Apa yang dinamakan cultural studies saat ini dalam bidang ilmu sosial, merupakan
sebuah pendekatan terhadap kebudayaan yang lahir di Inggris, yang mendapat bentuk pada
akhir 1950-an tetapi kemudian diresmikan sebagai pusat studi kebudayaan yang dikenal
dengan Center of Contemporary Cultural Studies di Birmingham pada tahun 1964, dengan
direktur pertamanya, Richard Hoggart. Kajian budaya di CCCS ini membawa aliran yang
sering diidentifikasikan sebagai kulturalisme, khususnya British kulturalism. Kulturalisme,
pada awalnya merupakan body work dari sejumlah pengarang seperti Richard Hoggart,
Raymond Williams, E.P. Thompson, Stuart Hall serta Paddy Whanel. Kesemuanya berasal
dari kelas pekerja sehingga tidak mengherankan kalau mereka sangat dekat dengan karya-
karya budaya popular. Para intelektual kelas pekerja ini melihat tugas mereka memberikan
kuasa bagi budaya orang-orang pada umumnya (the culture of common people) untuk
melawan elitism kanonikal (budaya tinggi, high culture) dari kelas-kelas menengah dan
tinggi. Fokus mereka adalah bagaimana budaya dipraktikan dan bagaimana budaya dibuat
atau bagaimana praktik budaya membimbing berbagai kelompok dan kelas untuk melawan
dominasi budaya. Sebaliknya para elit dominan mengekspresikan kekuasaannya dengan
memberikan legitimasi bagi bentuk-bentuk dan praktek-praktek budayanya sendiri melalui
proyeksi penilaian lapangan mereka.
Dari Inggris, kemudian kajian budaya berkembang dan bermigrasi ke Amerika
Serikat, Kanada, Australia, Perancis dan India. seperti Thorstein Veblen, W.E. Du Bois,
Charlotte Perkins Gilman, dan T.O. Matthiesen sebagai peletak fondasi teori untuk kajian
budaya Amerika. Sementara untuk Australia, Graeme Turner mencatat sumbangan Russel
Ward, Paul Willis, dan John Docker. Dari ketiga wilayah ini (Inggris, Amerika Serikat dan
Australia), kemudian memunculkan mazhab yang berbeda dalam berkembangan selanjutnya.
Terakhir, tidak boleh terlupakan perkembangan yang khas pula kajian budaya yang dikenal
sebagai mazhab India (Asia Selatan) yang diteoritisasi oleh Leela Ghandi, Gayatri
Chakravorty Spivak, Homi K. Bhaba. Kajian mazhab India (Asia Selatan) ini berkembang
lewat Subaltern Studies Group yang dikelola oleh Gayatri Chakravorty Spivak. Disamping itu
disebaran Asia dan Afrika masih dapat kita sebut nama Frantz Fanon, dan Edward W. Said,
meskipun nama-nama ini, sebagian besar hidup tidak pada negara dunia ketiga yang menjadi
basis teoritisasi yang mereka lakukan. Kemudian kalau secara serius di perhatikan, akan
secara umum terlihat bahwa kajian budaya ini merupakan reaksi kalangan intelektual atas
perkembangan budaya pop yang pada awalnya timbul akibat akibat terjadinya industrialisasi
dan urbanisasi sebagai rentetan dari Revolusi Industri di Inggris.
Namun alasannya sudah tidak sesederhana ini, karena pada akhirnya ada pergeseran
kajian budaya dalam memandang budaya pop. Pergeseran ini terjadi karena adanya
perubahan mendasar pada lanskap yang melatari kajian budaya era kontemporer ini.
Setidaknya ada tiga kondisi yang dicatat oleh Melani Budianta, yaitu; Pertama, kondisi sosial
psikologis. Para ilmuan sosial-humaniora merasa diri tidak berarti oleh keberhasilan
intelektual/saintis dalam masyarakat kapitalis tingkat tinggi. Sehingga mereka (intelektual
humanis) merasa butuh akan sebuah paradigma baru yang tidak terjebak pada bidang kajian
sastra, politik, ekonomi atau sosiologi secara terpisah-pisah. Kedua, kondisi kedua disiapkan
oleh posmodernisme yang mewarnai produk budaya maupun wacana intelektual pada paruh
terakhir abad ke-20. Wacana Posmodern ini meruntuhkan tembok pemisah antara produk
budaya tinggi dan rendah yang merupakan fondasi seni modernis, dan yang terakhir Ketiga,
perkembangan teori-teori pos struktural yang membantu menghancurkan dinding pemisah
antar disiplin. Kajian ini dalam bahasa Clifford Geertz dianggap sebagai percampuran antar
wacana yang berakibat goyahnya label disiplin dan klasifikasi genre. Secara sederhana,
wilayah garap kajian budaya dapat dipetakan menjadi tiga, mengikut pemetaan yang
dilakukan oleh Melani Budianta, wilayah tersebut adalah :
a) Poskolonial-Nasional-Transnasional Klasifikasi ini menjadi wakil dari tiga masa
atau fase sejarah yang menantang dan sepertinya menjadi keharusan untuk dilalui oleh
negara-negara dunia ketiga. Disaat mereka baru melepaskan diri dari kolonialisme, pada saat
yang sama mereka di paksa untuk merumuskan budaya nasional ditengah fenomena
transnasional akibat globalisasi. Kondisi ini merupakan wilayah kajian yang menantang.
Untuk studi ini, ambil contoh misalnya, Edward W. Said dengan Orientalisme-nya, dan
Bennedict Anderson dalam Komunitas Imajiner-nya.
b) Gender, Ras dan Etnisitas Pengaturan norma dan perilaku yang diperlakukan atas
dasar perbedaan jenis kelamin (gender), Ras dan Etnisitas merupakan proses sejarah. Ini
semua bersifat kultural melalui, majalah-majalah wanita, karya sastra, iklan, televisi, dan
institusi negara maupun agama, ini merupakan kajian yang menarik bagi kajian budaya.
Misalnya kajian Paul Gilroy menganalisis tradisi absolutisme etnis/agama dan nasionalisme
dari berbagai teks fiksi, sejarah, dan tokoh kulit hitam Inggris dan Amerika.
c) Sastra/Budaya Pop, Pembaca dan Institusi Kajian budaya jenis ini memperkaya
sosiologi sastra dan sejarah sastra dalam meneliti kaitan teks dengan sistem-sistem yang ikut
menentukan keberadaannya (reproduksi, pengayom, pengarang, pembaca, kritikus). Taruhlah
misalnya kajian David Glover dan Cora Caplan yang mengkaji sejumlah asumsi dibalik genre
fiksi kriminal. Dalam melakukan analisis terhadap wilayah garapnya, kajian budaya
menggunakan beberapa bangunan teori dasar, yang utamanya mempergunakan teori-teori dari
teori kritis mazhab Frankfurt. Kuatnya pengaruh teori mazhab Frankfurt, yang kemudian
dikenal dengan teori kritis mazhab Frankfurt pada cultural studies dikarenakan banyaknya
kesamaan-kesamaan yang ingin dicapai antara cultural studies, yang dipelopori oleh CCCS
dengan mazhab Frankfurt. Kebanyakan pakar cultural studies merupakan teoritisasi kiri
marxis atau setidaknya sosialis kiri. Kiri yang dimaksud disini mengacu pada kritis tterhadap
struktur actual masyarakat dan menentang status quo. Bahkan bisa dikatakan cultural studies,
merupakan penerapan Teori Kritis Frankfurt oleh kelompok Centre For Contemporary
Studies-CCCS. Teori kritis mazhab Frankfurt sendiri adalah salah satu aliran pemikiran kiri
baru yang berawal di Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut fr Sozialforschung)
didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil. Istilah teori
kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis
berarti pemaknaan kembali ideal ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan
mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri
kebudayaan, dan institusi politik borjuis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis
dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter
Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat eine
Kritische Theorie der Gesselschaft.
Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan
manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah
bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga
sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema
pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Hegemoni
Hegemoni merupakan proses dominasi, di mana sebuah ide menumbangkan atau
membawahi ide lainnya. Antonio Gramsci mencetuskan ideologi ini karena terpengaruh oleh
pandangan Karl Marx tentang kapitalisme, yaitu pada determinasi ekonomi, yang kemudian
mengalami perubahan ke arah kepemimpinan budaya. Hegemoni Gramsci ini adalah ideology
di balik kekuasaan, maksudnya adalah sebagai pengaruh atau dominasi kelompok sosial
tertentu atas kelompok sosial lainnya. Hegemoni dapat terjadi dengan beberapa cara dan
dalam berbagai keadaan. Intinya ini menjadi proses dalam memaksaakan untuk memilih
minat dari sebuah kelompok bawah menjadi kelompok yang mendukung semua ideology
dominan. Sehingga dalam hegemoni ini adalah kepatuhan aktif dari kelompok yang
didominasi oleh kelas penguasa melalui penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan
politik. Karena hegemoni ini menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan juga
mekanisme dalam mempertahankannya sehingga upaya tersebut berhasil untuk
mempengaruhi dan membentuk alam pikiran. Masyarakat tidak menyadari adanya dominasi
dalam kehidupan mereka karena sistem sosial yang mereka dukung ternyata telah
mengeksploitasi diri mereka sendiri. Hal ini dinamakan olah Karl Marx sebagai kesadaran
palsu.
Seperti dalam kajian media yang banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti aliran
cultural studies, teori hegemoni digunakan untuk memperlihatkan kedok ideology media
yang sesungguhnya. Karena kekuatan hegemoni ini menciptakan cara berpikir atau wacana
tertentu yang dominan dan dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah.
Jelas sekali media menjadi alat dalam menyebarkan nilai-nilai dominan tersebut yang
dianggap benar hingga meresap dalam benak masyarakat dan menjadi suatu kebenaran.
Contohnya adalah pergeseran kriteria cantik bagi perempuan. Saat ini yang terjadi adalah
cantik itu putih, tinggi, semampai, rambut panjang, hidung mancung, dan lain-lain. Media
berperan aktif dalam dominasi pemikiran ini, sehingga saat ini pemikiran tentang perempuan
cantik mau tidak mau menjadi seperti kelompok yang mendominasi. Ketika kajian media
menggunakan teori hegemoni ini kita dapat menelusuri bagaimana budaya semakin bergeser,
melalui pemikiran-pemikiran yang berkembang dan mendominasi masyarakat lemah. Melalui
teori hegemoninya, Gramsci dapat memaparkan secara rinci tentang kelas sosial yang
dimaksud, bentuk gagasan serta target kelas yang bakal dikuasainya.
Ideologi Althusser
Louis Althusser adalah seorang filsuf Neo-Marxis dan cenderung strukturalis. Ia juga
menolak ekonomisme dan humanisme. Ekonomisme sendiri mengacu kepada Economic
Determinism yang digagas oleh Karl Marx. Althusser menganggap bahwa basic-
structure tidak selalu memengaruhi super-structure, karena tiap tatanan dalam struktur
tersebut memiliki masalah dan problematikanya sendiri-sendiri. Walaupun memang kita tak
bisa memungkiri bahwa ekonomi memang sangat memengaruhi tatanan kehidupan yang
lainnya. Sedangkan humanisme melihat kehidupan sosial sebagai sesuatu yang secara
alamiah sudah diberikan oleh Tuhan.
Ideologi. Ya, kata ideologi inilah yang menggambarkan seorang Althusser. Ideologi
adalah segala sesuatu yang mendasari aspek-aspek dalam kehidupan kita. Singkatnya, apapun
hal yang kita lakukan, pasti di belakangnya terkandung sebuah ideologi. Begitulah pendapat
Althusser. Memang, dalam keseharian kita, dalam melakukan hal apapun, kita tidak lepas
dengan ideologi yang kita anut. Kembali pada penolakannya terhadap Economic
Determinism, dan bila dikaitkan dengan ideologi, Althusser melihat ideologi tidak hanya
mendiami sektor ekonomi saja, namun menyebar ke seluruh tatanan. Segala tatanan yang
menjadi alat ideologi bisa disebut sebagai aparatus. Ideologi itu bisa datang dari keluarga,
pendidikan, agama, atau media. Dengan demikian, media melalui pemikiran Althusser
didudukkan sebagai media ideologis, artinya media senantiasa memiliki dan menjalankan
ideologi tertentu. Seluruh teks di media dilandasi oleh sebuah ideologi. Dewasa ini, di mana
banyak perusahaan media yang dimiliki oleh para pemilik modal, oleh karena itu ideologi
dari perusahaan media tersebut, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, pasti
dipengaruhi oleh sang pemilik. Ia menanamkan ideologinya dengan menggunakan media
yang ia miliki sebagai penyebar informasi.
Hal lain yang dapat saya petik dari pemikiran Althusser adalah mengenai posisi
subjek sebagai yang mendominasi dan yang terdominasi. Althusser mengatakan
bahwa Tidak ada praktik (apa pun) kecuali melalui dan di dalam ideologi, dan tidak ada
ideologi apa pun kecuali demi subjek dan melalui subjek. Saya tertarik dengan pemikiran
Althusser tentang individu subjek. Dikatakan di sana bahwa individu berubah menjadi
subjek salah satunya karena berlangsungnya momen interpelasi. Interpelasi dapat diartikan
mekanisme menarik perhatian, atau mekanisme pembujukan. Sebagai contoh, iklan. Peran
interpelasi dalam iklan menempati tempat penting. Iklan tidak sebatas menawarkan produk,
namun menghadirkan sekaligus memberi imaji/bayangan kepada individu (pelihatnya).
Misalnya iklan L-Men. Iklan tersebut menawarkan produk yaitu produk L-Men, susu khusus
pria berprotein tinggi. Pelihat iklan pertama-tama didudukkan sebagai individu yang menatap
iklan tersebut, di mana pada momen berikut individu tersebut ter-interpelasi, terbujuk secara
imajiner untuk menempati posisi subjek tertentu yaitu gagah, atau macho. Saya, si
pelihat iklan, pertama-tama adalah individu yang melihat iklan/produk L-Men tersebut. Saya,
pada momen berikut, secara imajiner terinterpelasi/terbujuk untuk menjadi/menempati subjek
tertentu, yaitu sebagai orang yang gagah, atau macho. Perubahan dari individu ke posisi
subjek yang demikian inilah yang disebabkan oleh berlangsungnya interpelasi, di mana di
belakangnya terdapat ideologi tertentu
Sub-Althern
Istilah subaltern mula-mula digunakan dan diperkenalkan oleh seorang Marxis Italia
Antonio Gramsci sebagai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek
hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Kelas subaltern di samping tertindas mereka juga tidak
memiliki akses kepada kaum elite dan cenderung diabaikan.
Menurut Gayatri Chakravorty Spivak subaltern adalah subjek yang tertekan, para
anggota klas-klas-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang berada di
tingkat inferior. Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di
dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut
bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan
aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga
perlu kaum intelektual sebagai wakil mereka.
Kaum-kaum Sub-Altern
Kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari ranah publik dan tidak mampu
menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan tidak berada jauh dari
pandangan kita. Pandangan yang dicanangkan kaum dominan menjadikan kaum
subaltern sulit mengakses ranah publik. Perlakuan berbeda dan tindakan yang tidak
menyenangkan dari kelompok dominan terhadap kelompok subaltern memunculkan
perlawanan baik dari dalam kelompok sendiri maupun terhadap aktor lain yaitu lingkungan
sekitar dan negara. Perlawanan telah ditunjukkan kaum-kaum subaltern seperti buruh, petani,
waria, etnis Tionghoa di Indonesia, dan lain sebagainya.
Pemahaman mengenai apa itu Cultural Studies, Perkembangan Cultural Studies dari
dunia Barat dan Implementasinya dalam keilmuan komunikasi: