S2 2016 357504 Introduction PDF
S2 2016 357504 Introduction PDF
PENDAHULUAN
dunia. Jawa Pos National Network, Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan
survei mengenai jumlah etnis di Indonesia. Menurut hasil sensus penduduk, terakhir
diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 etnis (Afiz, 2010). 1 Dengan etnis
sebanyak ini tentu tidak mudah mengelola perbedaan antar etnis, apalagi perbedaan
tersebut juga didasari oleh motif masalah yang berakar pada politik, ekonomi, bahkan
Kekerasan antar etnis di seluruh Indonesia terjadi sangat cepat beberapa tahun
menjadi ambisi ratusan bahkan ribuan etnis yang tersebar di seluruh tanah air,
bidang politik dan ekonomi maupun sosial budaya. Kurangnya keterlibatan setiap
berlebihan pada masa orde baru menjadi problem utama ketika demokrasi liberal
1
Afiz. (2010). Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa (online).
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455. Didownload 12 Maret 2015.
2
van Klinken, Gerry. (2007). Communal violence democratization in indonesia : small town wars.
New York: Routledge.
3
Trajano. (2010: hal 13). Ethnic nationalism and separatism in west papua, indonesia. Journal of
Peace, Conflict and Development.
1
diterapkan di indonesia melalui reformasi, meski permainan politik tokoh-tokoh lokal
kekerasan antar etnis besar kemungkinan dapat terjadi di setiap wilayah di Indonesia.
Tabel 1.1
Kekerasan sosial secara umum meningkat drastis setelah turunya Soeharto dengan
4
Bertrand, J. (2012). Naionalisme dan konflik etnis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor; Lihat juga
Chauvel, Richard dalam Coppel A, C. (2006: hal 180-191). Violent conflict in indonesia: analysis,
representation and resolution. USA: Routledge. Canada.
5
Taddjoedin A, Z. (2002). Anatomi kekerasan social dalam konteks transisi: kasus di Indonesia 1990-
2001. Jakarta: UNSFIR; Lihat juga Faucher, C (Eds). (2005). Regionalism in post-suharto Indonesia.
Canada, USA: Routledge.
2
ketimpangan dan distribusi kebijakan yang tidak tepat menyebabkan arus tuntutan
semakin banyak. Data dari UNSFIR yang diolah oleh Zulfan Taddjoedin; 2012
menunjukan bahwa konflik dan kekerasan social lebih meningkat pasca reformasi. Ini
karena pada masa orde baru tidak semua golongan menikmati kebijakan secara
Kekerasan sosial yang paling terparah adalah kekerasan komunal, etnis, agama,
daerah seperti Papua disebutkan hanya satu insiden dan tidak ada korban jiwa.
Papua antar pendatang dari luar Papua dan penduduk asli di Papua7 menyebabkan
jatuhnya korban sangat banyak dari kedua belah pihak. Meski kekerasan seperti ini
cenderung tertutupi oleh berita-berita dan informasi mengenai konflik seputar isu
separatisme yang sengaja oleh alat Negara dan media dalam sosialisasi dihidupkan
6
Masoed Mochtar. (2008). Ekonomi politik internasional dan pembangunan. Yogyakarta: Pustaka
pelajar; Lihat juga: Masoed Mochtar. (2003). Negara, capital dan demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
7
Orang asli Papua yaitu orang Papua yang lahir besar di Papua dan memiliki hubungan darah serta
keturunan dari penduduk ras Melanesia bukan orang Papua berdasarkan UU 32/2004. Mereka berkulit
hitam, adapula yang sawo matang bagi penduduk pesisir pantai utara Papua, Biak, serui, Wasior.
3
Tabel 1.2
kekerasan social terus terjadi termasuk kekerasan etnik marak terjadi secara berturut-
turut pada tahun 1999 di Maluku Tenggara (Ambon) dan di Maluku Utara (Ternate
dan Halmahera) disusul dengan kekerasan antar etnis Dayak dan Madura di
4
Sulawesi dan di beberapa daerah lainya seperti suku Dani dan Amume-Kamoro di
Timika, juga suku Bugis-Buton-Makassar dan para migran lokal di Papua seperti
Biak, Serui, dan Wasior yang ada di Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Tidak hanya
itu di Wamena dan di Nabire juga terjadi kerusuhan antar warga pendatang dari
Sulawesi Selatan dan penduduk lokal di Nabire. Seperti kata Sidney Jones, Penasihat
Senior Crisis Group bahwa "Potensi konflik komunal tinggi di Papua karena kedua
belah pihak menganggap dirinya dirugikan", meski dalam penyampaian ini mengarah
pada radikalisme konteks agama tetapi perlu diketahui bahwa dominasi etnis Papua
yang mayoritas beragama Kristen dan begitu pula mayoritas pendatang campuran
bersifat kesukuan dan agamis ini menimbulkan kerawanan, bagaikan sekam yang
kering dan siap dibakar.9 Terlihat jelas bahwa Konflik di Papua hampir sebagian
suku-suku pribumi di Papua dengan suku pendatang Buton, Bugis, Makasar (BBM).
Misalnya di Sorong, terjadi antara Suku dari Serui dengan Makassar tahun 2014, pada
tahun 1999 masuk 2000 terjadi juga pembunuhan secara brutal oleh masyarakat
terhadap seorang pemuda dari Aifat dengan menggunakan senjata khas mereka yaitu
9
http://www.crisisgroup.org/en/publication-type/media releases/2008/asia/indonesiacommunal-
tensions-in-papua.aspx.Didownload, Senin 09 Juni 2014.
5
Badik10. Pada tahun 1990-an juga terjadi kerusuhan antar suku-suku di Jayapura
dengan Suku Makassar sehingga sebagai bentuk kekecewaan suku Jayapura terhadap
Total kematian dari konflik dan kekerasan di Indonesia (tidak termasuk di Papua)
771 milyar (Am.) ($ 91.4 juta).11 Sedangkan data lain yang mengungkapkan beberapa
kerusuhan antar etnis di Kalimantan seperti Sangau Ledo pada 1997 dan Tari Samba
pada 1999 (Propinsi Kalimantan barat), dan lagi di Sampit pada 2001 (Propinsi
Kalimantan pusat) dan Maluku (Ambon) 19 Januari 1999 dan puncaknya 2001
memperlihatkan bahwa korban meninggal dari konflik ini berjumlah 8000 orang dan
yang mengungsi 500.000 orang. Selain itu pula yang terjadi di Poso disebutkan
bahwa korban meninggal berjumlah 250 orang dan beberapa korban lainya.
Dalam banyak kasus memang kekerasan perlu dipetakan dalam variasi spasial dan
dan juga militer/TNI dan polri yang memiliki kewenangan wajib menjaga stabilitas
10
Secara familiar orang Papua sering menyebut dengan badi-badi.
11
The World Bank. (2004). Local conflict in Indonesia: incidence and patterns. Social development
notes, conflict prevention & reconstruction.
6
semua etnik-etnik yang ada. Mengingat ketiga lembaga ini juga cenderung
disintegrasi dari keutuhan Bhineka Tunggal Ika di Indonesia akibat kebijakan yang
Di belahan dunia manapun isu etnisitas dan retorikanya selalu penuh dengan
minoritas terhadap mayoritas dalam konteks etnis yang dibayangi oleh greavance dan
seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya yang terbagi pula dalam kekerasan
menimbulkan situasi rumit yang tidak bisa diimbangi oleh warga negara sehingga
Nasionalisme kesukuan ini dalam banyak kasus seperti yang terjadi di Maluku,
12
Baiq, W. (2011). Nasionalisme dan etnisitas di eropa kontemporer. Global & Strategic.
7
Sulawesi dan Kalimantan memiliki pengaruh terhadap munculnya kecemburuan
sosial, sifat agresif dalam persaingan dan perasaan tidak menerima yang akhirnya
jelas persamaan dan perbedaan konteks dan ideologi yang mempengaruhi. Dapat
pula kasus kekerasan antar etnis lainya di Papua. Hal ini dapat terlihat dari beberapa
hal. Pertama, kerusuhan antar kelompok di Manokwari terjadi juga di daerah lain
seperti, Sorong, Jayapura, dan daerah Papua lainya yang melibatkan suku-suku di
Papua lainya yang juga pernah saling rusuh dengan pendatang Makassar. Ketiga,
setiap kerusuhan di Papua yang melibatkan salah satu suku pribumi di Papua,
misalnya Suku Biak, pasti mendapat simpati dari suku-suku Papua lainya dengan
alasan agama Kristen, sama-sama Papua, dan derita konflik yang serupa pernah
ekonomi dan politik baik secara structural maupun cultural. Kelima, kerusuhan ini
disebakan karena dominasi pendatang yang bermula dari transmigrasi dan puncaknya
pada saat migrasi besar-besaran para pendatang dari Sulawesi ke Papua. Meski
demikian pemicu setiap kerusuhan ini berbeda-beda sehingga dapat dikatakan bahwa
8
hubungan pendatang BBM dengan suku-suku asli di Papua cenderung variatif tetapi
Papua Asli). Misalnya dalam wujud deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara value
expectation dan value capability.13 Memiliki kausalitas dengan kekerasan yang terjadi
seringkali karena grievance dan greedy yakni ketimpangan karena kerakusan dan
kekecewaan dari kelompok lain yang merasa kehilangan kesejahteraan karena sumber
Seperti yang telah diketahui bahwa di akhir tahun 2013 dan awal tahun 2014 telah
terjadi dua kerusuhan yang sempat merisaukan warga masyarakat. Kerusuhan ini
terjadi antar kelompok suku BBM dan suku Biak. Pada tanggal 28 sampai 31
Kabupaten Manokwari. Maka penelitian ini akan difokuskan pada studi kasus
kekerasan tersebut.
13
Masoed, Mohtar. (Eds). (2000). Kekerasan Kolektif: Kondisi dan pemicu. Yogyakarta: P3PK,
UGM.
9
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a) Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab kerusuhan antar etnis Biak dan
Makassar di Manokwari?
A. Etnisitas
menjadi dasar dari segala upaya mencapai tujuan kelompok dalam wacana
globalnya, mandat radikalnya hanya terletak pada isu blut und boden (darah
dan tanah). 14 Jadi setiap orang yang menjadi anggota atau bagian dari suatu
kelompok etnis tertentu harus ditentukan oleh apa yang disebut oleh Niessen
kebetulan kelahiran: paling kuat adalah darah dan tempat asal-usul kelahiran
14
Davidson. S, James. (Eds). (2010: Hal 37-42). Adat dalam politik Indonesia. Jakarta: KITLV.
10
yang menjadi penentu keanggotaan. 15 Pada masyarakat yang mendiami suatu
wilayah di mana mereka ada dan hidup, di situlah berlangsung segala aktifitas
dalam hal imanijasi dan kreatifitas di dalam menghasilkan demi menjadi dan
memiliki segala sesuatu. Menjadi dan memiliki sesuatu ini berlangsung dalam
waktu yang cukup lama, berlangsung di dalam hubungan interaksi, baik yang
(values) yang diakui sebagai yang ditaati dan yang dilakukan, di samping nilai
(values) yang ditakuti dan menjadi larangan. Tetapi values ini masih berlaku
sosial masyarakat yang paling dasar dan awal mula lahirnya entitas yang
dinamakan marga, suku, dan etnis. Kelompok yang memiliki alur jelas
mengenai silsilah keturunan dan batas-batas kepemilikan wilayah, tidak lain dan
tidak bukan adalah kelompok marga, trah, atau fam. Mengapa? Karena marga
atau trah ini diyakini baik dalam mitologi maupun secara filsafatis memiliki
asal usul yang bukan hanya dipercaya sebagai suatu benda dengan kekuatan
kehidupan mereka. Dongeng-dongeng dan cerita rakyat tentang asal usul yang
11
mereka dan melindungi mereka dari segala kehidupan dunia dipercaya berasal
dari sebuah kehidupan awal manusia ketika manusia ada. Penyelamatan dan
bantuan-bantuan dalam cerita rakyat (mitologi) ini bukan hal yang tidak benar,
manusia dan sang pencipta yang menciptakan mereka dan menghidupi mereka
dengan segala energi dan sumber daya yang dimiliki manusia itu ketika manusia
itu diciptakan. 16
Jadi itu yang menyebabkan etnisitas pada dasarnya cenderung disikapi oleh
publik sebagai hal-hal yang lahiriah atau ciri-ciri fisik atau dapat disebut
melalui interaksi dan komunikasi yang mendorong manusia itu pada keadaan
asimilasi.
fisik, dan sifat secara biologis. Sederhananya ini merupakan anggapan umum
mengenai gestur tubuh, wajah, kulit dan rambut yang menunjukan keberadaan,
asal usul dan kedaerahan. Dalam hal lain GEN bisa jadi sebuah turunan yang
hal ciri-ciri fisik secara biologis ini menjadi ciri khas tetapi bukan sifat dasar
16
Huntington, P. Samuel. (1996: hal 8-9). Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia.
Yogyakarta: Qalam.
12
manusia dan fleksibel dalam dinamika sisi sosial manusia. Sehingga hal ini
seringkali lebih sedikit atau hanya secara simbolisme membuat orang sesama
etnis bersatu. Tetapi pada umumnya wadah resmi dari etnis yang memiliki
aturan tertulis, hokum (law) dan aturan main secara teknis maupun petunjuk
lisan itu didasarkan atas dasar desakan primordial (historis) dan isu bersama.
sebuah kelompok untuk bersaing. Kedua, cita-cita atau tujuan yang ingin
diperjuangkan, misalnya isu politik bersama merupakan isu penting yang dapat
(orde baru) tidak terperhatikan dengan baik. Meski dalam banyak hal gejala
timbul, muncul, maupun lahirnya etnis di dunia ini mirip dengan nasionalisme
(ideologi kebangsaan). Asal usul bangsa memiliki indikator yang sama hanya
Dua isu penting yang memang perlu kita lihat adalah perasaan senasib
sepenanggungan dan cita-cita atau dalam konteks isu politik dan ekonomi yang
17
Tambunan, M.B. Edwin. (2004: Hal 1-10). Nasionalisme-etnik: Kashmir dan quebec. Semarang:
Intra Pustaka Utama.
13
ingin diperjuangkan. Bobot dua nilai ini terbentuk ketika struktur biologis
kesamaan ciri biologis dalam satu wacana politik atau ekonomi di balik
maksud dan tujuan mereka. Maka kemudian bentukan ini tidak lagi
wilayah adat (tanah), dan kelompok marga saja, namun mengarahkan mereka
etnisitas yang juga cenderung dilihat sebagai sebuah wadah yang terdiri dari
kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama. Secara familiar konsep ini
berkaitan dengan identitas fisik, ras, dan kultur dalam kelompok masyarakat,
dan yang menjadi pengikat tali persatuan etnis adalah perasaan senasib-
dan akulturasi.
14
otoritarianisme negara tersebut masih kuat. Katakanlah orde baru yang sampai
hari ini kita akan terus mengingat strukturisasi etnis yang dekat dengan
nepotisme birokrasi ala jawasentris. Sehingga etnis lain selain Jawa menjadi
Pada kondisi tertentu, datang dan keluarnya migrasi dan transmigrasi ala
pulau dan sama-sama memiliki tujuan ingin memperbaiki hidup di tanah rantau
terutama Indonesia.
seperti yang digambarkan oleh Anderson, 1995; Frantz Fanon; dan juga
Bertrand, J, 2012, dan juga van Klinken. Etnisitas dekat dengan identitas dan
dimiliki oleh setiap orang terdiri dari dua struktur, personal dan komunal.
Namun baik personal dan komunal sama-sama didasarkan pada konsep dasar
memperjuangkan cita-cita bersama. Cita-cita yang sejak awal dibangun untuk ikut
merasakan hak sebagai warga negara dan sebelumnya pada suatu rezim pemerintahan
15
atau sebuah tirani tidak terwujudkan. Maka kemudian cita-cita dan pengalaman pahit
bersama inilah yang menjadi pemersatu tekad suatu kelompok.18 Sifat manusia, GEN
dan juga ciri-ciri fisik secara lahiriah (biologis) disinyalir sebagai sifat alamiah dan
tidak berubah. Lain halnya fleksibilitas dari konstruksi sosial manusia yang dapat
menghasilkan nilai tetapi juga bisa memusnahkannya. Ini semua menjadi pegangan
setiap manusia di dalam kelompok sosial terkecil yang mendiami suatu wilayah.
Akan tetapi pengalaman mereka di dalam suatu institusi politik yang didirikan oleh
founding fathers melalui kontrak sosial seperti sumpah pemuda di Indonesia sangat
mengikuti dua hal tadi, sehingga sistem yang dibangun di dalamnya memungkinkan
setiap keturunan yang memiliki persamaan budaya dan nasib tadi cenderung
dibangun atas dasar indikator biologis dan juga situasi dan konteks dalam
pengalaman mereka bersama. Ikatan persatuan dan kesatuan yang didirikan ini
kemudian dimodivikasi dengan berbagai usulan dan kesepakatan nama, bentuk tetapi
juga keanggotaan yang disahkan melalui aturan-aturan pokok dan tata cara pelaksaan
18
Rachman, F. N dan Siscawati, Mia. (2014). Masyarakat hokum adat: Adalah penyandang hak,
subjek hokum, dan pemilik wilayah adatnya.Yogyakarta: Insist Press (pp. Hal 29-58). Dalam
pembentukan identitas kolektif yang disinyalir sebagai bagian dari perasaan sama-sama merasakan
penderitaan dan sama-sama memiliki tujuan bersama ini kemudian digunakan sebagai landasan dan
berupa kontrak sosial yang membentuk kesatuan masyarakat di balik keanekaragaman masing-masing
ke dalam satu entitas politik yang memperjuangakan nasib warga Negara yang dinamakan masyarakat
adat. Meski masyarakat adat sendiri mengandung unsure kepribumian yang tidak tahu asalnya dari
mana, dan tidak memiliki sangkut paut dengan asal usul keturunan dan kepemilikan wilayah di dalam
komunitas etnis yang paling dasar yakni marga, klan atau trah.
16
Maka organisasi ini digunakan sebagai sebuah perahu yang akan didayung oleh
anggota kelompok, dipimpin oleh pemimpin kelompok yang ditunjuk dan juga tidak
lupa mereka menjaga integritas dan kesepakatan awal yang dibangun sembari
memasang strategi dan taktik dalam persaingan sebagai instrument dalam kehidupan
dan etika berperilaku yang ditimbulkan dari aturan tersebut serta prosedur
kelompok yang menjadi anggota dalam lembaga tersebut. Setiap marga, setiap trah
atau klan yang memiliki kemiripan dan mengalami nasib penderitaan yang sama
19
Douglas C.North. (2012). in Structureand Changein Economic History.
17
didasari oleh aspek-aspek fundamental yang ada di dalam diri manusia maupun
kolektif yang tidak terbatas dan tidak juga jauh dari nilai-nilai yang ada pada
diperjuangkan adalah identitas, dan yang menjadi isu pokok dalam setiap
spekulasi juga adalah identitas, baik secara personal maupun secara komunal
20
Beverly, crawfor dan Ronnie D. lipschutz. (1998). The Myth of ethnic conflict: politics,
economics, and cultural violence. USA: California at Berkeley.
21
Penjelasan mengenai identitas dan dinamika perkembanganya termasuk penggunaanya bisa dilihat di
dalam penjelasan Anderson, Benedict. (1999: Hal 11-15). Komunitas-komunitas imajiner: renungan
tentang asal usul dan penyebaran nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Huntington, P. Samuel.
(1996: hal 7-12). Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia. Yogyakarta: Qalam.
18
(kolektif). Maka sebenarnya identitas merupakan ciri khas pokok yang
perjuangan dalam bentuk yang lebih sederhana. Sedikitnya ada dua aspek
sadar dan sengaja mampu menempatkan diri di dunia. Kedua, relasional, dalam
sebanyak itu harus berbeda dengan orang lain yang memegang identitas yang
Persoalanya adalah identitas yang satu terkadang menjadi cair ke dalam beberapa
identitas yang abstrak dan berasal dari imajinasi setiap anggota kelompok yang
mengalami penderitaan dalam situasi konteks yang sama dan memiliki imajinasi dan
harapan menggapai tujuan yang sama. Inilah alasan mengapa etnisitas menjadi
sesuatu yang sangat fleksibel, tidak statis dan dinamis, bisa muncul di mana saja,
kapan saja.
Pada tahap akhirnya kita dibawa pada apa yang menjadi milik kita dan milik
mereka, kita adalah kita dan kita bukan mereka, sehingga pendatang (amberi) dari
22
Van Klinken Gerry. (2007: hal 11). Perang kota kecil: kekerasan komunal dan demokratisasi di
Indonesia. Jakarta: KITLV.
19
luar Papua seperti Jawa, Bugis-Buton-Makassar, Toraja, Batak, Ambon, NTT, dan
lain-lain dianggap bukan Papua. Dalam perkembanganya lagi setelah otsus dan
sendiri, sehingga orang Biak memang orang Papua tetapi bukan orang Manokwari,
atau orang Dani adalah orang Papua tetapi bukan orang Maybrat. Paham-paham ini
suku bangsa Papua tetapi menjadi etnis-etnis yang terpisah dan saling bersaing
administratit (pemerintahan).
Konflik sosial adalah hubungan antara dua atau beberapa orang atau kelompok
yang memiliki tujuan berbeda, Social conflict is a relationship between two or more
parties who (or whose spokesmen) believe they have incompatible goals.
Terdapat sejumlah pengertian dasar yang dapat kita gunakan untuk memahami apa
konflik itu. Konflik terjadi kalau ada dua atau lebih pihak yang memandang dan
yakin bahwa mereka memiliki tujuan yang tidak selaras (Kriesberg, 1982).
Konflik adalah sebuah persaingan antar pihak yang menyadari bahwa, pertama,
mereka memiliki potensi untuk tak selaras dalam posisi masing-masing di masa
20
posisi yang tak selaras dengan keinginan pihak lain (Boulding, 1962). Konflik adalah
perbedaan kepentingan atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada saat itu
tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt & Rubin, 1986). Selain definisi di atas,
konflik juga dapat dipahami sebagai memiliki kaitan dengan tiga hal yang sering kita
namakan sebagai segi tiga konflik. Pertama, situasi yaitu ketakselarasan tujuan,
lain berupa struktur sosial, nilai sosial, kelangkaan, kompetisi, perubahan. Kedua,
sikap, yaitu aspek-aspek kognisi (seperti konstruksi musuh) dan emosi (seperti rasa
benci dan bermusuhan) yang dialami pihak-pihak yang terlibat konfik. Sumber
konflik, sikap konflik antara lain berupa naluri agresif, ketegangan pribadi, dan
frustasi kelompok. Ketiga, perilaku, yaitu kegiatan, perkataan, dan perilaku actual
Namun dalam membahas kasus penelitian ini kita hanya diarahkan untuk
kondisi yang mempengaruhi munculnya kerusuhan antar etnis, dan pada kondisi
atau tidak. Dalam hal ini Johan Galtung memiliki pandangan terhadap kekerasan
dalam segi tiga kekerasan yang ditulisnya bahwa kekerasan meliputi tiga hal: (1)
23
Kriesberg, Louis. (1973). The sociology of social conflicts. New Jersey: Englewood Cliffs. Lihat juga
dalam Riza Noer Arfani. Pengelolaan Konflik
21
Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan seorang atau suatu
Kekerasan struktural ialah kekerasan yang bersumber dari interaksi sosial yang
terpolakan yang disebut dengan struktur sosial, baik di tingkat lokal, negara, maupun
agama, gender), militerisme, dan patriarki. Kekerasan budaya adalah kekerasan yang
budaya ini terutama memiliki fungsi legitimasi, bukan fungsi fisik. Kekerasan budaya
Agama dan ideology moderen sering dijadikan sebagai pembenar terhadap kekerasan
(komunal). Dalam hal ini dikususkan pada kasus kekerasan structural dan cultural.
masyarakat pada satu titik yang sama sedangkan masyarakat sendiri memiliki
24
Panggabean, Rizal. (1997). Manajemen konflik untuk polisi. The Asian Foundation, MPRK-UGM,
Yogyakarta: Yayasan Paramadina.
22
perbedaan pandangan, simbol-simbol identitas dan berbagai macam kondisi subyektif
yang telah dibangun sejak lama dalam kelompok masing-masing secara regionalistik
maka itu akan memperparah situasi. Segregasi social misalnya, dalam banyak kasus
Kedua pola ini pertama, sebagai suatu akibat dari kebijakan negara yang tidak
perasaan jengkel muncul. Kedua, kebiasaaan dan pola hidup yang dibawa dalam
mana mereka hidup. Sebenarnya secara umum kita bisa mengenal konsep sosiologi
Consolidated Cleavages baik karena kebijakan suatu rezim atau karena memang
kemiripan dengan Intersected. Meski dua konsep sosiologi ini secara khusus
memiliki pandangan secara structural dan historis berbeda dengan konsep asimilasi
23
dan segregasi social. Terlepas dari perbedaan tersebut kecenderungan kesamaan
konsep ini bisa dilihat dari perilaku masyarakat secara langsung dalam pengamatan
muncul apabila terdapat beberapa individu saling bertikai dan dari kesemuanya
manakala pemilahan sosial yang terjadi membuat warga masyarakat dari suku A
umumnya memeluk agama X dan memperoleh nafkah dari dari mata pencaharian
perdagangan, dan warga dari suku B umumnya beribadat menurut agama Y tidak atau
susah memiliki pekerjaan dan warga dari suku C umumnya beragama Z dan banyak
dari berbagai suku memeluk agama yang berbeda dan aktif mencari nafkah dalam
antar suku berubah menjadi antar agama dan antar kelas. Sedangkan dalam
25
Masoed, Mohtar (Eds). (2000: 13-26). Kekerasan kolektif kondisi dan pemicu. Yogyakarta:
Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan Universitas Gadjah Mada.
24
Siapapun yang memilih untuk masuk ke dalam kelompok etnis tertentu
namun prinsip radikal dan pragmatis cenderung berbeda dengan pandangan populis
oleh kelompok lain. Jika ini semakin ekstrim maka kecenderungan terjadinya
konflik etnis akan terjadi. Namun akan berbeda ketika beberapa kelompok etnis
diikuti oleh orang yang sama akan berpotensi positif bagi hubungan antar etnis
tersebut, artinya dalam satu kelompok etnis juga diikuti oleh etnis-etnis yang lain.
Hal ini biasanya cenderung terjadi karena perkawinan silang antar dua atau lebih
Ketika salah seorang dari kelompok etnis mencoba bergabung pada beberapa
kegiatan etnis lain, maka perhatian yang ditunjukan pada kelompok masarakat
tersebut cenderung terbagi. Anggota dari kelompok lain yang berpegang teguh
pada proses memotivasi kelompok lain untuk menyepakati hal tersebut, mereka
ingin menunjukan identitas mereka pada publik. Bisa menjadi ikatan yang terdiri
dari etnis-etnis yang berbeda apabila orang yang melakukan hal tersebut memiliki
26
Timur, Kuran. (1995). Ethnic Dissimilation and Its Global Transmission. Los Angeles:
Unpublished manuscript.
25
sifat ketokohan pada etnis yang diikutinya. Satu hal penentu adalah interaksi dan
maupun kolektif dan dapat pula membagi individu dalam dua identitas ini menjadi
sangat loyal terhadap kelompok etnisnya dan cenderung agresif terhadap kelompok
lain dengan anggapan berupa stereotip dan juga prasangka terhadap kelompok
tersebut.
kelompok tersebut berbeda dengan kelompok lainya. Kelompok ini dibentuk untuk
seperti warna kulit, rambut, dan cirri-ciri fisik tubuh. Atau bahkan menurut tempat
kelahiran. Namun secara khusus radikalisme konsep paradigma kelompok etnik ini
menjadi semakin universal di kalangan masyarakat itu karena memiliki sebuah visi
dan tujuan bersama sekaligus dimotori oleh pengalaman bersama (memoria passionis)
atau ingatan penderitaan yang diimajinasikan. Bahkan dalam banyak hal kelompok-
26
sama. Sehingga puncaknya niat memperjuangkan etnik ini didasarkan atas
Di sinilah letak munculnya kekerasan sosial yang dimotori oleh setiap tindakan
kepentingan hingga memakan korban fisik dan non fisik atau psikis. Meski dalam hal
karena segregasi social tetapi bisa juga karena asimilasi social termasuk pembauran
indicator subyektif dan obyektif yang bisa memobilisasi kelompok etnik ke dalam
satu etnik maupun dapat memisahkan kelompok tersebut dan meleburkan menjadi
I.5. HIPOTESIS
Dilihat dari lawan dan kawan, termasuk isu masalah yang diperdebatkan. Kekerasan
antar etnis di Papua dari Sorong hingga Merauke menjadi contoh konkrit bagi kita.
Insiden kekerasan antar suku-suku asli di Papua atas dasar masalah pembagian hasil
penjualan tanah, konflik kepemilikan wilayah, silsilah keturunan menjadi bagian dari
kekerasan horizontal yang sangat memuncak pasca reformasi. Selain itu pula
kekerasan antar etnis asli (indigenous) di Papua dengan para pendatang dari luar
27
Papua, seperti Jawa, BBM, Toraja, Batak merupakan contoh kenflik kedua yang
menjadi bagian dari kekerasan horizontal yang disebabkan karena greavance dan
diterlantarkan dan dibiarkan begitu saja tanpa ada pengertian setidaknya memberikan
sedikit kesempatan bagi mereka agar menikmati milik kepunyaan mereka. Alhasil ini
kekerasan yang disebabkan karena sentiment primordial terutama isu politik yang
Bugis, Buton, Makassar (BBM) atau pendatang yang berasal dari Sulawesi, meski
Suku Toraja masih tergolong Suku yang mendapat toleransi karena kesamaan dan
Terlihat jelas dominasi pendatang seperti Bugis, Buton dan Makassar sangat
28
pendatang Buton banyak menguasai sector penjualan ikan laut, karena kebanyakan
dari mereka adalah nelayan tradisional yang saat ini telah masuk dengan
dan perkakas dapur serta penjualan barang elektronik lebih banyak di dominasi oleh
kelompok Bugis dan Makassar hingga pada saham-saham yang menangani proyek-
proyek pemerintah baik APBD maupun APBN melalui CV/PT yang dimiliki secara
pribadi maupun komunal. Di lain pihak pendatang jawa banyak memasuki sektor
Sedangkan para migrant yang berasal dari tanah toraja lebih dominan berada di dalam
Konflik ini sangat terselubung dengan pengaruh sejarah politik Papua, pelanggaran
menyengsarakan. Secara kultur juga hal ini dipengaruhi oleh adanya kecenderungan
kedua suku ini memiliki budaya kekerasan yang sama. Makassar memiliki budaya
investasi dagangnya dengan sebuatan telung poccoe) tiga ujung, yakni ujung lidah,
ujung penis, dan ujung badik. Masing-masing memiliki pengertian sangat strategis,
mulai dari ujung lidah yang berarti kemampuan mereka dengan menggunakan lidah
sebagai alat negosiasi. Ujung penis di mana banyak suku-suku pendatang bugis dan
Makassar yang menikah dengan suku-suku biak terutama laki-laki bugis dan
Makassar. Ujung badik yang berarti untuk melindungi diri dari ancaman, para
pendatang ini dapat menggunakan badik sebagai senjata untuk menjaga diri. Hal ini
29
sangat ditakuti oleh mayoritas masyarakat Papua karena senjata pusaka milik orang
Makassar dan bugis ini cenderung mematikan dengan sekali tusukan.27 Selain itu
masih banyak segregasi sosial yang sangat eksklusif, bahkan karena hal inilah
stereotip lama antara pendatang pribumi terutama BBM dan suku Biak terus beredar
di masyarakat.
suku yang membuka dan membangun Kabupaten Manokwari sejak 1965 itu merasa
patrimonialistik menyebabkan suku Biak hanya berada dominan di Pasar, di Laut dan
di atas truk-truk pengangkut bahan bangunan. Suku yang telah berada di Manokwari
pada masa perang Koreri di mana mereka mencari manarmakeri (tuhan) menjadi
menetap di hampir seantero wilayah pesisir bagian utara pulau Papua: Serui, Nabire,
Raja Ampat. Mereka menajdi suku yang besar dan mempengaruhi perubahan kultur
setiap masyarakat yang mereka singgahi. Mereka lebih banyak berdagang dan hidup
di laut sebagai bagian dari kebiasaan yang sudah membudaya sebelum mengenal
birokrasi dan pemerintahan pada periode 1960an ketika Belanda masuk ke Papua.
Di satu sisi, kebijakan pemerintah daerah tidak lepas dari kesimpangsiuran yang
lebih banyak mengurus kepentingan uang pemekaran dan bagi-bagi saham bisnis
27
Aditjondro, G.J dalam Akhmad. (2000). Amber dan komin: studi perubahan ekonomi di Papua.
Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Yogyakarta.
30
pembangunan infrastruktur dasar. Protes dan tuntutan masyarakat seringkali ditampik
terlibat dalam pengelolaan konflik dan kekerasan sehingga banyak kejadian atau
peristiwa konflik dan kekerasan yang bukan diselesaikan tetapi diperpanjang, bahkan
A. Jenis Penelitian
atau fokus kelompok. Ia mencoba untuk mendapatkan pendapat yang mendalam dari
terbuka, dengan berbagai metode pengumpulan data, baik data wawancara, data
observasi, data dokumentasi, dan data audiovisual. Namun dalam penelitian ini,
peneliti tidak menggunakan data audiovisual. Semua data ini dianalisis dan
dilihat dari kedekatan antara peneliti dengan partisipan (informan) sangat terjaga dan
selalu meninggalkan hubungan baik yang bertahan dalam waktu yang lama.28
28
Creswell W. John. (2010: Hal 24). Research design. Yogyakarta: Pustaka pelajar; Dawson,
Chaterine. (2002). A practice guide to research methods. United Kingdom: How to books.
31
B. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa metode yang logis dan sesuai dengan
kebutuhan data. Agar data valid dan obyektif maka kumpulan data dari teknik
Observasi
Dokumentasi
memiliki hubungan erat dengan obyek penelitian. Selain itu dokumen berupa
gambar, foto maupun video dapat dilakukan sebagai bukti langsung sehingga
Wawancara
mengenal informen secara langsung. Dalam hal ini hubungan yang dibangun
32
C. Lokasi Penelitian
untuk mewawancarai aktor/unit analisis maka lokasi penelitian dalam penelitian ini
D. Unit Analisis
Saksi, Kepala Suku atau tokoh masyarakat, masyarakat dari kedua suku. Unit
analisis inilah yang akan memberikan petunjuk bagi analisis permasalahan dalam
E. Sistematika penulisan
BAB I
Berisi tentang proposal penelitian dalam ulasan metodologi dan metode yang
struktur dalam bab i ini adalah latar belakang, rumusan masalah, kerangka teori,
untuk mengetahui lebih lagi terhadap apa yang ingin kita tahu.
BAB II
Dalam bab ii ini akan mengisi sejarah konflik dan kerusuhan antar suku-suku di
33
memperbanyak rentetan masalah dan semakin menambah duri dalam daging
BAB III
Bab iii berisi tentang penyajian dan analisis data menganai obyek penelitian
yang diteliti. Dalam hal analisis data kekerasan antar etnis di Manokwari
tanggal 28 Desember 2013 yang akan menjadi data analisis sesuai dengan
BAB IV
Berisi tentang analisis bagaimana mobilisasi masa dalam kerusuhan ini terjadi
mempengaruhi orang dari suku Biak maupun BBM di Manokwari untuk saling
BAB V
khusus bagi resolusi jalan damai di Manokwari untuk proses jangka panjang.
34