Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya
cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat
kaitannya dengan penigkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin
lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan
nyamuk penularannya di berbagai wilayah di Indonesia (Widoyono, 2011).
Tahun 1968 Dinas Kesehatan Jakarta dan Surabaya mencatat 58 kasus DBD
denagn 24 kematian Di Indonesia penyakit demam berdarah dengue
merupakan penyakit menular yang terutama menyerang anak-anak, namun
seiring perkembangan zaman penyakit ini tidak sedikit menyerang orang
dewasa, oleh sebab itu sebelum demam berdarah dengue menyerang,
masyarakat perlu mengetahui cara memberantas maupun penanggulangan
vektor nyamuk agar dapat mencegah perluasan penyakit DBD dan
meningkatkan taraf hidup sehat masyarakat (Soegijanto, 2006).
Berbagai kegiatan dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan DBD
antara lain promosi dan kegiatan situasional seperti kewaspadaan dini terhadap
DBD, namun pencegahan dan pemberantasan DBD merupakan kegiatan paling
efektif yaitu dengan memberantas vektor/jentik yang disebut dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD dengan kegiatannya yaitu 3 M
seperti menutup, mengubur, menguras yang berkelanjutan. Upaya PSN
diarahkan pelaksanaanya oleh masyarakat dengan model peran serta
masyarakat yang sesuai dengan kondisi setempat. dengan demikian,
masyarakat ikut bertanggungjawab dan mengembangkan kondisi positif untuk
pencegahan DBD (Hadinegoro, Soegijanto, Wuryadi, & Suroso, 2006).

1
1.2 Identifikasi masalah
Berdasar latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi masalah :
Bagaimana cara masyarakat dapat memberantas vektor nyamuk Aedes aegypti
sebagai upaya mencegah penyakit demam berdarah dengue
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui upaya memberantas vektor nyamuk Aedes
aegypti agar terhindar dari penyakit demam berdarah dengue.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui cara penularan nyamuk, siklus perkembang
biakan, serta ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti.
2. Untuk mengetahi tanda dan gejala penyakit demam berdarah dengue
melalui manifestasi klinis yang dialami penderita.
3. Untuk mengetahui bagaimana penata laksanaan penderita penyakit
demam berdarah dengue.
1.4 Manfaat penulisan
1.4.1 Manfaat praktis
Mengantisipasi terjadinya demam berdarah dengue, dengan cara
membereantas vektor nyamuk Aedes aegypti dengan berbagai macam
cara.
1.4.2 Manfaat Teoritis
Penulisan ini dapat menambah pengetahuan tentang epidemiologi,
etiologi, manifestasi klinis, seerta penata laksanaan demam berdarah
dengue.
1.5 Kerangka penulisaan
Kerangka penulisan berisi tentang rangkuman dari karya tulis ilmiah. Kata
pengantar berisi mengenai ucapan rasa syukur kepada Allah SWT dan ucapan
terimakasih kepada semua pihak yang ikut serta membantu pembuatan karya
tulis ilmiah. Bab I pendahuluan dalam latar belakang berisi mengenai motivasi
penulis dalam membuat karya tulis ilmiah, identifikasi masalah memuat hal
yang akan dibahas, tujuan penulisan memuat tujuan penulis dalam membuat
karya tulis ilmiah yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus, kerangka

2
penulisan berisi tentang struktur penulisan, metode penulisan memuat asal
sumber yang kan ditulis dalam karya tulis ilmiah, rancangan analisa data
memuat presentase sumber penulisan, lokasi dan lamanya penulisan memuat
tentang jangka waktu dan tempat penulisan hingga karya tulis ilmiah selesai.
Bab II tinjauan pustaka berisi mengenai data pendukung untuk melengkapi
pembahasan yang terdapat pada analisa data. Bab III analisa data berisi
mengenai analisis penulis berdasarkan beberapa jurnal. Bab IV berisi kesimpuln
dan saran. Daftar pustaka memuat referensi-referensi yang digunakan dalam
penulisan karya tulis ilmiah. Daftar riwayat hidup berisi tentang identitas
penulis.
1.6 Metode penulisan
Data penulisan ini diambil dengan menggunakan teknik deskriptif, yaitu
dengan cara membaca, menganalisa, dan merangkum berdasarkan buku rujukan
dan jurnal ilmiah, sementara pengolahan data adalah dengan cara studi pustaka
melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan Politeknik Negeri Jakarta I
maupun di perpustakaan lainnya.
1.7 Rancangan analisa
Penulis menganalisis hasil yang dicapai dengan menggunakan sumber dari
buku sebanyak 20% dan jurnal sebanyak 80%.
1.8 Lokasi dan lamanya penulisan
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini dibutuhkan waktu kurang lebih satu
minggu dan dalam kurun waktu tersebut penulisan karya tulis ilmiah di lakukan
di beberapa tempat seperti di Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan
Jakarta I dan di Perpustakaan Balai Besar Pelatihan Kesehatan.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi
Berdasarkan jurnal dengue haemorrhagic fever on pediatric patient tahun
2014, demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan
virus dengue yang termasuk kelompok B Artropod Borne Virus (Arboviruses)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae,
danmempunyai 4 jenis serotype, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.
Penyakit ini merupakan penyakit dengan spektrum presentasi klinis yang luas
serta sulit diprediksi progresi serta hasil akhirnya.
2.2 Epidemiologi
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictius. Transmisi virus tergantung dari faktor biotik
dan abiotik. Termasuk dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk,
dan pejamu manusia, sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan,
kelembaban, dan curah hujan (Hadinegoro, Moedjito, dan Chairulfatah, 2014).
Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit DBD di Asia ditemukan di Manila
pada tahun 1954 dan dilaporkan oleh Quintas, lalu meluas ke daerah Asia
lainnya, seperti Thailand pada thun 1958, Singapura pada tahun 1960, dan di
Malaysia pada tahun 1961. Di Indonesia sendiri KLB penyakit DBD ditemukan
pada tahun 1968. Empat belas tahun setelah Kejadian Luar Biasa (KLB) di
Manila Demam Berdarah Dengue dilaporkan untuk pertama kalinya berupa
KLB penyakit DBD di Jakarta dan di Surabaya yang mencatat 58 kasus DBD
dengan 24 kematian (CFR = 41,5%). Pada tahun berikutnya kasus DBD
menyebar ke lain kota yang berada di wilayah Indonesia dan di laporkan
meningkat setiap tahunnya. KLB penyakit DBD terjadi di sebagian besar
daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan (Soegijanto, 2006).
2.3 Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B
(Arthropod Borne virus) atau virus yang disebarkan oleh artropoda. Virus ini
termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. David Bylon melaporkan
bahwa epidemiologi dengue di Batavia disebabkan oleh tiga faktor utama

4
yaitu, virus, manusia, dan nyamuk sebagai vektor utama. Suhu berpengaruh
pada perkembangan nyamuk (Widoyono, 2011)
Berdasarkan jurnal Pemetaan Karakteristik Lingkungan dan Densitas
Nyamuk Aedes aegypti Berdasarkan Status Endemisitas DBD di Kecamatan
Kolaka tahun 2016, epidemi dengue dipengaruhi oleh lingkungan dengan
banyaknya genangan air atau conteiner yang menjadi tempat berkembang
biaknya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang merupakan vektor
penular dengue. Kasus dengue meningkat di musim penghujan dan menurun di
musim kemarau.

gambar 1. Cara penularan DBD dari nyamuk ke manusia

Sumber: Depkes RI PSN-DBD, Jakarta, 1995

5
gambar 2. Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

Sumber: Depkes RI PSN-DBD, Jakarta, 1995


Gambar 3. Nyamuk Aedes aegypti

Sumber: US Departement of Agriculture


Menurut widoyono tahun 2011 berikut ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti,
faktor yang mempengruhi morbiditas dan mortalitas penyakit DBD, dan fator
penyebaran kasus DBD
1. ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti:
a. sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih
b. berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak
mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung
air seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, serta tempat minum
burung.
c. Jarak terbang 100 m

6
d. Nyamuk betina bersifat multiple biters (menggigit beberapa orang
karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
e. Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi
2. Penyebaran penyakit DBD di Indonesia biasanya terjadi mulai bulan
Januari sampai dengan April dan Mei. Faktor yang mempengaruhi
mordibitas dan mortalitas penyakit DBD antara lain:
a. Imunitas pejamu
b. Kepadatan populasi nyamuk
c. Transmisi virus dengue
d. Virulensi virus
e. Keadaan geografis setempat
3. Faktor penyebaran kasus DBD antara lain:
a. Pertumbuhan penduduk
b. Urbanisasi yang tidak terkontrol
c. transportasi
2.4 Manifestasi klinis demam berarah dengue
Berdasarkan jurnal Hubungan Pengetahuan dan Sikap dengan Praktek
Pengendalian Nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar
Kliwon Kota Surakarta, tahun 2011, penderita penyakit DBD pada umumnya
disertai tanda-tanda sebagaiberikut : Hari pertama, panas mendadak terus
menerus, badan lemah dan lesu, pada tahap ini sulit dibedakan dengan penyakit
lain. Hari kedua atau ketiga, timbul bintik-bintik pendarahan (petekie), lebam
atau ruam pada kulit di muka, dada, lengan atau kaki, epsitaksis, hematemesis,
atau melena (buang air besar disertai darah). Antara hari ketiga sampai ketujuh
panas turun secara tiba-tiba. Kemungkinan yang selanjutnya penderita sembuh
atau keadaan memburuk yang ditandai dengan gelisah, ujung tangan dan kaki
dingin, banyak mengeluarkan keringat. Bila keadaan berlanjut, dapat
menimbulkan manifestasi klinis berat berupa terjadi pendarahan konjungiva,
pendarahan gusi, purpura, hematuri, ekimosis, bahkan berupa renjatan (lemah
lunglai, denyut nadi lemah atau tak teraba) terkadang kesadaran menurun.

7
gambar 4. Petekie dan pendarahan konjungtiva

Sumber: Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan


Penyehatan Lingkungan

gambar 5. Melena

Sumber: Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan


Penyehatan Lingkungan
2.5 Tata laksana Demam berdarah dengue
Berdasarkan jurnal Diagnosis dan Terapi Cairan pada Demam
Berdarah Dengue, tahun 2009, pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat
suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti
kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi
substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi
cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara
klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya
trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.

8
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau
kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan
serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring
(pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan
kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu
yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat
diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk
mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi
nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada
saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan
sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5
protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5
kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (bagan 1).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang rawat (bagan 2).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit>20% (bagan 3).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (bagan 4)

Bagan 1. Penanganan tersangka DBD tanpa renjatan

9
Bagan 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang
rawat

Bagan 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit


>20%

10
Bagan 4. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah
jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan
diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan

11
cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat,
ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO
menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena
dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah.
Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan
antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif
mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki
efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan
efektif, beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang
singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial
(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut
dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular
dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial, namun demikian, dalam
aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain
mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai
komposisi plasma, mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari
kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular, dengan kelebihan ini, diharapkan koloid
memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih
stabil, beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan
koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar, namun
beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi
yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid diban-dingkan

12
kristaloid pada sindrom renjatan dengue pada pasien anak dengan parameter
stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil
sebanding pada kedua jenis cairan..
Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan
penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan
yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang
terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada
kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan
(maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara
praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg,
adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran
plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000
ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan
hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam., namun
demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilaiapakah
hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang
diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu
dilakukan adalah kondisi klinis pasien, stabilitas hemodinamik serta diuresis.
Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan
diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan
setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga
kondisi benar-benar stabil. Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan
secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinya perdarahan internal.

13
BAB III
ANALISIS DATA

3.1 Pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti melalui kegiatan 3M (Menguras,


Mengubur, dan Menutup)
Berdasarkan jurnal Hubungan Antara Persepsi Masyarakat Tentang
Menguras, Mengubur, dan Menutup (3m) dengan Pencegahan Demam
Berdarah Dengue (DBD) Di Desa Selokerto Kecamatan Sempor Kabupaten
Kebumen, tahun 2009, Masyarakat Indonesia sendiri khususnya yang tinggal
di daerah perkotaan hanya sedikit yang melaksanakan program 3M (Menguras,
Mengubur dan Menutup), oleh karena jumlah penduduk yang cukup padat
sehingga sangat terbatasnya akses air bersih serta tidak adanya tempat untuk
mengubur barang-barang bekas. Penyakit demam berdarah dengue sudah
terjadi sampai ke wilayah terkecil sekalipun hingga diberbagai Kabupaten
maupun Kecamatan. Salah satunya yaitu di Kabupaten Kebumen.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dharmawan (2008) pada tahun 2006
terdapat 126 kasus, 5 di antaranya meninggal serta pada tahun 2007 terdapat
307 kasus dengan 3 orang meninggal. Pada saat dilakukan kunjungan ke
rumah-rumah sekitar penderita oleh petugas, Dharmawan menjelaskan ternyata
50% dari rumah yang diteliti terdapat jentik-jentik di bak air. Hal tersebut
menunjukkan bahwa sebagian dari masyarakat di Kabupaten Kebumen
memiliki tingkat pencegahan demam berdarah yang masih rendah khususnya
dalam kegiatan 3M salah satunya menguras bak air dan menutup rapat-rapat
tempat penampungan air.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaukan oleh Sarwono, Marsito, dan
Hastuti didapatkan data bahwa dari 92 responden sebagian besar masyarakat
memiliki Persepsi baik tentang Menguras, Mengubur, dan Menutup (3M)
sebanyak 76 orang (83%), persepsi cukup sebanyak 13 orang (14%) dan
persepsi kurang sebanyak 3 orang (3%). Maka dalam penelitian ini dapat
dinyatakan bahwa Persepsi Masyarakat tentang Menguras, Mengubur, dan
Menutup (3M) di Desa Selokerto Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen
adalah baik. Persepsi masyarakat dalam penelitian ini dijelaskan sebagai suatu

14
gambaran dari masyarakat mengenai kegiatan yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya masalah kesehatan yang terdiri dari kegiatan menguras, mengubur,
dan menutup barang yang sudah tidak digunakan yang akan mempunyai
pengaruh terhadap pencegahan demam berdarah dengue (DBD).
3.2 Pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti melalui penggunaan kawat kasa
Berdasarkan jurnal Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat
dengan Keberadaan Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja
Puskesmas I Denpasar Selatan, tahun 2014, hasil observasi di wilayah kerja
Puskesmas Denpasar Selatan, dari 90 responden yang diteliti, diketahui 39
responden (43,3%) tidak memakai kasa dan 51 responden (56,7%) memakai
kasa. Penggunaan kawat kasa belum dianggap sebagai alternatif praktis di
perkotaan dan dipandang harganya terlalu mahal. Ada kecendrungan
pemasangan kasa antik nyamuk tidak pada semua pintu, jendela maupun loster
yang ada dirumah. Pemakaian kasa pada ventilasi yang dilakukan merupakan
pencegahan secara fisik terhadap nyamuk yang bertujuan agar nyamuk tidak
sampai masuk rumah ataupun kamar tidur. Perlakuan ini diharapkan sebagai
alternatif praktis dalam penanggulangan DBD, dengan tidak adanya nyamuk
masuk ke ruang rumah maka kemungkinan nyamuk untuk menggigit semakin
kecil.
3.3 Pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti dengan cara memelihara
kesehatan lingkungan
Dalam jurnal Evaluasi Pemberantasan Demam Berdarah Dengue dengan
Metode Spasial Geographic Information System (GIS) dan Identifikasi Tipe
Virus Dengue di Kota Kediri, tahun 2014, hasil penelitian menunjukkan
keberadaan kontainer air mempengaruhi kejadian penyakit DBD di kota Kediri
mempunynai risiko terhadap kejadian DBD sebanyak 28,4 kali lebih besar
dibandingkan dengan keberadaan kontainer yang rendah.
Keberadaan kotainer yang rendah sangat berperan dalam kepadatan vektor
nyamuk Aedes aegypti, karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak
tempat perindukan perkembang biakkan nyamuk Aedes aegypti dan akan
semakin padat populasi nyamuk Aedes aegypti. Semakin padat populasi
nyamuk Aedes aegypti, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus DBD

15
dengan waktu penyebaran lebih cepat, sehingga jumlah kasus penyakit DBD
cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kejadian luar
biasa.
Upaya yang harus dilakukan agar nyamuk tidak berkembang dan
menyebarkan penyakit adalah memelihara kesehatan lingkungan.
Memperbaiki sanitasi dan memelihara kesehatan lingkungan, bukan hanya
menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab
seluruh komponen masyarakat Metode lingkungan untuk mengendalikan
nyamuk antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN),
pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk
hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh
menguras bak mandi/penampungan air sekurang- dengan nilai p= 0,000 dengan
OR=28,4 (CI 95% =12,1) sekurang-kurangnya sekali seminggu,
mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali.
menutup dengan rapat tempat penampungan air, mengubur kaleng-kaleng
bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya.
Pada penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan perilaku
pemberantasan DBD dengan angka kejadian penyakit DBD (OR= 5,6) (CI 95%
=3,1 10,3). Pemberantasan jentik nyamuk Aedes dengan penaburan butiran
temephos dengan dosis 1 ppm dengan efek residu selama 3 bulan cukup efektif
menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti atau meningkatkan
angka bebas jentik, sehingga menurunkan risiko terjadinya KLB penyakit
DBD.
3.4 Pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti melalui penggunaan bubuk
abate
Berdasarkan jurnal Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Dengan Praktek
Pengendalian Nyamuk Aedes Aegypti di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar
Kliwon Kota Surakarta,tahun 2011, salah satu cara untuk memberantas vektor
nyamuk dalam bidang kimia, yaitu dengan menggunakan larvasida, misalnya
dengan menggunakan bubuk abate. Dosis yang digunakan 1 ppm atau 1 gram
untuk 10 liter air dan mempunyai efek residu sampai 3 bulan.

16
3.5 Pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti melalui pemeliharaan ikan
Berdasarkan jurnal Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Dengan Praktek
Pengendalian Nyamuk Aedes Aegypti di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar
Kliwon Kota Surakarta,tahun 2011, salah satu cara untuk memberantas vektor
nyamuk dalam bidang Biologis, yaitu dengan memelihara ikan sebagai
predator jentik nyamuk Aedes aegypti. Salah satu jenis ikan yang dapat
digunakan sebagai predator adalah ikan kepala timah dan ikan gupi.
Berdasarkan jurnal Pengendalian DBD Melalui pemanfaatan Pemantau
Jentik dan Ikan Cupang di Kota Palembang, tahun 2010, dibutuhkan peran serta
masyarakat dalam mendukung upaya pemberantasan DBD dilakukan dengan
pembentukan Kader Pemantau Jentik yang bertugas memantau keberadaan
jentik di rumah-rumah penduduk dan memberikan abate sebagai solusi untuk
memberantas jentik, namun abate masih dianggap kurang efektif karena
sebagai bahan kimia, efektifitas abate akan berkurang bahkan hilang bila
masyarakat menguras bak mandi atau tempat penampungan air dan abate
memiliki batas ampuh selama 3 (tiga) bulan sehingga perlu ditambah atau
diganti (Dinas kesehatan Kota Palembang). Jumantik yang aktif mempengaruhi
tingginya ABJ (angka bebas jentik), dan tingginya ABJ mempengaruhi tidak
adanya kasus DBD.

17
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Demam berdarah dengue merupakan penyakit yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes Egypti dan Aedes albopictus, demam berdarah dengue
disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Artropod Borne
Virus (Arboviruses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, family
Flaviviridae. Aedes aegypti merupakan faktor utama penyebab demam
berdarah dengue selain manusia dan virus. Berdasarkan beberapa jurnal yang
telah penulis rangkum di dalam karya tulis ilmiah ini terdapat cara untuk
memberantas vektor nyamuk diantaranya melalui 3M (Menguras, Menutup,
dan Mengubur), penggunaan bubuk abate, penaburan butiran temephos,
penyemprotan dengan insektisida, pemeliharaan ikan sebagai pemakan jentik
nyamuk, dan menerapkan perilaku cinta kebersihan.
4.2 Saran
a. masyarakat
Masyarakat hendaknya dapat memelihara lingkungan yang bersih dan
sehat agar dapat terhindar dari penyakit demam berdarah dengue, maupun
penyakirt lainnya, dan selalu menerapkan 3M (Menguras, Menutup, dan
Mengubur).
b. tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan hendaknya melakukan sistem penanggulangan secara
dini melalui penanaman sejak dini pengetahuan tentang DBD kepada
masyarakat sebelum masyarakat mengalami DBD.
c. pemerintah
pemerintah khusunya pemerintah kesehatan hendaknya selalu
memonitor keadaan lingkungan masyarakat dan terus meningkatkan taraf
hidup sehat masyarakat melalui program-program kerja pemerintah
kesehatan.

18

Anda mungkin juga menyukai