Anda di halaman 1dari 19

INDUSTRI

PERIKANAN

A. Sejarah Industri Perikanan Di Indonesia


Ekonomi sumber daya perikanan didasarkan pada konstitusi Indonesia yaitu pada
Undang-Undang Dasar 1945 agar bumi, air dan sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Pada awal
kemerdekaan, bahkan jauh sebelumnya, sumber daya perikanan sudah dieksplotitasi.
Kegiatan eksploitasi ini berlangsung lama tetapi tidak mampu mensejahterakan kaum
nelayan yang menjadi bagian dari sistem perekonomian perikanan.
1. Zaman Kolonial Belanda
Di bidang perikanan, sebagai bangsa bahari sejak jaman dahulu perikanan
merupakan sumber kehidupan bangsa Indonesia. Kegiatan budidaya perikanan telah
berkembang sejak sebelum penjajahan kolonial Belanda, terutama tambak bandeng di
Gresik dan kolam-kolam ikan di Jawa Barat. Pada masa penjajahan kolonial Belanda
usaha perikanan laut telah mulai diatur antara lain melalui Staat's Blad Nomor 157
Tahun 1916 tentang usaha perikanan siput mutiara, kulit mutiara, teripang dan bunga
karang yang dibatasi dalam jarak 3 mil laut, dan Visscherij Ordonnantie Nomor 396
Tahun 1920 tentang perlindungan sumber daya perikanan dari penggunaan bahan kimia
dan peledak. Selanjutnya pemanfaatan sumber daya ikan wilayah pantai, diatur melalui
Kust Visscherij Ordonnantie (Peraturan Perikanan Pantai) Nomor 144 Tahun 1927, dan
batas yuridiksi laut Indonesia (perairan teritorial) ditetapkan sejauh 3 mil dari garis
pantai dalam Staat's Blad Nomor 145 Tahun 1927. Batas tersebut secara yuridis tetap
berlaku sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa wilayah laut Indonesia adalah 12 mil dari garis
pantai. Hindia Belanda (Indonesia) telah memiliki pelabuhan penting di dunia yang
memiliki kegiatan ekspor perikanan, pelabuhan tersebut terletak di kota Bagan Siapi-
api pada tahun 1850, namun pada tahun 1912 pelabuhan ini telah mengalami
kemunduran diakibatkan kebijakan dan monopoli yang diterapkan oleh pemerintah
kolonial Belanda. Pulau Jawa telah menjadi pasar terpenting produk perikanan
khususnya ikan kering (asin) dan terasi. Merujuk pada data van der Eng, kontribusi
perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau
tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.

0
Kebijakan monopoli garam yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda
membuat aktifitas produksi pengolahan ikan asin terhenti. Karena pemerintah kolonial
Belanda meningkatkan biaya sewa dari 6.000 poundsterling pada tahun 1904 menjadi
32,000 poundsterling di tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran
industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering
di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910.
2. Zaman Pendudukan Jepang
Sama halnya dengan akhir dari pemerintahan Belanda, penurunan kegiatan
ekonomi perikanan juga terjadi pada masa pendudukan Jepang. Hal ini dikarenakan
nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang
giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat
nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan.
3. Zaman Orde Lama
Pada awal kemerdekaan Indonesia banyak sekali kebijakan ekonomi dan
perikanan tidak dilaksanakan karena banyak terjadi pergolakan politik. Pada tahun
1961, sektor perikanan mulai dilirik pemerintah menjadi pengerak ekonomi nasional
seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun
Dewan Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas). Target pendapatan dari
ekstraksi sumber daya perikanan mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi
yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam
sidang kabinet. Pada orde lama setelah kemerdekaan, produksi perikanan terus
meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951,
dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi
7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal
menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas
nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis
perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan
modern yang berkembang.
4. Zaman Orde Baru
Memasuki orde baru, masalah perikanan ditangani secara sungguh-sungguh dan
sistematis sebagai bagian kegiatan pembangunan di bidang pertanian. Usaha di bidang
ini berkembang agak cepat setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pada tahun 1976 telah
terdapat 17 buah perusahaan asing yang melakukan penangkapan ikan di perairan

1
Indonesia dengan jumlah investasi sebesar US$ 45 juta. Nilai ekspor hasil perikanan
mencapai US$ 131 juta, yang pada tahun 1968 masih sekitar US$ 2,8 juta.
Kemajuan kegiatan ekonomi perikanan pada zaman orde baru dimulai pada saat
produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1.923 ribu
ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah
mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju
pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per
tahun (1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung
menurun. Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang
berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal
periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.
Akan tetapi pesatnya pengembangan usaha perikanan tersebut telah menimbulkan
dampak negatif, yaitu nelayan-nelayan kecil hampir tersisih terutama dengan
beroperasinya kapal-kapal pukat harimau (trawl). Untuk melindungi nelayan kecil
pada, tahun 1976 dikeluarkan ketentuan tentang alur-alur penangkapan (fishing belt) di
seluruh perairan dan penataan kegiatan penangkapan bagi kapal-kapal pukat harimau.
Namun kapal pukat harimau masih tetap melakukan penangkapan ikan besar dan kecil
di perairan yang biasanya menjadi tempat nelayan-nelayan kecil beroperasi, sehingga
acapkali menimbulkan konflik.
Akhirnya dengan Keppres, Nomor 39 Tahun 1980 pukat harimau dilarang
beroperasi di seluruh perairan teritorial Indonesia. Usaha perikanan berkembang makin
pesat setelah dunia internasional menyepakati konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif 200
mil dari pantai, dan mengakui kedaulatan negara kepulauan atas perairan di dalam
kepulauannya, yang merupakan perjuangan Indonesia berdasarkan Wawasan
Nusantara. Mengikuti diterimanya hukum laut internasional atau United Nation
Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982, diterbitkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang
ditindaklanjuti dengan PP Nomor 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya
Alam Hayati di ZEEI. Dengan diakuinya ZEEI, luas perairan laut Indonesia yang
semula 3,1 juta kilometer persegi bertambah menjadi 5,8 juta kilometer persegi. Untuk
memberikan landasan hukum bagi pembangunan perikanan dalam rangka pemanfaatan
dan pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan lestari, sekaligus mengganti
peraturan perundangan perikanan kolonial yang sudah tidak sesuai lagi, diterbitkan
Undangundang Perikanan Nomor 9 Tahun 1985.
5. Zaman Orde Reformasi

2
Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan
armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan
nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi
(2,1%). Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi
perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara
nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-
1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5
ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai
3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001. Berdasarkan Nota
Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)
perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450
miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp
282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp
700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian
bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi
sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu the prime mover atau
mainstream ekonomi nasional.

B. Kondisi Perikanan Saat Ini


Industri perikanan Indonesia tertinggal selama puluhan tahun dibandingkan
dengan negara lain. Terlihat sangat ironi, mengingat dengan luas laut yang mencapai
70% dari total luas wilayah Indonesia dengan panjang garis pantai 95.181 kilometer
sejatinya memiliki ketersediaan bahan baku perikanan tangkap dan budidaya yang luar
biasa, ternyata kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik
bruto masih kurang dari 3%. Ekspor perikanan masih didominasi bahan baku sehingga
tidak mampu meningkatkan nilai tambah produk. Posisi tawar Indonesia sebagai
pemasok bahan baku perikanan dunia cenderung lemah. Indonesia memasok ikan segar
dan beku dalam skala besar, tetapi negara lain mendominasi pengolahannya. Akibatnya,
sulit meningkatkan nilai tambah produk perikanan. Pada tahun 2005, produksi ikan tuna
segar dan beku Indonesia mencapai 40.872 ton dengan nilai 117 juta dollar AS atau
merupakan salah satu produsen tuna terbesar dunia. Namun, kontribusi produk tuna
kaleng Indonesia di pasar Uni Eropa hanya 3% per tahun sedangkan pasar tuna kaleng
dari Thailand di Uni Eropa sebesar 15% dan Filipina 10% per tahun dengan sebagian
bahan bakunya diperoleh dari Indonesia.

3
Padahal, industri perikanan sangat diharapkan menjadi sektor yang mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara setelah pariwisata. Oleh karena itu,
keberadaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pembangunan Industri Perikanan Nasional menjadi titik tolak upaya pemerintah guna
mewujudkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasis kepentingan nasional. Kebijakan ini memiliki 3 (tiga) tujuan mendasar, yakni:
(1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pemasar hasil
perikanan; (2) menyerap tenaga kerja; dan (3) meningkatkan devisa negara.
Untuk menjawab instruksi tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
menargetkan kenaikan nilai ekspor sebesar 11,79% per tahun, serta peningkatan volume
produk olahan sebesar 4,85% per tahun. Dalam mencapai target tersebut, KKP
menyasar 3 hal yaitu, 1) Perluasan Unit Pengolahan Ikan (UPI) skala mikro, kecil dan
menengah; 2) Optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan; dan 3) Perluasan
industri perikanan. Dalam konteks pola pembangunan tersebut, ada tiga fase yang harus
dilalui dalam mentransformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan dalam hal
daya saing, yaitu (a) fase pembangunan yang digerakkan oleh kelimpahan sumber daya
alam (resources driven); (b) fase kedua adalah pembangunan yang digerakan oleh
investasi (investment driven) dan; (c) fase ketiga pembangunan yang digerakkan oleh
inovasi (inovation driven).

C. Permasalahan dan Tantangan


Setidaknya terdapat permasalahan dan tantangan kebijakan industri perikanan nasional,
yaitu:
Pertama, lemahnya armada perikanan tangkap nasional. Berbagai sumber
menyebutkan bahwa dari 7.000 kapal ikan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI), sekitar 70 persen di antaranya merupakan milik asing. Selain itu,
armada perikanan tangkap Indonesia sebagian besar memiliki produktivitas yang amat
rendah yaitu hanya 8 ton/kapal/tahun. Permasalahan illegal fishing (pencurian ikan) dan
lemahnya penegakkan hukum yang telah menghilangkan potensi ekspor perikanan
Indonesia sebesar 4 miliar dollar. Selain merugikan negara, illegal fishing juga
merugikan nelayan tradisional karena mereka menggunakan alat tangkap jenis trawl
yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut yang berujung pada penciptaan
rendahnya pendapatan nelayan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melihat
bahwa tantangan yang dihadapi pemerintah Indonesia saat ini dalam mengelola sumber
daya maritim adalah terkait batas maritim dan kriminalitas kelautan. Batas maritim

4
bisa dicermati dari beberapa batas laut yang belum terselesaikan dengan beberapa
negara dan contoh kriminalitas kelautan bisa dilihat dari illegal fishing atau pencurian
ikan dan penangkapan ikan secara besar-besaran yang merusak ekosistem laut. Jumlah
pencurian ikan yang terjadi di Indonesia mencapai 11-26 juta ton yang nilainya sekitar
10-23 miliar dolar. Fenomena eksploitasi ikan menyebabkan berkurangnya pasokan
ikan laut untuk kebutuhan nasional dan menyebabkan meningkatknya kebutuhan impor
(FAO, 2014). Dari data diatas, terlihat bahwa instrumen bilateral yang dimiliki oleh
Indonesia untuk menanggulangi Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing
tidak memadai. Indonesia belum memiliki instrumen internasional bilateral dengan
berbagai negara kunci misalnya Malaysia, Thailand, Vietnam dan China. Namun
demikian, dalam perkembangan terakhir Indonesia selalu menyuarakan kepentingan
penanggulangan IUU Fishing melalui ASEAN sebagai organisasi regional. Data diatas
dapat secara sederhana menunjukkan simpulan bahwa kerja sama internasional dalam
sektor perikanan belum menjadi prioritas dalam pelaksanaan hubungan luar negeri.
Kedua, aksesibilitas serta ketersediaan infrastruktur masih belum memadai.
Permasalahan ini disebabkan oleh lokasi produksi yang sebagian besar terletak didaerah
terpencil. Penyediaan kebutuhan listrik secara mencukupi untuk pemenuhan sistem
rantai dingin, seperti cold storage, air blast freezer, contact plate, ice flake machine,
dan lain-lain. Sebagai alat untuk menjaga mutu ikan yang memerlukan daya listrik yang
relatif tinggi masih belum bisa dijamin sepenuhnya oleh pemerintah. Selain itu,
ketersediaan lahan yang jelas dan sah untuk pembangunan kawasan industri ini masih
terbatas. Dilihat dari alur sistem logistik ikan nasional, yakni mulai dari pengadaan,
penyimpanan, transportasi, dan distribusi, ketersediaan dan kebutuhan cold storage
masih menjadi tantangan terbesar. Pada tahun 2015, ketersediaannya baru mencapai
200.000 ton/tahun, padahal kebutuhannya mencapai 1,32 juta ton/tahun, dan 1,7 juta
ton/tahun di tahun 2017 mendatang. Sebagai perbandingan, di Jawa kebutuhannya
mencapai 515.000 ton/tahun, namun baru tersedia sebanyak 118.000 ton/tahun.
Demikian pula di wilayah Maluku dan Papua, dari kebutuhan mencapai 68.000
ton/tahun, baru tersedia sebanyak 14.000 ton/tahun (KKP, 2016). Data tersebut
menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pasokan bahan baku dengan industri dan
pasar. Selain itu, sekitar 53% produksi berada di wilayah timur Indonesia sedangkan
67% usaha pengolahan berada dibarat Indonesia (Kantor Staf Presiden, 2016).
Ketiga, pelayanan perizinan usaha perikanan yang berbelit-belit dan syarat
dengan pungutan liar. Seperti yang diberitakan Majalah Samudera (Edisi 19, Oktober

5
2004) disebutkan bahwa total besaran biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk
setiap pembuatan perizinan kapal asing agar bisa keluar cepat harus mengeluarkan uang
berkisar Rp 40 juta sampai Rp 100 juta tergantung dari jenis alat tangkap yang
digunakan, daerah tangkapan, dan jumlah kapal yang diurus. Dengan demikian, sudah
dapat dipastikan miliaran rupiah uang siluman yang berkeliaran sejak dikeluarkannya
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 46/Men/2001 tentang Pendaftaran
Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Padahal, izin itu bisa diselesaikan dalam
jangka waktu 16 hari tanpa biaya tambahan sesuai Pasal 9 Kepmenlutkan No 10 Tahun
2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.
Selain itu rendahnya kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi. Kondisi ini
sebagai akibat dari masih dominannya skala usaha UMKM yang berkecimpung dalam
industri perikanan. Misalnya, menurut data KKP (2016) sebanyak 88% usaha perikanan
tangkap dioperasikan dengan perahu tanpa motor, motor tempel, dan kapal motor
dibawah 30 GT. Kemudian, sebanyak 54,3% rumah tangga pembudidaya
mengusahakan lahan 0,1 ha, dan 83,5% budidaya tambak masih menerapkan teknologi
sederhana, serta 97,5% pengolah ikan merupakan usaha mikro kecil. Sebagai ilustrasi,
jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) saat ini sebanyak 61.601 unit, meliputi UPI skala
usaha besar sebanyak 718 unit (1%), dan UPI skala UMKM sebanyak 60.426 unit
(99%). Total omzet per tahun UPI mencapai Rp. 300 juta - Rp. 3 milyar (UPI skala
kecil), kemudian UPI skala menengah (Rp. 3-50 milyar), dan UPI skala usaha besar
mencapai lebih dari Rp. 50 milyar (KKP, 2016).

6
Selain UPI yang didominasi oleh usaha skala UMKM, utilisasi industri pengolahan
ikan juga tergolong belum optimal. Menurut data KKP (2016), pada tahun 2015,
kapasitas produksi industri pengolahan ikan skala besar mencapai 2,49 juta ton/tahun,
namun volume produksi yang dihasilkan baru mencapai 1,80 juta ton/tahun. Demikian
pula kinerja produksi industri pengolahan ikan skala mikro, kecil, dan menengah baru
mampu mencapai volume produksi sebesar 3.742.401 ton/tahun dari total bahan baku
sebanyak 5.207.000 ton/tahun.

Rendahnya aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur yang belum memadai,


mengakibatkan biaya logistik yang tinggi. Sistem logistik nasional masih belum mampu
menghubungkan antara sentra-sentra produksi perikanan dengan pasar secara efisien
dan efektif. Kondisi inisemakin diperparah dengan terbatasnya sarana angkut baik di
darat maupun laut, serta angkut baik di darat maupun laut serta terbatasnya sarana
sistem rantai dingin pada sarana angkut. Sehingga, jaminan mutu dan keamanan,
ketelusuran, dan keberlanjutan bahan baku industri masih rendah. Kesulitan mengakses
infrastruktur industri perikanan juga mengakibatkan ketimpangan konsumsi produk
perikanan secara nasional, serta menyebabkan harga komoditas produk perikanan
secara keseluruhan menjadi belum kompetitif di pasar domestik.
Sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal dipulau Jawa, yang terletak jauh dengan
lokasi produksi di timur Indonesia. Menurut data KSP (2016), konsumsi produk
perikanan di pulau Jawa hanya mencapai 26,2 kg per kapita pertahunnya, dibandingkan
dengan wilayah timur Indonesia yang mencapai 40-50 kg per kapita per tahunnya.

7
Pemerintah saat ini telah mengeluarkan Perpres No. 44 Tahun 2016 tentang
Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Regulasi ini mengatur usaha
perikanantangkap yang dilarang (negative list) bagi penanaman modal asing. Modal
asing didorong untuk mengembangkan industri pengolahan ikan yang diharapkan dapat
mendukung hilirisasi industri perikanan nasional yang berdaya saing dan mampu
menyerap tenaga kerjadalam jumlah yang besar. Contohnya, UU No. 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran, dimana wewenanguntuk menerbitkan perizinan terkait ukurankapal
perikanan berada di bawah KementerianPerhubungan. Sedangkan UU No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan, memberikan wewenang pada Kementerian Kelautan dan

8
Perikanan untuk menerbitkan perizinan terhadap kapal penangkap ikan, terutama izin
kapal perikanan. Persoalan muncul saat terjadi praktik maladministrasi berupa
manipulasi ukuran kapal penangkap ikan sehingga berdampak terhadap maraknya
praktik IUU fishing yang mengancam perikanan berkelanjutan.

D. Prospek Industri Perikanan di Indonesia


Sektor perikanan dan kelautan akan dapat menjadi salah satu sumber utama
pertumbuhan ekonomi karena beberapa alasan, yakni:
1. Kapasitas suplai sangat besar, sementara permintaan terus meningkat.
2. Pada umumnya output dapat diekspor, sedangkan input berasal dari sumber daya
lokal.
3. Dapat membangkitkan industri hulu dan hilir yang besar sehingga dapat
menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.
4. Umumnya berlangsung di daerah-daerah.
5. Industri perikanan, bioteknologi dan pariwisata bahari memiliki sifat dapat
diperbaharui, sehingga mendukung adanya pembangunan yang berkelanjutan.
Analisis variable catch per unit effort (CPUE) pada perikanan tangkap dapat
menunjukan kinerja pemanfaatan sumber daya perikanan sesuai daya dukung.
Secara nasional CPUE menunjukan angka positif yang berarti penangkapan ikan
masih dapat dilaksanakan, namun untuk beberapa wilayah pengelolaan perikanan
(WPP) seperti di laut Jawa dan selat Malaka telah terjadi penangkapan berlebih
(over fishing). Dari hasil simulasi untuk 10 tahun mendatang, produksi perikanan
tangkap secara keseluruhan akan menurun, sehingga perlu upaya optimalisasi
penangkapan, dan perlunya dilakukan pengurangan serta rasionalisasi jumlah
armada tangkap. Sementara itu, perikanan budidaya untuk 5 tahun mendatang
akan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 4 % per-tahun dari total produksi.
Pada tahun 2009 diperkirakan total produksi perikanan budidaya sebesar 1,5 juta
ton. Selain itu, pada perikanan budidaya setiap tahun
menunjukan trend peningkatan dalam volume ekspor, luas lahan, dan konsumsi
masyarakat. Dalam hal pengembangan perikanan budidaya perlu diperhatikan
pentingnya daya dukung lingkungan dan ketersediaan pakan yang berasal dari
ikan.
Memperhitungkan bagaimana prospek industri perikanan pada masa 5 tahun yang
akan datang setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni seperti

9
ketersediaan modal, persaingan dengan negara lain dan kondisi perekonomian global
yang akan mempengaruhi peluang pasar. Terkait dengan kebijakan sendiri, kondisi
politik negara ini yang sangat dinamis dan juga kemungkinan benturan kepentingan
antara pihak terkait (baik antara kementrian, lembaga, dan individu) perlu
diperhitungkan. Adanya fenomena global warming atau peningkatan suhu bumi juga
perlu diperhatikan dalam memperkirakan prospek usaha perikanan yang akan datang.
1. Ketersediaan modal
Modal yang akan dibicarakan di sini adalah terkait dengan masalah pendanaan.
Modal dapat diperoleh dari mana saja, misalnya dari tabungan (individu), pemerintah,
investor (lokal maupun asing), dan pinjaman (bank, koperasi maupun pihak lain). Bank
sendiri yang merupakan pihak pemegang modal yang cukup besar dan berpotensi
menyediakan kredit bagi pelaku usaha perikanan perlu meningkatkan jumlah dana yang
dialokasikan untuk sektor perikanan dan kelautan. Selain itu konsep pengembangan
perikanan minapolitan yang dicanangkan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan,
Fadel Muhammad dapat menyediakan modal yang cukup untuk mendukung
perkembangan industri perikanan 5 tahun mendatang yang lebih cerah.
2. Kondisi perekonomian global
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dunia, permintaan terhadap
produkproduk kelautan dan perikanan di pasar dunia diperkirakan akan terus
mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yakni :
a. Meningkatnya kesadaran manusia terhadap produk perikanan sebagai makanan
yang sehat untuk dikonsumsi karena mengandung nilai gizi yang tinggi, rendah
kolesterol dan mengandung asam lemak tak jenuh omega 3 yang dapat
meningkatkan kecerdasan.
b. Dampak consumption mass dari globalisasi yang menuntut produk pangan yang
dapat diterima secara internasional (food become more international), tanpa
memperhatikan umur, kewarganegaraan dan agama. Komoditas ikan merupakan
jenis produk pangan yang memenuhi syarat tersebut.
c. Semakin berkembangnya industri farmasi, kosmetika dan makanan serta
minuman yang sebagian besar bahan produksinya berasal dari biota perairan.
Secara umum perdagangan hasil perikanan dunia terus mengalami peningkatan
ratarata sebesar 8,50% per tahun sepanjang tahun 1990an dengan nilai sekitar US$
10,37 miliar. Laju pertumbuhan produksi dunia masih didominasi oleh perikanan
tangkap, sekitar 80%, namun menunjukan pertumbuhan yang mendatar, yakni 1,7% per

10
tahun. Hal ini membuka peluang bagi peningkatan produksi perikanan budidaya,
khususnya budidaya laut. Negaranegara tujuan ekspor dunia, khususnya untuk
Indonesia, masih didominasi oleh Jepang (25%), Singapura (13%), USA (11%),
Hongkong (7%), RRC (4%), dan Thailand (4%).
3. Persaingan dengan negara lain
Persaingan yang dimaksud adalah secara sehat dan tidak sehat. Persaingan sehat
misalya persaingan harga dan kualitas sedangkan persaingan tidak sehat dapat berupa
tindakan curang oknum dari negara lain misalnya dengan pencurian ikan dan
pembajakan nelayan Indonesia. Pelaku tindak pidana pencurian ikan harus benar-benar
ditegakkan, tidak saja hanya operator yang bekerja di lapangan, namun juga pemilik
perusahaan.
4. Kebijakan pemerintah
Dengan adanya peraturan pemerintah yakni pelarangan ekspor bahan baku
produk perikanan segar yang belum diolah sama sekali. Maka industri perikanan
khususnya bidang penanganan dan pengolahan akan semakin berkembang. Namun hal
ini terkendala bahan bakunya semakin terbatas disebabkan oleh beberapa hal seperti
perubahan iklim dan lingkungan untuk perikanan tangkap sedangkan untuk perikanan
budidaya terdapat kendala masalah lahan dan penyakit pada ikan.
5. Pangsa pasar
Pada pasar Amerika Serikat sendiri, setelah Indonesia mengadakan pameran
produk perikanan ternyata mereka menyukai produk perikanaan yang berupa olahan
atau yang sudah digoreng (dried shirmp dan dried fish). Ini merupakan pangsa pasar
yang sangat luas untuk produk-produk perikanan Indonesia, mengingat Amerika
memiliki penduduk yang jumlahnya lumayan tinggi dan semakin meningkatnya
kesadaran tentang makanan sehat salah satunya adalah seafood, daripada daging ternak
lainnya (sapi, ayam dll). Beragamnya sumber daya perikanan Indonesia dibandingkan
negara eksportir lainnya menjadikan keunggulan kompetitif tersendiri. Selain itu
peraturan dan kebijakan yang terkait dengan eksport produk perikanan Indonesia ke
salah satu negara maju ini tidak seketat dibandingkan dengan negara tujuan ekport
lainnya seperti Uni Eropa yang memiliki Rapid Alert for Food and Feed (RASFF) dan
EU Food Legislation.
6. Perbaikan Pengelolaan
Untuk mewujudkan perikanan tangkap nasional berkelanjutan, dipastikan bahwa
laju penangkapan sumber daya (stok) ikan tidak melebihi potensi produksi lestari

11
(maximum sustainable yield/MSY). Total MSY sumber daya ikan laut Indonesia 6,5
juta ton/tahun. Tahun 2010 total produksi ikan laut 5,1 juta ton. Total MSY ikan
perairan tawar 0,9 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 0,5 juta ton. Persoalannya
distribusi nelayan dan kapal ikan tidak merata. Lebih dari 90% armada kapal ikan
Indonesia terkonsentrasi di perairan pesisir dan laut dangkal seperti Selat Malaka,
pantura, Selat Bali, dan pesisir selatan Sulawesi. Di situ pula sebagian besar telah
mengalami kelebihan tangkap. Jika laju penangkapan ikan seperti sekarang berlanjut,
tangkapan per kapal akan menurun, nelayan semakin miskin, dan sumber daya ikan pun
punah seperti ikan terubuk di Selat Malaka dan ikan terbang di pesisir selatan Sulawesi.
Sebaliknya jumlah kapal ikan Indonesia yang beroperasi di laut lepas, laut dalam,
dan wilayah perbatasan seperti Laut Natuna, Laut China Selatan, Laut Sulawesi, Laut
Seram, Laut Banda, Samudra Pasifik, Laut Arafura, dan Samudra Hindia bisa dihitung
dengan jari. Di sinilah kapal-kapal ikan asing merajalela dan merugikan negara
minimal Rp 30 triliun per tahun. Maka laju penangkapan ikan di perairan yang telah
kelebihan tangkap dikurangi dan secara bersamaan memperbanyak armada kapal ikan
modern untuk beroperasi di wilayah perairan yang masih underfishing atau yang selama
ini dijarah nelayan asing. Semua ini akan membantu pengembangan ekonomi daerah
berbasis perikanan tangkap. Setiap kapal ikan dilengkapi dengan sarana penyimpanan
ikan yang berpendingin untuk mempertahankan kualitas ikan sampai di tempat
pendaratan ikan. Nelayan harus dilatih dan diberi penyuluhan untuk mempraktikkan
cara-cara penanganan ikan yang baik selama di kapal.
Nelayan di seluruh nusantara dijamin dapat mendaratkan ikan tangkapannya di
tempat pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Selain memenuhi standar sanitasi
dan higienis, pelabuhan perikanan juga dilengkapi dengan pabrik es, gudang pendingin,
pabrik pengolahan ikan, mobil pengangkut ikan berpendingin, koperasi penjual alat
tangkap, BBM, beras, dan perbekalan melaut, serta pembeli ikan. Rehabilitasi
ekosistem-ekosistem pesisir yang telah rusak serta mengendalikan pencemaran dan
mengembangkan kawasan konservasi laut. Selain itu, pengayaan stok (stock
enhancement) dan restocking dengan spesies-spesies yang cocok dapat dilakukan di
wilayah perairan yang kelebihan tangkap.
Peluang pembangunan dan pengembangan usaha kelautan serta perikanan
Indonesia masih memiliki prospek yang baik. Disamping itu, Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia memiliki laut yang luas yang di dalamnya terkandung
sumber daya perikanan dan kelautan yang mempunyai potensi besar untuk dijadikan

12
tumpuan pembangunan ekonomi berbasis sumber daya alam. Sedangkan pada
kenyataannya saat ini Indonesia masih belum mengoptimalkan pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya alamnya. Memperhitungkan bagaimana prospek industri
perikanan setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni seperti
ketersediaan modal, persaingan dengan negara lain dan kondisi perekonomian global
yang akan mempengaruhi peluang pasar. Terkait dengan kebijakan sendiri, kondisi
politik negara ini yang sangat dinamis dan juga kemungkinan benturan kepentingan
antara pihak terkait (baik antara kementrian, lembaga, dan individu) perlu
diperhitungkan. Adanya fenomena global warming atau peningkatan suhu bumi juga
perlu diperhatikan dalam memperkirakan prospek usaha perikanan.
6. Meningkatkan Potensi Kelautan yang Belum Dimanfaatkan
Selain itu, laut juga punya potensi untuk pengembangan industri bioteknologi
yang dapat dikembangkan dengan memanfaatkan keragaman hayati perairan adalah
produksi bahan alami dan laut, pengendalian pencemaran di wilayah pesisir dan lautan,
pengendalian biofouling, perbaikan sistem akuakultur. Organisme laut yang meliputi
mikroba dan phytoplankton, blue green algae (cyanobacteria), green algae, brown
algae, red algae, sponges, coelenterates, bryozoans, molluses, tunicates, ecbinoderms
merupakan sumber bahan aktif dan bahan kimia yang sangat potensial.
Potensi itu pertu segera dikembangkan karena industri perikanan internasional kini
telah mengalami peningkatan signifikan. FAO menyebutkan bahwa dalam kurun waktu
tertentu, telah terjadi peningkatan nilai ekspor komoditas perikanan rata-rata 10,44%
hingga mencapai nilai lebih dari 85 miliar dollar. Permasalahan yang dihadapi adalah
adanya tendensi penurunan pangsa pasar ekspor produk tuna Indonesia ke Uni Eropa
sampai hanya 1,26%. Turunnya pangsa pasar kemungkinan dipengaruhi oleh ketatnya
standar produk yang belum bisa dipenuhi oleh Indonesia. Namun dibalik itu, ada
optimisme bahwa dengan penerapan standar maka pangsa pasar produk perikanan
Indonesia di dunia dapat ditingkatkan. Besarnya potensi ekonomi produk-produk hasil
perikanan laut dengan nilai tambah tinggi ini dapat dilihat dari keberhasilan yang diraih
Amerika Serikat, yang potensi keanekaragaman jauh lebih rendah dibandingkan
Indonesia. Amerika Serikat pernah meraih devisa senilai 14 miliar dollar dari industri
bioteknologinya, termasuk produk-produk makanan sehat (healthy food). Padahal,
bahan dasarnya banyak yang berasal dari negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia.

13
E. Isu Perkembangan Industri Perikanan
1. Isu Kerusakan Ekosistem
Kerusakan ekosistem yang sangat berpengaruh pada tingkat produktivitas sumber
daya kelautan meliputi: ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, padang lamun
dan estuaria, serta ekosistem budidaya laut. Kondisi terumbu karang saat ini mencapai
kerusakan rata-rata 40% dengan rincian : rusak berat 40,14%, rusak sedang 29,22%,
dan baik 6,41-24,23%. Di Indonesia Barat kondisi memuaskan tinggal 3,93%, di
Indonesia Tengah tinggal 7,09%, sedangkan di Indonesia Timur kondisi memuaskan
tinggal 9,80%. Permasalahan kerusakan ekosistem juga terjadi akibat terjadi
pemanfaatan sumber daya ikan yang berlebih (overfishing) di beberapa wilayah
perairan Indonesia. Masalah tersebut berdampak pada ketidakberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya perikanan. Kerusakan ekosistem juga terjadi akibat pencemaran ekosistem
laut yang bersumber dari dampak kegiatan-kegiatan manusia di darat dan di laut dan
berakibat pada penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem laut. Kegiatan manusia
di laut yang dapat mencemari ekosistem laut diantaranya kegiatan perkapalan dengan
arus transportasi lautnya, kegiatan pertambangan, penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan, wisata pantai, dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan manusia di darat
yang mencemari ekosistem laut diantaranya adalah kegiatan pertanian, pemukiman,
industri, kegiatan pertambangan, dan lain-lain.
2. Isu Pemanfaatan Ruang
Laut dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, misalnya area perikanan,
pertambangan, jalur transportasi, jalur kabel komunikasi dan pipa bawah air, wisata
bahari dan area konservasi. Artinya laut sebagai ruang dimungkinkan adanya terdapat
beberapa jenis pola pemanfaatan dalam satu ruang yang sama. Konflik pemanfaatan
ruang dapat saja terjadi apabila penetapan pola-pola pemanfaatan pada ruang yang
sama atau berdekatan saling memberikan dampak yang negatif.
Ketidakselarasannya peraturan atau produk hukum dalam pola-pola pemanfaatan laut
antar sektor dapat meningkatkan kerentanan konflik kepentingan. Selain itu,
kepentingan pemerintah daerah saat ini yang diberikan kewenangan untuk mengelola
wilayah lautnya masing-masing banyak disalah tafsirkan, sehingga laut dianggap milik
sendiri dan tidak boleh dimanfaatkan oleh orang lain atau pemanfaatan sumber daya
laut dilakukan hanya sekedar untuk menambah devisa tanpa melihat berbagai aspek
keberlanjutannya.
3. Isu Global

14
Memasuki abad ke-21, Indonesia dihadapkan pada tantangan internasional
sehubungan dengan mulai diterapkannya pasar bebas, mulai dari AFTA (pasar bebas
ASEAN) hingga APEC (pasar bebas Asia Pasifik). Seiring dengan itu, terjadi berbagai
perkembangan lingkungan strategis internasional, antara lain (1) proses globalisasi, (2)
regionalisasi blok perdagangan, (3) isu politik perdagangan yang menciptakan non-tarif
barier, dan (4) isu tarifikasi dan tarif escalation bagi produk agroindustri, dan (5)
perkembangan kelembagaan perdagangan internasional. Terdapat dua aspek globalisasi
yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan, yakni aspek ekologi dan ekonomi.
Secara ekologi, terdapat berbagai kaidah internasional dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan (fisheries management), seperti adanya Code of Conduct for Responsible
Fisheries yang dikeluarkan FAO (1995). Aturan ini menuntut adanya praktek
pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan, dimana setiap negara
dituntut untuk memenuhi kaidah-kaidah tersebut, selanjutnya dijabarkan di tingkat
regional melalui organisasi/komisi-komisi regional (Regional Fisheries Management
Organizations-RFMOs) seperti IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) yang mengatur
penangkapan tuna di perairan India, CCSBT, dll. Selain itu, Committee on Fisheries
FAO telah menyepakati tentang International Plan of Action on Illegal, Unreported and
Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti
pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah, atau
laporannya di bawah standar, dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga
mengancam kelestarian stok ikan global. Sementara itu dalam aspek ekonomi,
liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama globalisasi. Konsekuensinya adalah
ketatnya persaingan produk-produk perikanan pada masa datang. Oleh karenanya
produk-produk perikanan akan sangat ditentukan oleh berbagai kriteria, seperti (1)
produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, (2) produk harus memiliki
kualitas yang baik dan seragam, dan (3) produk dapat disediakan secara masal. Selain
itu, produk-produk perikanan harus dapat pula mengantisipasi dan mensiasati segenap
isu perdagangan internasional, termasuk: isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO
14000), isu property right, isu responsible fisheries, precauteonary approach, isu hak
asasi manusia (HAM), dan isu ketenagakerjaan.

F. Rekomendasi Kebijakan
Efektivitas pelaksanaan Inpres No.7 Tahun2016 tentang Percepatan
Pembangunan Industri Perikanan Nasional akan terwujud bila pemerintah mampu
mengkonsolidasikan sumber daya, terutama terkait regulasi, finansial, SDM, informasi

15
dan teknologi untuk melakukan 6 (enam) kegiatan strategis, yakni: (1) peningkatan
produksi; (2) perbaikan distribusi dan logistik; (3) penataan pengelolaan ruang laut; (4)
penyediaan sarana dan prasarana; (5) pengembangan kompetensi SDM dan inovasi
iptek; dan (6) perbaikan kualitas pelayanan perizinan. Untuk melakukan upaya-upaya di
atas, ada 4 (empat) opsi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yaitu :
1. Peninjauan Kebijakan
Evaluasi secara menyeluruh terhadap berbagairegulasi, seperti UU, PP, Perpres,
atau Permen, perlu dilakukan guna menghilangkan hambatan kebijakan yang berpotensi
menggagalkan upaya percepatan pembangunan industri perikanan nasional. Fokus
evaluasi kebijakan terutama diarahkan pada: (a) harmonisasi regulasi, yakni
menghilangkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan di tingkat pusat,
khususnya antar kementerian/lembaga, maupun dengan peraturan di tingkat daerah; (b)
merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap
dan Usaha Pengolahan Ikan; (c) merevisi UU Perikanan, terutama yang berkaitan
dengan penegakan hukum; (d) penyelesaian deregulasi paket kebijakan terkait perizinan
usaha perikanan tangkap dan kapal perikanan serta penyelenggaraan pelayanan terpadu
satupintu di sektor kelautan dan perikanan; dan (e) meningkatkan kapasitas dan peran
aktif pemerintah provinsi dalam menyusun seperangkat regulasi teknis dan program
yang mendukung percepatan pembangunan industri perikanan dan memberdayakan
nelayan.
2. Memperkuat Sistem Rantai Dingin
Sentra industri perikanan modern yang akan dikembangkan harus didukung
dengan keberadaan sistem rantai dingin yang mampu berkontribusi terhadap percepatan
industri perikanan nasional. Langkah-langkah untuk mewujudkan hal tersebut antara
lain melalui: (a) pemberian kemudahan akses bagi paranelayan untuk memperoleh es
dan air bersih; (b) penyediaan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh industri
perikanan, seperti Unit Pengolahan Ikan (UPI), listrik, coldstorage, akses jalan ke
pelabuhan, perumahan, telekomunikasi, dan sarana transportasi ikan berpendingin. Hal
ini dapat dicapai melalui sinergi kebijakan antara kementerian dengan pemerintah
daerah dalam penyediaan sarana prasarana yang mendukung kegiatan industri
perikanan, seperti listrik, air bersih, cold storage, dan lain sebagainya.
3. Reformasi Pelayanan Usaha yang Ramah Investasi
Salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh industri perikanan nasional adalah
prosedur pelayanan perizinan usaha yang dianggap ruwet sehingga menghambat

16
investasi. Oleh karenaitu, reformasi pelayanan publik di bidang perizinan usaha
perikanan perlu dilakukan melalui strategi berikut:
(a) penyusunan dan penerapan standar pelayanan sesuai amanat UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik. Keberadaan standarpelayanan ini akan mengurangi secara
sistematis praktik-praktik pemberian pelayanan yang tidak berkepastian, baik
menyangkut biaya, waktu penyelesaian, prosedur, persyaratan, maupun cara melayani;
(b) optimalisasi fungsi BUMDes dimana keberadaan BUMDes sesuai amanat UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa dapat dimanfaatkan sebagai buffer stock bagi penyediaan
bahan baku industri perikanan nasional. Dalam hal ini, diperlukan adanya sinergi
kebijakan antar lembaga untuk memberdayakan potensi nelayan kecil dan kelompok
usaha UMKM perikanan, terutama dari segi pembiayaan, kompetensi, pendampingan
teknis dan akses terhadap pasar. Hal ini sangat penting mengingat karakteristik usaha
perikanan di Indonesia yang sebagian besar dilakukan oleh segmen usaha mikro, kecil,
dan menengah (99% UPI).
4. Mendorong Investasi yang Berkelanjutan
Untuk mendukung kebijakan industri perikanan yang menguntungkan berbagai
lapisan masyarakat, pemerintah juga perlu memberikan kemudahan akses bagi para
nelayan, khususnya bagi UMKM perikanan, agar dapat memperoleh fasilitas
permodalan usaha yang berkelanjutan. Dukungan pembiayaan perlu terusdi
kembangkan melalui pengembangan skema program JARING dengan pihak OJK
(Otoritas Jasa Keuangan). Pemerintah juga dapat membuat dan menyosialisasikan
pedoman teknis tentang investasi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pelaku
industri, penyedia jasa keuangan, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan
lainnya. Selain itu, perlu adanya insentif bagi pelaku usaha perikanan yang
menjalankan usahanya secara produktif dan bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Lautindo. 2016. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2017. (online). http://lautindo.com/potensi-


industri perikanan-indonesia/

Muzakky, Zakha Rakha. 2016.Perkembangan Teknologi dalam Sektor Perikanan.


Diakses pada tanggal 29 Oktober 2017. (online)http://zakharakha.blogspot.
co.id/2016/01/perkembangan-teknologi-dalam-sektor.html

17
http://rahmatribenita.blogspot.co.id/2014/04/sejarah-perikanan.html

https://www.scribd.com/doc/206676182/Makalah-Perkembangan-Industri-Perikanan-
Indonesia

Suadi. 2016.Prospek Perikanan Di Negeri Maritim.Diakses pada tanggal 29 Oktober


2017.(online) http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2016/02/18/216960/
prospek-perikanan-di-negeri-maritim/

Taufiq, Mahsyar. 2015.Makalah Perikanan. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2017


(online)http://mahsyartaufiq.blogspot.co.id/2015/05/makalahperikanan.html

Tra, dkk. 2016. Harus Fokus Pada Industri Nasional. Kompas.

Zulbainarni.2012.Model Bioekonomi Eksploitasi Multispesies Sumberdaya Perikanan


Pelagis di Perairan Selat Bali. Diakses pada tanggal 29 Oktober 2017 (online)
http://repository.ipb.ac.id//2011nzu.pdf

Sumber Data:
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia
Kantor Staf Presiden (KSP) Republik Indonesia

18

Anda mungkin juga menyukai