Anda di halaman 1dari 6

Nama : Merina Selvira Y

NPM : H1AP12017

Kelompok yang pada umumnya keberadaannya dikucilkan dalam masyarakat

A. ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)


Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA disebabkan oleh kurangnya informasi yang
benar tentang cara penularan HIV, serta adanya ketakutan terhadap HIV/AIDS, dan fakta
yang menyatakan bahwa AIDS merupakan penyakit yang mematikan. Stigma terhadap
ODHA yang masih melekat di dalam masyarakat yang membuat diskriminasi terhadap
ODHA semakin kuat. Masih banyak masyarakat baik yang berasal dari kelas bawah sampai
dengan seorang dokter sekalipun mendiskriminasi ODHA seperti yang terjadi di Yogyakarta
seorang dokter di sebuah rumah sakit terkemuka yang mengganggap bahwa ODHA itu
adalah manusia yang kotor yang melakukkan hal-hal yang tidak bermoral seperti pengguna
narkoba, PSK (Penjaja Seks Komersil), wanita simpanan, dll, sehingga ketika ia
mendapatkan pasien ODHA ia tidak mau merawatnya. Padahal HIV/AIDS itu tidak hanya
diderita oleh golongan tersebut saja bahkan seorang ibu rumah tangga atau seorang guru pun
bisa menderita HIV/AIDS, yang dimana profesi mereka dianggap mulia atau baik-baik.
Sebenarnya hak ODHA (orang dengan HIV/AIDS) sama seperti manusia lainnya, tetapi
karena ketakutan dan kekurangpahaman masyarakat mengenai keberadaan virus tersebut,
membuat hak ODHA (orang dengan HIV/AIDS) sering dilanggar. Menurut hasil penelitian
dokumentasi pelanggaran HAM Yayasan Spiritia, 30% responden menyatakan pernah
mengalami berbagai diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan dalam keluarga.
Hingga saat ini sikap dan pandangan masyarakat terhadap ODHA amatlah buruk
sehingga melahirkan permasalahan serta tindakan yang melukai fisik maupun mental bagi
ODHA tak terkecuali keluarga dan orang-orang terdekatnya. Seperti yang dialami oleh
seorang wanita (26) sebut saja Dian. Setelah mengetahui dirinya positif terinfeksi HIV di
tahun 2004, ia pun harus terdiskriminasi dari lingkungannya, terutama ayahnya. Ayah saya
tidak mau makan dan minum dengan peralatan makan yang sama. Bahkan, saya selalu diberi
nasi bungkus dan dia lebih memilih mandi di tempat cucian daripada di kamar mandi yang
sama,
Kondisi ini nyata, dimana perlakuan negatif terhadap ODHA dilakukan oleh significant
person yaitu ayahnya sendiri. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa masyarakat umumnya
masih belum bisa menerima kehadiran ODHA di sekitar mereka. ODHA yang seharusnya
mendapatkan dukungan dari keluarga tetapi kenyataannya mereka dikucilkan.
Hasil penelitian ditemukan bahwa stigma terhadap status HIV/AIDS yang didapatkan
oleh ODHA lebih tinggi di lingkungan masyarakat (71,4%), selanjutnya di tempat pelayanan
kesehatan (35,5%) dan yang terendah adalah di lingkungan keluarga (18,5%). Berdasarkan
persentase diatas terlihat adanya perbandingan yang cukup signifikan antara persentase
masyarakat, pelayanan kesehatan maupun keluarga. Dalam hal ini dapat dilihat masih
kentalnya pandangan negatif mengenai ODHA di lingkungan masyarakat karena kurangnya
informasi mengenai HIV/AIDS. Peningkatan pengetahuan masyarakat, penyedia layanan
kesehatan dan anggota keluarga menjadi hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
pemahaman akan HIV/AIDS. Hal tersebut perlu dilakukan agar ODHA tidak lagi
diperlakukan seperti monster ataupun mahluk menyeramkan lainnya, yang membuat
masyarakat memutuskan relasi dengan mereka, tetapi menerima mereka selayaknya manusia
biasa, karena secara fisik ODHA tidak memiliki ciri khas tertentu, mereka bisa tetap
menjalankan aktifitas normal seperti masyarakat lainnya yang status HIVnya negatif.

B. Waria
Kebanyakan dari anggota masyarakat belum mengetahui secara pasti apa dan bagaimana
itu waria. Kebanyakan dari masyarakat hanya mengetahui dan dengan sepihak berpandangan
bahwa menjadi waria adalah perilaku yang menyimpang dan menyalahi kodrat serta
melanggar norma-norma agama. Berperilaku menjadi waria selalu memiliki banyak resiko.
Waria dihadapkan pada berbagai masalah, yakni penolakan secara sosial dan bahkan
dijadikan lelucon. Lebih disayangkan lagi, beban paling berat di dalam diri seorang waria
adalah beban psikologis yaitu perjuangan mereka menghadapi gejolak kewariaannya
terhadap kenyataan di lingkungan keluarganya. Perlakuan keras dan kejam oleh keluarga
karena malu mempunyai anak seorang waria kerapkali mereka hadapi. Meskipun tidak semua
waria mengalami hal seperti itu, tetapi kebanyakan keluarga tidak mau memahami keadaan
mereka sebagai waria. Belum lagi bahwa kebanyakan anggota masyarakat mengasosiasikan
waria dengan dunia pelacuran. Seperti diketahui bahwa pelacuran dianggap sebagai sesuatu
yang hina dan menjijikkan.
Ketidaktahuan masyarakat terutama ayah sebagai modeling anak laki-laki juga dijelaskan
oleh hasil penelitian Francis, tentang peranan orangtua terhadap proses pembentukan
identitas gender pada waria di dapatkan data bahwa peranan ayah sebagai figur bagi anak
dianggap kurang positif dimata anak. Kebersamaan dalam melakukan berbagai kegiatan
bersama ayah sangat minim. Anak juga merasa kurang tertarik untuk melakukan aktiitas
bersama ayah, padahal aktifitas bersama merupakan sarana untuk memberikan pelajaran
kepada anak tentang perannya sesuai gender. Ayah cenderung tidak memberikan perhatian
dan kasih saying yang cukup bagi anak, sehingga seringkali ibu yang muncul sebagai
pelindung anak. Ayah juga jarang hadir disaat mereka membutuhkann, sehingga ada jarak
serta ketidakdekatan ayah dengan anak. Akibat sikap ayah tersebut, anak tidak mendapat
contoh untuk menjalankan peran gendernya sebagai anak laki-laki yang seharusnya
didapatkan dari figur ayah.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang waria ini didukung juga oleh hasil penelitian
yang menyebutkan bahwa tanda-tanda penyimpangan gender dapat dilihat sejak anak-anak
dan terjadi karena adanya proses pembelajaran tentang gender yang tidak tepat baik oleh
orangtua, guru, teman sebaya, lingkungan serta media massa. Waria remaja memasuki masa
pubertas dengan mimpi basah yang menggambarkan dirinya berhubungan badan dengan
sesama jenis, hal ini sangat berbeda dengan remaja laki-laki lainnya. Kepuasan yang
dialaminya pada saat mimpi basah tersebut menguatkan rasa ketertarikan remaja dengan
sesama jenis dan meyakini bahwa dirinya berbeda dengan yang lainnya. Akhirnya, citra
dunia pelacuran waria kemudian membuahkan pemikiran negatif pada masyarakat, yang
selanjutnya berujung pada diskonformitas akan keberadaannya dalam beberapa faktor
terutama penyempitan kesempatan kerja waria pada sektor formal.

C. Gangguan Jiwa dan Keterbelakangan Mental


Gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun
status sosial-ekonomi. Gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi. Di
masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai gangguan jiwa, ada
yang percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh
bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang
salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena pengidap gangguan jiwa
tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat.
Orang dengan keterbelakangan mental atau cacat mental berbeda penanganan dengan
mereka yang mederita sakit mental. Cacat mental bukanlah suatu penyakit, mereka adalah
suatu keadaan yang tidak dapat dicegah. Akan tetapi mereka dapat belajar sehingga mampu
untuk menjalankan hidup. Pembelajaran yang mereka dapat perlu dilakukan secara 141 terus-
menerus dan berkelanjutan. Orang dengan gangguan jiwa dan keterbelakangan mental kerap
kali mendapatka perlakuan yang sama dan dianggap sebagi sebuah musibah atau bencana.
Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman dari masyarakat sendiri mengenai
gangguan jiwa dan cacat mental.
Di zaman ponsel pintar seperti sekarang, realitanya masih banyak masyarakat Indonesia
yang masih awam tentang gangguan jiwa dan cacat mental. Masih lebih banyak orang yang
mengabaikan pentingnya menimbang, mengupayakan dan mempertahankan kesehatan jiwa
dan mental dibandingkan dengan kesehatan fisik. Sebagian anggota masyarakat baru akan
memperhatikan masalah kesehatan jiwa dan mental, hanya disaat mereka dihadapkan pada
gangguan kesehatan mental dan jiwa.
Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang orang dengan penyakit
mental dan keterbelakangan mental menimbulkan perlakuan dan sikap yang salah terhadap
orang yang memiliki penyakit mental dan keterbelakangan mental. Persepsi masyarakat
terhadap kesehatan mental berbeda di setiap kebudayaan. Dalam suatu budaya tertentu,
orang-orang secara sukarela mencari bantuan dari para profesional untuk menangani
gangguan jiwanya. Sebaliknya dalam kebudayaan yang lain, gangguan jiwa cenderung
diabaikan sehingga penanganan akan menjadi jelek, atau di sisi lain masyarakat kurang
antusias dalam mendapatkan bantuan untuk mengatasi gangguan jiwanya. Bahkan gangguan
jiwa dianggap memalukan atau membawa aib bagi keluarga. Hal kedua inilah yang biasanya
terjadi dikalangan masyarakat saat ini.
Pengetahuan mengenai penyakit mental dan keterbelakangan mental harus kita pahami,
karena apabila kita acuh terhadap informasi dan pengetahuan ini mereka tidak dapat
berkembang karena kurangnya motivasi akan menghambat perkembangan mereka dan
menimbulkan ketergantungan. Pemasungan, diskriminasi dan isolasi terjadi disebabkan
kurangnya pengetahuan dan informasi tentang apa itu penyakit mental dan keterbelakangan
mental?. Di negara Indonesia terutama adalah negara yang masih ditemukan kasus
pemasungan terhadap anak dengan penyakit mental atau cacat mental yang di lakukan oleh
keluarga mereka sendiri dengan diperlakukan seperti bukan seorang manusia.
Model kesehatan di dunia barat memandang gangguan jiwa sebagai suatu hal yang harus
disembuhkan. Sehingga pelayanan kesehatan jiwa cenderung berorientasi hanya pada
gangguan jiwa yang menimpa orang tersebut dan sering mengabaikan aspek-aspek yang
berkaitan dengan kehidupan dan kesejahteraan kliennya. Maka dari itu, di dunia barat mereka
yang mengidap penyakit mental memiliki penanganan khusus tanpa mengisolasi penderita
atau bahkan hingga memasung seperti yang banyak terjadi di daerah-daerah yang terdapat di
Indonesia. Berbeda dengan negara barat, masyarakat Indonesia masih belum terlalu peduli
terhadap penanganan dan perawatan penderita penyakit mental dan keterbelakangan mental
seperti di beberapa daerah di Indonesia.
Beberapa kasus di Indonesia terutama di daerah-daerah terpencil kerap kali ditemukan
kasus pemasungan atau kurungan terhadap mereka yang menderita penyakit mental atau
keterbelakangan mental. Mereka mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan karena
perilaku mereka dianggap aib atau mengganggu ketenangan masyarakat setempat sehingga
hak asasi manusia mereka direnggut karena pemasungan atau kurungan tersebut.
Pemasungan dan kurungan merupakan salah satu tindakan yang melanggar hak asasi
manusia, walau bagaimanapun mereka memiliki hak untuk dapat hidup dengan layak seperti
layaknya 142 orang normal. Perilaku tidak menyenangkan ini seperti yang telah disebutkan
terjadi karena minimnya pengetahuan dan informasi b
keadaan lingkungan sosial haruslah mendukung perkembangan pada orang pengidap
penyakit mental dan keterbelakangan mental. Lingkungan sosial sangat berperan terhadap
aktifitas sehari-hari yang di jalani oleh penderita, melalui lingkungan sosial mereka dapat
hidup selayaknya orang normal. Pentingnya pendidikan yang baik untuk anak penyakit
mental dan anak dengan keterbelakangan mental, karena perkembangan pada mereka
memerlukan perhatian yang khusus. Walau anak dengan keterbelakangan mental memiliki
IQ di bawah rata-rata, akan tetapi buka berarti mereka tidak memiliki potensi dalam dirinya.
agaimana cara berkomunikasi terhadap penderita penyakit mental dan keterbelakangan
mental.
Pengetahuan dan informasi mengenai penyakit mental dan keterbelakangan mental harus
diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia agar tidak kembali lagi terjadi perilaku-perilaku
yang melanggar hak asasi manusia pada penderita. Mulai dari penyebab mereka menderita
gangguan jiwa atau keterbelakangan mental, cara berkomunikasi dengan mereka hingga
mengetahui perawatan yang tepat untuk mereka agar dapat sembuh atau dapat
mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Dengan bertambahnya pengetahuan dan informasi mengenai penderita penyakit mental
dan gangguan mental diharapkan dapat menambahkan rasa kepedulian masyarakat Indonesia
terhadap hak-hak mereka sebagai penderita. Motivasi adalah keadaan psikologis yang
merangsang dan memberi arah terhadap aktivitas manusia. Dialah kekuatan yang
menggerakkan dan mendorong aktivitas seseorang. Motivasi menjadi salah satu kunci
sebagai alat penyembuhan terhadap mereka yang menderita gangguan jiwa.

Anda mungkin juga menyukai