Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

OLEH: DAVID ABDULLAH (1306415592)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Secara makroskopis tulang terdiri dari dua bagian yaitu pars spongiosa (jaringan
berongga) dan pars kompakta (bagian yang berupa jaringan padat). Permukaan luar
tulang dilapisi selubung fibrosa (periosteum); lapis tipis jaringan ikat (endosteum)
melapisi rongga sumsum & meluas ke dalam kanalikuli tulang kompak. Membran
periosteum berasal dari perikondrium tulang rawan yang merupakan pusat osifikasi.
Periosteum merupakan selaput luar tulang yang tipis. Periosteum mengandung
osteoblas (sel pembentuk jaringan tulang), jaringan ikat dan pembuluh darah.
Periosteum merupakan tempat melekatnya otot-otot rangka (skelet) ke tulang dan
berperan dalam memberikan nutrisi, pertumbuhan dan reparasi tulang rusak.

Pars kompakta teksturnya halus dan sangat kuat. Tulang kompak memiliki sedikit
rongga dan lebih banyak mengandung kapur (Calsium Phosfat dan Calsium Carbonat)
sehingga tulang menjadi padat dan kuat. Kandungan tulang manusia dewasa lebih
banyak mengandung kapur dibandingkan dengan anak-anak maupun bayi. Bayi dan
anak-anak memiliki tulang yang lebih banyak mengandung serat-serat sehingga lebih
lentur. Tulang kompak paling banyak ditemukan pada tulang kaki dan tulang tangan.

Pars spongiosa merupakan jaringan tulang yang berongga seperti spon (busa). Rongga
tersebut diisi oleh sumsum merah yang dapat memproduksi sel-sel darah. Tulang
spongiosa terdiri dari kisi-kisi tipis tulang yang disebut trabekula.

Secara Mikroskopis tulang terdiri dari :


1. Sistem Havers (saluran yang berisi serabut saraf, pembuluh darah, aliran limfe),
2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris),
3. Lacuna (ruangan kecil yang terdapat di antara lempengan-lempengan yang
mengandung sel tulang),
4. Kanalikuli (memancar di antara lacuna dan tempat difusi makanan sampai
keosteon).

Bentuk Tulang
Berdasarkan bentuknya, tulang-tulang tesebut dikelompokkan menjadi :
a. Ossa brevia (tulang pendek): tulang yang ukurannya pendek, contoh: ossa carpi.
b. Ossa longa (tulang panjang): tulang yang ukuran panjangnya terbesar, contohnya os
humerus dan os femur.
c. Ossa plana (tulang gepeng/pipih): tulang yg ukurannya lebar, contoh: osscapula.
d. Ossa pneumatica (tulang berongga udara), contoh: os maxilla.
e. Ossa irregular (tulang tak beraturan), contoh: os vertebrae.
Tulang Rawan (Kartilago)
Tulang rawan berkembang dari mesenkim membentuk sel yang disebut kondrosit.
Kondrosit menempati rongga kecil (lakuna) di dalam matriks dengan substansi dasar
seperti gel (berupa proteoglikans) yang basofilik. Kalsifikasi menyebabkan tulang
rawan tumbuh menjadi tulang (keras).
Jenis tulang rawan:
a. Hialin cartilago : matriks mengandung seran kolagen; jenis yg paling banyak
dijumpai
b. Elastic cartilago : serupa dengan tulang rawan hialin tetapi lebih banyak serat
elastin yang mengumpul pada dinding lakuna yang mengelilingi kondrosit
c. Fibrocartilago : tidak pernah berdiri sendiri tetapi secara berangsur menyatu
dengan tulang rawan hialin atau jaringan ikat fibrosa yang berdekatan.

Sendi (Artikulatio)
Sendi merupakan persambungan antar tulang yang menjadikan tulang menjadi fleksibel
dalam pergerakan. Jenis Sendi berdasarkan pergerakannya sendi dibagi menjadi :
a. Synarthroses. Sendi ini mempunyai pergerakan yang terbatas atau bahkan tidak dapat
bergerak sama sekali. Sendi ini dijumpai pada tulang tengkorak dimana
lempeng-lempeng tulang tengkorak disambungkan oleh elemen fibrosa.
b. Amphiarthroses. Sendi ini mempunyai pergerakan yang terbatas. Jaringan berupa
diskus fibrocartilage yang lebar dan pipih menghubungkan antara dua tulang. Umumnya
bagian tulang yang berada pada sisi persendian dilapisi oleh tulang rawan hialin dan
struktur keseluruhan berada dalam kapsul. Beberapa contoh sendi ini adalah: sendi
vertebra, dan simfisis pubis.
c. Diarthroses. Sendi ini memiliki pergerakan yang luas. Umumnya dijumpai pada
sendi-sendi ekstremitas. Dijumpai adanya celah sendi, rawan sendi yang licin dan
membrane sinovium serta kapsul sendi.

Sedangkan berdasarkan strukturnya sendi dibagi menjadi :


a. Sendi Fibrosa. Sendi fibrosa dihubungkan oleh jaringan fibrosa. Terdapat dua tipe
sendi fibrosa; (1) Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan (2) sindesmosis
yang terdiri dari suatu membran interoseus atau suatu ligamen di antara tulang. Sendi ini
mempunyai pergerakan yang terbatas.
b. Sendi Kartilago/tulang rawan. Ruang antar sendinya diisi oleh tulang rawan dan
disokong oleh ligamen dan hanya dapat sedikit bergerak. Ada dua tipe sendi
kartilaginosa yaitu; sinkondrosis adalah sendi-sendi yang seluruh
persendiannya diliputi oleh rawan hialin. Sendi sendikostokondral adalah
contoh dari sinkondrosis. Simfisis adalah sendi yang tulang-tulangnya memiliki
suatu hubungan fibrokartilago antara tulang dan selapis tipis rawan hialin yang
menyelimuti permukaan sendi. Contoh sendi kartilago adalah simfisis pubis dan sendi
sendi pada tulang punggung.
c. Sendi Sinovial/sinovial joint. Sendi ini dilengkapi oleh kartilago yang
melicinkan permukaan sendi, kapsul sendi (kantung sendi), membran sinovial
(bagian dalam kapsul), cairan sinovial yang berfungsi sebagai pelumas dan
ligamen yang berfungsi memperkuat kapsul sendi. Cairan sinovial normalnya
bening, tidak membeku, dan tidak berwarna atau berwarna kekuningan. Jumlah
yang ditemukan pada tiap-tiap sendi normal relative kecil (1 sampai 3 ml).

B. DEFINISI, FAKTOR RISIKO, DAN ETIOLOGI PENYAKIT


Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang terjadi karena adanya
tekanan pada tulang yang melebihi absorpsi tulang, terjadi ketika tekanan yang
berlebihan mengenai tulang dan tidak bisa diredam(Smeltzer, Burke, Hinkle,& Cheever,
2010). Fraktur dapat menimbulkan cedera jaringan lunak sekitarnya seperti kulit,
jaringan subkutan, otot, pembuluh darah, syaraf, ligamen, dan tendon (Black & Hawks,
2014). Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, Burke, Hinkle,& Cheever,
2010).Fraktur dapat memengaruhi jaringan sekitarnya cedera, mengakibatkan edema
jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan
saraf, dan kerusakan pembuluh darah akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau
akibat fragmen tulang (Smeltzer, Burke, Hinkle,& Cheever, 2010).

ETIOLOGI
Etiologi fraktur, diantaranya:
1. Trauma langsung, yaitu benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada
tempat terkenanya benturan.
2. Fragility fraktur, yaitu fraktur yang terjadi karena kelemahan tulang, biasanyanya
pada lanjut usia yang mengalami osteoporosis.
3. Kelemahan/stress fraktur, yaitu fraktur yang terjadi bukan karena satu kali trauma,
tetapi karena stress tulang yang terjadi berulang-ulang, biasanya terjadi pada atlit.
Fraktur ini dimulai dari kerusakan-kerusakan kecil, dan berakumulasi dan
berkembang menjadi fraktur komplit.
4. Fraktur patologi, fraktur yang terjadi karena tulang yang lemah akibat suatu proses
penyakit misalnya kanker, riketsia, spiondilitis TB.

KLASIFIKASI FRAKTUR
1. Klasifikasi berdasarkan luas fratur
a. Fraktur komplit : patah dari seluruh garis tengah tulang, biasanya mengalami
pergeseran (bergeser dari posisi normal) dan tulang menjadi dua bagian yang
terpisah.
b. Fraktur inkomplit : patahnya terjadi di sebagian garis tengah tulang.
2. Klasifikasi berdasarkan luas kerusakan jaringan lunak sekitar
a. Fraktur terbuka (compound fraktur) merupakan fraktur dengan luka pada kulit
atau membrane mukosa sampai patahan tulang dan adanya luka eksternal.
Fraktur terbuka ini digradasi menjadi:
Grade I : luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya, trauma dan kerusakan kulit
minimal, kontaminasi minimal
Grade II : luka bersih luas tanpa kerusakan jaringan lunak ekstensif dengan
panjang lebih dari 1 cm. Adanya luka memar pada kulit dan otot, kontaminasi
sedang
Grade III : Kerusakan meliputi kulit (jaringan lunak), tendon, otot, saraf,
pembuluh darah, diameter luka lebih dari 6-8 cm, luka sangat terkontaminasi
dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
b. Fraktur tertutup (simple fraktur) : fraktur tidak melukai jaringan kulit dan tidak
terlihat adanya luka (tidak merobek jaringan kulit).
3. Klasifikasi berdasarkan pergeseran anatomis fragmen tulang (fraktur bergeser atau
tidak bergeser)
a. Greenstick : fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedangkan sisi lainnya
membengkok.
b. Tranversal, suatu fraktur yang melintang pada tulang (fraktur sepanjang garis
tengah tulang) merupakan akibat dari trauma langsung.
c. Oblik, yaitu fraktur yang membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih
tidak stabil dibanding tranversal) akibat trauma langsung.
d. Spiral, suatu fraktur yang mengelilingi batang tulang, arah garis patahnya
berbentuk spiral yang disebabkan karena trauma rotasi
e. Impacted (Telescopic) atau kompresi, yaitu sebagian fragmen tulang menusuk
bagian fragmen yang lain.
f. Displaced. Fragmen tulang terpisah dengan kesegarisan tulang lain
4. Klasifikasi berdasarkan jumlah dan garis patah/bentuk/konfigurasi
a. Fraktur kominutif : lebih dari satu garis fraktur, fragmen tulang pecah, terpisah-
pisah dalam berbagai serpihan.
b. Fraktur segmental : bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan satu
ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk sembuh dan
keadaan ini perlu terapi bedah.
c. Fraktur multipel : garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, seperti fraktur femur, cruris dan vertebra.
5. Klasifikasi berdasarkan lokasi fraktur
a. Colles Fraktur : jarak bagian distal fraktur lebih kurang 1 cm dari permukaan
sendi
b. Articular Fraktur : meliputi permukaan sendi
c. Extracapsular Fraktur : dekat sendi tetapi tidak masuk kedalam sendi
d. Intracapsular Fraktur : didalam capsul sendi
e. Apiphyseal Fraktur : terjadi kerusakan pasda pusat ossifikasi
6. Klasifikasi berdasarkan pergeseran fragmen tulang
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah lengkap tetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

C. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan dari pengkajian fisik klien fraktur, diantaranya
(Black & Hawks, 2014):
1. Deformitas
Pembengkakan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
frakur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis)
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur
4. Spasme otot
Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional atau
angulasi. Spasme otot involuntar dapat berfungsi sebagai bidai alami untuk
mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Intensitas dan keparahan nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri
biasanya terus menerus dan makin meningkat jika fraktur tidak diimobilisasi. Hal ini
terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau cidera pada
struktur lainnya.
6. Ketegangan
Ketegangan di atas lokasi fraktur disebabkan karena cedera yang terjadi
7. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya
fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi
dari cidera saraf.
8. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar
fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara deritan
9. Perubahan neurovascular
Cedera neurovascular terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vascular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak terba
nadi pada daerah distal dari fraktur
10. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau tersembunyi
dapat menyebabkan syok.
D. PATOFISIOLOGI
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang
suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja, bukan patah.
Jika gayanya sangat ekstrem seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-
keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat terganggu. Otot
dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot
yang bedat dapat menimbulkan spasme otot yang kuat bahkan mampu menggeser tulang
besar seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya,
namun bagian distal dapat bergeser karena gaya penyebab patah maupun spasme otot-
otot sekitar.

Fragmen fraktur dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau
menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah. Selain itu,
periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga
terganggu, terutama pada cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi karena cedera
jaringan lunak atau cedera tulang.pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi di
antara fragmen-fragmen dan di bawah periosteum. Jaringan tulang di sekitar lokasi
fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat. Respon dari fraktur
akan terjadi vasodilatai, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudari plasma dan leukosit,
serta infiltrasi sel darah putih. Respon patofisiologis ini juga merupakan tahap awal dari
penyembuhan tulang.

Tulang merupakan salah satu jaringan tubuh manusia yang sapat sembuh melalui
regenerasi. Perbaikan fraktur terjadi melalui proses yang sama dengan pembentukan
tulang saat fase pertumbuhan normal dengan mineralisasi dan matriks tulang baru yang
kemudian diikuti oleh remodelisasi menuju tulang matur. Penyembuhan fraktur terjadi
daam lima tahapan yaitu (Black & Hawks, 2014):

a. Tahap I: Stadium hematoma atau stadium inflamatoris (1-3 hari)


Pembentukan hematoma pada lokasi fraktur. Jumlah kerusakan tulang dan jaringan
ekitar serta pembuluh darah akan menentukan ukuran hematoma. Darah membentuk
gumpalan diantara fragmen fraktur, memberikan sedikit stabilisasi. Terjadi nekrosis
pada tulang karena hilangnya suplai darah ke daerah luka dan akan meluas ke area
sirkulasi kolateral. Terjadi dilatasi vaskular sebagai respon akumulasi sel-sel mati dan
debris pada lokasi fraktur, dan eksudasi dari plasma kaya fibrin akan mendorong
migrasi dari sel-sel fagositik ke area cedera. Jika suplai vaskular ke lokasi fraktur
tidak cukup, penyembuhan stadium 1 akan terganggu.

b. Tahap II: Pembentukan fibrokartilago (3 hari-2 minggu)


Fibroblas, osteoblas, dan kondroblas bermigrasi ke daerah fraktur sebagai akibat
inflamasi akut kemudian membentuk fibrinokartilago. Adanya hematoma menjadi
dasar penyembuhan tulang dan jaringan stadium II. ktivitas osteoblastik distimulasi
oleh trauma periosteal dan pembentukan tulang terjadi dengan cepat. Periosteum
terangkat jauh dari tulang dan dalam beberapa hari kombinasi dari elevasi periosteum
dan pembentukan jaringan granulasi akan membentuk sabuk di sekitar ujung fragmen
fraktur. Saat sabuk tersebut berkembang, akan terbentuk jembatan di antara lokasi
fraktur. Pembentukan jaringan fibrosa awal ini disebut dengan kalus primer dan
membentuk stabilitas fraktur.

c. Tahap III: Pembentukan kalus (2-3 minggu)


Jaringan granulasi matur menjadi kalus provisonal (pro-kalus) saat kartilago baru dan
matriks tulang tersebar melalui kalus primer. Pro-kalus besar dan longgar, biasanya
lebih lebar daripada diameter normal dari tulang yang cedera. Pro-kalus mengikar
fragmen-fragmen fraktur, meluas hingga di luar lokasi fraktur agar dapat menjadi
bidai walaupun tidak cukup kuat. Jika sel-sel terletak jauh dari suplai darah dan
tekanan oksigen cukup rendah, akan terbentuk kartilagi. Ketika kalsium terdeposit ke
dalam jaringan kolagen dari jaringan granulasi akan terbentuk jaringan fibrosa.
Kelurusan tulang yang baik penting selama tahap III. Stadium ini sangat penting
menentuka kesembuhan klien, jika terjadi perlambatan atau gangguan, maka dua
tahap berikutnya tidak dapat terjadi karena dapat terjadi penyatuan terhambat dan
tidak terjadi penyatuan.

d. Tahap IV: Penulangan (3 minggu- 6 bulan)


Kalus permanen dari tulang keras akan menyebrangi gap fraktur di antara periosteum
dan korteks untuk bergabung dengan fragmen-fragmen. Selain itu, pembentukan kalus
medularis akan terjadi di dalam untuk memastikan keberlangsungan antara rongga-
rongga sumsum. Tulang trabekular akhirnya akan menggantikan kalus di sepanjang
garis tekanan, penyatuan tulang yang dapat dikonfirmasi dengan rontgen, disebutkan
dapat terjadi juka tidak ada gerakan dengan tekanan lembut dan tidak ada ketegangan
dengan tekanan langsung pada lokasi fraktur.
e. Tahap V: konsolidasi dan remodeling (6 minggu- 1 tahun)
Kalus yang tidak dibutuhkan akan diresorbsi atau dibuang dari lokasi penyembuhan
tulang. Proses resorpsi dan deposisi di sepanjang garis tekanan akan memungkinkan
tulang menahan beban yang diberikan. Jumlah dan waktu dari remodeling bergantung
pada stres yang diberikan pada tulang oleh otot, berat badan, dan usia.

E. PENGKAJIAN

Anamnesis & Pemeriksaan Fisik


- Aktivitas/istirahat: kelemahan, keletihan, masalah mobilitas, penurunan fungsi
pada area cedera
- Sirkulasi: hipertensi (karena nyeri/cemas) atau hipotensi (kehilangan banyak
darah), takikardia, penurunan pulsasi pada area cedera ekstremitas, pelambatan
CRT, pucat pada area cedera, pembengkakan, memar, atau hematoma pada area
cedera
- Eliminasi: hematuria, sedimen pada urin, perubahan output, acute renal failure
- Neurosensori: gangguan sensasi rasa, spasme otot, baal, deformitas
muskuloskeletal lokal, dislokasi, agitasi, defisit ROM
- Nyeri/ketidaknyamanan: nyeri berat yang tiba-tiba, spasme otot, kram, perilaku
pengalihan, gelisah
- Keamanan: kecelakaan kondisional, laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan lokal, resiko jatuh

Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar
rontgen (x-ray) untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Hal yang harus
dibaca pada x-ray:

a. Bayangan jaringan lunak.


b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi.
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup
yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari
tulang untuk menemukan struktur tulang yang rusak.

Pemeriksaan Laboratorium

a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat
Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme


penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas
tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

F. MASALAH KEPERAWATAN DAN DIGNOSIS YANG MUNGKIN MUNCUL


a. Nyeri akut
b. Kerusakan integritas kulit
c. Gangguan mobilitas fisik
d. Risiko infeksi

G. PENGOBATAN DAN TERAPI ATAU MEDIKASI

Ada dua metode penatalaksanaan medis pada fraktur, yaitu (Brunner&Suddart, 2002):

1. Metode Konservatif

a. Gips yaitu alat immobilisasi eksternal yang kaku dan dicetak sesuai bentuk tubuh
yang dipasang. Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memungkinkan
terjadinya pertumbuhan tulang panjang. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah
- Immobilisasi dan penyangga fraktur
- Istirahatkan dan stabilisasi
- Koreksi deformitas
- Mengurangi aktivitas
- Membuat cetakan tubuh orthotik
b. Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh(Brunner&Suddart, 2002).
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah
tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Kegunaan pemasangan traksi antara lain:
- Mengurangi nyeri akibat spasme otot
- Memperbaiki dan mencegah deformitas
- Immobilisasi
- Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi).
- Mengencangkan pada perlekatannya.
Macam-macam traksi antara lain:
- Traksi Panggul
Disempurnakan dengan pemasangan sebuah ikat pinggang di atas untuk mengikat
puncak iliaka.
- Traksi Ekstension (Bucks Extention)
Lebih sederhana dari traksi kulit dengan menekan lurus satu kaki ke dua kaki.
Digunakan untuk immibilisasi tungkai lengan untuk waktu yang singkat atau untuk
mengurangi spasme otot.
- Traksi Cervikal
Digunakan untuk menahan kepala extensi pada keseleo, kejang dan spasme. Traksi
ini biasa dipasang dengan halter kepala.
- Traksi Russells
Traksi ini digunakan untuk fraktur batang femur. Kadang-kadang juga digunakan
untuk terapi nyeri punggung bagian bawah. Traksi kulit untuk skeletal yang biasa
digunakan.
Traksi ini dibuat sebuah bagian depan dan atas untuk menekan kaki dengan
pemasangan vertikal pada lutut secara horisontal pada tibia atau fibula.
- Traksi khusus untuk anak-anak
Penderita tidur terlentang 1-2 jam, di bawah tuberositas tibia dibor dengan steinman
pen, dipasang staples pada steiman pen. Paha ditopang dengan thomas splint, sedang
tungkai bawah ditopang atau Pearson attachment. Tarikan dipertahankan sampai 2
minggu atau lebih, sampai tulangnya membentuk callus yang cukup. Sementara itu
otot-otot paha dapat dilatih secara aktif.

Metode pemasangan traksi antara lain :


a. Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan
emergensi

b. Traksi mekanik, ada 2 macam :


- Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot.
Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
- Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction.
Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal /penjepit
melalui tulang /jaringan metal.

2. Metode Pembedahan
Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya
insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang
anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-
fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi
dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi,
fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen,
sekrup, pelat, dan paku.

a) ORIF (Open Reduction Internal Fixation)


Prosedur pembedahan untuk memperbaiki fungsi dengan mengembalikan stabilitas
dan mengurangi rasa nyeri pada tulang yang patah yang telah direduksi dengan skrup,
paku dan pin logam. Pada metode ini, kedua ujung tulang yang patah dikembalikan
kepada posisi asalnya dan difiksasi dengan pelat dan skrup atau diikat dengan kawat.
Setelah immobilisasi dilaksanakan, tulang akan beradaptasi pada kondisi tersebut,
yaitu mengalami proses penyembuhan dan perbaikan tulang.

Fiksasi internal diindikasikan pada:

- Fraktur intraartikular (untuk menstabilkan patahan tulang secara anatomi)


- Memperbaiki pembuluh darah dan nervus (untuk melindungi peredaran darah dan
perbaikan nervus)
- Multiple injuries
- Pasien lansia (untuk menunjang mobilisasi dini)
- Fraktur tulang panjang (tibia, femur, dan humerus)
- Kegagalan management konservatif
- Fraktur patologis
- Unstable fractures
Komplikasi yang mungkin muncul pada fiksasi internal diantaranya adalah infeksi, on-
union, kegagalan implant, danRefracture

b) Fiksasi ekterna

Penanganan fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak dimana garis fraktur
direduksi, disejajarkan dan diimobilisasi dengan sejumlah pin yang dimasukkan ke
dalam fragmen tulang. Terapi ini biasanya dilakukan pada kasus cedera tipe open-
book dimana ligament sakroiliaka intak. Fiksasi eksternal diindikasikan pada:

- Trauma akut (fraktur terbuka dan tidak stabil)


- Non-union fracture
- Perbaikan pada joint contracture
- Terdapat pengisian pada kerusakan segmen limb (trauma, tumor dan osteomyelitis)
- Pemanjangan limb

c) Reduksi terbuka

Melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi
dan pemanjangan tulang yang patah.
DIAGNOSA DAN RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan Rasional

1 Nyeri (akut) b.d Nyeri hilang atau Mandiri


terkontrol
Spasme otot a. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit a. Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi
Gerakan fragmen tulang, Kriteria evaluasi: dengan tirah baring, gips, pembebat, traksi tulang yang cedera
edema, dan cedera pada b. Tinggikan dan dukungan ekstrimitas yang b. Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema
jaringan lunak Klien tampak rileks terkena dan meneurunkan nyeri
Alat traksi/imobilisasi dan santai c. Hindari penggunaan sprei/bantal plastik c. Dapat meningkatkan ketidaknyamanan karena
Stres, ansietas Klien mau dibawah ekstrimitas dalm gips peningkatan produksi padas dalam gips yang kering
berpartisipasi dalam d. Tinggikan penutup tempat tidur, d. Mempertahankan kehangatan tubuh tanpa
aktivitas/tidus/ pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki ketidaknyamanan karena tekanan selimut pada bagian
istirahat yang tepat yang sakit
e. Evaluasi keluhan nyeri/ketidaknyamanan,
Klien mampu
perhatikan karakteristik, lokasi, termasuk e. Mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi. Tingkat
menggunakan
intensitasnya (skala 0-10). Perhatikan intensitas dapat mempengaruhi persepsi reaksi terhadap
ketrampilan
petunjuk nyeri non verbal (perubahan tanda- nyeri
relaksasi
tanda vital dan emosi) f. Membantu menghilangkan ansietas. Pasien dapat
Tanda-tanda vital
stabil
f. Dorong pasien untuk mendiskusikan merasakan kebutuhan untuk menghilangkan
masalah sehubungan dengan cedera pengalaman kecelakaan
g. Lakukan dan awasi rentang gerak pasif/aktif g. Mempertahankan kekuatan/mobilitas otot yang sakit dan
h. Berikan alternatif tindakan ketidakmampuan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan cedera
(pijatan punggung, perubahan posisi) h. Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area
i. Dorong menggunakan teknik manajemen tekanan lokal dan kelelahan otot
stres (relaksasi, latihan nafas dalam, i. Menfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa
imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik) kontrol kemampuan koping dalam manajemen nyeri
j. Identifikasi aktifitas terapeutik yang tepat untuk periode lebih lama
untuk usia pasien, kemampuan fisik dan j. Mencegah kebosanan, menurunkan ketegangan dan
penampilan pribadi dapat meningkatkan kekuatan otot, dapat meningkatkan
k. Cek adanya keluhan nyeri yang tidak biasa harga diri dan kemmapuan koping
atau tidak hilang dengan analgesik k. Dapat menandakan terjadinya komplikasi
Kolaborasi l. Menurunkan edema/ pembentukan hematom,
menurunkan sensasi nyeri
l. Lakukan kompres dingin 24-48 jam m. Diberikan untuk menurunkan nyeri dan atau spasme
pertama/ sesuai indikasi otot. Penelitia toradol telah diperbaiki lebih efektif
m. Berikan obat sesuai indikasi, narkotik, dalam menghilangkan nyeri tulang dengan masa kerja
relaksan otot lebih lama
n. Awasi pemberian analgetik yang dikontrol n. Pemberian rutin ADP mempertahankan kadar analgetik
pasien darah adekuat, mencegah fluktuasi dalam
menghilangkan nyeri sehubungan dengan tegangan
otot/spasme
. Kerusakan integritas kulit Menpertahankan Mandiri:
integritas kulit dan
Berhubungan dengan: mukosa a. Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, a. Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan
kemerahan, perdarahan, perubahan warna masalah yang mungkin disebabkan oleh alat dan/atau
cedera tusuk; fraktur terbuka; Kriteria evaluasi: pada kulit. pemasangan gips/bebat atau traksi, atau pembentukan
bedah perbaikan; b. Masase kulit dan penonjolan tulang. edema yang membutuhkan intervensi medik lanjut.
pemasangan traksi pen, Integritas kulit yang Pertahankan tempat tidur kering dan bebas b. Menurunkan tekanan pada area yang peka dan risiko
baik dapat kerutan. Tempatkan bantalan air/bantalan abrasi/kerusakan kulit.
kawat, sekrup; perubahan
dipertahankan lain bawah siku/tumit sesuai indikasi. c. Mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan
sensasi, sirkulasi; Ditandai c. Ubah posisi dengan sering. Dorong meminimalkan risiko kerusakan kulit, Penggunaan
dengan: Penyembuhan luka
penggunaan trapeze bila mungkin. trapeze dapat menurunkan abrasi pada siku/tumit.
Tidak ada tanda-
d. Kaji posisi posisi fiksasi eksternal d. Posisi yang tak tepat dapat menyebabkan cedera
Data Subyektif: tanda infeksi
Kolaborasi: kulit/kerusakan.
e. Karena imobilisasi bagian tubuh, tonjolan tulang lebih
- Keluhan nyeri e. Gunakan tempat tidur busa, bantal apung, dari area yang sakit oleh fiksasi mungkin sakit karena
Data Obyektif: atau kasur udara sesuai indikasi. penurunan sirkulasi.

- Luka Tertutup/ terbuka


- Fraktur
- Kerusakan lapisan kulit
3. Gangguan mobilitas fisik b.d Mobilitas fisik Mandiri
meningkat secara
Kerusakan rangka optimal a. Kaji derajat mobilitas yang dihasikan oleh a. Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri tentang
neurovaskuler: cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi keterbatasan fisik aktual, memerlukan informasi untuk
nyeri/ketidaknyamanan Kriteria evaluasi: pasien terhadap imobilisasi meningkatkan kemajuan kesehatan.
Terapi restriktif/ b. Instruksikan pasien untuk/bantu dalam b. Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulnag untuk
imobilisasi tungkai Kekuatan otot rentang gerak pasif/aktif pada ektrimitas meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi,
Posisi anatomis pada yang sakit dan tidak sakit mencegah kontraktur/atropi dan resorpsi kalsium karena
ektrimitas yang c. Dorong penggunaan latihan isometrik mulai tidak digunakan
cedera dengan tungkai yang tidak sakit c. Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk
Mampu melakukan d. Bantu dorong untuk perawatan diri sendi/menggerakkan tungkai dan membantu
aktivitas/ROM e. Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan mempertahankan kekuatan dan masa otot. Cat. Kontra
Tanda vital stabil kursi roda, kruk, tongkat sesegera mungkin. indikasi pada perdarahan akut dan edema
Luka membaik Instruksikan keamanan dalam penggunaan d. Meningkatkan kekuatan otot/sirkulasi, meningkatkan
alat mobilitas kontrol pasien dalam situasi dan meningkatkan
f. Awasi TD dengan melakukan aktivitas kesehatan diri langsung
perhatikan keluhan pusing e. Mobilsasi dini menurukan komplikasi tirah baring dan
g. Ubah posisi secara periodik dan dorong meningkatkan pengaturan dan normalisasi fungsi organ
untuk latihan batuk/nafas dalam f. Hipotensi postural adalah masalah umum yang
h. Dorong masukan cairan sampai 2000-3000 menyertai tirah baring lama dan memerlukan intervensi
cc/hari khusus
Kolaborasi g. Mencegah/menurunkan insiden komplikasi
kulit/pernapasan
i. Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan h. Mempertahankan hidrasi tubh, menurunkan resiko
atau rehabilitasi medik infeksi urinarius, pembentukan batu dan konstipasi
j. Lakukan prigram defikasi (pelunak feses, i. Berguna dalam membuat aktifitas individual paien dapat
enema laksatif) menentukan bantuan jangka anjang dengan gerakan,
kekuatan dan aktifitas yang mengandalkan BB dan juga
penggunaan alat
j. Dilakukan untuk meningkatkan evaluasi usus
4 Resiko infeksi b.d Perluasan/penyebaran Mandiri a. Kemerahan/abrasi dapat menimbulkan infeksi tulang
infeksi tidak terjadi b. Dapat mengindikasikan timbulnya infeksi lokal/nekrosis
Tidak adekuatnya a. Inspeksi kulit untuk adanya luka jaringan yang dapat menimbulkan osteomielitis
pertahanan primer: Kriteria evaluasi: b. Kaji peningkatan keluhan nyeri, adanya c. Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan
kerusakan kulit, trauma edema, drainase/bau tidak enak/asam infeksi
jaringan, terpajan pada Luka membaik, pus c. Berikan perawatan luka secra steril sesuai d. Tanda perkiraan infeksi gas gangren
lingkungan tidak ada, tidak ada protokol
Prosedur invasif bau dan adanya
e. Dapat mengindikasikan terjadinya osteomielitis
d. Observasi luka untuk pembentukan bula, f.
Traksi tulang pertumbuhan Anemia dapat terjadi pada osteomielitis, leukositosis
krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, biasanya ada dengan proses infeksi, Peningkatan
jaringan/granulasi bau drainase yang tidak enak
Sekitar luka tidak osteomielitis, mengidentifikasi organisme infeksi
pucat, edema
e. Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerakan g. Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara
dengan edema lokal/eritema ektrimitas profilaksis/dapat ditunjukkan pada mikroorganisme
berkurang
cedera
Tidak ada demam khusus
Kolaborasi
Tanda vital stabil h. Debridement lokal/pembersihan luka menurunkan
Hb 13-16 g/dl mikroorganisme dan insiden infeksi sistemik
f. Awasi pemeriksaan laboratorimum
Ht 40-48% i. Banyak prosedur dilakukan pada pengobatan infeksi
- Hitung darah lengkap
Lekosit 5000-1000 - LED
lokal, osteomielitis, gas gangren
- Kultur j. Sequestrektomi/pengangkatan tulang nekrotik perlu
untuk membantu penyembuhan dan mencegah
g. Berikan obat sesuai indikasi perluasan proses infeksi
- Antibiotik
h. Berikan irigasi luka/tulang
i. Bantu prosedur insisi/drainase, pemasangan
drain, terapi O2 hiperbarik
j. Siapkan pembedahan sesuai indikasi
Daftar Pustaka

Doenges E, Marilynn, dkk. (2010). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman


untukperancanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 8. Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 8. Jakarta: EGC

Black, J. M, & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan medikal bedah edisi 8. Singapore: Elsevier

Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby

Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses: definitions


& classification 20152017(10th Ed.). Oxford: Wiley Blackwell

Ignatavicius, D. D., & Workman, M. L. (2006). Medical surgical nursing: Critical thinking
for collaborative care. (5thEd). St. Louis: Elseveir Saunders.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC): Measurement of health outcomes (5th Ed.). Missouri: Elsevier
Mosby

Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner & Suddarths


textbook of medical surgical nursing. (12th Ed). Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai