Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ANTI INFLAMASI

DISUSUN OLEH KELOMPOK V :

ASRAH (G 701 15 118)

NUR RAHMASARI (G 701 15 084)

FITRA PARAMITA MAURANI (G 701 15 149)

SITI WULANSARI (G 701 15 032)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2017
KATA PENGANTAR

Segala Puji kami panjatkan atas kehaadirat Tuhan yang maha Esa, yang
senantiasa mencurahkan keridhaan dan rahmatnya kepada kami sehingga
penulisan tugas yang berjudul Anti Inflamasi,dapat terselesaikan dengan baik
dan pada waktunya.

Tulisan ini mengulas pengertian Inflamasi. Makalah ini merupakan salah


satu bentuk tugas mata kuliah yang wajib ditempuh. Oleh sebab itulah, dalam
proses pendalaman materi ini, kami mendapatkan banyak bimbingan, arahan,
koreksi serta saran. Untuk itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kami
sampaikan kepada dosen mata kuliah Farmakologi dan Toksikologi semester 4, di
jurusan farmasi FMIPA UNTAD.

Dalam penulisan makalah ini, kami akui masih jauh dari sempurna. Untuk
itu saran dan kritik yang membangun kearah penyempurnaan makalah ini kami
terima dengan sangat terbuka. Akhirnya, dari hasil penulisan ini kami harapkan
semoga hasil evaluasi serta referensi bahan yang menyusun makalah ini dapat
membantu serta menambah wawasan para pembaca yang membutuhkan. Kami
ucapan terimakasih. Dan semoga barokah serta bermanfaat bagi kita semua

Penulis

Kelompok V
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terahdap luka


jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau
zat zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi
atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan
mengatur zat perbaikan jaringan. Mediator kimiawi spesifik bervariasi
dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5-
hidroksitriptamin; lipid, seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti
bradikinin; dan peptida besar, seperti interleukin. (Mycek, M.J., dkk., 2001).

Pengurangan peradangan dengan obat-obat antiinflamasi sering


mengakibatkan perbaikan rasa sakit selama periode yang bermakna. Obat-
obat AINS yang digunakan untuk penyakit rematik mempunyai kemampuan
untuk menekan gejala peradangan. Beberapa obat ini juga mempunyai efek
antipiretik dan analgesik, tetapi efek antiinflamasinya membuat obat-obat
ini bermanfaat dalam menanggulangi kelainan rasa nyeri yang berhubungan
dengan intensitas proses peradangan (Katzung, 1998).

II.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Anti Inflamasi ?


2. Bagaimna terjadinya mekanisme radang ?
3. Apa saja gejala-gejalan terjadinya respon radang ?
4. Apa saja jenis-jenis radang ?
5. Apa saja obat-obat Anti Inflamasi ?
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Pengertian

Inflamasi bisa dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi


karena tubuh mengalami injury, baik yang disebabkan oleh bahan kimia
atau mekanis atau proses self-destructive (autoimun). Walaupun ada
kecenderungan pada pengobatan klinis untuk memperhatikan respon
inflammatory dalam hal reaksi yang dapat membahayakan tubuh, dari sudut
pandang yang lebih berimbang sebenarnya inflamasi adalah penting sebagai
sebuah respon protektif dimana tubuh berupaya untuk mengembalikan
kondisi seperti sebelum terjadi injury (preinjury) atau untuk memperbaiki
secara mandiri setelah terkena injury. Respon inflammatory adalah reaksi
protektif dan restoratif dari tubuh yang sangat penting karena tubuh
berupaya untuk mempertahankan homeostasis dibawah pengaruh
lingkungan yang merugikan (Lutfianto, I., 2009)

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang
memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah
agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan
jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru.
Rangkaian reaksi ini disebut radang (Anonim, 2009).

Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti
oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.),
suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet),
listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh
berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang
sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau
nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera
dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan
sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan
makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya
perubahan-perubahan imunologik (Anonim, 2009).

Anti inflamasi adalah obat yang dapat menghilangkan radang yang


disebabkan bukan karena mikroorganisme (non infeksi). Gejala inflamasi
dapat disertai dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit,
fungsinya terganggu. Proses inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskuler,
meningkatnya permeabilitas vaskuler dan migrasi leukosit ke jaringan
radang, dengan gejala panas, kemerahan, bengkak, nyeri/sakit, fungsinya
terganggu. Mediator yang dilepaskan antara lain histamin, bradikinin,
leukotrin, prostaglandin dan PAF.

Mekanisme terjadinya inflamasi dimulai dari stimulus atau


mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka
sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang diantaranya adalah
arakidonat. Setelah asam arakionat bebas akan diaktifkan oleh beberapa
enzim, diantaranya siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut
merubah asam arakidonat kedalam bentuk yang tidak stabil ( hidroperoksid
dan endopreoksid ) yang selanjutnya dimetabolisme menjadi leukotin,
prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Prostaglandin dan leukotrin
bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan.

II.2 Mekanisme Terjadinya Radang

Terjadinya inflamasi adalah reaksi setempat dari jaringan atau sel


terhadap suatu rangsang atau cedera. Setiap ada cedera, terjadi rangsangan
untuk dilepaskannya zat kimi tertentu yang akan menstimulasi terjadinya
perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut, diantaranya adalah
histamin, serotonin, bradikinin, leukotrin dan prostaglandin. Histamin
bertanggungjawab pada perubahan yang paling awal yaitu menyebabkan
vasodilatasi pada arteriol yang didahului dengan vasokonstriksi awal dan
peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan perubahan
distribusi sel darah merah. Oleh karena aliran darah yang lambat, sel darah
merah akan menggumpal, akibatnya sel darah putih terdesak ke pinggir.
Makin lambat aliran darah maka sel darah putih akan menempel pada
dinding pembuluh darah makin lama makin banyak. Perubahan
permeabilitas yang terjadi menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah
dan berkumpul dalam jaringan. Bradikinin bereaksi lokal menimbulkan rasa
sakit, vasodilatasi, meningkatakan permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab
radang, prostaglandin berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator
lainnya (Lumbanraja, L.B., 2009).

II.3 Gejala-gejala terjadinya respons peradangan

a. Kemerahan (Rubor)
Kemerahan atau rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di
daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai
timbul maka arteri yang mensuplai darah ke daerah tersebut melebar,
dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi
lokal. Pembuluh-pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau
sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah.
Keadaan ini dinamakan hiperemia atau kongesti menyebabkan warna
merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hiperemia pada
permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh melalui pengeluaran zat
mediator seperti histamin.
b. Panas (kalor)
Panas atau kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi
peradangan. Panas merupakan sifar reaksi peradangan yang hanya
terjadi pada permukaan tubuh yakni kulit. Daerah peradangan pada
kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah dengan suhu
370C yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena radang
lebih banyak disalurkan daripada ke daerah normal.
c. Rasa sakit (dolor)
Rasa sakit atau dolor dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu
dapat merangsang ujung-ujung saraf, pengeluaran zat kimia tertentu
misalnya mediator histamin atau pembengkakan jaringan yang
meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dapat
menimbulkan rasa sakit.
d. Pembengkakan (tumor)
Gejala yang paling menyolok dari peradangan akut adalah tumor atau
pembengkakan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas
dinding kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah
ke jaringan yang cedera. Pada peradangan, dinding kapiler tersebut
menjadi lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh leukosit dan
protein terutama albumin yang diikuti oleh molekul yang lebih besar
sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak protein daripada
biasanya yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk ke dalam
jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak.
e. Perubahan fungsi (fungs io laesa)
Gangguan fungsi yang diketahui merupakan konsekuensi dari suatu
proses radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang
dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan
oleh rasa sakit, pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan
berkurangnya gerak jaringan (Lumbanraja, L.B., 2009).

II.4 Jenis-Jenis Radang

1. Radang akut

Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang
didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit
membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses
pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam
proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari
pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang
pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan
terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan
memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi
darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan
emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Anonim,
2009).

Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin


didahului oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka
dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi
meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya
inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi
darah yang mengalir deras. Dengan demikian, mikrovaskular pada
lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas
yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap
awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan
intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah
terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari
segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi
arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan
bendungan tampak setelah 10-30 menit (Anonim, 2009).

Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma


dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan
merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada
dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis
endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel
endotel dilapisi oleh selaput basalis yang berkesinambungan (Anonim,
2009).
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak
cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara
ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma
dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan
menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal
tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang
mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya,
dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis
10.000 dalton (Anonim, 2009).

Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi


(di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-
sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai
akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan
protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya
tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang
meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang
menyebabkan emigrasinya (Anonim, 2009).

Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada


lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah
putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri
dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di
dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa
produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada
hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti (Anonim,
2009).

Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan


menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk
agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut
hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian
tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi
(marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung
pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat
tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan
endotel (Anonim, 2009).

Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak


keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah
pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel
memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup
sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa
perubahan nyata (Anonim, 2009).

Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke


arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini
disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut
kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh
faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil
dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya
limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat
mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara
selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor
kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen,
misalnya produk bakteri (Anonim, 2009).

Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis.


Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa
didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis
akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin,
yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang
mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit
sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan
kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang
masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu
pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula
sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya
ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar
mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan
oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun
beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit
(Mutschler, E., 1991).

2. Radang kronis

Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang


(berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara
simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan.
Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan
perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar.
Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti
makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan
(meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis)
(Anonim, 2009).

Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul
menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik.
Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon
radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang
menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal.
Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering
penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan
penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar
yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh
mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema
palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang
tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu
radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik.
Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan
sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan
antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi
reaksi (Anonim, 2009).

II.5 Obat-Obat Anti Inflamasi

Obat-obat antiinflamasi merupakan golongan obat yang memiliki


aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai
melalui berbagai cara, yaitu dengan menghambat pembentukan mediator
radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah
radang, dan menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat
pembentukannya (Robbert & Morrow, 2011).

Pada saat terjadi inflamasi, enzim fosfolipase akan diaktifkan dengan


mengubah fosfolipid yang terdapat pada jaringan menjadi asam arakhidonat
seperti yang terlihat pada Gambar 4. Asam arakhidonat sebagian akan
diubah menjadi enzim siklooksigenase dan seterusnya menjadi
prostaglandin. Sebagian lain dari asam arakhidonat diubah oleh enzim
lipooksigenase menjadi leukotrien. Kedua zat tersebut ikut
bertanggungjawab pada sebagian besar gejala inflamasi (Tjay & Raharja,
2002).

Gambar 4. Biosintesis tromboxan, prostasiklin dan leukotrien (Borne dkk.,


2008)
Secara umum berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat
antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan steroid dan
golongan non steroid (Neal, 2006).

a. Obat Antiinflamasi Golongan Steroid


Obat antinflamasi steroid bekerja dengan mekanisme penghambatan
sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan cara melepas lipokortin
yang dapat menghambat fosfolipase A2 pada sintesis asam arakhidonat.
Sehingga bisa dikatakan bahwa steroid merupakan obat antiinflamasi
yang poten. Steroid pada dasarnya merupakan hormon atau senyawa
endogen yang secara alami dapat dihasilkan oleh tubuh untuk menjaga
sistem homeostasis. Ketika terjadi kondisi stress atau cidera, tubuh akan
mensekresi hormon kortisol tetapi terdapat kondisi tertentu dimana
hormon ini tidak cukup untuk mengatasi rasa sakit yang timbul sehingga
diperlukan tambahan dari luar. Contoh obat-obat antiinflamasi golongan
steroid adalah kortison, hidrokortison, prednisolon, deksametason, dan
lain-lain (Millerdkk., 2008).

Hormon steroid sering disebut juga kortikosteroid karena


diproduksi oleh korteks adrenal yang terletak di atas ginjal. Hormon ini
terdiri dari dua macam yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Hormon glukokortikoid dapat memicu terjadinya apoptosis sel. Hormon
ini dapat menurunkan diferensiasi dan proliferasi sel-sel inflamatori
sehingga dapat berperan sebagai immunosupresan. Glukokortikoid dapat
menghambat inflamasi dengan cara mengaktivasi reseptor
glukokortikoid yang menghambat ikatan antara nukleus dengan
proinflammatory DNA-binding transcription factor seperti activator
protein (AP-1) dan Nuclear factor (NF-B) (Karin, 1998; Ito dkk.,
2000).

Glukokortikoid diketahui dapat menghambat pembentukan sitokin


melalui jalur jak-STAT (Bianchi dkk., 2000). Glukokortikoid juga
berfungsi menstimulasi glukoneogenesis, sehingga penggunaannya
harus dibatasi pada penderita diabetes mellitus karena dapat menaikkan
kadar gula darah. Penguraian protein pada jaringan yang disebabkan
oleh adanya glukokortikoid menyebabkan berbagai efek samping berupa
osteoporosis, penghambatan pertumbuhan pada anak-anak, dan atrofi
kulit (Thompson & Lippman, 1974; Bassam & Mayank, 2012)

Beberapa obat kortikosteroid juga memiliki efek mineralokortikoid.


Mineralokortikoid berfungsi untuk meregulasi reabsorpsi ion natrium
dalam tubulus ginjal dan meningkatkan pengeluaran ion kalium. Ketika
natrium ditahan maka tubuh akan menjaga agar konsentrasi garam
dalam tubuh tetap sama yaitu dengan menahan air. Akibatnya volume
cairan tubuh akan naik dan menyebabkan kenaikan tekanan darah.
Sekresi hormon ini juga memicu pelepasan renin yang mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin penyebab vasokontriksi sehingga
dapat menyebabkan hipertensi (Miller dkk., 2008)

Penggunaan obat-obat antiinflamasi golongan steroid tidak dapat


dihentikan secara tiba-tiba karena dapat menyebabkan insufisiensi
adrenal dimana tubuh akan kekurangan hormon kortisol. Ketika tubuh
menerima tambahan hormon dari luar maka tubuh akan merespon
dengan mengurangi produksi hormon tersebut sehingga ketika
pemakaiannya tiba-tiba dihentikan maka tubuh belum siap untuk
mensekresikannyakembali dalam keadaan normal. Penghentian
penggunaan obat-obat golongan ini dilakukan dengan menurunkan dosis
secara bertahap (Barnes & Adcock, 2009;Schwartz dkk., 1968; Szefler
& Leung, 1997).

b. Obat Antiinflamasi Golongan Non Steroid


Obat antiinflamasi golongan non steroid bekerja melalui
mekanisme lain seperti isoenzim COX-1 dan COX-2 . Enzim COX ini
berperan dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan
dari asam arakhidonat. Prostaglandin merupakan molekul pembawa
pesan pada proses inflamasi. Inhibisi sintesis prostaglandin dalam
mukosa lambung sering kali dapat menyebabkan kerusakan
gastrointestinal (dispepsia, mual, dan gastritis). Efek samping yang
paling serius adalah pendarahan gastrointestinal (Neal, 2006).
Penghambatan enzim COX juga akan menghambat sintesis tromboksan
sehingga dapat menurunkan agregasi platelet. Pemberian obat pada dosis
yang rendah secara terus-menerus digunakan sebagai terapi pada
penderita stroke untuk mencegah terjadinya stroke berikutnya. Selain
itu, penghambatan COX juga berakibat pada peningkatan produksi
leukotrien yang berperan dalam proses kontraksi pada bronkus sehingga
dapat memicu terjadinya asma (Roberts & Morrow, 2011).

Menurut Tjay & Raharja (2002), obat-obat antiinflamasi non steroid


dapat digolongkan menjadi:
1. Turunan asam salisilat : Aspirin, Salisilamid, Diflunisal.
2. Turunan 5-pirazolidindion : Fenilbutazon, Oksifenbutazon.
3. Turunan asam N-antranilat : Asam mefenamat, Asam flufenamat.
4. Turunan asam arilasetat : Natrium diklofenak, Ibuprofen,
Ketoprofen.
5. Turunan heteroarilasetat : Indometasin.
6. Turunan oksikam : Peroksikam, Tenoksikam.
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terahdap luka


jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau
zat zat mikrobiologik.

Mekanisme terjadinya inflamasi dimulai dari stimulus atau mengakibatkan


kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel maka sel tersebut akan
melepaskan beberapa fosfolipid yang diantaranya adalah arakidonat.

Anda mungkin juga menyukai