Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN


DEMAM THYPOID
OLEH: THATIANA DWI ARIFAH, 1206244346
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA

1. ANATOMI FISIOLOGI
Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah
sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya menjadi
zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung,
usus halus, usus besar, rectum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang
terletak di luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
A. Usus Halus (usus kecil)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara
lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat
yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi
usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding
usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan
usus halus meliputi, lapisan mukosa (sebelah kanan), lapisan otot melingkar (M sirkuler),
lapisan otot memanjang (M longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari duodenum), usus kosong
(jejenum) dan usus penyerapan (ileum). Villi usus halus terdiri dari pipa berotot (> 6 cm),
pencernaan secara kimiawi, penyerapan makanan. Terbagi atas usus 12 jari (duodenum), usus
tengah (jejenum), usus penyerapan (ileum).
a. Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah
lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejenum). Bagian usus dua belas jari
merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir
di ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya
oleh selaputperitoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan.
Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari pancreas dan kantung empedu.
Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang
merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui
sfingter pylorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan
mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
b. Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian dari usus
halus, diantara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia
dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong.
Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan
dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas
permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni
berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan dengan usus
penyerapan, yaitu sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus
kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.
c. Usus Penyerapan (ileum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan
jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit
basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
B. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.
Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari kolon asendens
(kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon sigmoid (berhubungan dengan
rectum). Banyaknya bakteri yang terdapat didalam usus besar berfungsi mencerna makanan
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri didalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K.
Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang
bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
C. Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin : caecus, buta) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus
besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar
herbivore memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora ekslusif memiliki yang kecil, yang
sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
D. Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada
organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat
menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis
(infeksi rongga abdomen). Dalam anatomi manusia, umbai cacing adalah ujung buntu tabung
yang menyambung dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio.
Dalam orang dewasa, umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai
20 cm. walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda-beda di
retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan),
sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik. Operasi
membuang umbai cacing dikenal sebagai appendiktomi.
E. Rektum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari usus besar (setelah kolon sigmoid)
dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpang ditempat yang lebih tinggi, yaitu pada
kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul
keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan
material didalam rectum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, seringkali material akan dikembalikan ke usus
besar, dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode
yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang lebih
tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan
dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB. Anus merupakan lubang di ujung
saluran pencernaan, dimana bahan limba keluar dari tubuh. Sebagian besar anus terbentuk dari
permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur
oleh otot spinter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar BAB),
yang merupakan fungsi utama anus.

2. PENGERTIAN
Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi Salmonella thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses
dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare, 2002). Penyakit ini
ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelia atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
monocular hati, limpa, makanan atau air yang terkontaminasi (Sumarno, 2002 dalam Huda &
Kusuma, 2016).

4. ETIOLOGI
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella parathypi
(S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela,
dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu
600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau
aglutinin yaitu :
v Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
v Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel
kuman).
v Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal
dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid (Sudoyo, 2009).

4. PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang
mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis
reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan
mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus,
bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding
usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyers patch,
merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus,
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di
dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan
limfe (Soedarmo, 2012).
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella
typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan Peyers patch dari
ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau
penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang
dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid
tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi
makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan
nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang,
kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, 2012).

5. TAN
DA DAN GEJALA
1. Gejala pada anak: inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan menyebabkan
syok, stupor dan koma
4. Ruam muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari
5. Nyeri kepala, nyeri perut
6. Kembung, mual, muntah, diare, konstipasi
7. Pusing, bradikardi, nyeri otot
8. Batuk
9. Epistaksis
10. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor)
11. Hepatomegali, splenomegali, meteroismus
12. Gangguan mental berupa samnolen
13. Delirium atau psikosis
14. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai penyakit
demam akut dengan disertai syok dan hipotermia

Keluhan dan Gejala Demam Tifoid


Minggu Keluhan Gejala Patologi
Minggu pertama Panas berbahaya, Gangguan saluran Bakteremia
tipe panas yang naik cerna
turun mencapai 39-
40OC menggigil,
nyeri kepala
Minggu kedua Rash, nyeri Rose sport, Vaskulitis,
abdomen, diare atau splenomegali, hiperplasi, pada
konstipasi, delirium hepatomegali prayers patches,
nodul tifoid pada
limfa dan hati
Minggu ketiga Komplikasi Melena, illius, Ulserasi pada
perdarahan saluran ketegangan prayers patches,
cerna, perforasi, abdomen, koma nodul tifoid pada
syok limpa dan hati
Minggu keempat Keluhan menurun, Tempat sakit berat, Kolelitiasis, carrier
repals, penurunan kakeksia kronik
BB

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan
kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
2. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil
biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan
darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif
kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam
darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
e. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga
terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah
suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal
ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita
tifoid
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi.
Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan
ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur
dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif,
namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena
beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai
dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis
demam tifoid diklasifikasikan atas:
1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,gangguan
saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid
belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh
gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160
satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan atau positif
S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titer Widal 4 kali lipat (pada
pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali)
(Widodo, 2007).

8. PENATALAKSANAAN
A. Medis
a. Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
1) Klorampenicol
2) Amoxicilin
3) Kotrimoxasol
4) Ceftriaxon
5) Cefixim
b. Antipiretik (Menurunkan panas) :
1) Paracetamol

B. Keperawatan
a. Observasi dan pengobatan
b. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih dari selama
14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perforasi usus.
c. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
d. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada waktu-waktu
tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.
e. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi konstipasi dan
diare.
f. Diet
Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari (Smeltzer
& Bare, 2002).
9. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian Esofagus dan abdomen kiri atas
1) Esofagus dan abdomen kiri atas
Perawat menanyakan tentang napsu makan pasien; tetap sama,meningkat atau menurun.
Adakah ktidaknyamanan saat menelan, bila ada apakah terjadi hanya karena pada
makanan tertentu?
Apakah berhubungan dengan nyeri?
Apakah perubahan posisi mempengaruhi ketidaknyamanan?
Pasien ditanyakan untuk menggambarkan pengalaman nyeri,
adakah yang memperberat nyeri?
Adakah gejala lain seperti rugurgitasi, regurgitasi noctural, kembung(eruktasi), yeri ulu
hati, tekanan subesternal, sensasi makanan menyangkut ditenggorokan, perasaan penuh
setelah makan dalam jumlah sedikit, mual, muntah dan penuruna berat badan.
Apakah gejala meningkat dengan emosi? Jika ada tanyakan waktu kejadian, faktor
penghilang atau pemberat seperti perubahan posisi, kembung, antasida atau muntah.

b. Pengkajian lambung
Apakah pasien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual atau muntah
Apakah gejala terjadi kapan saja? Sebelum atau sesudah makan?setelah makan makanan
pedas atau mencerna obat tertentu?
Apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress alergi, makan atau minum terlalu
banyak, atau makan terlalu cepat?
Bagaimana gejala hilang?
Adakah riwayat penyakit lambung
Pemeriksaan fisik;
Palpasi ringan dari ujung kiri atas abdomen sampai sedikit melewati garis kuadran kanan atas
untuk mendeteksi adanya nyeri tekan.

c. Pengkajian abdomen kuadran kanan atas


1) Hati dan kandung empedu
Kaji adanya keluhan digestif; mual, muntah, muntah darah,anoreksia, diare dan melena
Kaji riwayat perubahan mental dan ganggguan motorik
Tanyakan apakah pasien telah mengalami perubahan berat badan atau intoleransi
terhadap diet; mual, muntah, kejang dalam 24 jam terakhir
Kaji adanya sendawa, kesulitan menelan, flatulensi, muntah berdarah (hematemesis),
feses kehitaman, jantung terasa terbakar, diare atau konstipasi
Tanyakan riwayat keluarga tentang adanya kanker, penyakit ginjal, alkoholisme,
hipertensi atau penyakit jantung.
Periksa penggunaan alkohol yang biasa pasien lakukan
Tanyakan apakan pasien menggunakan zat atau obat tertentu yang bersifat hepatoksik
Pemeriksaan fisik;
Inspeksi:
Warna kulit
Sclera mata untuk menilai adanya ikterus
Pembesaran abdomen akibat cairan (asites)
Perkusi :
untuk menilai luasnya asites dapat dilakukan perkusi abdomen, apabila sudah terdapat cairan
dalam kavum peritoneal maka daerah pinggang akan menonjol ketika pasian dalam posisi
supinasi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan shifting dullness aau dengan mendeteksi
gelombang cairan.
Palpasi:
Palpasi pada daerah kuadran kanan atas dibawah rongga iga untuk mendapatkantepi bawah
hati, untuk memeriksa pembesaran hati.
Letakan tangan kiri dibawah toraks posterior kanan pasien pada iga kesebelas dan dua belas,
kemudian memberi tekanan keatas. Dengan jari-jari tangan kanan mengarah pada tepi kostal
kanan, perawat meletakan tangan di atas kuadran kanan atas tepat dibawah tepi hati.pada saat
perawat menekan keatas dan kebawah secara perlahan, pasien menarik napas dalam melalui
abdomen. Pada saat pasien berinhalasi, perawat mencoba memalpasi tepi hati pada saat hati
menurun. Pada keadaan normal hati tidak mengalami nyeri tekan dan memiliki tepi yang teratur
dan tajam.

d. Pengkajian abdomen kuadran kiri dan kanan bawah


1) Kolon
Kaji adanya keluhan digestif; mual, muntah, muntah darah,anoreksia, diare dan melena
Bila pasien mengalami nyeri abdomen atau nyeri punggung bawah, kaji karakter nyeri
secara terperinci.
Kaji adanya penggunaan laksatif
Perhatikan gerakan dan posisi pasien. Posisi dan gerakan mengindikasikan letak nyeri.
Tanyakan apakah pasien mengalami penurunan berat badan selama 24 jam terakhir
Tentukan apakah pasien wanita sedang mengandung atau tidak.
Inspeksi:
Inspeksi abdomen melihat kondisi abdomen pasien dikuadran bawah tentang kontur dan
simetrisitas dari abdomen dilihat dengan identifikasi penonjolan lokal, distensi, atau
gelombang peristalitik.
Auskultasi :
Dilakukan terlebih dahulu seblum palpasi dan perkusi yang dapat meningkatkan motilitas
usus dan dengan demikian dapat mengubah bising usus.
Auskultasi abdomen untuk mendengarkan bising usus dari motilitas usus dan mendeteksi
bunyi vaskular. Pasien diminta untuk tidak berbicara.
Palpasi :
Palpasi ringan dan palpasi dalam pada bagian bwah abdomen
kaji ukuran, lokasi, bentuk, lokasi, bentuk, konsitensi, nyeri tekan, pulsasi, dan
mobilitasnya.
Perkusi :
mengetahui letak oragn-organ yang berada dibawahnya, tulang dan massa, serta untuk
membantu mengungkapkan adanya udara didalam lambung dan usus.
Catat suara timpani atau pekak

e. Pengkajian feses
Bila feses mengandung darah yang menghasilkan warna hitam (melena), dicurigai adanya
pendarahan pada rektal bawah atau anal.

10. PENYIMPANGAN KDM

Penularan 5F :
Food : Makanan
Finger : Jari tangan, kuku
Fomitis : Muntahan
Fly : Lalat
Feces : Kotoran manusia
11. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering muncul dalam kasus demam thypoid adalah sebagai berikut
:
a. Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi
c. Ketidak seimbangangan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan yang tidak adekuat
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, istirahat total dan pembatasan karena
pengobatan

12. DISCHARGE PLANNING


1. Hindari tempat yang tidak sehat
2. Hindari daerah endemis demam tifoid
3. Cucilah tangan dengan sabun dan air bersih
4. Makanlah makanan bernutrisi lengkap dan seimbang dan masak/panaskan sampai suhu
57oC beberapa menit dan secara merata
5. Salmonella typhi di dalam air akan mati jika dipanasi setinggi 57oC untuk beberapa menit
atau dengan proses iodinasi/klorinasi
6. Gunakan air yang sudah direbus untuk minum dan sikat gigi
7. Mintalah minuman tanpa es kecuali air es sudah didihkan atau dari botol
8. Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman
9. Istirahat cukup dan lakukan olahraga secara teratur
10. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping
11. Ketahui gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk
mengatasi gejala tersebut
12. Tekanan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan
13. Vaksin demam tifoid
14. Buang sampah pada tempatnya
13. WOC
Diagnosa Tujuan/hasil yang
No Rencana Tindakan Rasional
keperawatan diharapkan
1 Hypertermi b/d Termoregulasi 1. Pantau suhu tubuh pasien setiap 4 1. Meyakinkan perbandingan data yang
proses infeksi Tanda-tanda Vital jam akurat.
2. Kolaborasi pemberian antipiretik 2. Menurunkan demam.
Setelah dilakukan tindakan sesuai anjuran
keperawatan selam 1 x 24 3. Turunkan panas dengan 3. Meningkatkan kenyaman, menurunkan
jam pasien menujukan melepaskan selimut atau temperatur suhu tubuh
temperatur dalan batas menanggalkan pakian yang terlalu
normal dengan kriteria: tebal, beri kompres dingin pada
Bebas dari kedinginan aksila dan liatan paha.
Suhu tubuh stabil 36-37 4. Pantau dan catat denyut dan irama 4. Peningkatan denyut nadi, penurunan
C nadi, vekanan vena sentral, tekanan tekan vena sentral, dan penurunan tekanan
Tanda-tanda vital dalam darah, frekuensi napas, tingkat darah dapat mengindikasikan hipovolemia
rentang normal responsitas, dan suhu kulit minimal 4 yang mengarah pada perfusi jaringan. Kulit
jam yang dingin, pucat dan burik dapat juga
mengindikasikan peunurunan perfsi
jaringan. Peningkatan frekuensi pernapasan
berkompensasi pada hipoksia jaringan.
5. Observasi adanya konfusi 5. Perubahan tingkat kesadaran dapat
disorientasi merupakan akibat dari hipoksia jaringan
6. Berikan cairan IV sesuai yang 6. Menghindari kehilangan air natrium
dianjurkan. klorida dan kalium yang berlebihan.

2 Nyeri akut Tingkat kenyamanan Manajemen nyeri :


Control nyeri 1. Lakukan pegkajian nyeri secara 1. Respon nyeri sangat individual sehingga
komprehensif termasuk lokasi, penangananya pun berbeda untuk masing-
Setelah dilakukan askep karakteristik, durasi, frekuensi, masing individu.
selama 1 x 24 jam pasien kualitas dan faktor presipitasi.
menunjukan tingkat 2. Observasi reaksi nonverbal dari 2. Menngetahui tingkat kenyamanan
kenyamananmeningkat, ketidaknyamanan.
dan dibuktikan dengan:
level nyeri pada scala 2-3 3. Gunakan teknik komunikasi 3. Komunikasi yang terapetik mampu
Pasien dapat melaporkan terapeutik untuk mengetahui meningkatkan rasa percaya klien terhadap
nyeri pada petugas, pengalaman nyeri klien sebelumnya. perawat sehingga dapat lebih kooperatif
Frekuensi nyeri dalam program manajemen nyeri.
Ekspresi wajah 4. Kontrol faktor lingkungan yang 4. Lingkungan yang nyaman dapat
Menyatakan mempengaruhi nyeri seperti suhu membantu klien untuk mereduksi nyeri.
kenyamanan fisik dan ruangan, pencahayaan, kebisingan.
psikologis, 5. Kurangi faktor presipitasi nyeri. 5. Meningkatkan kenyamanan
TD 120/80 mmHg, N: 6. Pilih dan lakukan penanganan 6. Pengalihan nyeri dengan relaksasi dan
60-100 x/mnt, RR: 16- nyeri (farmakologis/non distraksi dapat mengurangi nyeri yang
20x/mnt farmakologis). sedang timbul.
7. Ajarkan teknik non farmakologis 7. Meningkatkan kenyamanan
Control nyeri pada level (relaksasi, distraksi dll) untuk
3 dibuktikan dengan: mengetasi nyeri.
Pasien melaporkan gejala 8. Berikan analgetik untuk 8. Pemberian analgetik yang tepat dapat
nyeri dan control nyeri. mengurangi nyeri. membantu klien untuk beradaptasi dan
9. Evaluasi tindakan pengurang mengatasi nyeri.
nyeri/kontrol nyeri. 9. Tindakan evaluatif terhadap penanganan
nyeri dapat dijadikan rujukan untuk
penanganan nyeri yang mungkin muncul
berikutnya atau yang sedang berlangsung.
10. Kolaborasi dengan dokter 10. Kolaborasi yang tepat membantu
bila ada komplain tentang pemberian pasien mempercepat tindakan keperawatan
analgetik tidak berhasil.
11. Monitor penerimaan klien 11. Sebagai rujukan penanganan nyeri
tentang manajemen nyeri.

3 Ketidakseimbangan Status gizi : asupan gizi Manajemen Nutrisi Manajemen nutrisi dan monitor nutrisi yang
nutrisi kurang dari 1. kaji pola makan klien adekuat dapat membantu klien mendapatkan
kebutuhan tubuh Setelah dilakukan askep 2. Kaji adanya alergi makanan. nutrisi sesuai dengan kebutuha tubuhnya.
selama 1 x24 jam pasien 3. Kaji makanan yang disukai
menunjukan: oleh klien.
status nutrisi 4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk
adekuat dibuktikan penyediaan nutrisi terpilih sesuai
dengan BB stabil tidak dengan kebutuhan klien.
terjadi mal nutrisi, tingkat 5. Anjurkan klien untuk
energi adekuat, masukan meningkatkan asupan nutrisinya.
nutrisi adekuat 6. Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
7. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan pentingnya
bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
1. Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2. Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan klien
makan.
3. Monitor lingkungan selama
makan.
4. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan dengan
waktu klien makan.
5. Monitor adanya mual muntah.
6. Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya perdarahan,
bengkak dsb.
7. Monitor intake nutrisi dan
kalori.
4 Defisit perawatan Perawatan diri : Bantuan perawatan diri
diri aktivitas kehidupan 1. Monitor kemampuan pasien Bantuan perawatan diri dapat membantu
sehari-hari terhadap perawatan diri klien dalam beraktivitas dan melatih pasien
2. Monitor kebutuhan akan untuk beraktivitas kembali.
Setelah dilakukan asuhan personal hygiene, berpakaian,
keperawatan 1 x24 jam toileting dan makan
klien mampu melakukan 3. Beri bantuan sampai klien
Perawatan diri/Self care : mempunyai kemapuan untuk
Activity Daly merawat diri
Living (ADL) dengan 4. Bantu klien dalam memenuhi
skala 1-2 dengan indicator kebutuhannya.
: 5. Anjurkan klien untuk
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
melakukan aktivitas sesuai kemampuannya
sehari-hari (makan, 6. Pertahankan aktivitas
berpakaian, kebersihan, perawatan diri secara rutin
toileting, ambulasi) 7. Evaluasi kemampuan klien
Kebersihan diri pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-
terpenuhi hari.
8. Berikan reinforcement atas
usaha yang dilakukan dalam
melakukan perawatan diri sehari hari.
Self-care assistant.
1. Kaji kemampuan klien self-care
mandiri
2. Kaji kebutuhan klien untuk
personal hygiene, berpakaian, mandi,
cuci rambut, toilething, makan.
3. sediakan kebutuhan yang
diperlukan untuk ADL
4. Bantu ADL sampai mampu
mandiri.
5. Anjurkan keluarga untuk
membantu
6. Ukur tanda vital setiap tindakan

Anda mungkin juga menyukai