ANTI INFLAMASI
JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
KATA PENGANTAR
Segala Puji kami panjatkan atas kehaadirat Tuhan yang maha Esa, yang
senantiasa mencurahkan keridhaan dan rahmatnya kepada kami sehingga
penulisan tugas yang berjudul Anti Inflamasi,dapat terselesaikan dengan baik
dan pada waktunya.
Dalam penulisan makalah ini, kami akui masih jauh dari sempurna. Untuk
itu saran dan kritik yang membangun kearah penyempurnaan makalah ini kami
terima dengan sangat terbuka. Akhirnya, dari hasil penulisan ini kami harapkan
semoga hasil evaluasi serta referensi bahan yang menyusun makalah ini dapat
membantu serta menambah wawasan para pembaca yang membutuhkan. Kami
ucapan terimakasih. Dan semoga barokah serta bermanfaat bagi kita semua
Penulis
Kelompok V
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
II.1 Pengertian
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang
memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah
agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan
jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru.
Rangkaian reaksi ini disebut radang (Anonim, 2009).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti
oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.),
suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet),
listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh
berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang
sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau
nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera
dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan
sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan
makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya
perubahan-perubahan imunologik (Anonim, 2009).
a. Kemerahan (Rubor)
Kemerahan atau rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di
daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai
timbul maka arteri yang mensuplai darah ke daerah tersebut melebar,
dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi
lokal. Pembuluh-pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau
sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah.
Keadaan ini dinamakan hiperemia atau kongesti menyebabkan warna
merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hiperemia pada
permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh melalui pengeluaran zat
mediator seperti histamin.
b. Panas (kalor)
Panas atau kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi
peradangan. Panas merupakan sifar reaksi peradangan yang hanya
terjadi pada permukaan tubuh yakni kulit. Daerah peradangan pada
kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah dengan suhu
370C yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena radang
lebih banyak disalurkan daripada ke daerah normal.
c. Rasa sakit (dolor)
Rasa sakit atau dolor dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu
dapat merangsang ujung-ujung saraf, pengeluaran zat kimia tertentu
misalnya mediator histamin atau pembengkakan jaringan yang
meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dapat
menimbulkan rasa sakit.
d. Pembengkakan (tumor)
Gejala yang paling menyolok dari peradangan akut adalah tumor atau
pembengkakan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas
dinding kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah
ke jaringan yang cedera. Pada peradangan, dinding kapiler tersebut
menjadi lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh leukosit dan
protein terutama albumin yang diikuti oleh molekul yang lebih besar
sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak protein daripada
biasanya yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk ke dalam
jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak.
e. Perubahan fungsi (fungs io laesa)
Gangguan fungsi yang diketahui merupakan konsekuensi dari suatu
proses radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang
dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan
oleh rasa sakit, pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan
berkurangnya gerak jaringan (Lumbanraja, L.B., 2009).
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang
didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit
membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses
pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam
proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari
pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang
pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan
terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan
memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi
darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan
emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Anonim,
2009).
2. Radang kronis
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul
menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik.
Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon
radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang
menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal.
Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering
penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan
penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar
yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh
mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema
palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang
tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu
radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik.
Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan
sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan
antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi
reaksi (Anonim, 2009).
III.1 Kesimpulan