Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Cultural Studies

Apa yang dinamakan cultural studies saat ini dalam bidang ilmu sosial, merupakan
sebuah pendekatan terhadap kebudayaan yang lahir di Inggris, yang mendapat bentuk pada
akhir 1950-an tetapi kemudian diresmikan sebagai pusat studi kebudayaan yang dikenal
dengan Center of Contemporary Cultural Studies di Birmingham pada tahun 1964, dengan
direktur pertamanya, Richard Hoggart. Kajian budaya di CCCS ini membawa aliran yang
sering diidentifikasikan sebagai kulturalisme, khususnya British kulturalism. Kulturalisme,
pada awalnya merupakan body work dari sejumlah pengarang seperti Richard Hoggart,
Raymond Williams, E.P. Thompson, Stuart Hall serta Paddy Whanel. Kesemuanya berasal
dari kelas pekerja sehingga tidak mengherankan kalau mereka sangat dekat dengan karya-
karya budaya popular. Para intelektual kelas pekerja ini melihat tugas mereka memberikan
kuasa bagi budaya orang-orang pada umumnya (the culture of common people) untuk
melawan elitism kanonikal (budaya tinggi, high culture) dari kelas-kelas menengah dan
tinggi. Fokus mereka adalah bagaimana budaya dipraktikan dan bagaimana budaya dibuat
atau bagaimana praktik budaya membimbing berbagai kelompok dan kelas untuk melawan
dominasi budaya. Sebaliknya para elit dominan mengekspresikan kekuasaannya dengan
memberikan legitimasi bagi bentuk-bentuk dan praktek-praktek budayanya sendiri melalui
proyeksi penilaian lapangan mereka.
Dari Inggris, kemudian kajian budaya berkembang dan bermigrasi ke Amerika
Serikat, Kanada, Australia, Perancis dan India. seperti Thorstein Veblen, W.E. Du Bois,
Charlotte Perkins Gilman, dan T.O. Matthiesen sebagai peletak fondasi teori untuk kajian
budaya Amerika. Sementara untuk Australia, Graeme Turner mencatat sumbangan Russel
Ward, Paul Willis, dan John Docker. Dari ketiga wilayah ini (Inggris, Amerika Serikat dan
Australia), kemudian memunculkan mazhab yang berbeda dalam berkembangan selanjutnya.
Terakhir, tidak boleh terlupakan perkembangan yang khas pula kajian budaya yang dikenal
sebagai mazhab India (Asia Selatan) yang diteoritisasi oleh Leela Ghandi, Gayatri
Chakravorty Spivak, Homi K. Bhaba. Kajian mazhab India (Asia Selatan) ini berkembang
lewat Subaltern Studies Group yang dikelola oleh Gayatri Chakravorty Spivak. Disamping itu
disebaran Asia dan Afrika masih dapat kita sebut nama Frantz Fanon, dan Edward W. Said,
meskipun nama-nama ini, sebagian besar hidup tidak pada negara dunia ketiga yang menjadi
basis teoritisasi yang mereka lakukan. Kemudian kalau secara serius di perhatikan, akan
secara umum terlihat bahwa kajian budaya ini merupakan reaksi kalangan intelektual atas
perkembangan budaya pop yang pada awalnya timbul akibat akibat terjadinya industrialisasi
dan urbanisasi sebagai rentetan dari Revolusi Industri di Inggris.
Namun alasannya sudah tidak sesederhana ini, karena pada akhirnya ada pergeseran
kajian budaya dalam memandang budaya pop. Pergeseran ini terjadi karena adanya
perubahan mendasar pada lanskap yang melatari kajian budaya era kontemporer ini.
Setidaknya ada tiga kondisi yang dicatat oleh Melani Budianta, yaitu; Pertama, kondisi sosial
psikologis. Para ilmuan sosial-humaniora merasa diri tidak berarti oleh keberhasilan
intelektual/saintis dalam masyarakat kapitalis tingkat tinggi. Sehingga mereka (intelektual
humanis) merasa butuh akan sebuah paradigma baru yang tidak terjebak pada bidang kajian
sastra, politik, ekonomi atau sosiologi secara terpisah-pisah. Kedua, kondisi kedua disiapkan
oleh posmodernisme yang mewarnai produk budaya maupun wacana intelektual pada paruh
terakhir abad ke-20. Wacana Posmodern ini meruntuhkan tembok pemisah antara produk
budaya tinggi dan rendah yang merupakan fondasi seni modernis, dan yang terakhir Ketiga,
perkembangan teori-teori pos struktural yang membantu menghancurkan dinding pemisah
antar disiplin. Kajian ini dalam bahasa Clifford Geertz dianggap sebagai percampuran antar
wacana yang berakibat goyahnya label disiplin dan klasifikasi genre. Secara sederhana,
wilayah garap kajian budaya dapat dipetakan menjadi tiga, mengikut pemetaan yang
dilakukan oleh Melani Budianta, wilayah tersebut adalah :
a) Poskolonial-Nasional-Transnasional Klasifikasi ini menjadi wakil dari tiga masa
atau fase sejarah yang menantang dan sepertinya menjadi keharusan untuk dilalui oleh
negara-negara dunia ketiga. Disaat mereka baru melepaskan diri dari kolonialisme, pada saat
yang sama mereka di paksa untuk merumuskan budaya nasional ditengah fenomena
transnasional akibat globalisasi. Kondisi ini merupakan wilayah kajian yang menantang.
Untuk studi ini, ambil contoh misalnya, Edward W. Said dengan Orientalisme-nya, dan
Bennedict Anderson dalam Komunitas Imajiner-nya.
b) Gender, Ras dan Etnisitas Pengaturan norma dan perilaku yang diperlakukan atas
dasar perbedaan jenis kelamin (gender), Ras dan Etnisitas merupakan proses sejarah. Ini
semua bersifat kultural melalui, majalah-majalah wanita, karya sastra, iklan, televisi, dan
institusi negara maupun agama, ini merupakan kajian yang menarik bagi kajian budaya.
Misalnya kajian Paul Gilroy menganalisis tradisi absolutisme etnis/agama dan nasionalisme
dari berbagai teks fiksi, sejarah, dan tokoh kulit hitam Inggris dan Amerika.
c) Sastra/Budaya Pop, Pembaca dan Institusi Kajian budaya jenis ini memperkaya
sosiologi sastra dan sejarah sastra dalam meneliti kaitan teks dengan sistem-sistem yang ikut
menentukan keberadaannya (reproduksi, pengayom, pengarang, pembaca, kritikus). Taruhlah
misalnya kajian David Glover dan Cora Caplan yang mengkaji sejumlah asumsi dibalik genre
fiksi kriminal. Dalam melakukan analisis terhadap wilayah garapnya, kajian budaya
menggunakan beberapa bangunan teori dasar, yang utamanya mempergunakan teori-teori dari
teori kritis mazhab Frankfurt. Kuatnya pengaruh teori mazhab Frankfurt, yang kemudian
dikenal dengan teori kritis mazhab Frankfurt pada cultural studies dikarenakan banyaknya
kesamaan-kesamaan yang ingin dicapai antara cultural studies, yang dipelopori oleh CCCS
dengan mazhab Frankfurt. Kebanyakan pakar cultural studies merupakan teoritisasi kiri
marxis atau setidaknya sosialis kiri. Kiri yang dimaksud disini mengacu pada kritis tterhadap
struktur actual masyarakat dan menentang status quo. Bahkan bisa dikatakan cultural studies,
merupakan penerapan Teori Kritis Frankfurt oleh kelompok Centre For Contemporary
Studies-CCCS. Teori kritis mazhab Frankfurt sendiri adalah salah satu aliran pemikiran kiri
baru yang berawal di Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut fr Sozialforschung)
didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil. Istilah teori
kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya teori kritis
berarti pemaknaan kembali ideal ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan
mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri
kebudayaan, dan institusi politik borjuis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis
dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter
Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat eine
Kritische Theorie der Gesselschaft.
Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan
manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah
bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga
sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema
pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Hegemoni
Hegemoni merupakan proses dominasi, di mana sebuah ide menumbangkan atau
membawahi ide lainnya. Antonio Gramsci mencetuskan ideologi ini karena terpengaruh oleh
pandangan Karl Marx tentang kapitalisme, yaitu pada determinasi ekonomi, yang kemudian
mengalami perubahan ke arah kepemimpinan budaya. Hegemoni Gramsci ini adalah ideology
di balik kekuasaan, maksudnya adalah sebagai pengaruh atau dominasi kelompok sosial
tertentu atas kelompok sosial lainnya. Hegemoni dapat terjadi dengan beberapa cara dan
dalam berbagai keadaan. Intinya ini menjadi proses dalam memaksaakan untuk memilih
minat dari sebuah kelompok bawah menjadi kelompok yang mendukung semua ideology
dominan. Sehingga dalam hegemoni ini adalah kepatuhan aktif dari kelompok yang
didominasi oleh kelas penguasa melalui penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan
politik. Karena hegemoni ini menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan juga
mekanisme dalam mempertahankannya sehingga upaya tersebut berhasil untuk
mempengaruhi dan membentuk alam pikiran. Masyarakat tidak menyadari adanya dominasi
dalam kehidupan mereka karena sistem sosial yang mereka dukung ternyata telah
mengeksploitasi diri mereka sendiri. Hal ini dinamakan olah Karl Marx sebagai kesadaran
palsu.
Seperti dalam kajian media yang banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti aliran
cultural studies, teori hegemoni digunakan untuk memperlihatkan kedok ideology media
yang sesungguhnya. Karena kekuatan hegemoni ini menciptakan cara berpikir atau wacana
tertentu yang dominan dan dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah.
Jelas sekali media menjadi alat dalam menyebarkan nilai-nilai dominan tersebut yang
dianggap benar hingga meresap dalam benak masyarakat dan menjadi suatu kebenaran.
Contohnya adalah pergeseran kriteria cantik bagi perempuan. Saat ini yang terjadi adalah
cantik itu putih, tinggi, semampai, rambut panjang, hidung mancung, dan lain-lain. Media
berperan aktif dalam dominasi pemikiran ini, sehingga saat ini pemikiran tentang perempuan
cantik mau tidak mau menjadi seperti kelompok yang mendominasi. Ketika kajian media
menggunakan teori hegemoni ini kita dapat menelusuri bagaimana budaya semakin bergeser,
melalui pemikiran-pemikiran yang berkembang dan mendominasi masyarakat lemah. Melalui
teori hegemoninya, Gramsci dapat memaparkan secara rinci tentang kelas sosial yang
dimaksud, bentuk gagasan serta target kelas yang bakal dikuasainya.

Aplikasi Cultural Studies


Cultural studies dalam ranah media, bahwa media menjaga kelompok yang berkuasa
untuk tetap menjaga control atas masyarakat, sementara yang tidak berkuasa hanya menerima
saja apa yang disisakan kepada mereka. Gagasan ini menekankan pada budaya yang
dipengaruhi oleh kelompok dominan yang berkuasa. Aplikasinya telah banyak dilakukan oleh
para peneliti, salah satunya dalam kajian feminisme, gender, dan lain-lain. Tradisi cultural
studies ini cenderung reformis sehingga kajian feminisme terus dikritisi sehingga terjadi
pergeseran pemikiran terhadap feminism tersebut. awalnya mengenai jelasnya karakter antara
laki-laiki dan perempuan, namun sekarang menjadi bagaimana perempuan dipahami atau
diberikan ruang yang sama oleh audiens dalam ruang media. Kemudian kajian-kajian
masalah sosial mengenai budaya yang mendominasi, ini menarik sekali untuk dkritisi oleh
peneliti aliran cultural studies. Karena secara semiotik ini dapat diterjemahkan seperti apa
makna sesungguhnya yang telah terjadi di masyarakat. Contohnya saat ini
sedang happening budaya korea, india, dan lainnya yang sedang mendominasi dalam
masyarakat bahkan remaja. Media tentu saja berperan aktif juga dalam penyebaran dominasi
ini yang akhirnya meresap ke dalam pemikiran dan gaya hidup para remaja. Dari berbagai
fenomena ini muncullah berbagai kritik sosial untuk membuka pikiran mereka kembali, atau
supaya mereka sadar dan mempertanyakan kembali.

Ideologi Althusser
Louis Althusser adalah seorang filsuf Neo-Marxis dan cenderung strukturalis. Ia juga
menolak ekonomisme dan humanisme. Ekonomisme sendiri mengacu kepada Economic
Determinism yang digagas oleh Karl Marx. Althusser menganggap bahwa basic-
structure tidak selalu memengaruhi super-structure, karena tiap tatanan dalam struktur
tersebut memiliki masalah dan problematikanya sendiri-sendiri. Walaupun memang kita tak
bisa memungkiri bahwa ekonomi memang sangat memengaruhi tatanan kehidupan yang
lainnya. Sedangkan humanisme melihat kehidupan sosial sebagai sesuatu yang secara
alamiah sudah diberikan oleh Tuhan.
Ideologi. Ya, kata ideologi inilah yang menggambarkan seorang Althusser. Ideologi
adalah segala sesuatu yang mendasari aspek-aspek dalam kehidupan kita. Singkatnya, apapun
hal yang kita lakukan, pasti di belakangnya terkandung sebuah ideologi. Begitulah pendapat
Althusser. Memang, dalam keseharian kita, dalam melakukan hal apapun, kita tidak lepas
dengan ideologi yang kita anut. Kembali pada penolakannya terhadap Economic
Determinism, dan bila dikaitkan dengan ideologi, Althusser melihat ideologi tidak hanya
mendiami sektor ekonomi saja, namun menyebar ke seluruh tatanan. Segala tatanan yang
menjadi alat ideologi bisa disebut sebagai aparatus. Ideologi itu bisa datang dari keluarga,
pendidikan, agama, atau media. Dengan demikian, media melalui pemikiran Althusser
didudukkan sebagai media ideologis, artinya media senantiasa memiliki dan menjalankan
ideologi tertentu. Seluruh teks di media dilandasi oleh sebuah ideologi. Dewasa ini, di mana
banyak perusahaan media yang dimiliki oleh para pemilik modal, oleh karena itu ideologi
dari perusahaan media tersebut, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, pasti
dipengaruhi oleh sang pemilik. Ia menanamkan ideologinya dengan menggunakan media
yang ia miliki sebagai penyebar informasi.
Hal lain yang dapat saya petik dari pemikiran Althusser adalah mengenai posisi
subjek sebagai yang mendominasi dan yang terdominasi. Althusser mengatakan
bahwa Tidak ada praktik (apa pun) kecuali melalui dan di dalam ideologi, dan tidak ada
ideologi apa pun kecuali demi subjek dan melalui subjek. Saya tertarik dengan pemikiran
Althusser tentang individu subjek. Dikatakan di sana bahwa individu berubah menjadi
subjek salah satunya karena berlangsungnya momen interpelasi. Interpelasi dapat diartikan
mekanisme menarik perhatian, atau mekanisme pembujukan. Sebagai contoh, iklan. Peran
interpelasi dalam iklan menempati tempat penting. Iklan tidak sebatas menawarkan produk,
namun menghadirkan sekaligus memberi imaji/bayangan kepada individu (pelihatnya).
Misalnya iklan L-Men. Iklan tersebut menawarkan produk yaitu produk L-Men, susu khusus
pria berprotein tinggi. Pelihat iklan pertama-tama didudukkan sebagai individu yang menatap
iklan tersebut, di mana pada momen berikut individu tersebut ter-interpelasi, terbujuk secara
imajiner untuk menempati posisi subjek tertentu yaitu gagah, atau macho. Saya, si
pelihat iklan, pertama-tama adalah individu yang melihat iklan/produk L-Men tersebut. Saya,
pada momen berikut, secara imajiner terinterpelasi/terbujuk untuk menjadi/menempati subjek
tertentu, yaitu sebagai orang yang gagah, atau macho. Perubahan dari individu ke posisi
subjek yang demikian inilah yang disebabkan oleh berlangsungnya interpelasi, di mana di
belakangnya terdapat ideologi tertentu

Sub-Althern
Istilah subaltern mula-mula digunakan dan diperkenalkan oleh seorang Marxis Italia
Antonio Gramsci sebagai kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek
hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Kelas subaltern di samping tertindas mereka juga tidak
memiliki akses kepada kaum elite dan cenderung diabaikan.
Menurut Gayatri Chakravorty Spivak subaltern adalah subjek yang tertekan, para
anggota klas-klas-nya Antonio Gramsci, atau yang lebih umum mereka yang berada di
tingkat inferior. Subaltern memiliki dua karakteristik yaitu, adanya penekanan dan di
dalamnya bekerja suatu mekanisme pendiskriminasian. Penting dari pendapat Spivak tersebut
bahwa subaltern tidak bisa memahami keberadaannya dan tidak mampu untuk menyuarakan
aspirasinya. Kaum subaltern tidak memiliki ruang untuk menyuarakan kondisinya, sehingga
perlu kaum intelektual sebagai wakil mereka.

Gagasan dan Konsep yang Melahirkan Subaltern


Kajian subaltern tidak dapat dilepaskan dengan berbagai gagasan dan konsep yang
membentuknya. Berikut ini beberapa gagasan dan konsep tersebut:
a. Teori Poskolonialisme
Poskolonialisme adalah istilah yang menggambarkan sikap penduduk terjajah baik
terhadap penjajah asing maupun terhadap penguasa patriarkal pribumi yang menindas. Sikap
penentangan dilakukan terhadap budaya dan tradisi asing dan juga berusaha untuk mencari
perpaduan yang seimbang antara budaya yang dimiliki mereka yang terjajah dengan budaya
dominan yang selama ini mendominasi sebuah masyarakat.
b. Identitas dan Politik Identitas
Manusia sebagai individu maupun kelompok dalam hubungannya antar manusia
dilekatkan berbagai latar belakang berdasarkan pada etnis, agama, ras, tradisi, gender,
orientasi seksual, dan sosial budaya. Perbedaan berbagai latar belakang ini yang membentuk
identitas. Setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya eksistensi sosial. Pada
dasarnya identitas berkaitan dengan apa-apa saja yang membedakan individu atau kelompok
dengan yang lainnya atau dengan kata lain identitas erat hubungannya dengan perbedaan.

Kaum-kaum Sub-Altern
Kelompok-kelompok yang terpinggirkan dari ranah publik dan tidak mampu
menyuarakan kondisinya sebagai akibat kuatnya hegemoni dominan tidak berada jauh dari
pandangan kita. Pandangan yang dicanangkan kaum dominan menjadikan kaum
subaltern sulit mengakses ranah publik. Perlakuan berbeda dan tindakan yang tidak
menyenangkan dari kelompok dominan terhadap kelompok subaltern memunculkan
perlawanan baik dari dalam kelompok sendiri maupun terhadap aktor lain yaitu lingkungan
sekitar dan negara. Perlawanan telah ditunjukkan kaum-kaum subaltern seperti buruh, petani,
waria, etnis Tionghoa di Indonesia, dan lain sebagainya.

Pemahaman mengenai apa itu Cultural Studies, Perkembangan Cultural Studies dari
dunia Barat dan Implementasinya dalam keilmuan komunikasi:

Apa itu Cultural Studies ?


Cultural studies adalah Teori kritis yang mengkonstruksi kehidupan sehari-hari. Terkait
erat dengan budaya kontemporer, ideologi politik, kelas, gender, etnisitas dll (Fatanti,2015).
Jadi dapat dikatakan bahwa Cultural Studies merupakan kajian budaya yang terkait atau
berhubungan dengan ideologi, politik yang berkaitan dengan kekuasaan, kelas, gender dan
etnisitas yang di dalamnya menakup kelompok usia, kecacatan dan lain sebagainya. Cultural
Stusies merupakan kajian dibidang keilmuan yang bisa dibilang tidak memiliki batasan
wilayah, karena Cultural studies mengambil teori-teori dari ilmu lain seperti sosiologi,
psikologi, hukum dan lain sebagainya. Dalam CS tidak mempunyai teori khusus yang
digunakan untuk mengkaji permaslahan didalamnya. Namun dalam CS segala sesuatu
dalam kehidupan sosial di masyarakat dapat menjadi kajian budaya, tergantung melihat suatu
fenomena dari sudut pandang apa dan bagaimana.
Seiring berkembangnya jaman, penelitian-penelitian dalam CS juga mengalami
perkembangan. Cultural Studies dalam mengkaji atau meneliti sebuah fenomena akan
mendekonstruksikan fenomena tersebut berdasarkan latar belakang baik dari segi sosial,
budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Cultural Studies bertujuan meneliti/mengkaji
berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan (Fatoni,2010).
Cultural Studies memberikan perhatiannya pada bagaimana budaya dipengaruhi oleh
berbagai kelompok dominan dan berkuasa (Morissan, 2013, h. 535). Dapat diartikan bahwa
CS berusaha mengungkapkan dan mendekonstruksikan tentang kekuasaan dan bagaimana
kekuasaan tersebut mempengaruhi kebudayaan.

Perkembangan Cultural Studies dari dunia Barat


Istilah CS berawal dari Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS) di Universitas
Birmingham, yang didirikan pada Th. 1964 oleh Richard Hoggart. Salah satu suksesor
terkuatnya adalah Stuart Hall. Tahun 1970, Stuart Hall mengadakan gerakan intelektual
internasional dengan menggunakan metode Marxist untuk mengeksplor hubungan antara
budaya (suprastruktur) dan ekonomi politik (dasar) sesuai dengan pendapat Gramchi bahwa
budaya adalah kunci keilmuan komunikasi (Fatanti,2015).
Jadi CS pertamakalinya berkembang di Universitas Birmigram yang merupakan salah satu
Universitas tertua di Inggris. Sedangkan Center for Contemporary Cultural Studies yang
biasa disebut Bimingham Center, berdiri pada tahun 1964 adalah pusat penelitian yang ada di
universitas tersebut dan pertama kali dipimpin oleh Ricchard Hoggart yang selanjutnya
digantikan oleh Stuart Hall.
Dibawah pimpinan Hall, pada tahun 1970 dan 1980-an, Bimingham Center menjadi pusat
pemikiran intelektual yang paling penting di dataran Eropa dan Amerika. Bimingham Center
mengajarkan CS baik di tingkat sarjana maupun pasca sarjana dan aktif mempromosikan
penelitian di bidang ini (Rahmawati & Nurrachmi, 2012). Hall menerbitkan jurnal khusus
yaitu Working Papers in Cultural Studies yang dipublikasikan bekerjasama dengan
Hutchinson. Selain itu sejak tahun 1991, Bimingham Center mempublikasikan jurnal Cultural
Studies from iBimingham, sedangkan jurnalnya yang paling baru adalah The European
Journal of Cultural Studies yang diterbitkan di Sange (Rahmawati & Nurrachmi, 2012).
Dalam Cultural Studies Bimingham Center mempunyai sumbangan yang besar yaitu
sebagai pelopor dalam studi subkultur, suara-suara yang marginal atau terpinggirkan dari
budaya dominan. Selain itu menjadi pelopor dalam pemakaian semiotika dalam CS, serta
berhasil membuat studi untuk mencari makna ideologis dari bentuk kebudayaan yang ada.
Kajian yang terkenal dari Bimingham Center adalah tentang ras, kelas dan gender. Selain itu
kajian yang terkait dengan kebudayaan, ideologi dan identitas.
Dilihat dari latar belakang historis kumunculan Cultural Studies berawal dari dunia barat
dan mengkaji berbagai hal kemudian meninjaunya dari segi kebudayaan. Dari situlah sebagai
landasan bahwa Cultural Studies adalah bidang kelimuan yang tidak mempunyai batasan
wialayah subjek atau dapat dikatakan sebagai bidang keilmuan yang rakus karena mengambil
banyak teori dari bidang keilmuan lain untuk mengkaji fenomena dari sudut pandang CS dan
menjadikan satu kesatuan yang utuh.

Implementasi dalam keilmuan komunikasi


Bimingham Center sebagai pusat kajian budaya menjadi pelopor dalam pemakaian
semiotika dalam Cultural Studies. Semiotika adalah (Morissan, 2013) studi mengenai (signs)
dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi
semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi,
keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2013, h. 32). Telah
dijelaskan bahwa, Cultural Studies memberikan perhatiannya pada bagaimana budaya
dipengaruhi oleh berbagai kelompok dominan dan berkuasa (Morissan, 2013, h.535).
Sedangkan implementasi Cultural Studies dalam kelimuan komunikasi salah satunya
mengkaji tentang media. Menurut Hall, media adalah instrumen kekuasaan kelompok elite,
dan media berfungsi menyampaikan pemikiran kelompok yang mendominasi masyarakat,
terlepas apakah pikiran itu efektif atau tidak (Morissan,2013, h. 535).
Dalam kajian keilmuan komunikasi, Cultural Studies (Morissan, 2013, h. 535)
menekankan pada gagasan bahwa media menjaga kelompok yang berkuasa untuk tetap
memegang kontrol atas masyarakat sementara mereka yang kurang berkuasa menerima apa
saja yang disisakan kepada mereka oleh kelompok yang berkuasa. Jika ditinjau dari praktik
media saat ini, maka tidak terlepas dari teori agenda setting. Yaitu tentang bagaimana media
mengarahkan pemikiran masyarakat, apa yang dianggap media penting, maka dianggap
penting oleh masyarakat (audiens), selain itu bagaimana masyarakat dapat berpikir tentang
isu yang penting tersebut. Dalam hal ini secara tidak langsung media digunakan sebagai batu
pijakan untuk menghegemoni masyarakat dengan pemikiran-pemikiran penguasa. Dalam
mengkonsumsi media masyarakat seringkali menelan mentah-mentah apa yang disajikan
media. Dengan demikian tujuan media dalam mempengaruhi perilaku, pola pikir atau opini
publik terlaksana.
Pemahaman mengenai konsep feminisme
Feminisme merupakan bagian dari teori gender yang intinya tentang perbedaan laki-
laki dan perempuan. Feminisme adalah suatu paham yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan. Artinya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Dalam feminisme mempunyai tujuan untuk mengadakan rekonstruksi
masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Terjadi ketimpangan gender yang disebabkan
oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di
dalam keluarga (Marzuki, 2011). Perempuan dianggap sebagai kelompok lemah yang
termarginalkan, hal ini sangat ditentang oleh feminisme. Gerakan feminisme ini mengadopsi
teori praxis, Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum
perempuan sadar bahwa merek merupakan kelas yang tidak diuntungkan (Marzuki,2011).
Penyadadaran tersebut bermaksud untuk menyadarkan dan mengajak kaum perempuan untuk
bangkit dan berkembang serta merubah keadaan.

Pemahaman mengenai pergeseran pola budaya masyarakat dalam menanggapi


tayangan di media massa.
Media massa dengan segala kelebihan dan kekurangannya menyuguhkan konten-konten
baik bernilai penting maupun tidak penting, baik efektif maupun tidak efektif. Tanpa disadari
produk-produk yang dihasilkan media khususnya media massa menjadi jembatan dan sebagai
transisi kebudayaan. Media sebagai pijakan kebudayaan asing untuk menjajaki atau masuk
dalam budaya lokal masyarakat. Termasuk didalamnya adalah budaya populer yang masuk
pada media. Melalui tayangan-tayangan dari media, masyarakat mengonsumsi serta
mengadopsi kebudayaan tersebut. Dalam hal ini terjadilah pergesaran pola budaya
masyarakat dalam menanggapi tayangan media massa.
Contohnya adalah Korean Korean Style yang awalnya muncul pada media massa dan
berlanjut menjadi gaya hidup masyarakat. Korean Wave muncul dan menjadi budaya populer
pada tahun 2013 dan terus berkembang sampai saat ini. Terus mewabah di penjuru Asia
hingga dunia. Alasan Korean Style dianggap sebagai budaya populer (pop culture) karena
kebudayaan tersebut dikonsumsi oleh massa melalui dengan alat penyebaran media massan
sehingga menjadikan budaya tersebut populer. Budaya pop yang tengah melanda berbagai
negara terutama negara-negara di sia adalah budaya pop yang berasal dari Korea Selatan.
Budaya tersebut diusung melalui media massa baik berupa K-Pop, serial drama, film dan
video game. Kesuksesan budaya pop Korea ini terbukti dengan munculnya istilah The
Korean Wave sebagai bentuk ungkapan seberapa besar pengaruh budaya pp yang disebarkan
(Yunita,dkk, 2013).
Fenomena budaya pop yang mewabah di Indonesia menjadikan sejumlah entertainer
secara visual meniru gaya boyband dryan girlband dari Korea seperti SM*SH, Princess,
Cherry Belle dan masih banyak band ala Korean yang bermunculan. Selain itu K-Pop
menjadi trendsetter dalam trend fashion Indonesia dewasa ini. Yang lebih parah lagi adalah
muncul komunitas pencinta budaya Korea yang didominasi oleh para remaja.
Dapat diambil kesimpulan bahwa selain menghibur dan menyediakan informasi pada
masyarakat media juga sebagai jembatan penyebaran budaya asing masuk ke Indonesia yang
mempunyai efek berkelanjutan menanamkan nilai-nilai dalam masyarakat melalui budaya
pop yang ada. Singkatnya media mampu mempengaruhi, merubah nilai dan budaya dalam
masyarakat.
Terpaan media massa saat ini telah membuat masyarakat menjadi sangat dinamis.
Dalam mengkonsumsi isi media, masyarakat seolah terbagi-bagi dalam beberapa kelompok
tertentu. Namun sebagaimana diketahui, media massa, dengan konten yang sangat beragam,
mampu menciptakan, memproduksi budaya-budaya populer dimasyarakat. Menaggapi
fenomena tersebut, berikut adalah uraian tentang bagaimana seharusnya masyarakat
mengkonsumsi media dengan bijak dan solusi konkrit untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan yang timbul dari fenomena tersebut.

Keprihatinan terhadap dominasi media dalam kehiduan masyarakat sesungguhnya tidak


hanya monopoli negara-negara berkembang yang tengah mengalami booming sektor media
sebagai sektor publik maupun sektor bisnis indusstri, kehadiran media massa dalam pasar
kapitalisme menciptakan ancaman bagi nilai-nilai multikultur serta menjebak media hanya
pada konten yang tidak bervariasi, memanjakan selera (rendah) penonton untuk menjaga
sumber dana atau modal media (Astuti,2010). Dalam menanggapi media, masyarakat
seringkali secara mentah-mentah mengkonsumsi isi media. Diketahui bahwa media dimiliki
oleh beberapa penguasa media yang menghasilkan berbagai jenis media. Ketika masyarakat
mengkonsumsi isi dari media X dengan serta merta menerima, media X akan digunakan
sebagai rujukan informasi yang mereka percaya. Begitupula dengan masyarakat yang
mengkonsumsi media Y, Z dan lain sebagainya. Darisinilah seolah muncul kelompok-
kelompok tertentu dalam masyarakat karena perbedaan pandangan dan pendapat yang
dihasilkan dari perbedaan media sebagai rujukan dan sarana informasi yang dianggap
terpercaya. Padahal informasi yang dimuat media belum tentu semuanya benar dan baik
mengingat pemilik media mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam menampilkan produk
media.
Untuk menanggani masalah ini, dapat dialkukan media literasi yaitu penanaman melek
media dikalangan masyarakat dengan mengadakan penyuluhan atau penerangan. Dengan cara
tidak serta merta menilai bahwa apa yang disenangi masyarakat tidak bermutu, namun
terlebih dahulu menyajikan sesuatu yang tidak dinilai masyarakat. Sehingga sedikit demi
sedikit mampu meluluhkan persepsi masyarakat tentang media X atau Y yang dianggap
penting dan benar masyarakat. Ketika menanggapai isu dari media (TV), disarankan untuk
membandingkan isu atau berita yang disajikan suatu media dengan media lain. Apakah itu
benar atau tidak, jika perlu membandingkan isu atau berita yang danggap penting tersebut
dibandingkan dengan media cetak atau online. Namun ketika masyarakat disuguhkan dengan
budaya-budaya baru dalam arti budaya asing yang masuk, hendaknya disesuaikan dengan
nilai-nilai yang dimiliki serta budaya lokal. Apakah sesuai atau tidak. Meskipun tidak ada
larangan untuk meniru budaya asing, namun ketika msyarakat sudah meniru dan menerapkan
budaya asing tersebut hendaknya menyesuakin dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat
masyarakat berapa. Termasuk pula dalam meniru gaya berpakaian dari budaya asing atau
pop.

Anda mungkin juga menyukai