Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

APPENDICITIS PERFORATA

Disusun untuk memenuhi tugas


Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Bedah
RSUD dr. Soebandi Jember

Oleh :
Shinta Riski Julia
122011101069

Pembimbing :
dr. Samsul Huda, Sp.B

SMF BEDAH RSUD DR. SOEBANDI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2017

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... 1


DAFTAR ISI ................................................................................................... 2
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 3
BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 5
2.1 Apendik ...................................................................................................... 5
2.1.1 Anatomi Apendik ............................................................................. 5
2.1.2 Fisiologi Apendik ............................................................................ 6
2.2 Apendisitis ................................................................................................. 7
2.2.1 Epidemiologi .................................................................................. 7
2.2.2 Etiologi dan Patogenesis ................................................................ 8
2.2.3 Gambaran Klinis ............................................................................ 11
2.2.4 Diagnosis ........................................................................................ 14
2.2.5 Pemeriksaan penunjang.................................................................. 16
2.2.6 Diagnosis Banding ......................................................................... 19
2.2.7 Penatalaksanaan ............................................................................. 21
2.2.8 Prognosa ......................................................................................... 26
BAB 3. LAPORAN KASUS ......................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 37

2
BAB 1. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Appendicitis adalah peradangan pada organ appendix vermiformis
atau yang dikenal juga sebagai usus buntu. Berdasarkan onsetnya,
appendicitis dibagi menjadi appendicitis akut hingga kronis. Appendicitis
akut sendiri adalah salah satu penyebab keadaan bedah emergensi
terbanyak, yang ditandai dengan gejala berupa nyeri perut pada ulu hati /
epigastrium yang menjalar ke kuadran kanan bawah (Shogilev, 2014).
Apendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan
komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah
perforasi. Perforasi apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas
yang tinggi. Pasien yang mengalami apendisitis akut angka
kematiannya hanya 1,5%, tetapi ketika telah mengalami perforasi
angka ini meningkat mencapai 20% - 35. Sumber lain juga
menyebutkan pada anak usia < 1 tahun, hampir seluruhnya mengalami
perforasi. Pada anak yang berusia < 2 tahun insidennya menurun
menjadi 94%, dan pada anak yang berusia < 6 tahun insidennya
turun lagi menjadi 60% -65% . Insiden perforasi pada usia di atas 60
tahun dilaporkan sekitar 60%. Tingkat perforasi pada usia tua jauh
lebih tinggi dibanding kelompok usia lain dengan persentase 69,5 %
dibanding kelompok lain hanya 20% ( Peranteau, 2013).
Terapi definitif dari appendicitis, baik akut maupun kronis adalah
dengan melakukan pengangkatan appendix yang meradang. Tindakan ini
dilakukan secara bedah, dan dapat dilakukan dengan beberapa metode,
baik laparotomy, laparoscopy, maupun dengan simple appendectomy
(insisi pada McBurney) sesuai dengan indikasinya. Appendicitis akut yang
tidak ditangani dengan adekuat / definitif maka akan dapat menyebabkan
perforasi diikuti dengan peritonitis yang dapat menyebabkan shock dan
akhirnya bisa menyebabkan kematian. Namun dengan penanganan segera

3
dan cepat maka prognosis dari appendicitis adalah sangat baik (
Peranteau, 2013).

4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendix
2.1.1 Anatomi Appendix
Appendix adalah organ berbentuk tabung yang berukuran kurang lebih 3
15 cm dan berpangkal pada caecum. Organ ini mempunyai lumen yang sempit
pada bagian proximal dan melebar pada bagian distal. Pada bayi sebaliknya,
lumen appendix berbentuk kerucut dengan bagian proksimal yang lebar dan
ujungnya menyempit, hal ini menjadi alasan mengapa kejadian appendicitis
insidensinya rendah pada usia tersebut (Sjamsuhidajat, 2011).
Appendix terbentuk pada minggu ke-8 tahap perkembangan embriologi
sebagai tonjolan di bagian ujung dari sekum. Dalam perkembangannya sekum
tumbuh lebih cepat dari pada appendix, sehingga appendix tergeser lebih medial
yaitu terletak pada daerah ileosekal. Karena dasar dari appendix yang
berhubungan dengan sekum itu tetap, maka letak appendix dapat ditemukan di
daerah retrocecal, pelvical, subcecal, preileal, atau posisi pericolic kanan
(Brunicardi, 2010).

Gambar 1. Variasi letak Appendix

5
Appendix di suplai darah oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang
dari arteri ileocolica. Arteri ini berasal dari posterior ileum terminal dan masuk
melalui mesoappendix dekat dasar dari appendix. Drainage limfatik appendix
mengalir pada limfonodi di sepanjang arteri ileocolica ( Peranteau, 2013).

Gambar 2. Arteri apendikularis

Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis yang berasal dari cabang


nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis,
dan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu nyeri
viseral pada appendicitis bermula pada daerah sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat,
2011). .

2.1.2 Fisiologi Appendix


Appendix menghasilkan lendir / mucus setiap harinya sejumlah 1 2 cc
per hari, di mana kelebihan dari mucus akan mengalir dari lumen ke caecum.
Adanya obstruksi pada jalur inilah yang menyebabkan terjadinya peradangan pada
appendiks (Sjamsuhidajat, 2011).
Salah satu hal lain yang dilakukan appendix adalah menghasilkan
Immunoglobulin sekretoar, yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid

6
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendix, yaitu IgA.
Immunoglobulin berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi. Namun demikian,
pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah
jaringan limfoid disini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh, sehingga hilangnya appendix tidak
menimbulkan perubahan yang bermakna (Sjamsuhidajat, 2011). .

2.2 Appendicitis
2.2.1 Epidemiologi
Insidensi appendicitis akut di negara maju lebih tinggi dari pada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun,
sementara di negara berkembang juga terus meningkat. Appendicitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. (Sjamsuhidajat, 2011).
Appendicitis mulai meningkat kejadiannya pada masa anak-anak dan
mencapai insidensi tertinggi antara usia 10-30 tahun. Setelah usia 30 tahun
insidensinya mulai menurun lagi meskipun tidak menutup kemungkinan bisa
terjadi pada semua umur. Rasio insidensi appendicitis pada laki-laki dibanding
perempuan adalah 3 : 2. Rasio ini bisa berubah saat usia 25 tahun menuju 30
tahun, laki-laki dan perempuan mempunyai resiko yang sama (Goldblatt, 2013).
Apendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan
komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah
perforasi. Perforasi apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang
tinggi. Pasien yang mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya
1,5%, tetapi ketika telah mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai
20% - 35. Sumber lain juga menyebutkan pada anak usia < 1 tahun, hampir
seluruhnya mengalami perforasi. Pada anak yang berusia < 2 tahun
insidennya menurun menjadi 94%, dan pada anak yang berusia < 6 tahun
insidennya turun lagi menjadi 60% -65% . Insiden perforasi pada usia di atas
60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Tingkat perforasi pada usia tua jauh lebih

7
tinggi dibanding kelompok usia lain dengan persentase 69,5 % dibanding
kelompok lain hanya 20% ( Peranteau, 2013).

2.2.2 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab appendicitis yang terutama adalah infeksi bakteri yang didahului
dengan obstruksi pada lumen appendix. Obstruksi ini menyebabkan stasis cairan
dan distensi dari appendix sehingga menyebabkan pendarahan terganggu akibat
vena dan arteri tertekan oleh distensi dan edema yang terjadi. Akibatnya terjadi
stasis mucus dan penurunan suplai darah appendix yang memudahkan terjadinya
infeksi sekunder oleh bakteri yang kemudian menyebabkan terjadinya peradangan
appendix. Penyebab obstruksi lumen appendix antara lain adalah :
Fecalith
Parasit
Benda benda asing
Hiperplasia jaringan limfoid
Tumor / Carcinoid tumor
Obstruksi dari hal hal ini menyebabkan terjadinya stasis dan penimbunan
mukus pada lumen appendix yang kemudian menyebabkan gejala gejala, di
mana biasanya akan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri, bakteri yang sering
dapat ditemukan antara lain adalah :

Tabel 1. Bakteri yang diisolasi / sering ditemui pada appendicitis


Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli Bacteroides fragilis
Klebsiella species Fusobacterium spesies
Pseudomonas aeruginosa Peptostreptococcus micros
Enterococcus Clostridium species
Streptococus anginosus

8
Pada dasarnya, obstruksi yang terjadi pada lumen Appendix (bisa karena
fecalith, hipertrofi jaringan limfe, tumor, sayur dan biji-bijian, serta parasit di
intestinal) akan menyebabkan terjadinya distensi appendix, hal ini karena
kapasitas Appendix untuk menampung mucus hanya sekitar 0.1 ml, sementara
sekresi mucus perharinya mencapai 0,5 ml. Hal ini menyebabkan distensi lumen
yang diikuti dengan penekanan pada drainase limfe dan akhirnya terjadi stasis
cairan pada appendix, biasanya akan terbentuk edema juga. Distensi dari appendix
menstimulasi ujung saraf visceral aferen, sehingga biasanya gejala yang dialami
pasien adalah nyeri difus pada perut tengah atau lower epigastrium (Brunicardi,
2010).
Lumen appendix yang tersumbat dapat menyebabkan terakumulasinya
mukus di dalam lumen. Selain itu terjadi edema dari appendix serta
mengakibatkan tekanan dalam lumen Appendix meningkat. Hal ini yang disebut
sebagai appendicitis akut. (Goldblatt, 2013).
Distensi yang terus terjadi akan menyebabkan tekanan intra-lumen terus
meningkat, hal ini akan diikuti dengan penekanan terhadap sistem vena
appendicular sehingga drainase vena terganggu, akibatnya terjadi translokasi dan
proliferasi bakteri pada appendix, edema yang sudah terbentuk juga
mempermudah terjadinya proses infeksi, akibatnya terjadilah infeksi dan inflamasi
pada appendix, inflamasi pada appendix ini akan menyebabkan gejala nyeri perut
pada kuadran kanan bawah saat inflamasinya meluas dan mengenai peritoneum
setempat. Tahap ini disebut sebagai appendicitis akut supuratif (Goldblatt,
2013).
Ketika obstruksi lumen terus berlanjut, maka tekanan intra lumen juga
akan terus meningkat, hal ini menyebabkan tidak hanya obstruksi vena yang
terjadi akibat penekanan, namun juga menyebabkan obstruksi arteri appendicular
karena edema dan tekana intra lumen yang terus meningkat mendesak dan
menekan sistem arteri. Karena sistem arteri yang mendarahi appendix tidak
memiliki sistem kolateral, maka akan terjadi iskemia jaringan, yang bila berlanjut
akan menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan dan gangren, hal ini dikenal
sebagai appendicitis gangrenous, di mana appendix yang sudah dalam keadaan

9
seperti ini sangat mudah mengalami perforasi yang dapat menyebabkan perluasan
infeksi ke peritoneum (akibatnya terjadilah peritonitis) (Goldblatt, 2013).
Appendix yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh dengan
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan
terjadinya perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Perlekatan tersebut dapat
kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini
dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi
akut. Keadaan di mana appendix telah mengalami fibrosis dan pembentukan
jaringan parut ini disebut sebagai appendicitis kronis, di mana biasanya hal ini
ditandai dengan nyeri kanan bawah yang hilang timbul, dan riwayat nyeri pertama
kali yang tidak ditangani dengan terapi bedah, di mana nyerinya kemudian
berkurang dan menjadi hilang timbul. Pada pemeriksaan USG juga akan nampak
appendix yang mengalami penebalan dan fibrosis (Sjamsuhidajat, 2011).

10
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya Appendicitis

2.2.3 Gambaran Klinis


Gejala awal yang khas adalah nyeri difus di daerah epigastrium atau di
sekitar umbilikus atau periumbilikus. Nyeri biasanya bersifat nyeri berat dan terus
menerus kadang disertai perut kram yang intermiten. Kemudian dalam beberapa
jam (4 6 jam), nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik McBurney
(Migratory pain). Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Namun pada beberapa pasien nyeri bermula di
perut kuadran kanan bawah dan nyeri menetap disana (Brunicardi, 2010).
Anoreksia, mual dan muntah dapat terjadi pada beberapa pasien dengan
appendicitis akut. Presentasi muntah pada appendicitis kurang dari 50%, namun
muntah bukan merupakan tanda pasti dari appendicitis. Jika muntah terjadi
biasanya tidak persisten, hanya sekali atau dua kali. Mual dan muntah yang terjadi
setelah onset nyeri muncul (Goldblatt, 2013).
Seringkali appendicitis juga disertai dengan demam dimulai dengan suhu
sekitar 38,0 0C. Selain demam takikardi juga bisa terjadi. Letak appendix juga
memepngaruhi gejala-gejala lain, seperti diare pada appendix yang terletak di
retrocecal, nyeri saat kencing pada appendix yang terletak di pelvical dan oklusi
intestinal pada appendix yang terletak di mesocolical (Zachariou, 2009).
Pada literatur lain juga menyebutkan tanda dan gejala yang dipengaruhi
oleh letak appendix. Berikut tanda dan gejala yang timbul tersebut.

11
1. Bila letak appendix retrocaecal retroperitoneal, yaitu di belakang caecum
(terlindung oleh caecum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut
kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan,
bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya
kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila appendix terletak di rongga pelvis :
Bila appendix terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang (diare).
Bila appendix terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya
dindingnya (Sjamsuhidajat, 2011).

Gejala appendicitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya appendicitis tidak ditangani tepat pada
waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut
beberapa keadaan dimana gejala appendicitis tidak jelas dan tidak khas :
Anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali
anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan
terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Konstipasi dan
diare juga dapat terjadi. Demam juga bisa terjadi dimulai dengan suhu 380C.
Karena ketidakjelasan gejala ini, sering appendicitis diketahui setelah perforasi.
Begitupun pada bayi appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi
(Zachariou, 2009).
Orang tua berusia lanjut
Pada geriatri resiko appendicitis sekitar 7-10%. Gejala sering samar-samar
saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis
setelah terjadi perforasi. Gejala klasik dari appendicitis yaitu demem, anoreksia,

12
nyeri perut kanan bawah dan leukosit >10000/mm3. Pada geriatri gejala tersebut
hanya dialami 1 dari 3 pasien dengan gejala komplit. nyeri perut kanan bawah
dilaporkan terjadi pada 64-91% pasien. Variasi dari Peningkatan terjadinya
perforasi pada geriatri juga berhubungan dengan berubahnya struktur appendix
karena proses penuaan (Konan, 2011).
Wanita
Gejala appendicitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan appendicitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi,
menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil
gejala appendicitis dapat berupa anoreksia, nyeri perut kanan bawah, mual, dan
muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia
ini. Demam dan taikardi sering tidak tampak pada appendicitis dengan kehamilan.
Nyeri perut kanan atas, kontraksi uterus, disuria, diarea juga kadang muncul.
Nyaeri pada perut kanan atas berhubungan dengan pada kehamilan lanjut, sekum
dan appendix terdorong ke kraniolateral/ costal margin sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. Presentasi
nyeri pada perut kanan atas pada kehamilan mencapai 55% (Pastore, 2006).

Gambar 4. Perubahan Posisi Appendix pada Wanita Hamil

13
2.2.4 Diagnosis

Anamnesis
Anamnesis memegang peranan penting pada diagnosis untuk menentukan
pemeriksaan selanjutnya yang akan kita lakukan. Anamnesis yang penting
dari appendicitis yaitu sesuai tanda dan gejala appendicitis . Berikut tabel
presentasi tanda dan gejala yang muncul pada appendicitis :

Tabel 2. Gejala Appendicitis Akut (Merhi, 2014)


Frekuensi
Gejala
(%)

Nyeri perut periumbilical


57,3%
Nyeri perut difus
32,8%
Nyeri perut kuadran kanan bawah
93,1%
Anorexia 79,3%
Mual 82,8 %
Muntah 81%
Diare 14,2 %
Disuria 5,2%

Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 oC. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa ditemui perbedaan suhu aksila dan
rectal >= 1oC (Sjamsuhidajat, 2011).
Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau

14
abses appendikuler yang besar (Sjamsuhidajat, 2011).

Palpasi
Beberapa tanda penting yang dapat ditemukan saat melakukan palpasi
pada pemeriksaan abdomen kuadran kanan bawah :
Nyeri tekan Mc.Burney : Pada palpasi didapatkan titik nyeri
tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini
merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas : Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa
nyeri yang terjadi akibat rangsangan pada peritoneum.
Defans muskuler : Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietalis. Rangsangan ini kemudian menyebabkan
rangsangan pada muskulus rektus abdominis sehinggga otot ini
mengalami kontraksi.
Rovsing sign : Penekanan perut sebelah kiri akan menyebabkan
nyeri sebelah kanan. Hal ini disebabkan karena tekanan tersebut
menyebabkan organ dalam terdorong kearah kanan dan
memberikan tekanan pada appendix yang meradang.
Blumberg Sign: nyeri kanan bawah bila tekanan sebelah kiri
dilepaskan.
Dunphy's sign : Nyeri bertambah saat batuk.
Kocher/Kosher's sign : Didapati saat anamnesis, nyeri muncul
pertama kali di regio epigastrium atau di sekitar lambung,
kemudian menjalar berpindah ke regio iliaka dextra.
Psoas sign: tanda ini biasanya ditemukan pada appendix yang
terletak retrosekal. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan m.
psoas oleh peradangan yang terjadi pada appendix. Ada 2 cara
memeriksa :
Aktif: Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien memfleksikan articulatio coxaekanan dan nyeri dirasakan di

15
perut kanan bawah.
Pasif: Pasien berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri kemudian
pemeriksa melakukan ekstensi pasif paha kanan sambil menahan
pinggul kanan penderita (tanda bintang).
Obturator Sign: Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila
panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam, terjadi karena
peradangan appendiks menyentuh m.Obturator Internus yang merupakan dinding
panggul kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa appendix terletak pada rongga
pelvis.

Auskultasi

Peristaltik biasanya normal, peristaltik yang menghilang akan ditemukan


pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat perforasi appendix.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis appendicitis ,
tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus
(Sjamsuhidajat, 2011).
Pemeriksaan Colok Dubur / Rectal Touche
Pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis , untuk menentukan letak appendix,
apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa
nyeri di arah jam 10-11, maka kemungkinan appendix yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada appendicitis
pelvika (Sjamsuhidajat, 2011).

2.2.5 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit 10.000 pada beberapa
penelitian yang meneliti jumlah sel darh putih pada kasus appendicitis dalam
bebrapa tahun. Pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah CRP pada serum yang
meningkat saat fase akut yaitu 8-12 jam setelah onset inflamasi dan mencapai

16
puncaknya antara 24-48 jam. Nilai CRP pada penelitian kasus appendicitis >10
mg/ L.
Selain sel darah putih dan CRP nilai laboraturium lain yang berguna pada
penilaian appendicitis adalah sel PMN, dimana terjadi peningkatan jumlah PMN
yaitu >7 x 109 cell/L dan PMN rasio > 75% (Shogilev, 2014).
Pemeriksaan urin bisa dilakukan untuk melihat adanya eritrosit, leukosit
dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal
yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis
(Sjamsuhidajat, 2011).

B. Pemeriksaan Radiologi
Barium enema : dulu pemeriksaan ini direkomendasika pada pasien wanita muda
yang diagnosis appendicitis masih dipertanyakan namun dia memiliki penyakit
sistemik berat misalnya leukemia yang mana operasi memiliki resiko yang tinggi.
Pada pemeriksaan ini ditemukan fiiling deffect atau biasa disebut reverse 3 sign
(Goldblatt, 2013).
Ultrasonografi :

17
Gambar 5. USG pada anak wanita 10 tahun dengan gejala appendicitis dan
nampak gambaran pelebaran diameter anteroposterior appendix sebesar 10 mm
compression

USG memiliki akurasi dalam mendiagnosis Appendicitis sekitar 90%. Yang dapat
ditemukan pada Appendicitis melalui USG adalah:
1. Diameter appendix anteroposterior lebih dari 6 mm.
2. Adanya appendicolith.
3. Dinding appendix menebal
Pada wanita, USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti
kehamilan ektopik, adneksitis, dan sebagainya (Brunicardi, 2010).
CT Scan :

Gambar 6. CT Scan pada pasien appendicitis dengan dilatasi dan penebalan


dinding appendix

18
Diameter appendix akan nampak lebih dari 6mm, ada penebalan dinding
appendiks, setelah pemberian kontras akan nampak enhancement gambaran
dinding appendix. CT scan juga dapat menampakkan gambaran perubahan
inflamasi periappendicular, termasuk diantaranya inflammatory fat stranding,
phlegmon, free fluid, free air bubbles,dan abscess. CT-Scan mempunyai akurasi
yang tinggi yaitu >94%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi appendix dengan
abses atau flegmon (Goldblatt, 2013).

Tabel 3. Perbandingan pemeriksaan penunjang Appendicitis akut:


Ultrasonografi CT-Scan
Sensitivitas 76% 96%
Spesifisitas 91% 89%
Akurasi 83% 94 %
Keuntungan Aman Lebih akurat
relatif tidak mahal Mengidentifikasi abses dan flegmon
lebih baik
Dapat mendignosis kelainan lain Mengidentifikasi Appendix normal
pada wanita lebih baik
Baik untuk anak-anak
Kerugian Tergantung operator Mahal
Sulit secara tehnik Radiasi ion
Nyeri Kontras
Sulit di RS daerah Sulit di RS daerah

2.2.6 Diagnosis banding


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendisitis
karena penyakitlain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
appendisitis, diantaranya:
- Gastroenteritis :

19
Ditandai dengan mual, muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih
ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan appendisitis akut
- Demam dengue :
Dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil
positif untuk rumple leed, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat
- Divertikulitis Meckel :
Gambaran klinisnya hampir sama dengan appendicitis akut dan sering
dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada appendicitis akut sehingga
diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.
- Pelvic Inflammatory Disease
Salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendicitis akut. Suhu biasanya
lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.
Infeksi panggul pada wanita biasanya diserai keputihan dan infeksi urin.
- Gangguan alat reproduksi perempuan :
Folikel de Graaf yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada
pertengahan siklis menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam.
- Kehamilan ektopik :
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yangtidak jelas seperti
ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan
menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvic dan bisa terjadi syok hipovolemik.
- Ulkus peptikum perforasi
Sangat mirip dengan appendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke
daerah usus bagian kanan sekum, karena dapat menyebabkan inflamasi appendix
juga.
- Ureterolithiasis :
Jika diperkirakan berada dekat appendiks dapat menyerupai appendicitis
retrocaecal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, dengan hematuria dan
demam atau leukositosis (Sjamsuhidajat, 2011).

20
2.2.7. Penatalaksanaan

Operatif.
Persiapan pre-operasi
Analgetik dapat diberikan pada pasien setelah diagnosis dari appendicitis
sudah dapat ditegakkan dan manajemen operatif telah direncanakan. Status cairan
harus dipantau dengan ketat menggunakan indicator klinis seperti nadi, tekanan
darah, dan jumlah pengeluaran urine sehingga perlu pemasangan kateter. Pasien
dengan suhu tinggi >39oC harus diturunkan sebelum dilakukan operasi dengan
antipiretik. Pemberian antibiotik dapat dimulai, umumnya diberikan
cephalosporine generasi 2 secara tunggal atau dikombinasikan dengan antibiotic
spectrum luas yang melingkupi bakteri gram negatif aerob (e.coli) dan anaerob
(bacteroides spp.). Perlu diingat bahwa tujuan utama dari pemberian antibiotic
bukan untuk memberantas appendicitis itu sendiri. Pada kasus yang tidak disertai
dengan komplikasi, antibiotic umumnya diberikan untuk mengurangi insidens
infeksi dari luka dan peritoneum bagian dalam setelah operasi dan melindungi
terhadap kemungkinan terjadinya bakteremia. Pada kasus-kasus dimana telah
terjadi komplikasi berupa pembentukan abses maupun bakteremia, maka
pemberian antibiotic ditujukan untuk mengobati komplikasi tersebut. Pemberian
cephalosporin generasi 2 efektif dalam mengurangi komplikasi yang dapat timbul
oleh karena luka pada kasus non-komplikata Waktu yang tepat dalam memberikan
antibiotic adalah 30 menit sebelum pembedahan atau pada saat pembedahan
dilakukan agar tercapai kadar yang optimal pada saat akan dilakukan insisi. Pada
kasus non-komplikata, pemberian antibiotic cukup dengan dosis tunggal.
(Peranteau, 2013)

Appendictomy
Appendectomy bisa dilakukan dengan open appendectomy maupun laparoscopic
appendectomy. Untuk open appendectomy ada tiga cara yang secara operatif
mempunyai keuntungan dan kerugian, yaitu :
a. Insisi menurut Mc Burney ( grid iron incision / muscle splitting incision).

21
Sayatan dilakukan pada garis tegak lurus pada garis yang menghubungkan
spinailiaka anterior superior (SIAS) dengan umbilicus pada batas sepertiga lateral
(titik McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-otot
dinding perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan
tampak peritoneum parietal (mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan) yang
disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari ukurannya yang
besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih,mempunyai haustrae dan teania coli,
sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan tidak mempunyai haustrae atau
taenia coli. Basis appendix dicari pada pertemuan ketiga taenia coli. Teknik inilah
yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan
tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh, dan
masa istirahat pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih
cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu
operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong secara
tajam
b. Insisi Rocky-Davis (tranverse)
Insisi ini arahnya tranversal/ melintang, 1 sampai 3 cm di bawah
umbilikus, dan di daerah midclavicula linea. Panjang sayatan sekitar 1 cm
tergantung pengalaman operator. Insisi ini terutama digunakan pada
appendix letak retrocaecal.
c. Insisi midline
Insisi ini dilakukan pada appendicitis yang memerlukan laparotomi
explorasi. Dilakukan insisi di bawah umbilical. Setelah peritoneum dibuka dengan
retractor, maka basis appendix dapat dicari pada pertemuan tiga taenia koli. Untuk
membebaskannya dari mesoappendix ada dua cara yang dapat dipakai sesuai
dengan situasi dan kondisi, yaitu :
1. Appendiktomi secara biasa, bila kita mulai dari apeks ke basis
appendix untuk memotong mesoappendix . Ini dilakukan pada
appendix yang tergantung bebas padasekum atau bila puncak
appendix mudah ditemukan.

22
2. Apendektomi secara retrograde, bila kita memotong mesoappendix
dari basis ke arah puncak. Ini dilakukan pada Appendix yang
letaknya sulit, misalnya retrosekal, atau puncaknya sukar dicapai
karena tersembunyi, misalnya karena terjadi perlengketan dengan
sekitarnya (Goldblatt, 2013).

Gambar 7 macam-macam insisi pada appendictomy.

23
24
Gambar 8 appendectomy secara singkat

Pasca Operasi & Komplikasi Appendicitis


Kasus-kasus appendicitis tanpa komplikasi, pasien dapat mulai minum dan
makan segera setelah mereka merasa mampu, dan defekasi dievaluasi dalam 24-
48 jam. Pemberian antibiotik dan dekompresi dengan nasogastric tube pasca
operasi tidak rutin dikerjakan pada pasien appendicitis tanpa komplikasi. Pada
kasus-kasus yang disertai dengan peritonitis, pemberian antibiotic diberikan
hingga 5-7 hari setelah operasi. ( Peranteau, 2013)
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami wall-
off sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan Appendix, caecum dan
lekuk usus halus. Appendicitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan
spontan, tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai
kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi
jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa
tersebut.Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding

25
perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang
terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi
dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien
pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakandengan pasti ( Peranteau, 2013)..
Bila terbentuk abses apendik, maka akan teraba massa di kuadran kanan
bawah yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini
dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol atau
klindamisin). Dengan sediaan ini absesakan segera menghilang, dan apendektomi
dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus
segera dilakukan drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rectum
atau vagina dengan fluktuasi positif juga perlu dilakukan drainase (Sjamsuhidajat,
2011).
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal
sepsis intra abdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan ( Peranteau, 2013).

2.2.8. Prognosis
Prognosis appendicitis dipengaruhi oleh usia dan komplikasi yang terjadi.
Pada appendicitis dengan perforasi angka mortalitasnya 1%. Pada pasien geriatri
angka ini naik menjadi 5%. Mortalitas terbanyak terjadi karena sepsis dari
peritonitis(Brunicardi, 2010)

26
BAB 3. LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. Ahmad Muhdor Ali


Usia : 36 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Gumuksari, Nogosari, Rambipuji
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pekerjaan : Pedagang
No. Rekam Medis: 188008
Tgl. Masuk RS : 18 September 2017
Tgl. Keluar RS : 22 September 2017
Tgl. Pemeriksaan : 18 22 September 2017

3.2 Anamnesa
Keluhan Utama: Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari yang lalu. Nyeri
dirasakan menetap dan tumpul. Awalnya nyeri dirasakan pada bagian ulu hati
yang hilang timbul dan kemudian berpindah ke kanan bawah. Pasien juga
mengeluhkan adanya demam sejak 2 hari yang lalu dan muntah 1x sebelum pergi
ke puskesmas. Nafsu makan pasien menurun. BAB (+) normal, BAK (+) normal.
Riwayat penyakit Dahulu : (-)
Riwayat penyakit keluarga: (-)

27
3.3 Pemeriksaan Fisik

IStatus Generalis
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Allert
Tekanan Darah : 128/77 mmhg
Nadi : 76 x/menit, regular, kuat angkat
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38,1 C

II.Pemeriksaan Fisik Umum


a. Kepala
- Kepala :Normocephali
- Mata :Konjungtiva anemis-/-,sklera ikterik-/-,refleks pupil+/+
- Hidung :Deformitas (-), rhinorrhea(-)
- Telinga :Otorrhea -/-

b. Leher :Pembesaran KGB (-) Deviasi trakhea (-)


c. Thorax
- Inspeksi: Terlihat bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada kanan
dan kiri simetris, retraksi dinding dada (-), iktus kordis tidak tampak
- Palpasi: Pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, iktus kordis
teraba pada ICS V midclavicula sinistra
- Perkusi: Sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi: Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-),gallop (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
d. Abdomen
- Inspeksi : Flat, Distended (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal

28
- Palpasi : Soepel(+), nyeri tekan Mc Burney (+), defans muskuler
(+ ) lokal kanan bawah, nyeri lepas perut kanan bawah (+), rovsing sign (-),
massa(-)
- Perkusi : Timpani (+), pekak hepar (+)
e. Extremitas: Akral hangat (+) , edema (-) ekstrimitas atas dan bawah
f. Genitalia eksterna: MUE (+), discharge (-)
g. Anal-perianal : fistula (-), hemorroid (-),abses (-)

RT: TSA normal, massa (-), mukosa licin, ampula recti tidak kolaps

3.4 Diagnosa Kerja


Appendisitis Perforata

3.5 Planning
Planning Diagnostik:
Lab, BOF
Planning terapi:
Pro laparotomy appendictomy
Inf. RL 1500cc/24 jam

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Tanggal 18/09/2017
HEMATOLOGI LENGKAP (HLT)
Hemoglobin 14,1 12,0-16,0 gr/dL
Leukosit 20,3 4,5-11,0 109/L
Hematokrit 42,2 36-46 %
Trombosit 273 150-450 109/L
Serum Eektrolit
Natrium 135,6
Kalium 3,48
Clorida 100,9
FAAL HATI
SGOT 27 10-35 U/L

29
SGPT 20 9-43U/L
GULA DARAH
Glukosa Sewaktu 108 <200 g/dL
FAAL GINJAL
Kreatinin Serum 1,0 0,6-1,3 mg/dL
BUN 8 6-20 mg/dL
Urea 18 12-43 mg/dL

3.7 Prognosis
Ad Vitam: Ad bonam
Ad Functionam: Dubia ad bonam
Ad Sanationam: Dubia ad bonam

3.8 Laporan Operasi

30
- Diagnosa pre op : Appendisitis Perforata
- Diagnosa post op: Appendisitis Perforata
- Tindakan Operasi: Laparotomy appendictomy
- Pasien posisi supinasi dengan general anestesi (GA) dan diberikan antibiotik
profilaksis ceftriaxone 2 gr
- Dilakukan:
Desinfeksi lapangan operasi dengan povidon iodine 10%
Penyempitan lapangan operasi dengan doek steril
- Pendapatan eksplorasi :
Cairan peritoneum keruh (pus) 50cc
Edema, hiperemis appendix diameter 3cm panjang 10cm letak
antecaecum, perforasi (+) di ujung

- Apa yang dikerjakan:


Appendictomy
Cuci cavum abdomen
Rawat perdarahan
Jahit luka lapis demi lapis
- Komplikasi : perdarahan +/- 20cc
- Pengiriman jaringan operasi : -
- Instruksi post operasi :
Inf. RL 1500cc/24 jam
Inj. Ceftriaxon 2x1 g
Inf. Metronidazol 3x500mg
Inj. Antrain 3x1 ampul
Sadar baik MSS diet Bubur Halus

31
3.9 Follow Up
Senin, 18 September 2017
S) Nyeri luka post-op, mual (-), muntah (-), flatus (+), BAB (-)

O) KU: lemah TD:120/80 RR : 18x/m


Kes : alert N : 72x/m Tax: 36,6

K/L: a/i/c/d-/-/-/-
Tho: C/ S1S2tunggal e/g/m-/-/-P/ Ves+/+ Rh-/-
Wh-/-
Abd:
I: flat, luka post op tertutup dressing (+), rembesan
(-)
A: BU (+) lemah
P: soepel, defans muskuler (-)
P: timpani
Ext : akral hangat keempat ekstremitas, tidak ada oedem
A) Appendisitis perforata post laparotomy appendictomy H0

P) Inf RL 1500cc/24 jam


Inf metronidazol 3 x 500 mg
Inj ceftriaxone 2 x 750 mg
Inj antrain 3x1 gr
Inj ranitidin 2x50 mg
Diet cair/lunak bubur halus

32
Selasa, 19 September 2017
S) Nyeri pada luka op berkurang, mual (-), muntah (-), BAB (-)

O) KU: lemah TD:110/70 RR : 20x/m


Kes : alert N : 80x/m Tax: 36,4

K/L: a/i/c/d-/-/-/-
Tho: C/ S1S2tunggal e/g/m-/-/-P/ Ves+/+ Rh-/-
Wh-/-
Abd:
I: flat, luka post op tertutup dressing (+), rembesan (-)
A: BU (+) normal
P: soepel, defans muskuler (-)
P: timpani
Ext : akral hangat keempat ekstremitas, tidak ada oedem
A) Appendisitis perforata post laparotomy appendictomy H1

P) Inf RL 1500cc/24 jam


Inf metronidazol 3 x 500 mg
Inj ceftriaxone 2 x 750 mg
Inj antrain 3x1 gr
Inj ranitidin 2x50 mg
Diet lunak bubur kasar
Mobilisasi duduk

33
Rabu, 20 September 2017
S) Nyeri pada luka op berkurang, mual (-), muntah (-), BAB (+) 1x biasa,
demam (-).
O) KU: cukup TD:110/70 RR : 18x/m
Kes : alert N : 78x/m Tax: 36,5

K/L: a/i/c/d-/-/-/-
Tho: C/ S1S2tunggal e/g/m-/-/-P/ Ves+/+ Rh-/- Wh-/-
Abd:
I: flat, luka post op tertutup dressing (+), rembesan (-)
A: BU (+) normal
P: soepel, defans muskuler (-)
P: timpani
Ext : akral hangat keempat ekstremitas, tidak ada oedem
A) Appendisitis perforata post laparotomy appendictomy H2

P) Inf RL 1500cc/24 jam


Inf metronidazol 3 x 500 mg
Inj ceftriaxone 2 x 750 mg
Inj antrain 3x1 gr
Inj ranitidin 2x50 mg
Diet nasi

34
Kamis, 21 September 2017
S) Nyeri pada luka op membaik, mual (-), muntah (-), BAB (+) 1x biasa,
demam (-).
O) KU: cukup TD:120/70 RR : 18x/m
Kes : alert N : 80x/m Tax: 36,5

K/L: a/i/c/d-/-/-/-
Tho: C/ S1S2tunggal e/g/m-/-/-P/ Ves+/+ Rh-/-Wh-/-
Abd:
I: flat, luka post op tertutup dressing (+), rembesan (-)
A: BU (+) normal
P: soepel, defans muskuler (-)
P: timpani
Ext : akral hangat keempat ekstremitas, tidak ada oedem
A) Appendisitis perforata post laparotomy appendictomy H3

P) Inf RL 1500cc/24 jam


Inf metronidazol 3 x 500 mg
Inj ceftriaxone 2 x 750 mg
Inj antrain 3x1 gr
Inj ranitidin 2x50 mg
Diet nasi

35
Jumat, 22 September 2017
S) Nyeri pada luka op minimal, mual (-), muntah (-), BAB (+) 1x biasa,
demam (-).
O) KU: cukup TD:120/70 RR : 18x/m
Kes : alert N : 80x/m Tax: 36,5

K/L: a/i/c/d-/-/-/-
Tho: C/ S1S2tunggal e/g/m-/-/-P/ Ves+/+ Rh-/-Wh-/-
Abd:
I: flat, luka post op tertutup dressing (+), rembesan (-)
A: BU (+) normal
P: soepel, defans muskuler (-)
P: timpani
Ext : akral hangat keempat ekstremitas, tidak ada oedem
A) Appendisitis perforata post laparotomy appendictomy H3

P) KRS, terapi:
Cefixime 2x100mg
Asam mefenamat 3x500mg

36
DAFTAR PUSTAKA

Brunicardi FC, et al. 2010. Schwartzs Principles of Surgery 9th Edition. USA:
The McGraw-Hill Companies, Inc.
Goldblatt MI, Telford GL & Wallace JR.. 2013. Appendix in Shackelfords
Surgery of the Alimentary Tract. Philadelphia: Elsevier.

Konan A, Haryan M, Kilic AY, Karakoc D & Kaynaroglu V. 2011. Scoring


System in Diagnose of Acute Appendicitis in the Eldery. Turkey: Turkish
journal of trauma and emergency surgery.

Merhi BA, Khalil M, Daoud N. 2014. Comparison of Alvarado Score Evaluation


and Clinical Judgement in Acute Appendicitis . Lebanon: Med
Arh.2014.68.10-13

Pastore AP, Loomis DM, & Sauret J. 2006. Apendicitis in Pragnancy. J Am Board
Medicine. http://www.jabfm.org. Vol. 19 No 6

Peranteau WH & Smink DS., 2013. Appendix in maingots abdominal operation


12th Edition. New york: Mc Graw Hill Education

Sjamsuhidajat R. & De Jong W 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Shogilev DJ, Duus N, Odom SR, Shapiro NI. 2014. Diagnosing Appendicitis :
Evidence- Based Review of Diagnostic Approach in 2014. Western
Journal of Emergency Mediine. Volume XV, NO 7

Zachariou Z. 2009. Pediatric Surgery Digest. Switzerland : Springer- Verlag Berli


Heidelberg

37

Anda mungkin juga menyukai