Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH FARMAKOTERAPI I

ASMA

Di susun oleh :

SINTYA LARASATI
(1413206036)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

STIKes KARYA PUTRA BANGSA

TULUNGAGUNG

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga laporan ini dapat disusun dengan baik.
Dalam penyusunan laporan fieldtrip ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk
itu tidak salah pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada :
Bapak Choirul Huda. S.Farm.,Apt ,Bapak Arif Santoso. S.Farm.,Apt ,Ibu Tri Anita Sari.
S.Farm.,Apt ,Ibu Amalia Eka Putri . S.Farm.,Apt selaku Dosen Pembimbing
Seluruh pihak yang telah membantu sehingga dapat diselesaikannya laporan fieldtrip ini .
Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih kurang dari sempurna. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun terhadap penyempurnaan
laporan ini agar lebih baik kedepannya. Semoga laporan ini berguna bagi semua pembaca.

Tulungagung , 29 November 2016

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................... 1

Kata Pengantar .............................................................................................. 2

Daftar Isi.............................................................................. ........................... 3

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 4

1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6

2.1 Tanda dan Gejala ................................................................................. 6

2.2 Epidemiologi ....................................................................................... 7

2.3 Etiologi ........................................................................................... 8

2.3 Patofisiologi ........................................................................................ 9

2.3 Evaluasi ........................................................................................... 11

2.3 Diagnosis ........................................................................................... 12

2.3 Terapi Farmakologi ............................................................................ 12

2.3 Penatalaksanaan ................................................................................. 13

2.3 Terapi Non-Farmakologi .................................................................... 14

BAB III. PENUTUP

2.3 Kesimpulan ........................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan penyakit saluran napas yang ditandai oleh penyempitan bronkus akibat
adanya hiper reaksi terhadap sesuatu perangsangan langsung atau fisik ataupun tidak langsung.
Tanpa pengelolaan yang baik asma akan mengganggu kehidupan penderita dan akan cenderung
mengalami peningkatan, sehingga dapat menimbulkan komplikasi ataupun kematian. Walaupun
asma merupakan penyakit yang dikenal luas di masyarakat namun kurang dipahami semestinya
hingga timbul anggapan dari sebagian dokter dan masyarkat bahwa asma merupakan penyakit
yang sederhana dan mudah diobati. Sehingga timbul kebiasaan untuk mengatasi gejala asma
hanya terhadap gejala sesak napas dan mengi dengan pemakaian obat-obatan dan bukannya
mengelola secara lengkap.
Terdapat kesulitan dalam mengetahyi sebab dan cara mengontrol asma. Pertama timbul
akibat adanya perbedaan perspektif mengenai definisi aates faal paru untuk mengetahui adanya
hiperreaksi bronkus (HRB). Ketiga untuk penelitian dipakai definisi asma berbeda-beda. Asma
akut (current ashma) bila telah ada serangan dalam 12 bulan terakhir dan terdapat HRB : asma
persisten, bila terus menerus terdapat gejala dan HRB sedangkan asma episodik bila secara
episodic dijumpai gejala asma tanpa adanya HRB, pada tes provokasi.
Keempat, angka kejadian dari penelitian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan objek
penelitian yaitu faktor lokasi (Negara, daerah, kota atau desa), populasi, pasien masyarakat atau
sekolag/rumah sakit, rawat inap atau rawat jalan), usia (anak, dewasa), cuaca (kering atau
lembab), predisposisi (atopi, pekerjan), pencetus (infeksi, emosi, suhu, debu, dingin,kegiatan
fisik), dan tingkat berat seranagn asma (Woolcock, 1994).
Menurut Sri Astuti Suparmanto (1994) mengatakan prevalensi asma pada anak
Indoenesia cukup tinggi. Meski demikian pemerintah belum memiliki data yang rinci untuk tiap
wilayah. Hanya memiliki data pada anak sekolah di beberapa kota besar seperti Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Denpasar. Prevalensi pada anak SD
berkisar antara 3,7%-16,4% sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%. Berdasarkan pada
Survei Keehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1996. Penyakit-penyakit yang meneyebabkan
sesak napas seperti bronchitis, emfisema dan asma merupakan penyebab kenatian ke-7 di
Indonesia. WHO memperkirakan antara 100-150 juta penduduk di dunia menyandang asma dan
diperkirakan jumlahnya terus bertambah sekitar 180.000 setiap tahunnya. Asma terdapat dan
tersebar di seluruh tempat di dunia dengan kecepatan yang bervariasi. Kekerapan yang paling
tinggi ditemukan di negara-negara Anglo-Saxon yakni 17-20%. Di Indonesia belum ada survei
nasional, tetapi penelitian yang dilakukan oleh beberapa institusi menunjukkan kekerapan antara
2-7% (Van, 2004).
Akhir-akhir ini dilaporkan adanya peningkatan prevalensi morbiditas dan moratitas asma
di seluruh dunia terutama di daerah perkotaan dan industri. Disebabkan penderita asma ringan
dan periodik tidak mnyadari mengidap asma dan menduganya sebagai penyakit pernapasan lain
atau batuk biasa. Gangguan batuk dan sesak dialami bila ada rangsangan seperti angina malam
yang dingin, flu atau iritasi bahan polutif seperti rokok atau asap hingga diduganya semata-mata
terjadi akibat adanya rangasangan tersebut. Pemikiran timbul bila napas telah berbunyi atau
mengi dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Padahal pada saat tersebut mungkin telah terdapat

4
gangguan lanjut berupa emfisema yang merupakan gangguan faal paru hingga perlu
menggunakan obat asma secara kontinyu.
Prevalensi yang tinggi menunjukkan bahwa pengelolaan asma belum berhasil. Berbagai
faktor menjadi sebab dari keadaan yaitu berbagai kekurangan dalam hal pengetahuan tentang
asma, kelaziman melakukan diagnosis yang lengkap atau evaluasi pre terapi, sismatika dan
pelaksanaan pengelolaan, upaya pencegahan dan penyuluhan dalam pengelolaan asma.
Mengingat hal tersebut pengelolaan asma yang terbaik haruslah dilakukan pada saat dini dengan
berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan asma. Untuk mengingat
pengelolaan asma yang baik hal-hal tersebut harus dipahami dan dicarikan pemecahannya (Zul
Dahlan, 2005).
Untuk itulah senam pernapasan didirikan sehingga dapat memberikan pelayanan,
pendidikan dan pelatiahn senam penyembuhan dengan pola napas, olah gerak, dan olah batin
serta pemanfaatan energi kehidupan untuk kesembuhan orang lain. Sumber energi utama yang
dibutuhkan dalam kehidupan manusia adalah udara/oksigen, sebab tanpa oksigen manusia pasti
akan mati. Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Energi hanya dapat
dirubah dari bentuk satu kebentuk yang lain. Energi adalah kemampuan untuk melakukan kerja,
(O2 + Karbohidar + Lemak Sistem metabolisme - ATP = Energi = Kerja.). Dari hukum-
hukum tersebut ditambah kajian ilmu olahraga maka dapat disimpulkan bahwa ilmu olah
pernafasan adalah suatu tata cara mengatur system pernapasan dengan disertai tata konsentrasi,
tata gerak, fisik untuk mengubah energi udara menjadi energi tertentu yang bermanfaat. Dengan
suatu metode yang tepat dann benar energi udara dapat diubah menjadi energi kesehatan,
penyembuhan, daya tahan , peningkatan vitalitas kerja, konsentrasi dan kekuatan batin, tenaga
dalam dan fungsi pernapasan (Santosa Griwijoyo,2006).
Fungsi dari senam pernapasan dapat memberikan manfaat yang lebih besar, aman dan
nyaman dan memperbaiki kualitas hidup seluruh penderita asma karena senam pernapasan
merupakan suatu bentuk olahraga yang gerakannya tidak terlalu berat (relaks), tapi dapat
menyebabkan energi atau tenaga banyk berkurang. Senam pernapasan merupakan olahraga yang
intensitas dan frekuensinya yang tepat bagi penderita asma sehingga dengan latihan olahraga
senam pernapasan diharapkan dapat bermanfaat untuk mengendalikan dan mengurangi
kambuhnya serangan asma.

5
BAB II

ISI

Dalam tiga puluh tahun terakhir tejadi peningkatan prevalensi (kekrapan penyakit) asma
terutama di Negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di asia seperti Singapura, Taiwan,
Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok, kasus asma meningkat insidennya secara dramatis
selama lebih dari lima belas tahun, baik di Negara berkembang maupun di Negara maju. Beban
global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas
hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan,
risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi yang ada
di Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkis
kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995,
prevalensi asma di seluruh Indonesia sebasar 13/1000, dibandingkan dengan bronkritis kronik
11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.
Asma merupakan penyakit kronis pada saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi,
peningkatan reaktivitas terhadap semua stimulus, dan sumbatan saluran napas yang bisa kembali
spontan atau dengan pengobatan yang sesuai. Seiring dengan perlunya mengetahui hubungan
antara terapi baik dan keefektifan terapetik, baik peneliti ataupun tenaga kesehatan harus
memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien. Berbagai upaya telah
dilakukan pemerintah untuk menanggulangi asma di masyarakat, namun tanpa peran serta
masyarakat tentunya tidak akan dicapai hasil yang optimal.
Apoteker dalam hal ini dapat membantu penanganan penyakit asma dengan cara
mengarahkan pada pasien yang telah diduga menderita asma untuk memeriksakan dirinya,
memotivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan, memberikan informasi dan konseling serta
membantu dalam pencatatan pelaporan. Oleh kerna itu untuk memberikan bekal pengetahuan
bagi apoteker sebagai sumber informasi terutama untuk masalah terkait dengan obat asma,
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik juga merasa perlu untuk membuat buku saku.

2.1 Tanda dan Gejala

Asma memiliki tanda-tanda maupun gejala yang cukup beragam pada setiap orang, mulai
dari gejala ringan hingga gejala yang paling akut. Pada usia anak-anak yang terserang asma
disebut sebagai asma kronis yang dapat berlangsung lama dan berulang-ulang menyebabkan
penyempitan permanen, ditandai dengan bertambahnya tingkat akut dan frekuensi dari tanda dan
gejala asma, menurunnya aliran napas dalam ukuran rata-rata maksimum yang diukur
menggunakan peak flow meter, serta meningkatnya kebutuhan terhadap penggunaan
bronchodilator (pengobatan dengan cara mengistirahatkan otot-otot saluran pernapasan).

6
Gejala-gejala saat terjadi asma pada semua usia ditandai beberapa kelainan pola pernapasan serta
aliran udara terhambat. Saat paru-paru penderita mengalami iritasi dari pemicu asma, saluran
pernapasan menjadi menyempit, otot-otot disekitarnya mengencang dan produksi dahak
meningkat. Penderita asma akan mengalami gejala meliputi batuk, napas pendek, sulit tidur, otot
dada terasa sakit dan kadang sesak napas. Pada mental seseorang juga akan tampak gejala
penderita asma seperti merasa tegang, merasa gugup dan ketakutan. Di samping itu, penderita
asma biasanya mengalami cepat lelah, kesulitan tidur, mengalami demam ringan, kening
berkeringat, serta sulit untuk konsentrasi penuh dan sulit berbicara.

2.2 Epidemiologi
ASMA merupakan penyakit kronik yang banyak diderita oleh anak dan dewasa baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 300 juta manusia di dunia menderita asma
dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 400 juta pada tahun 2025. Meskipun
dengan pengobatan efektif,angka morbiditas dan mortalitas asma yang masihtetap tinggi .satu
dari 250 orang yang meninggal adalah menderita asma. Di negara maju meskipun sarana
pengobatan mudah didapat,asma masih tetap tinggi. Satu dari 250 orang yang meninggal adalah
penderita asma. Di negara maju meskipun sarana pengobatan mudah didapat,asma masih sering
tidak terdiagnosis dan tidak diobatai secara tepat.asma menyebabkan kehilangan dari sekolah
anak diasia (16%), EROPA (34%) serta Amerika serikat (40%).
Prevalens asma di dunia sangat bervariasi dan penelitihan epidiemologi menunjukkan
bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara maju. Studi di Australia, New
Zealand dan inggris menunjukkan bahwa prevalens asma anak meningkat dua kali lipat pada
dua dekade terakhir. Di Amerika,National Health survey tahun 2001 hingga 2009 mendapatkan
prevalens asma meningkat dari 7,3% (20,3 juta orang) di tahun 2001 menjadi 2001 menjadi
8,2% (24,6% juta orang) di tahun 2009. Penelitian croos sectional internasional Study of Asthma
and Allergies in Childhood (ISAAC) dan beberapa penelitian pada orang dewasa menyimpulkan
bahwa prevalens asma di negara maju tidak meningkat dan bahkan cenderung menurun pada
sepuluh tahun terakhir
Penelitihan ISAAC tahap pertama yang dilakukan di 56 negara mendapatan angka
prevalens yang sangat bervariasi berkisar antara 2,1% hingga 32,2% pada kelompok 13-14 tahun
dan 4,1% hingga 32,1% pada kelompok 6-7 tahun.Angka kekerapan yang tinggi terutama pada
negara yang berbahasa inggris, australia dan New zailand , sedangkan prevalens asma rendah
pada negara berkembang seperti China,India,Meksiko dan indosesia. Hasil penelitihan ISAAC
tahap ke tiga menunjukkan bahwa tidak semua negara dijumpai perubahan prevalens asma
dibandingkan dengan hasil penelitihan tahap pertama.Banyak negara yang mengalami
peningkata prevalens asma terutama pada kelompok usia yang lebih muda (6-7 tahun) Meskipun
demikian, prevalens asma cenderung sedikit menurun pada kelompok umur 13-14 tahun di
negara yang sebelumnya mempunyai prevalens asma yang tinggi.

7
Pola Prevalens Asma di Indonesia
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
indonesia pada SKRT 1992,asma,bronkitis kronik dan enfisemea sebagai penyebab kematian
(mortalitas) ke-4 di indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995 ,prevalens asma di seluruh
indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.
Di indonesia belum ada survei asma secara nasional.hasil penelitihan menunjukkan prevalens
asma di indonesia sangat bervariasi.perbedaan ini antara lain disebabkan kriteria definisi asma
yang berbeda dalam penelitian,perbedaan metodologi yang digunakan,perbedaan etnik,perbedaan
faktor lingkungan dan tempat tinggal serta perbedaan status sosial ekonomi subjek penelitian.

2.3 Etiologi

Faktor Generik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Ras/etnik
d. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor resiko asma.
Mediator tertentu sepetti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,

8
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi
paru, morbiditas dan status kesehatan.
Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang
seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari dan spora jamur).
Faktor Lain
a. Alergen makanan
Contoh : susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obat tertentu
Contoh : penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik dan lainlain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh : parfum, household spray, dan lain lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress atau gangguan emosi berlebih dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga dapat memberatserangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stress atau gangguan emosi perlu
diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum
diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit untuk diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum
dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
maningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced astma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas atau olahraga tertentu.
Sebagian besar penderita asma akan mendapatkan serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktivitas biasanya terjai segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Prubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan
kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti : musim hujan, musim kemarau,
musim bunga (serbuk sari beterbangan).
i. Status ekonomi

2.4 Patofisiologi

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain allergen, virus, dan
iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu
imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibody IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibody IgE terutama melekat pada

9
permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibody IgE orang
telah meningkat. Alergen kemudian akan berikatan dengan antibody IgE yang melekat pada sel
mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil ,sekresi
mucus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,,sehingga
menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas
terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada
otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan dan alergen dan
bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi
seperi eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma.
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nerveus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan reflex bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke
dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada bebarapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel
mast yang misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin , asap, kabut dan SO2. Pada
keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui reflex saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang
terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptide sensorik senyawa p, neurokinin A dan
Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lender, dan aktivasi sel-sel
inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus
tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya
hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.

10
2.5 Evaluasi klinis

Penatalaksanaan asma bertujuan :


Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat
Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel
Meminimalkan kunjungan ke gawat darurat
Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah hal yang penting
sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter selalu mendengarkan keluhan
pasien, itu merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan
dalam penatalaksanaan asma, yaitu mengembangkan hubungan dokter pasien, identifikasi
dan menurunkan pajanan terhadap faktor resiko, penilaian, pengobatan dan monitor asma
serta penatalaksanaannya asam ekaserbasi akut.
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu:
a. Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera.
Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit atau gawat darurat.
Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar
pasien dapat mengobati dirinya sendiri pada saat serangan di rumah sebelum ke
dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala,
pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat
diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan
faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan dalam
pengobatan atau tindakan.
b. Penatalaksanaan Asma Kronik

11
Pasien dengan asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan
asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan
asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol
penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol. Bronkodilator
merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi ekaserbasi atau seranfgan ,
dikenal pelega.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang meliputi :
a. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan asma
b. Meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi pasien dalam pengendalian asma
c. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma
d. Meningkatkan kemandirian pasien dalam penggunaan obat atau alat inhalasi
Pelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan melalui berbagai
media penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi dan media
elektronik lainnya.

2.5Oat Asma adalah sebagai berikut :

1. SIMPATOTETIK
Mekanisme Kerja
Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
a. Stimulasi reseptor adrenergik yang mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
b. Stimulasi reseptor 1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas
dan irama jantung.
c. Stimulasi reseptor 2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens
mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama
penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang umum. Obat
simpatomimetik selektif 2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang
paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan
langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan
efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar
terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan
bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik. Pada tabel 2 dapat
dilihat perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik berbagai obat
simpatomometik yang digunakan pada terapi asma.

12
Keterangan :
a. potensi molar relatif 1 adalah yang paling kuat
b. semua obat ini mempunyai aktivitas 1 minor
c. dapat digunakan melalui aerosol
Indikasi
Agonis 2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan,
bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap
gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk
mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis 2 kerja
singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan
untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan
fisik.

13
Dosis dan Cara Penggunaan

14
Tabel 3 Dosis Golongan Bronkodilator Simpatomimetik
Efek Samping
Efek samping umumnya berlangsung dalam waktu singkat dan tidak ada efek
kumulatif yang dilaporkan. Akan tetapi, tidak berarti pengobatan dihentikan, pada
beberapa kasus, perlu dilakukan penurunan dosis untuk sementara waktu.

Tabel 4 Efek Samping Bronkodilator Simpatomimetik


Kontra Indikasi
Obat simpatomimetik dikontraindikasikan untuk penderita; yang alergi terhadap
obat dan komponennya (reaksi alergi jarang terjadi), aritmia jantung yang
berhubungan dengan takikardia, angina, aritmia ventrikular yang memerlukan
terapi inotopik, takikardia atau blok jantung yang berhubungan dengan intoksikasi
digitalis (karena isoproterenol), dengan kerusakan otak organik, anestesia lokal di
daerah tertentu (jari tangan, jari kaki) karena adanya risiko penumpukan cairan di
jaringan (udem), dilatasi jantung, insufisiensi jantung, arteriosklerosis serebral,

15
penyakit jantung organik (karena efinefrin); pada beberapa kasus vasopresor
dapat dikontraindikasikan, glukoma sudut sempit, syok nonafilaktik selama
anestesia umum dengan hidrokarbon halogenasi atau siklopropan (karena
epinefrin dan efedrin).
2. XANTIN
Mekanisme Kerja
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan
merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal,
merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung,
menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus.
Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek
kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu
menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan
penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik.
Indikasi
Untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan bronkospasma
reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan emfisema.
Dosis dan Cara Penggunaan
a. Aminofilin
Status asmatikus seharusnya dipandang sebagai keadaan emergensi. Terapi
optimal untuk pasien asma umumnya memerlukan obat yang diberikan secara
parenteral, monitoring ketat dan perawatan intensif. Berikut adalah dosis
untuk pasien yang belum menggunakan teofilin.

Keterangan a : Dosis ekivalen dari teofilin


Tabel 5 Dosis Aminofilin
b. Teofilin
Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian dosis berdasarkan
respon klinik dan perkembangan pada fungsi paru-paru. Dosis ekivalen
berdasarkan teofilin anhidrat yang dikandung. Monitor level serum untuk
level terapi dari 10-20 mcg/mL.
Berikut adalah dosis yang direkomendasikan untuk pasien yang belum
menggunakan teofilin.

16
Tabel 6 Dosis Teofilin
c. Difilin dan Oktrifilin

Tabel 9 Dosis Difilin dan Oktrifilin


3. ANTIKOLINERGIK
a. Ipratropium Bromida
Dosis dan Cara Penggunaan

Tabel 10 Dosis Ipratropium bromide


b. Tiotropium Bromida
Dosis dan Cara Penggunaan
1 kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi Handihaler

17
4. KROMALIN SODIUM dan NEDOKROMIL
a. Kromalin Natrium
Mekanisme Kerja
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai aktifitas
intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas
glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan
SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast.
Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan.
Dosis dan Cara Penggunaan
Larutan nebulizer : dosis awal 20 mg diinhalasi 4 kali sehari dengan interval yang
teratur. Efektifitas terapi tergantung pada keteraturan penggunaan obat.
Pencegahan bronkospasma akut : inhalasi 20 mg (1 ampul/vial) diberikan dengan
nebulisasi segera sebelum terpapar faktor pencetus.
Aerosol : untuk penanganan asma bronkial pada dewasa dan anak 5 tahun atau
lebih. Dosis awal biasanya 2 inhalasi, sehari 4 kali pada interval yang teratur.
Jangan melebihi dosis ini. Tidak semua pasien akan merespon dosis ini, dosis
yang lebih rendah akan diperlukan pada pasien yang lebih muda. Keefektifan
pengobatan pada pasien asma kronik tergantung kepada keteraturan penggunaan
obat.
b. Nedokromil Natrium
Mekanisme Kerja
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini
akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai
tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel
mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon
bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi.
Dosis dan Cara Penggunaan
2 inhalasi , empat kali sehari dengan interval yang teratur untuk mencapai dosis
14 mg/hari.
Nedokromil dapat ditambahkan kepada obat pasien yang ada sebelumnya (seperti
bronkodilator). Jika efek pengobatan tercapai dan asma terkendali, usaha untuk
menurunkan penggunaan obat secara berturut-turut harus dilaksanakan secara
perlahan-lahan.
5. KORTIKOSTEROID
Mekanisme Kerja
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja
dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan
jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta
adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme
bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan
inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik
minimal.

18
Dosis dan Cara Penggunaan

Tabel 11 Dosis Golongan Kortikosteroid


6. ANTAGONIS RESEPTOR LEUKOTRIEN
a. Zafirlukast
Mekanisme Kerja
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan
kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting
substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.

19
Dosis dan Cara Penggunaan
Dewasa dan anak >12 tahun : 20 mg, dua kali sehari
Anak 5 11 tahun : 10 mg, dua kali sehari.
Oleh karena makanan menurunkan bioavailabilitas zafirlukast, penggunaannya
sekurang-kurangnya satu jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan.
b. Montelukast Sodium
Mekanisme Kerja
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada
penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1).
Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari sel
mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan
edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular
yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala
asma.
Dosis dan Cara Penggunaan

Tabel 12 Dosis Montelukast Sodium


c. Zilueton
Mekanisme Kerja
Zilueton adalah inhibitor spesifik 5-lipoksigenase dan selanjutnya menghambat
pembentukan (LTB1, LTC1, LTD1, Lte1).
Dosis dan Cara Penggunaan
Dosis zilueton untuk terapi asma adalah 600 mg, 4 kali sehari. Untuk
memudahkan pemakaian, zilueton dapat digunakan bersama makanan dan pada
malam hari.
ALGORITMA TERAPI DAN MANAJEMEN PENYAKIT
Penatalaksanaan asma bertujuan :
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat
Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas lainnya
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel
Meminimalkan kunjungan ke gawat darurat

20
Komunikasi yang baik dan terbuka antara dokter dan pasien adalah hal yang penting
sebagai dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter selalu mendengarkan keluhan
pasien, itu merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan
dalam penatalaksanaan asma, yaitu mengembangkan hubungan dokter pasien, identifikasi
dan menurunkan pajanan terhadap faktor resiko, penilaian, pengobatan dan monitor asma
serta penatalaksanaannya asam ekaserbasi akut.
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu:
c. Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera.
Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit atau gawat darurat.
Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar
pasien dapat mengobati dirinya sendiri pada saat serangan di rumah sebelum ke
dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala,
pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat
diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan
faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan dalam
pengobatan atau tindakan.
d. Penatalaksanaan Asma Kronik
Pasien dengan asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan
asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan
asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol
penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol. Bronkodilator
merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi ekaserbasi atau seranfgan ,
dikenal pelega.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, salah satu cara dapat dilakukan dengan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang meliputi :
e. Penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang pencegahan dan penanggulangan asma
f. Meningkatkan pengetahuan, motivasi dan partisipasi pasien dalam pengendalian asma
g. Untuk merubah sikap dan perilaku pasien dalam pengendalian asma
h. Meningkatkan kemandirian pasien dalam penggunaan obat atau alat inhalasi
Pelaksanaan KIE tentang asma dan faktor risikonya dapat dilakukan melalui berbagai
media penyuluhan, seperti penyuluhan tatap muka, radio, televisi dan media
elektronik lainnya.

2.5 Monitoring dan Evaluasi Asma adalah sebagai berikut :

Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan meningkatkan keberhasilan terapi.
Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan pencatatan data pengobatan pasien (medication record).

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Asma adalah penyakit saluran napas yang ditandai oleh penyempitan bronkus akibat
adanya hiper reaksi terhadap sesuatu perangsangan langsung atau fisik ataupun tidak
langsung. Tanpa pengelolaan yang baik asma akan mengganggu kehidupan penderita dan
akan cenderung mengalami peningkatan, sehingga dapat menimbulkan komplikasi
ataupun kematian. Walaupun asma merupakan penyakit yang dikenal luas di masyarakat
namun kurang dipahami semestinya hingga timbul anggapan dari sebagian dokter dan
masyarkat bahwa asma merupakan penyakit yang sederhana dan mudah diobati.
Sehingga timbul kebiasaan untuk mengatasi gejala asma hanya terhadap gejala sesak
napas dan mengi dengan pemakaian obat-obatan dan bukannya mengelola secara
lengkap.

b. Tanda dan Gejala Muntah :


Asma memiliki tanda-tanda maupun gejala yang cukup beragam pada setiap
orang, mulai dari gejala ringan hingga gejala yang paling akut. Pada usia
anak-anak yang terserang asma disebut sebagai asma kronis yang dapat
berlangsung lama dan berulang-ulang menyebabkan penyempitan permanen,
ditandai dengan bertambahnya tingkat akut dan frekuensi dari tanda dan gejala
asma, menurunnya aliran napas dalam ukuran rata-rata maksimum yang
diukur menggunakan peak flow meter, serta meningkatnya kebutuhan
terhadap penggunaan bronchodilator (pengobatan dengan cara
mengistirahatkan otot-otot saluran pernapasan).

c. Terapi Farmakologi :

Penatalaksanaan Asma Akut


Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis segera.
Penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit atau gawat darurat.
Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar
pasien dapat mengobati dirinya sendiri pada saat serangan di rumah sebelum ke
dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat serangan, gejala,
pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal paru, agar dapat
diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak diperkenankan pemeriksaan
faal paru dan laboratorium yang dapat menyebabkan keter-lambatan dalam
pengobatan atau tindakan.
Penatalaksanaan Asma Kronik
Pasien dengan asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan
asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi keadaan
asma. Anti inflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan mengontrol

22
penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol. Bronkodilator
merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi ekaserbasi atau seranfgan ,
dikenal pelega.

d. Terapi Non-Farmakologi :

Diet sehat
Olahraga yang cukup
Pola makan
Tidak merokok.

23
Daftar pustaka

1.Global strategy for asthma management and prevention . national institutes of health.2007

2.bernstein JA.Atshma in handbook of allergic disorder.Philadelphia


:LipincottWilliams&Wilkins,USA 2003,73-102

3.Baratadwijaja KG,Soebaryo RW, Kartasasmita CB , Suprihati,SundaruH,Siregar SP,et al .


Allergy and asthma,The scenario in Indonesia.in: Shaikh WA.Editor.Principlesand practice of
tropical allergy and asthma .mumbai :Vicas Medical Publishers:2006.707-36.

4. Holgate ST.The bronchial epithelial origins of asthma in immunological mechanism in asthma


and allergic disease.Robinson DS (ed).S.Karger AG,Basel,Switzrland,2000.62-71.

5. Gotzsche CP.House dust mite control measures for asthma : systematic review in European
Journal of allergy and chronic Urticaria .volume 63,464.

6.Eapen SS,Busse WW. Atshma in inflammatory mechanism in allergic diseases .In allergic
disease.in:Zweiman B.schwatz LB.editors.USA:Marcel Dekker: 2002.p.325-54.

7.Augusto A.Atshma and obesity:Common early-life influences in the insection of disease


JACl.2008;115.(5):1075.

8.Brisbon N,PlumbJ,Brawer R. Paxman D,The asthma and obesity epidemics:The role played by
the built envirotment-a public health persprective. JACl.2005.115(6):1109-17.

9.Devereux G, Seaton A. Diet as a risk factor for atopy and asthma.JACl.2005.115(6):1109-17.

10.Bateman ED, JithooA.Atshma and allergy a global perpestive in Allergy. European Journal
of Allergy and Clinical Immunology.2007;62 (3) 213-5

11.Corrigan C, Rak S, Asthma inallergy. China : Elsevier Mosby: 2004.26-38.

12.Bacharier LB,Louis S.Step-downtherapy for asthma :Why,When, and How? JACl.2002:


109(6):916.

13. Bonchner BS, Busse WW. Allergy and Atshma.JACl.2005;115(5);953-9.

24
14.Broide D.Newperpestive on mechanisms underlying chronic allergic inflammation and
asthma in 2007. JACl.2008.122 (3): 475-80.

15.Cabana MD.Le TT , Arbor A. Challenges in asthma patient education.JACl.2005:115


(6):1225-7

25
26

Anda mungkin juga menyukai