Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FARMAKOTERAPI IV

EPILEPSI
Dosen Pembimbing : Dhanang Prawira Nugraha S.Farm.,Apt

Di susun oleh :

Narullita Erriga Prasakti

(1413206030)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


STIKes KARYA PUTRA BANGSA
TULUNGAGUNG
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa dan Kuasa karena atas
segala rahmat, berkat, pertolongan, anugerah serta bimbingan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul EPILEPSI ini dengan tepat waktu dan dengan sebaik-
baiknya.
Penulis menyusun makalah ini guna untuk memberikan informasi tambahan kepada para
pembaca mengenai hal-hal- yang menyangkut dengan PENYAKIT EPILEPSI. Kita tahu
bersama bahwa penyakit Epilepsi atau sering kita sebutkan penyakit AYAN adalah salah satu
penyakit yang membahayakan bagi tubuh manusia. Di era yang sangat modern ini, banyak sekali
pengaruh-pengaruh atau penyebab-penyebab yang dapat menimbulkan penyakit Epilepsi
tersebut. Banyak masyarakat yang seolah-olah tidak peduli dengan kesehatan mereka.
Dalam makalah ini, kita akan mengetahui tentang penyakit Epilepsi mulai dari definisi
penyakit, etiologi penyakit, patofisiologi atau dengan kata lain perjalanan penyakit,
penatalaksanaan, dan pengobatan penyaki Epilepsi.
Penulis berharap, semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi
penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.
Penulis menyadari, tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan makalah ini
yang belum sempurna, masih perlu perbaikan, dan masih banyak kekurangan serta kesalahan.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan agar dalam penyusunan makalah
berikutnya akan lebih baik dan dapat memenuhi keinginan para pembaca.
Semoga segala upaya berbagai pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini dapat
memajukan pendidikan kesehatan di negara kita, khususnya pendidikan kesehatan mengenai
PENYAKIT EPILEPSI.

Tulungagung, 09 April 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Judul ...............................................................................................

Kata Pengantar .............................................................................................. i

Daftar Isi.............................................................................. ........................... ii

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2

1.3 Tujuan. . 2

1.4 Manfaat . .. 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 4

2.1 Definisi Epilepsi .................................................................................. 4

2.2 Etiologi Epilepsi ................................................................................... 5

2.3 Klasifikasi Epilepsi ............................................................................ 6

2.4 Patofisiologi Epilepsi .......................................................................... 9

2.5 Pencegahan Epilepsi ............................................................................ 12

2.6 Diagnosis Penyakit Epilepsi ................................................................ 13

2.7 Pengobatan ......................................................................................... 13

2.8 Algoritma Terapi/Tatalaksana Epilepsi................ 16

BAB III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi atau penyakit ayan merupakan manifestasi klinis berupa muatan listrik yang
berlebihan di sel-sel neuron otak berupa serangan kejang berulang. Lepasnya muatan listrik
yang berlebihan dan mendadak, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dalam/dari otak
ke bagian-bagian lain dalam tubuh terganggu.
Secara umum masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit epilepsi. Akibatnya, penderita
epilepsi sering dikucilkan. Padahal, epilepsi bukan termasuk penyakit menular, bukan penyakit
jiwa, bukan penyakit yang diakibatkan ilmu klenik, dan bukan penyakit yang tidak bisa
disembuhkan.
Umumnya ayan mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka
kepala, pitam otak (stroke), tumor otak, alkohol. Kadang-kadang, ayan mungkin juga karena
genetika, tapi ayan bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum diketahui.
Semua orang beresiko mendapat epilepsi. Bahkan, setiap orang beresiko satu di dalam 50 untuk
mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna
narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya
mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari narkotik.
Pengetahuan masyarakat yang kurang tentang penyakit epilepsi atau ayan, melatarbelakangi
penulis menyusun makalah ini. Makalah ini membahas hal-hal mengenai penyakit epilepsi,
penyebab, klasifikasi penyakit epilepsi, mekanisme terjadinya epilepsi dan pengobatannya.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang
baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3%
penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi
(1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani
pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta
penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi (2004 Epilepsy).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Epilepsi ?
2. Bagaimana etiologi penyakit Epilepsi ?
3. Bagaimana klasifikasi penyakit Epilesi ?
4. Bagaimana Patofisiologi penyakit Epilepsi ?
5. Bagaimana pencegahan penyakit Epilepsi ?
6. Bagaimana diagnosa penyakit Epilepsi ?
7. Bagaimana cara pengobatan penyakit Epilepsi ?
8. Bagaimana Algoritma Terapi/Tatalaksana Epilepsi ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memberitahu masyarakat tentang pengertian Epilepsi.
2. Untuk memberitahu masyarakat tentang etikologi penyakit Epilepsi.
3. Untuk memberitahu masyarakat tentang klasifikasi penyakit Epilepsi.
4. Untuk memberitahu masyarakat tentang patofisiologi penyakit Epilepsi.
5. Untuk memberitahu masyarakat tentang gejala penyakit Epilepsi.
6. Untuk memberitahu masyarakat bagaimana diagnosis penyakit Epilepsi.
7. Untuk memberitahu masyarakat cara mengobati penyakit Epilepsi.
8. Untuk memberitahukan masyarakat Algoritma Terapi/Tatalaksana Epilepsi.

1.4 Manfaat
Dalam pembahasan mengenai Epilepsi (ayan) ini, mempunyai manfaat bagi pribadi
penulis, bagi pembaca dan bagi kemajuan IPTEK

Bagi penulis, selain mengetahui gejala penyakit epilepsi dan cara pengobatannya, diharapkan
dapat meningkatkan kesadaran berperilaku hidup sehat dan selalu waspada tehadap penularan
penyakit epilepsi.

Bagi pembaca, baik untuk penderita penyakit epilepsi maupun pembaca yang tidak
terkena penyakit epilesi. Bagi pembaca yang terkena penyakit epilepsi supaya rutin minum obat
dan meminta pertolongan kepada petugas kesehatan setempat apabila terjadi efek dari obat
tersebut, dan selalu melakukan gaya hidup sehat supaya penyakit epilepsi tidak menular kepada

2
orang lain. Bagi pembaca yang tidak terkena penyakit epilepsi, supaya menjaga kesehatan
tubuhnya dengan cara rutin berolahraga, makan makanan yang seimbang dan berperilaku hidup
sehat.
Bagi kemajuan IPTEK, diharapkan dapat menyebarkan informasi mengenai penyakit
epilepsi, cara pencegahan penyakit epilepsi, cara pengobatan penyakit epilepsi, dan cara hidup
sehat agar terhindar dari penyakit epilepsi secara cepat, tepat, dan merata kepada seluruh
masyarakat.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epilepsi


Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan
pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan
sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak
(serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai
proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat
dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah
suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy
(IBE) atau epilepsi adalah Suatu serangan berulang secara periodik dengan dan tanpa kejang.
Serangan tersebut disebabkan kelebihan neuron kortikal dan ditandai dengan perubahan aktivitas
listrik seperti yang diukur dengan elektro enselofogram (EEG). Kejang menyatakan keparahan
kontraksi otot polos yang tidak terkendali (ISO Farmakoterapi)
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik sebelumnya.
Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan
IBE yaitu:
Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya
Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologi dan
konsekuensi sosial yang ditimbulkan(Octaviana, 2008).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak
secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang
baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3%
penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi

4
(1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah menjalani
pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50 juta
penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi (harsono.2008).

2.2 Etiologi Epilepsi

Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak.
Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan
sebagaiepilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap
sebagaisimptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome
dan Lennox Gastaut syndrome.
Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Setiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang
disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada
permeabilitas selektif membran neuron yaitu perbedaan konsentrasi ion-ion seperti K, Na, Ca, Cl
(Shih, 2007).
Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya
2. Epilepsi sekunder atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.
Pada epilepsi primer tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga terdapat
kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak
yang abnormal.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder, atau akibat dari
adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak.

5
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan
obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alcohol, atau
mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak
(hipoksia),kerusakan karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
7. Penyakit seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat
menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
Epilepsi dapat kambuh kembali dikarenakan beberapa faktor. Faktor pencetus timbulnya
serangan pada penderita epilepsi, diantaranya yaitu : gangguan emosional, stress, tidur, haid,
cahaya tertentu. Faktor yang lainnya yaitu faktor makan dan minum, suara tertentu, membaca,
drug abuse, lupa atau enggan minum obat, faktor hiperventilasi dan suhu tubuh penyandangnya
(Harsono, 2001).

2.3 Klasifikasi Epilepsi

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi


sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum
atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan
dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan
gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Data 1. Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981) adalah
Bangkitan parsial
1. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik

6
d. Dengan gejala psikik

2. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)


a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme

3. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)


a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang
menjadi bangkitan umum

Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


1. Bangkitan lena
Lena ( absence ), sering di sebut petitmal. Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di dahului aura.
Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai dengan terhentinya percakapan untuk sesaat,
pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Hampir selalu pada anak-anak, mungkin
menghilang waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
2. Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-tiba, bisa
simetris dan asimetris, sinkronis taua asinkronis. Biasanay tidak ada kehilangan kesadaran
selama serangan.
3. Bangkitan tonik
Tonik, seranagan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot ekstremitas,
sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas. Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit
terjadi pada anak 1-7 tahun.

7
4. Bangkitan atonik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di menifestasikan
oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa
jatuh serta mendapatkan luka-luka.
5. Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aoleh hipotonia yang
tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini di ikuti sentakan bilateralyang lamanya 1
menit samapai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota
tubh. Seranagan ini bisa berfariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke
satu saat lain.
6. Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis seranag klasik epilepsi seranagn ini di
tandai oleh suatu sensasi penglihatan taua pendengaran selama beberapa saat yang di ikuti oleh
kehilangan kesadaran secara cepat.

Data 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma


1. Symptomatic
a.Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi yang diperkirakan
berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang predominan, EEG interiktal dan iktal, gambaran
neuroimejing.
b.Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal dari lobus frontal,
parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus tidak diketahui.
c.Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik(Octaviana, 2008).

Data 3. Klasifikasi Epilepsi yang berkaitan dengan situasi


a.Kejang demam
b.Berkaitan dengan alkohol
c.Berkaitan dengan obat-obatan
d.Eklampsia
e.Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi).

8
Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinyaserangan,
namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter,sehingga diagnosis epilepsi
hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namunalloanamnesis yang baik dan akurat sulit
didapatkan, karena gejala yang diceritakanoleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering
kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja
mendapat seranganepilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan
diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG).

2.4 Patofisiologi Eepilepsi

1. Patofisiologi Epilepsi Umum

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah
epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun
dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien bengong dan aktivitas normal
mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian
tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal
darithalam us, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada
sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras
thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik
korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur
non-REM. Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi
genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion.
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium
influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan
repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat
pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang
berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan
repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron. Hal

9
yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium
sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.

2. Patofisiologi Epilepsi Parsial


Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi lobus
temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus terjadi
hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi
input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input
inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular). Sel granula
dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi
bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal
Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan
molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant ini
menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk sinaps pada dendrit sel
granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron eksitatori yang berada di gyrus
dentatus berkurang (yang secara normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi
hipereksitabilitas.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di hippocampus.
Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah proliferatif gyrus dentatus
sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan pada akhirnya terjadi
ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi.
Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera
otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan
menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan
berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan
pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.

3. Patofisiologi Anatomi Seluler


Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke,
tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik

10
maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah
pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis.
Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi
bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi(focus ) di otak. Disisi lain epilepsi juga
akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan
retardasi mental.
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak.
Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik
yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.6 Keterlibatan
reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai patologi
terjadinya kejang dan epilepsi.
Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat
antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari
reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini
terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi
dari resepot nikotinik subunit alfa.
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-
ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion
ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron. Jika
terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga
terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor
neurotransmiter tertentu.
Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid
(GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai
sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus
dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.

11
Hal-hal yang dapat mencetuskan kejang
Kurang tidur
Lupa makan obat
Stres fisik maupun mental
Demam akibat infeksi
Alkohol
Menstruasi
Terlambat makan

Tindakan saat seseorang kejang


Bersikaplah tenang
Jaga agar penderita tidak sampai terluka
Longgarkan bajunya
Miringklan penderita pada sisi kirinya agar jalan nafas baik
Jangan masukkan benda apapun ke dalam mulutnya
Catat lamanya kejang
Jangan tahan penderita
Apabila bangkitan kejang lebih dari 5 menit atau tampak sangat berat, bawalah ke tempat
pengobatan terdekat secepat mungkin

2.5 Pencegahan Epilepsi


Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak,
disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada
bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko
tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan,
diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada
12
otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan
dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan
program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara
bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.

2.6 Diagnosa Penyakit Epilepsi.

1. Cara terbaik untuk menilai epilepsi adalah dengan memantau gelombang otak dan detak
jantung saat terjadi serangan,pemeriksaan fisik,riwayat pengobatan,gejala-gejala, penyakit,
riwayatt trauma, riwayat keluarga yang mengidap epilepsiserta faktor-faktor lain yang berkaitan.

2. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai keadaan keseluruhankesehatan


seseorang individu dan mengesankan keadaan-keadaan lain yang mungkin bertanggung jawab
atas kejadian epilepsi yang berulang. Elektroensefalogram (EEG)digunakan untuk merekam
aktivitas elektrik otak. EEG saat serangan epilepsi berlaku untuk melihat corak aktivitas otak
yang tidak normal. MRI lebih jelas menunjukkan bagian yang rusak atau berparut di otak dengan
jenis-jenis epilepsy yang tertentu.Hasil MRI dapat membantu menentukan diperlukannya
pembedahan atau tidak

2.7 Pengobatan

Obat antiepilepsi merupakan obat yang mampu mengontrol jenis kejang tertentu yang sesuai
dengan mekanisme aksi obat tersebut. Wibowo & Gofir (2006) membagi mekanisme kerja obat
antiepilepsi menjadi 2 bagian besar, yaitu : efek langsung pada membran yang eksitabel dan efek
melalui perubahan meurotransmitter. Berikut penggolongan OAE berdasarkan pada mekanisme
tersebut:
1. Efek langsung pada membran yang eksitabel.
Perubahan pada permeabilitas membran serta mencegah aliran frekuensi tinggi dan neuron-
neuron pada keadaan lepas muatan listrik epilepsi (Wibowo & Gofir, 2006). OAE dengan
mekanisme ini antara lain:

13
a. Fenitoin :
Mekanisme aksinya dengan memblokade kanal natrium dan beraksi dengan konduktansi pada
klorida dan kalsium, serta neurotransmisi voltage-dependent (Shorvon, 2000). Fenitoin memiliki
kinetika eliminasi tergantung dosis dan dihidroksilasi di hati oleh sistem enzim. Peningkatan
dosis yang kecil dapat meningkatkan waktu paruh dan kadar dalam serum yang besar.
Peningkatan kadar tunak mungkin tidak proporsional dengan toksisitas yang dihasilkan dari
peningkatan dosis 10% atau lebih (Porter dan Meldrum, 2012).
b. Karbamazepin
Derivat anti depresan trisiklik ini efektif untuk serangan parsial dan general tonik klonik, dapat
diberikan secara tunggal atau kombinasi. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat kanal
Na selama pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah potensial post
tetanik (Wibowo & Gofir, 2006).
c. Etosuksimid
Mekanisme kerja obat ini menghambat kanall Ca tipe T. Etosuksimid mempunyai efek penting
pada arus Ca2+, menurunkan arus nilai ambang rendah (tipe T). Arus kalsium tipe T
diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan pemacu pada saraf talamus sehingga terjadi
gelombang korteks yang ritmis dari serangan absence. Penghambat arus tersebut karenanya
merupakan kerja terapeutik dari etosuksimid (Katzung, 2002).
d. Valproat
Valproat diindikasikan sebagai drug of choice untuk epilepsi general idiopatik, epilepsi fokal,
epilepsi mioklonik, epilepsi fotosensitif, sindrom lennox dan second-line pada terapi spasme
infantil (Wibowo & Gofir, 2006). Valproat memiliki mekanisme aksi yang multipel, yaitu
mengahambat kanal Ca tipe T dan meningkatkan fungsi GABA tetapi hanya terlihat pada
konsentrasi tinggi. Obat ini meningkatkan sintesa GABA dengan menstimulasi Glutamic Acid
Dekarboksilasi (GAD). Obat ini menghasilkan modulasi selektif pada arus Na selama pelepasan
muatan (Wibowo dan Gofir, 2006).
e. Okskarbazepin
Okskarbamazepin digunakan sebagai monoterapi atau terapi tambahan pada serangan parsial
(sederhana, kompleks, umum sekunder) pada dewasa dan anak-anak, termasuk pasien yang baru
terdiagnosa (Browne dan Holmes, 2000). Mekanisme aksinya dengan menghambat kanal Na dan

14
berdampak pada konduktansi kalium dan memodulasi tegangan tinggi sehingga mengaktivasi
kanal Ca (Shorvon, 2000).
f. Lamotrigin
Lamotrigin diindikasikan sebagai terapi tambahan pada pasien dewasa dengan serangan parsial
yang tidak terkontrol dengan obat-obat pilihan pertama seperti fenitoin dan karbamazepin.
Lamotrigin memiliki toksisitas tergantung dosis yang minimal dan tidak memerlukan monitoring
hasil laboratorium (Browne dan Holmes, 2000).

2. Efek melalui perubahan neurotransmitter


a. Penghambatan aksi glutamat
Obat-obat dengan aksi ini antara lain:
1. Felbamat
Mekanisme kerja obat dengan memperkuat aktivitas GABA. Felbamat terbukti efektif baik pada
monoterapi maupun terapi tambahan pada serangan parsial pada pasien dengan usia 14 tahun,
obat ini juga bermanfaat untuk sindrom lennox-gastaut yang tidak berespon terhadap terapi lain
(Wibowo dan Gofir, 2006).
2. Topiramat
Topiramat diindikasikan sebagai terapi tambahan untuk serangan parsial dan untuk serangan
umum tonik-klonik primer pada pasien dewasa dan anak-anak berusia 2 hingga 16 tahun.
Topiramat dilaporkan memiliki sedikit interaksi dan diberikan sebanyak 2 kali sehari (Browne
dan Holmes, 2000). Mekanisme aksinya dengan menghambat kanal Na, memulai influx GABA-
mediated chloride dan memodulasi efek dari reseptor GABAA dan bereaksi pada reseptor AMP
(Shorvon, 2000).
b. Mendorong aksi inhibisi Gamma Amino Butyruc Acid (GABA) pada membran pasca-
sinaptik dan neuron
1. Klonazepam
Klonazepam sebagai agonis reseptor GABA, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor
GABAA. Efektif untuk serangan mioklonik, serangan umum dan sedikit berperan pada serangan
parsial. Obat ini digunakan sebagai terapi adjuvan untuk epilepsi refrakter. Klonazepam juga
digunakan sebagai terapi emergensi pada status epileptikus seperti diazepam (Wibowo dan Gofir,
2006).

15
2. Fenobarbital
Fenobarbital beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan pada tempat ikatan
barbiturat sehingga memperpanjang durasi pembukaan kanal Cl, mengurangi aliran Na dan K,
mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas glutamat. Fenobarbital merupakan OAE
dengan spektrum luas, digunakan pada terapi serangan parsial dan serangan umum sekunder.
Obat ini digunakan sebagai second drug karena memberikan efek buruk seperti sedasi dan
penurunan daya kognitif, namun pada status epileptikus, obat ini masih digunakan sebagai first
drug (Wibowo dan Gofir, 2006).
3. Klobazam
Klobazam merupakan derivat 1,5-benzodazepin (1982) yang memiliki khasiat antikonvulsi yang
sama kuatnya dengan diazepam. Klobazam digunakan sebagai obat tambahan pada absence yang
resisten terhadap klonazepam. Tidak dapat dikombinasi dengan valproat (Tan dan Rahardja,
2000). Klobazam merupakan terapi tambahan pada serangan parsial, umum, terapi
4. Gabapentin
Gabapentin mempunyai hubungan struktural yang sangat dekat dengan GABA. Walaupun
dirancang sebagai agonis GABA, pengalaman dan bukti klinis menunjukan bahwa gabapentin
tidak beraksi atau sedikit beraksi terhadap reseptor GABAA maupun GABAB. Sementara itu,
gabapentin juga tidak berpengaruh terhadap sintesis GABA. Awalnya gabapentin diteliti
manfaatnya sebagai antispasmodik dan sebagai analgetik. Kemudian gabapentin diteliti
manfaatnya sebagai OAE. Saat ini gabapentin sudah memperoleh lisensi untuk dipakai sebagai
OAE di Inggris, Amerika Serikat, Eropa daratan dan berbagai negara lainnya, namun demikian
ada yang menggunakan gabapentin sebagai analgetik walaupun tanpa lisensi. Gabapentin dipakai
sebagai adjuvan untuk serangan parsial atau serangan umum sekunder pada terapi epilepsi
(Harsono, 2007).

2.8 Alogaritma Terapi/Tatalaksana Epilepsi


Tujuan utama pengobatan epilepsi pada anak adalah tidak hanya membebaskan pasien dari serangan
kejang tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat, tetapi juga mengoptimalkan kualitas hidup penderita
epilepsi (Gidal dan Garnett, 2005).

Prinsip pengobatan epilepsi adalah :


1.Pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun

16
2.Pengobatan dimulai diberikan bila diagnosa telah ditegakkan dan setelah penyandang dan atau
keluarganya menerima penjelasan tujuan pengobatan dan kemungkinan efek samping
3.Pemilihan jenis obat yang sesuai dengan jenis bangkitan
4. Sebaiknya pengobatan dengan monoterapi
5. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif
tercapai
6.Pada prinsipnya pengobatan dimulai dengan obat antiepilepsi lini pertama. Bila diperlukan
penggantian obat, obat pertama diturunkan bertahap dan obat kedua dinaikkan secara bertahap
7. Bila didapatkan kegagalan monoterapi maka dipertimbangkan kombinasi OAE
8. Bila memungkinkan dilakukan pemantauan kadar obat sesuai indikasi (Kustiowati dkk, 2003).

Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal,
maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu. Jika keadaan tersebut sudah teratasi, maka
kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan
atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya
kejang lanjutan. Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasanya
hanya mengalami 1 kali serangan. Obat-obatan biasanya diberikan kepada penderita yang
mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat
anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.
Obat anti-kejang sangat efektif, tetapi juga bisa menimbulkan efek samping.
Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak-anak menyebabkan
hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk memantau fungsi ginjal, hati dan
sel -sel darah. Obat anti-kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain
bersamaan dengan obat anti-kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter, karena bisa merubah
jumlah obat anti-kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi serangan
epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan
pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita. Jika
penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernafas dan
tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal.
Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat

17
serat-serat saraf yang menghubungkan kedua sisi otak (korpus kalosum). Pembedahan dilakukan
jika obat tidak berhasil mengatasi epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi
(Anonim, 2009).
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada
beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti
GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian
kelompok inhibitorik GABAergik. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium
berperan dalam memblok loncatan listrik. Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi
selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek
terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang. Melihat banyaknya efek samping dari obat
antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi
itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai aktivator
terhadapreseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic
acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion
kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.

18
BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan
pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat melibatkan
sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer otak
(serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan berbagai
proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat
dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah
suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy
(IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Berdasarkan penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu epilepsi primer
atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya dan epilepsi sekunder atau
simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui. Penyebab spesifik dari epilepsi adalah kelainan
yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu
yang dapat merusak otak janin, menglami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak
(hipoksia), kerusakan karena tindakan. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada
otak. Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada anak-anak.
Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak. Radang atau infeksi pada
otak dan selaput otak. Penyakit seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi
sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum
atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan situasi yang berhubungan
dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan
gambaran klinis dan elektroensefalogram.

19
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi
tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan
karakteristik klinik yang menggambarkan pasien bengong dan aktivitas normal mendadak
berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut.
Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus,
hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan
bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri.
Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion
calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal
aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke,
tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik
maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah
pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa
menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada
beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti
GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini dikenal dengan pemberian
kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi. Penggunaan levetirasetam
sebagai obat antikonvulsan mendasar pada ikatan dengan protein SV2A di vsikel. Efektivitas
levetirasetam sebagai anti konvulsan dapat digunakan pada penderita-penyakit susunan saraf
lainnya yang tidak berefek pada gangguan kognitif.

20
DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, I. K., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008.ISO
Farmakoterapi.PT. ISFI Penerbitan: Jakarta
Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pendahuluan, definisi, klasifikasi, etiologi, dan terapi.
Dalam: Pedoman Tata Laksana Epilepsi. Jakarta : PERDOSSI; 2008. hal.1-13
Oktaviana, Fitri. 2008. Epilepsi. Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical Development
and Medical application Vol. 2,No.4 Edisi November - Desember 2008.
Sudir Purba, Jan. 2008. Epilepsi: Permasalahan di Reseptoratau Neurotransmitter. Medicinus
Scientific Journal of Pharmaceutical Development and Medical application Vol. 2, No.4 Edisi
November Desember 2008.
Wibowo S, Gofir A (2006). Farmakoterapi dalam neurologi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika,
pp: 7-8.
Elizabeth, J.Corwin. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Cetakan I. Penerbit : EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif. dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Auskulapius, Jakarta
Janz D. The teratogenic risk of antiepileptic drugs. Epilepsia, 1975; 16: 159-169Obat epilepsi.
2010.
Yerby MS. Epilepsy. Epilepsia, 1991 ; 32: S51-9
Olson,Jemes. 2004.belajar mudah farmakologi.penerbil:EGC,Jakarta
Katzung,betran.2002.farmakologi dasar dan klinik.buku 2,no.8 edisi.penerbit:salemba
medika,Jakarta
Shorvon S. Handbook of Epilepsy Treatment. Toronto:Blackwell Science Ltd; 2000. hal.235-8
Wibowo S, Gofir A. Mekanisme dan indikasi klinik obat antiepilepsi. Dalam: Buku obat anti
epilepsi. Yogyakarta: Penerbit pustaka cendekia press; 2006. hal. 53-8.
Wibowo S, Gofir A. Farmakologi obat antiepilepsi. Dalam: Buku obat anti
epilepsi. Yogyakarta: Penerbit pustaka cendekia press;2006. hal. 7-12
Engel J, Timothy A, Pedley. Introduction: What is epilepsy? Epilepsi A
comprehensive textbook. NewYork: 2008; I (1);1-7.

21

Anda mungkin juga menyukai