan, dan Menurut Hukum Islam

Penjual pada dasarnya berkewajiban untuk menjamin bahwa produknya

tidak merugikan konsumen. UUPK yang sudah mengatur bahwa pelaku usaha

dalam melakukan kegiatan usahanya harus beritikad baik dari mulai pra produksi,

proses produksi sampai dengan siap untuk di edarkan di pasaran, lalu menjamin

mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan /atau diperdagangkan berdasarkan

ketentuan standar mutu barang, lalu apabila ada konsumen yang dirugikan akibat

mengkonsumsi produknya maka harus member kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian apabila barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian, sepertipun perjanjian jual beli dendeng sapi yang ternyata mengandung

daging babi yang pada awalnya konsumen mengharapkan bahwa dendeng tersebut

murni dendeng sapi. Untuk dapat terlaksananya kewajiban pelaku usaha dengan

baik maka kewajiban ini di imbangi dengan larangan bagi pelaku usaha khususnya

pelaku usaha yang telah memproduksi dendeng sapi yaitu dengan melarang

pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang

tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan, juga Pelaku usaha dilarang






memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan

tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Apabila melihat hasil penelitian tentang tanggung jawab pelaku usaha

yang telah merugikan konsumen dengan cara menjual dendeng sapi yang

mengandung daging babi yang ternyata tidak memberikan ganti rugi apapun

selain hanya produknya ditarik dan dimusnahkan oleh BPOM maka hal tersebut

bertentangan dengan prinsip tanggung jawab yang berlaku dalam UUPK. UUPK

mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen dengan

menggunakan pembuktian terbalik. Sesuai dengan pasal 19 ayat (1) bahwa pelaku

usaha harus selalu bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas

kerusakan, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang yang

dihasilkan atau diperdagangkan oleh pelaku usaha dalam hal ini UKM, akan tetapi

di ayat (5) pelaku usaha diberi kesempatan untuk lepas dari tanggung jawabnya

apabila bisa membuktikan bahwa kesalahan ada pada konsumen. Artinya bahwa

prinsip tanggung jawab produk yang ada didalam UUPK belum dilaksanakan

dengan optimal, ditambah lagi dengan tidak adanya gugatan dari masyarakat yang

telah dirugikan akibat mengkonsumsi dendeng tersebut memperlihatkan kurang

pekanya masyarakat dalam menuntut haknya.

Adapun pelarangan ketentuan-ketentuan hukum Islam pada dasarnya

pelanggaran terhadap ketentuan yang ada didalam Al-Quran ataupun Hadis,

bentuk pertanggung jawabannya ialah secara vertikal berhubungan dengan dosa

kepada Allah maupun secara horizontal yang berhubungan dengan masyarakat

disekitarnya. Pelaku usaha yang telah menjual dendeng sapi yang mengandung
 


daging babi menurut Islam telah melakukan jual beli secara bathil baik dalam segi

madiyah ataupun adabiah seperti dalam analisis pertama, maka pelanggaran

terhadap larangan syara yang disebut jarimah mutlak harus bertanggung jawab.

Untuk kondisi saat ini di Indonesia sebagai Negara hukum yang mempunyai

bentuk perundang-undangan tersendiri dan berlaku untuk masyarakatnya, maka

sanksi (sebagai bentuk pertanggungjawaban) yang tepat adalah dengan

mukholafat yaitu memberikan kewenangan kepada Negara yang berkuasa untuk

menerapkan aturan-aturannya yaitu UUPK, UUPangan dan peraturan pelaksana

terkait dengannya, maka bentuk pertanggung jawaban dalam hukum Islam yang

mengikuti/menyerahkan kepada hukum positif ialah dengan product liability

sesuai dengan UUPK.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rangkaian analisis bab IV, penjualan dendeng sapi yang mengandung

daging babi sebagai produk cacat dalam proses manufaktur/produksi

(manufacturing/production defect) yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal

ini adalah UKM sangat merugikan konsumen, maka secara sistematis dapat

disimpulkan :

1. Bahwa baik ketentuan hukum positif maupun hukum Islam yang mengatur

keamanan produk pangan dikaitkan dengan masalah penjualan dendeng

sapi yang mengandung babi ini sudah cukup baik. Ketentuan-ketentuan

tersebut terdapat pada :

a. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

b. Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan peraturan

pelaksananya

c. Peraturan BPOM khusus Industri Rumah Tangga, dan

d. Hukum Islam didalam Al-Quran dan Hadis.

2. Pihak-pihak yang bertugas mengawasi keamanan pangan menurut

peraturan perundang-undangan adalah :

a. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

b. Lembaga Pemeriksa Pengawas Obat dan Makanan (LPPOM-MUI)

c. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)

 
 


d. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

e. Masyarakat

3. Menurut UUPK bahwa pelaku usaha akan bertanggung jawab dengan

prinsip product liability) dengan sistem pembuktian terbalik atas kerugian

konsumen akibat mengkonsumsi dendeng sapi yang ternyata mengandung

daging babi tersebut.

Menurut hukum Islam bahwa pelaku usaha yang telah melakukan

kesalahan dengan mencampur daging dendeng sapi dengan daging babi mutlak

harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuatnya kepada

masyarakat yang telah dirugikan akibat mengkonsumsi dendeng tersebut.

B. Saran

1. Perlu adanya sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur

mengenai hak-hak dan kewajiban pelaku usaha maupun konsumen dalam

rangka menciptakan kesadaran akan hak dan kewajiban tersebut.

2. Untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum maka law

inforcement harus benar-benar dijalankan oleh pemerintah untuk :

a. Memberikan efek jera bagi pelaku usaha yang telah melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan

b. Dapat memberikan contoh bagi pelaku usaha yang lain dan sejenis

supaya tidak berbuat kesalahan lain yang bertentangan dengan

ketentuan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja


Grafindo Persada, Jakarta. 2005

Al-Ashyar, Thobieb. Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan


Kesucian Rohani.PT.Al-Mawardi Prima.Jakarta. 2003

Ali,Muhammd Daud, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di


Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1998.

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,: Cetakan II


Diadit Media, Yogyakarta, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan


Penjelasannya. Alumni. Bandung.

Furqon, Andang. Harumiati. Imaniyati, Neni Sri dan Wiyanti Diana Pengantar
Hukum Indonesia , Fakultas Hukum Unisba.2005

Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Indonesia. Kencana.Jakarta. 2005.

Ghufron A. Masadi, Fiqih Muamalah Kontekstual.cet 1, Raja Grafindo Persada,


2002.

Hasan M.Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalah).PT


Raja Grafindo Persada. Jakarta 2003.

Hidayat. Asep Ramdan, Hukum Ekonomi Islam dalam Akselerasi (Jurnal


Jurusan Keuangan dan Perbankan Syariah).Volume 1.Fakultas
Syariah.UNISBA.Bandung 2006

Hoeber. R.C. Contemporary Busines Law, Principles and Cases (New York:
McGraw-Hill Book Co., 1986), 420.

kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika.


Jakarta. 2008.Hlm . 169.

Nana, Masduki FIqih Muamalah (diktat) Bandung IAIN Sunan Gunung Djati,
1987.

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global,
Citra Aditya Bakti, Bandung. 2005.



Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid I.Gema Insani Press.
Jakarta.1995.

Qardhawi, Yusuf Halal dan Haram Dalam Islam,alih bahasa oleh Muammal
Hamidy.PT Bina Ilmu.Surabaya.1990

Sabarudin Juni, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dilihat Dari Segi


Kerugian Akibat Barang Cacat Dan Berbahaya, Fakultas Hukum
USU, Medan, 2002.

Sabiq, Sayyid . Fiqih Sunnah12. PT. Al-Maarif. Bandung.1987.

Shofie,Yusuf. kapita selekta Hukum perlindungan konsumen di indonesia. PT


Citra Aditya Bhakti.2008.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986

Subekti, Hukum Perjanjian .Intermasa,.Jakarta.1979

Sumitro, Ronny Hanitiyo.Metodologi Penelitian Hukum Normatif dan


Jurimetri.Jakarta. Ghalia Indonesia,1990.

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (ed. Revisi V),
Rineka Cipta , Jakarta, 1997

Suhendi, Hendi.Fiqih Muamalah.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sutedi, Adrian. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan


Konsumen.Ghalia Indonesia.Bogor. 2008

Syafei. Rahmat Fiqih Muamalah Pustaka Setia.Bandung. 2001.

Syahrani, Riduan. Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni,


Bandung. 2004.

Widyaningtyas Sistaningrum, Manajemen Penjualan Produk, Kanisius,


Yogyakarta, 2002.

Wahyuni, Endang Sri. Aspek Hukum Sertifikasi dan Ketekaitannya Dengan


Perlindungan Konsumen.Citra Aditya Bakti. Bandung 2003.

Yakub, Hamzah. Kode Etik Dagang Dalam Islam. Diponegoro. Bandung.1984

Undang-undang



Subekti dan Tjitrosudibio Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta.2004.

UUD 45 Beserta Amandemennya. Bintang Pustaka Abadi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan


Penjelasannya , Visimedia, Jakarta, 2007

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan

Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-quan Al-quran dan


terjemahnya. depag .1971.

Ar-Rifai. Muhammad Nasib.Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jilid I). Gema Insani.
Jakarta 1999

Tafsir Al-Misbah

Hadis Mutafaqun Alaihi

Wahbah Al-Juhaili, Al-Fiqhul AL-Islami wa Adillatuh, Juz IV, hal 405-406

Ensiklopedia.

Tim penulis (transliterator Ahmad Thib Raya). Ensiklopedi Islam. PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, Jakarta 1996

Artikel

Aloysius Gunadi Brata distribusi spasial ukm di masa krisis


ekonomi.www.ekonomirakyat.org [Artikel - th. ii - no. 8 -
nopember 2003]

Surat Kabar Harian Pikiran Rakyat. Hal-1. Rabu 25 Maret 2009

http://grandparagon.com/index.php/2009/04/16/5-produk-abondendeng-yang-
dioplos-daging-babi/

http://parakontel.net/in/?p=75#more-75 dikutip 19 mei 2009

http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1083217242,86128,

http://www.mediakonsumen.com/Artikel1127.html



http://www.bsn.go.id/index.php tgl 9 1 2010

http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni_2/3281 dikutip
tanggal 2-12-2009

http://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/artikel/pangan/PIWP/dendeng_sayat.pdf

http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/apa-saja-bentuk-bentuk-hukuman-
alam-sistem-islam/ Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada 26 Januari
2007

http://pkditjenpdn.depdag.go.id/index.php?page=lpksmbrw&PropinsiID=2 dikutip
tanggal 20 desember 2009

http://sandynata.wordpress.com/2009/06/02/daftar-dendeng-dan-abon-babi-yang-
diperintahkan-untuk-ditarik-dan-dimusnahkan-oleh-bpom-ri/
Posted on Juni 2, 2009 by sandynata

Makalah

E. Saefullah, Tanggung Jawab Produsen Di Era Perdagangan Bebas, Makalah


Seminar Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Era
Perdagangan Bebas, UNISBA, Bandung, 9 Mei 1998.

Antonio SyafiI, Potensi dan peranan Sistem Ekonomi Islam Dalam upaya
pembangunan umat islam nasional, makalah, tanpa tahun

Amaliyah, Skripsi (Perlindungan Konsumen Atas Bahan Tambahan Pangan Pada


UU Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen JO
UU Nomor. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Fakultas Hukum
UNISBA, Bandung, 2003.

Toar, Agnes M. Tanggung Jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di


Beberapa Negara (Makalah, dibawakan dalam penataran Hukum
Perikatan II, Ujung Pandang, 17-29 Juli 1989),1.




Anda mungkin juga menyukai