Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Identitas Jurnal Pertama
Judul : Toleransi Antar Umat Beragama di Kota Bandung
Penulis : Rina Hermawati, Caroline Paskarina, Nunung Runiawati
Universitas Padjadjaran
Tahun : 2016
Volume : 1
No : 2
ISSN : eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115
Jumlah Halaman : 20 halaman
Email : rina.antrop@gmail.com

1.2. Identitas Jurnal Kedua


Judul : The Importance of Dialogue and Tolerance in a Plural Society
Penulis : Vladimir Bakrac
Tahun : 2015
Volume : 3
No : 2
ISSN : 2312-8429
Jumlah Halaman : 8 Halaman
Email : bvladimir@t-com.me

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 RINGKASAN JURNAL


Ringkasan Jurnal Pertama
Tulisan dalam jurnal ini membahas tentang tingkat toleransi antar umat beragama di
kalangan masyarakat perkotaan yang memiliki karakter sosial dan budaya yang beragam. Seperti
juga kota-kota lainnya, Bandung memiliki ciri heterogenitas secara sosial. Dalam kedudukannya
sebagai pusat pemerintahan di Jawa Barat, juga kota pendidikan, dan kota wisata, kehadiran para
pendatang, baik dari daerah-daerah lain di Indonesia maupun dari luar negeri, tidak dapat
dihindari. Tidak sedikit dari kalangan pendatang tersebut yang kemudian menjadi penduduk Kota
Bandung, sehingga komposisi penduduk Kota Bandung makin beragam. Keberagaman ini di satu
sisi menjadi potensi yang menambah daya tarik Kota Bandung, tapi di sisi lain, juga menyimpan
potensi konflik yang bersumber dari keberagaman identitas tersebut.
Bandung sebagai kota yang majemuk bukan baru terbentuk saat ini, tetapi telah melalui
proses sejarah yang panjang. Dalam tulisannya, Budi Radjab (2006) menguraikan terbentuknya
keberagaman di Kota Bandung sejak lebih dari seabad lampau. Keberagaman itu dibentuk oleh
berbagai suku bangsa yang bermukim di Kota Bandung, seperti yang berasal dari Jawa, Batak,
Minangkabau, Minahasa, Ambon, Cina, Belanda, dan orang Sunda yang terlebih dahulu
mendiami wilayah Kota Bandung. Keberagaman suku bangsa yang mendiami Kota Bandung
semakin bertambah ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah
lanjutan tingkat atas dan perguruan tinggi di awal abad ke-20, yang mengundang kehadiran
banyak orang dari suku bangsa dan daerah lain ke Kota Bandung untuk menempuh pendidikan
dan akhirnya menetap (Radjab, 2006).
Studi yang dilakukan Centre of Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2012,
menyatakan bahwa toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. Dalam survei CSIS,
sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain.
Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian ini dilakukan pada Februari 2012 di
23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah

2
agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu
tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan. Hasil survei juga menunjukkan
kecenderungan intoleransi ada pada kelompok masyarakat dalam semua kategori pendidikan.
Sekitar 20 persen masyarakat berpendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan
sekolah menengah atas, menyatakan tak keberatan dengan pembangunan rumah ibadah agama
lain di lingkungannya.
Survei nasional ini kembali dilakukan pada tahun 2013 yang hasilnya menemukan bahwa
kerukunan antarumat beragama sudah berada pada level baik. Berbagai studi yang dipaparkan di
atas menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama, termasuk sikap toleransi yang menjadi
indikator dari kerukunan tersebut, masih menjadi persoalan bagi bangsa Indonesia. Tingkat
toleransi di berbagai daerah pun beragam, sehingga penanganan persoalan tersebut tidak dapat
diseragamkan. Dalam konteks Kota Bandung, data yang ada tidak memunculkan banyak kasus
intoleransi yang terjadi di Kota Bandung. Meskipun demikian, mengingat karakteristik penduduk
yang sangat beragam, persoalan toleransi ini tetap perlu ditangani agar potensi konflik yang
mungkin muncul dapat dicegah. Definisi toleransi beragama (religious tolerance) tidak mudah
ditemukan secara eksplisit. Sebagian besar studi tentang toleransi beragama lebih banyak
mendeskripsikan sikap yang disebut toleran.
Konflik keagamaan yang diawali oleh keadaan yang tidak rukun antarpara pemeluk agama
yang berbeda muncul karena adanya beberapa faktor penyebab. Ahmad (2013) menjelaskan
keterkaitan berbagai faktor ini dengan konflik atau keadaan tidak rukun ke dalam variabel-
variabel berikut:
1. Variabel Norma dan Ajaran.
2. Variabel Pemahaman.
3. Variabel Sikap.
4. Variabel Persepsi.
Penelitian ini memahami toleransi dalam hubungan antarumat beragama sebagai masalah
kerukunan antarumat beragama. Karena itu, variabel toleransi kemudian dioperasionalkan ke
dalam 3 (tiga) indikator, yakni persepsi, sikap, dan kerjasama. Jadi kalau sikap lebih merupakan
tindakan ke dalam dalam artian belum melahirkan tindakan nyata berkaitan dengan hubungan
mereka dengan pemeluk agama lain, kerjasama adalah realitas hubungan sosial. Kerjasama

3
dalam hal ini bisa diperlihatkan, misalnya, dalam tindakan gotong royong untuk kepentingan
bersama atau saling menolong.
Pengumpulan data mengenai toleransi antarumat beragama ini dilakukan melalui survei
dengan menggunakan kuesioner. Dengan cara ini diharapkan bisa tergambar generalisasi pola
hubungan antarumat beragama yang ada. Hubungan yang dimaksud berkaitan dengan tingkat
keintiman (intimacy) atau bahkan sebaliknya kebencian yang menyertainya. Dengan kata lain,
toleransi dalam hubungan antarumat beragama ini akan diukur melalui seberapa jauh para
pemeluk agama menentukan jarak sosial mereka terhadap para pemeluk agama lainnya. Selain
mengukur jarak sosial yang mencerminkan toleransi umat beragama di Kota Bandung, penelitian
ini juga menambahkan variabel sikap pemerintah dan harapan masyarakat terhadap pemerintah
sebagai dua variabel yang dinilai penting untuk mengetahui seberapa besar persepsi dan harapan
masyarakat terhadap peran pemerintah dalam memelihara kondisi kerukunan antarumat
beragama.
Pengolahan dan analisis data kuantitatif diolah dengan menggunakan program statistik SPSS.
Jawaban-jawaban responden yang diperoleh melalui kuesioner pertama- tama diolah untuk
mendapatkan tabel frekuensi dan persentase dari setiap jawaban pertanyaan. Secara bersamaan
juga bisa diperoleh nilai skor rata-rata berupa mean dan median dari setiap variabel. Dengan
menggunakan hasil penghitungan skor tersebut, disusun indeks penilaian dari setiap variabel dan
indeks keseluruhan yang mencerminkan tingkat toleransi umat beragama di Kota Bandung. Hasil
penghitungan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menginterpretasikan nilai indeks. Dalam
interpretasi tersebut, juga digunakan hasil pengolahan data secara deskriptif.
Persepsi adalah penilaian yang dalam hal ini terhadap kelompok agama lain, baik mengenai
gambaran umumnya, masyarakatnya ataupun apa yang dilakukan oleh masyarakat agama lain
bersangkutan. Konflik-konflik yang muncul antara pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama
lainnya bisa berasal dari adanya persepsi yang keliru atau pandangan jelek terhadap agama lain
dan pemeluknya. Berdasarkan data yang diperoleh, diperoleh temuan bahwa mayoritas
responden memiliki persepsi positif terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan terkait
dengan toleransi antarumat beragama.
Data di atas menunjukkan bahwa meskipun persepsi sebagian besar responden tergolong
positif terhadap keberagaman agama, tetapi ketika dikaitkan dengan keberadaan rumah ibadat di
lingkungan permukiman, masih ada responden yang mempersepsinya sebagai hal yang tidak
4
seharusnya dilakukan. Hal ini bermakna bahwa persepsi toleransi beragama cenderung positif
jika perbedaan agama itu masih berada dalam jarak sosial yang tidak terlampau dekat dengan
kehidupan sehari-hari responden. Sebaliknya, ketika aktivitas pemeluk agama lain tersebut
dinilai sudah memasuki ranah kehidupan sehari-hari, misalnya dengan menyelenggarakan
kegiatan ibadat di sekitar lingkungan permukiman, maka persepsi toleransi mengalami
pergeseran ke arah kecenderungan penolakan.
Sikap, yakni pendirian yang diperlihatkan oleh para pemeluk agama yang berupa respon
terhadap pemeluk agama lainnya. Aspek ini akan menggambarkan apa yang akan dilakukan oleh
pemeluk agama sehubungan dengan hadirnya fakta sosial di hadapan mereka. Dalam penelitian
ini, sikap mayoritas responden menunjukkan bahwa mereka relatif terbuka dalam berinteraksi
sosial dengan umat yang berbeda agama. Hal ini tampak dari data berikut ini yang
menggambarkan sikap responden dalam relasi sosial dengan umat beragama lain.
Salah satu variabel yang digunakan untuk mengukur indeks kerukunan di Kota Bandung
adalah kerjasama antar umat beragama/hubungan sosial. Data pada tabel di bawah ini
menunjukkan secara keseluruhan sub variabel yang diukur berasa pada posisi baik dan sangat
baik. Namun demikian, terdapat kecenderungan fluktuasi sikap dan perilaku pada subvariabel
tertentu. Misalnya subvariabel besedia mengundang pemeluk agama lain dalam kegiatan
(misalnya kegiatan syukuran, pesta, dan lain sebagainya) yang saya lakukan (bersedia
bertransaksi) memperoleh nilai baik dan sangat baik sebesar 90,7%. Sub variabel ini
mendapatkan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan sub variabel lainnya. Ini berarti
dalam konteks hubungan sosial, masyarakat Kota Bandung secara umum tidak
mempermasalahkan identitas keagamaan. Hal yang sama juga terjadi pada aspek hubungan kerja
dimana sub variabel saya bersedia melakukan hubungan kerja dengan pemeluk agama lain
memperoleh nilai kedua tertinggi yaitu 87,5%.
Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun
2006/Nomor 8 Tahun 2006, pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab
bersama umat beragama, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Dengan demikian pemerintah
memiliki peran strategis dalam memelihara toleransi dalam umat beragama. Sub bahasan ini
membahas bagaimana peran pemerintah memelihara kerukunan antarumat beragama melalui 11
indikator. Di era Reformasi, pengakuan terhadap HAM semakin menguat dan era keterbukaan
diakui sebagai penciri khusus era reformasi. Sejalan dengan hal tersebut, konflik-konflik terbuka
5
yang melibatkan umat beragama mulai muncul. Peristiwa yang paling tragis ialah konflik yang
terjadi di Poso, Ambon, Sambas, Sampit dan titik-titik konflik lain di sejumlah daerah. Disinilah
pentingnya kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang komprehensif untuk mendorong
semakin kuatnya budaya kerukunan dan perdamaian, sekaligus meminimalisir berbagai faktor
pemicu konflik. Harapan responden terhadap pemerintah agar terciptanya kerukunan umat
beragama sangat besar. Harapan responden dapat diwujudkan melalui peran aktif pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan masyarakat.
Capaian indeks untuk setiap variabel berada pada kategori Tinggi, kecuali untuk Indeks
Sikap Pemerintah yang termasuk kategori Cukup. Penilaian yang tinggi untuk variabel
persepsi, sikap, dan kerja sama, serta penilaian yang Sangat Tinggi untuk variabel harapan
terhadap pemerintah menunjukkan bahwa toleransi antarumat beragama di Kota Bandung berada
pada kondisi yang baik. Indeks sikap pemerintah yang termasuk kategori Cukup
mengindikasikan bahwa pemerintah belum berperan optimal dalam hal sosialisasi mengenai
aturan pendirian sarana peribadatan serta prosedur perizinan pembangunan tempat ibadat yang
berlaku.

2.2 Ringkasan Jurnal Kedua


Artikel ini difokuskan pada dua faktor yang sangat penting saat membahas pluralisme
agama. Seseorang harus membedakan istilah pluralitas dan pluralisme dan menekankan
pentingnya dialog dan toleransi dalam masyarakat multikultural, oleh karena itu dalam
masyarakat dengan pluralisme agama yang dikembangkan, di antaranya Masyarakat
Montenegrin tidak tertinggal. Kita mulai dari keyakinan bahwa sulit untuk berbicara tentang
pluralisme agama di Indonesia masyarakat yang tidak memiliki tradisi dialog dan toleransi
terhadap agama lain. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjadi sederhana kontribusi terhadap
dialog dan toleransi di dunia modern dimana gagasan agama memiliki peran yang sangat
penting. Seperti konteks sosial, kita tidak boleh lupa bahwa dialog adalah satu-satunya cara
untuk menemukan kebenaran, kepribadian yang indah, dan bijak pikir. Saat ini, dialog dan
toleransi adalah persyaratan waktu karena dunia terbagi dalam semua cara yang mungkin, namun
kita harus hidup bersama dan mencari apa yang menyatukan kita. Tak satu pun kelompok sosial,
hanya karena itu adalah kelompok, bisa diandalkan pemandangan unik dunia. Dialog dan
toleransi merupakan hambatan kuat bagi aturan unilateralisme.
6
Artikel ini membahas bahwa dua hal utama dalam bahasan kemajemukan beragama yaitu
dialog dan toleransi di era modren saat ini agama tak memiliki peranan yang sangat penting
dalam lingkungan sosial. Hampir semua agama itu memiliki tujuan yang sama hanya saja
pelaksanaannya yang berbeda. Untuk menyatukan perbedaan itu diperlukan komunikasi (dialog)
dan toleransi antarumat untuk mencapai perdamaian dan kesatuan. Dalam lingkungan sosial
yang beragama yang baisanya merupakan gabungan dari kepercayaan dan pendapat yang beda
tiap orang, maka diperlukan toleransi untuk tetap mendengar dan memahami pendapat orang lain
walaupun kita tahu pendapat seseorang itu tidak bernilai atau bermakna yang harus dihargai, jadi
tidak ada yang merasa lebih tetapi slaing melengkapi itulah yang dinamakan toleransi.
Dialog dan toleransi jadi poin utama dalam kemajemukan lingkungan sosial. Mau tidak
mau, kita harus yang tinggal di dunia yang memiliki agama, budaya dan negara yang berbeda
harus saling toleransi supaya kehidupan dapat berlangsung. Sejak dahulu kala, agama selain ilmu
pengetahuan, merupakan cara untuk menjelaskan dunia, ini memberi makna pada kehidupan dan
alam semesta dimana kita tinggal. Oleh karena itu, fungsi sosiologis agama yang tak
terbantahkan, dan atas dasar itu agama saat ini memiliki peran yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Meskipun sebagian besar negara memiliki sistem sekuler, agama memiliki
pengaruh yang sangat kuat terhadap banyak segmen kehidupan sosial dan politik.
Hal ini cukup untuk mengingatkan akan prinsip bijak "jangan lakukan kepada orang lain
apa yang tidak ingin mereka lakukan kepada Anda", yang tergabung dalam semua agama dan
ajaran mereka. Ini disebut prinsip karena diatur berlawanan dengan pengalaman historis untuk
memodifikasi jalannya sejarah. Semua ini tentu saja merupakan tantangan bagi orang percaya.
Tantangan yang dihadapi orang beriman tentu berbeda, tapi menurut saya prioritas itu harus ada
dalam dialog dan toleransi, sebagai semacam prasyarat dalam masyarakat dengan pluralisme
agama yang maju. Sulit dibayangkan dan dibenarkan membenarkan masyarakat pluralistik yang
religius dimana tidak ada toleransi terhadap keyakinan lain dan berbeda. Selain itu, kita tidak
menyadari fakta bahwa hanya ada satu masyarakat dengan satu agama dan keyakinan agama
yang seragam. Masyarakat multikultural, di mana berbagai agama berpotongan, di mana dampak
dari berbagai budaya keagamaan dirasakan, di mana perbedaan keyakinan agama dan campuran
praktik keagamaan, hampir merupakan peraturan.
Faktanya adalah bahwa dalam masyarakat multireligius dan multikultural ini terjadi
kekerasan untuk agama dan atas nama agama. Tak satu pun agama dapat di amnesti oleh fakta
7
bahwa mereka terlalu menekankan keunggulannya dalam memiliki hak atas kebenaran abadi,
sementara mereka meremehkan agama lain. Mengapa kita menekankan ideologi agama dan
bukan agama? Jawabannya sederhana dan tidak ambigu sampai batas tertentu. Jika kita
mempertimbangkan dimensi universal semua agama dan menganalisa dengan saksama
katekismus mereka, maka kita harus menyadari bahwa hal itu sama sekali tidak perlu dan secara
logis tidak dapat dibenarkan untuk membicarakan kekerasan atas nama agama. Agama yang
benar tidak memiliki kontak dengan itu. Ini tentang agama dan keyakinan idola, ketika itu yang
universal dan transenden, metafisik dan metalogis dikurangi menjadi sekuler dan duniawi. Kita
berhadapan dengan ideologi keagamaan ketika agama (gereja) mulai menaruh minat pada hal-hal
sekuler dan kepentingan. Sekarang, saya pikir, jelas mengapa perlu membersihkan agama dari
residu ideologis. Bila konsep agama berada di tangan preferensi ideologis, maka itu menjadi
senjata untuk mendapatkan kepentingan sekuler dan bukan alat dalam realisasi spiritual. Jika kita
benar-benar mengenal dogma semua agama, maka kita akan meyakinkan diri kita sendiri bahwa
nilai-nilai pemahaman, kerja sama dan cinta kasih, tidak hanya terhadap anggota iman kita
sendiri, tetapi juga terhadap orang-orang beriman dari agama yang berbeda, menang di
dalamnya.
Kekristenan pada dasarnya adalah agama damai yang membutuhkan persatuan meski ada
perbedaan. Semua bangsa disebut "menjadi satu", seperti yang dikatakan dalam Kitab Suci dan
"mencintai saudara mereka sebagai diri mereka sendiri". Yesus berkata: "Inilah perintah-Ku,
supaya kamu saling mengasihi seperti Aku telah mengasihi kamu" (Yohanes 15/12). Jika
seseorang memilih ideologi, dia memilih untuk tidak menjadi seorang Kristen sejati. Oleh karena
itu, kesimpulan logisnya adalah bahwa hal itu tidak dan tidak dapat menjadi konflik antara
agama tetapi konflik antara ideologi agama. Ideologi religius merupakan hambatan serius bagi
toleransi dan dialog antaragama! Jika gereja tidak mengikat prinsip asalnya, maka gereja menjadi
lebih fokus dalam bidang ideologi.

8
3.3 KELEBIHAN DAN KELEMAHAN JURNAL
KELEBIHAN
Jurnal Pertama
1. Bahasa yang digunakan dalam pembahasan jurnal ini mudah dimengerti oleh si
pembaca.
2. Hasil pemaparan materi disajikan secara jelas dan detail hal ini dapat terlihat
dalam pemaparan materi disertai dengan tabel penjelas.
3. Secara umum, dilihat dari sistematika penulisan dapat dikategorikan baik, hal ini
dapat dibuktikan salah satunya penggunaan bahasa asing sudah ditulis dengan huruf
miring.
4. Didalam jurnal ini terdapat abstrak yang memiliki dua bahasa yaitu bahasa inggris
dan bahasa indonesia.
5. Pada bagian karangka konseptual pendapat- pendapat para ahli yang
menggunakan bahasa asing disertai dengan terjemahannya (halaman 108).
6. Abstrak yang disajikan oleh penulis dapat dikategorikan sudah baik, kerena di
dalamnya sudah mencakup masalah yang diteliti, tujuan, metode yang digunakan, hasil,
dan kesimpulan.
7. Pemaparan materi dipaparkan secara kohesi dan koherensi.

Jurnal Kedua
1. Dapat dilihat dari segi pemaparan setiap sub babnya sudah disajikan secara
seimbang.
2. Materi yang disajikan dilengkapi dengan pendapat-pendapat ahli, sehingga
memperkuat fakta-fakta yang dipaparkan penulis

KELEMAHAN
Jurnal pertama
1. Dalam pembahasan jurnal ini terdapat kesalahan penggunaan spasi pada kata
salahsatu sumber dan permalahan yang terdapat pada abstrak dan bagian
pembahasan (halaman 115) , yang seharusnya di tulis dengan salah satu dan juga kata
permalahan yang seharusnya ditulis dengan kata permasalahan.
2. Penggunaan tanda hubung (-) yang kurang tepat pada kalimat berikut seperti
berteman dalam bertetangga lebih tinggi dibanding dengn relasi relasi yang lebih
privat seperti anggota......

9
3. Pemborosan kalimat pada kata berikut Dimana salah satu tujuannya menjadikan
ruang dialog.... yang seharunya dapat ditulis dengan Salah tujuannya runag dialog...
4. Pada pembahasan jurnal ini terdapat kata yang kurang baku yaitu pada kata
agaknya alangkah lebih baiknya kata agaknya diganti menjadi pada dasarnya
terdapat pada kalimat Kecendeungan tingginya toleransi antar umat beragama di Kota
Bandung agaknya dilatarbelakangi oleh kuatnya tarikan..... yang seharusnya
Kecendeungan tingginya toleransi antar umat beragama di Kota Bandung pada
dasarnya dilatarbelakangi oleh kuatnya tarikan....
5. Pada bagian jurnal penulisan kata kunci tidak tepat, terdapat pada kalimat berikut
kata-kata kunci, seharusnya penulis hanya membuat kata kunci saja, agar tidak
terjadi pemborosan kalimat.
6. Sesuai kriteria kemutahiran pada jurnal, bahwa sebuah jurnal dapat disebut
mutakhir apabila buku referensi yang digunakan lima sampai sepuluh tahun maksimal
setelah
jurnal yang akan dianalisis diterbitkan . Namun pada jurnal ini masih terdapat referensi
lewat dari kiteria kemutahiran jurnal diantaranya penggunaan buku pada tahun 1925.
1954, 2002, 2003, dan 2004.

Jurnal Kedua
1. Pembahasan dalam jurnal ini bahasa yang digunakan sulit dimengerti.
2. Pada abstrak yang disajikan, penulis tidak memberikan gambaran yang jelas
seperti masalah, tujuan, metode yang digunakan, sampel dan saran terkesan seperti
artikel biasa.
3. Instrumenpengumpulan data yang disajikan oleh si penulis kurang jelas.
4. Sesuai kriteria kemutahiran pada jurnal, bahwa sebuah jurnal dapat disebut
mutakhir apabila buku referensi yang digunakan lima sampai sepuluh tahun maksimal
setelah
jurnal yang akan dianalisis diterbitkan . Namun pada jurnal ini masih terdapat referensi
lewat dari kiteria kemutahiran jurnal diantaranya penggunaan buku pada tahun 1997,
1998, dan 2004.
5. Penulisan kata biografy yang salah terdapat kata kata BIOGRaFY.
6. Sebaiknya halaman daftar pustaka dan biografi tidak digabungkan menjadi satu
halaman. Namun pada jurnal ini penulis menggabungkan kedua hal tersebut sehingga
terlihat kurang rapi
10
7. Daftar pustaka seharusnya tidak perlu dilengkapi penomoran kecuali
menggunakan catatan kaki.

11
BAB III

PENUTUP
3.1. Simpulan
Dari kedua jurnal yang kami review bahwa jurnal pertama membahas tentang tingkat
toleransi antar umat beragama di kalangan masyarakat perkotaan yang memiliki karakter sosial
dan budaya yang beragam. Seperti juga kota-kota lainnya, Bandung memiliki ciri heterogenitas
secara sosial. Dalam kedudukannya sebagai pusat pemerintahan di Jawa Barat, juga kota
pendidikan, dan kota wisata, kehadiran para pendatang, baik dari daerah-daerah lain di Indonesia
maupun dari luar negeri, tidak dapat dihindari. Sedangkan pada jurnal kedua Artikel ini
difokuskan pada dua faktor yang sangat penting saat membahas pluralisme agama. Seseorang
harus membedakan istilah pluralitas dan pluralisme dan menekankan pentingnya dialog dan
toleransi dalam masyarakat multikultural, oleh karena itu dalam masyarakat dengan pluralisme
agama yang dikembangkan, di antaranya Masyarakat Montenegrin tidak tertinggal.
Secara keseluruhan kedua jurnal tersebut masih ditemukan kelemahan-kelemahan baik
dari segi sistematika,isi dan kemutakhiran buku yang digunakan.
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya review jurnal ini penulis dapat menjabarkan lebih detail dan
jelas lagi materi yang disampaikan dan mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan penulisan
pada jurnal yang akan disajikan. Sehingga kualitas jurnal dapat lebih baik lagi kedepannya.

12

Anda mungkin juga menyukai