Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Deep Veins thrombosis (DVT) merupakan salah satu jenis venous


thromboembolism (VTE) selain pulmonary embolism (PE)1. Venous
thromboembolism adalah bekuan darah (trombus) yang terbentuk di dalam
pembuluh darah vena. Biasanya sebagian besar bekuan darah ini terbentuk pada
vena dalam yang terletak di kaki atau pelvis. Keadaan ini disebut dengan Deep
Veins Thrombosis (DVT). Jika bekuan atau bagian dari bekuan darah tersebut,
pecah dari termpat terbentuknya dan terbawa di dalam sistem sirkulasi darah,
terjadilah keadaan yang disebut dengan emboli. Ketika bekuan darah ini mencapai
paru, ini yang dinamakan dengan Pulmonary Embolism (PE), sebuah keadaan
yang mengancam nyawa1.

Secara global angka insiden deep veins thrombosis (DVT) adalah 70


sampai 113 kasus per 100.000 jiwa per tahun. Angka ini meningkat secara tajam
setelah umur 40 tahun. Adapun beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan
terjadinya DVT antara lain; bertambahnya umur, kurangnya aktivitas tubuh,
stroke/paralysis, riwayat venous thromboembolism sebelumnya, pembedahan,
riwayat trauma, dan kehamilan1. Deep vein thrombosis (DVT) merupakan keadaan
darurat yang harus secepat mungkin didiagnosis dan diterapi. Terjadinya DVT
akan meningkatkan risiko terjadinya bekuan darah yang berulang (recurrent) dan
dapat mengakibatkan komplikasi yang serius seperti pulmonary embolism atau
post-thrombotic syndrome (PTS)1.

Saat ini, sudah terdapat berbagai pilihan terapi yang direkomendasikan


untuk mencegah maupun mengobati terjadinya Venous Thromboembolism (VTE).1
Oleh karena deep vein thrombosis merupakan sebuah keadaan/penyakit yang
dapat menibulkan komplikasi serius hingga dapat mengancam nyawa, maka
diperlukan pemahaman lebih lanjut mengenai DVT, sehingga dapat dilakukan
manajemen yang tepat terhadap penyakit ini.

1
BAB II

ISI

2.1. Definisi

Trombosis adalah suatu pembentukan bekuan darah (trombus) didalam


pembuluh darah. Trombus adalah bekuan abnormal dalam pembuluh darah yang
terbentuk walaupun tidak ada kebocoran pembuluh darah. Sedangkan, trombus
vena adalah bekuan darah pada vena yang terdiri dari deposit intravaskuler yang
tersusun atas fibrin dan sel darah merah disertai berbagai komponen trombosit dan
lekosit.4

Deep Veins Thrombosis (DVT) adalah suatu kondisi yang terjadi akibat
pembentukan bekuan darah (thrombus) di dalam pembuluh darah vena dalam pada
ektremitas. DVT dapat terjadi pada ektremitas inferior maupun superior. Pada
ektremitas inferior biasanya terjadi pada bagian proksimal atau distal dari vena
popliteal atau pada daerah pelvis. Sedangkan pada ektremitas superior DVT
biasanya terjadi pada vena subclavian atau axillary.2 Hal ini dapat menghambat
aliran darah vena secara parsial maupun total. Terjadinya DVT akan
meningkatkan risiko terjadinya bekuan darah kambuhan (recurrent) dan dapat
mengakibatkan komplikasi yang serius seperti pulmonary embolism atau post-
thrombotic syndrome (PTS). Biasanya sepertiga dari pasien dengan deep veins
thrombotic (DVT) simptomatis juga mengalami Pulmonary Embolism.1

2.2. Epidemiologi

DVT terjadi pada sekitar 2 juta orang di Amerika Serikat setiap tahunnya.
Mortalitas pada pasien DVT biasanya disebabkan oleh Pulmonary Embolism
(PE). Tingkat mortalitas pada pasien yang diterapi dengan antikoagulan
kurang dari 1% 2,3.

Secara Global angka insiden DVT, 70 sampai 113 kasus per 100.000 jiwa
per tahun, yang mana, meningkat secara tajam setelah umur 40 tahun.2

Secara keseluruhan angka insiden DVT di Amerika Serikat sebanyak 48


kasus per 100.000 jiwa per tahun.2

2

Tidak ada perbedaan yang signifikan dari prevalensi DVT antara pria dan
wanita, walaupun angka kekambuhan (recurrent) pada pria lebih tinggi
daripada wanita.2,3

Populasi kulit putih dan hitam memiliki 2.5 sampai 4 kali lebih berisiko
untuk terjadinya thromboembolism dibandingkan dengan populasi Hispanic,
Asian, and kepulauan di Pasifik.2

DVT terjadi 10% - 15% lebih sering selama musim dingin dibandingkan
dengan musim panas, kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya aktivitas
fisik.2

Prevalensi DVT pada pasien rawat inap :2


a. Spinal cord injury: 60% - 80%
b. Major trauma: 40% - 80%
c. Total hip arthroplasty (THA), total knee arthroplasty (TKA), or hip
fracture surgery: 40% - 60%
d. Critical care: 10% - 80%
e. Stroke: 20% - 50%
f. General surgery: 15% - 40%
g. Major gynecologic surgery: 15% - 40%
h. Neurosurgery: 15% - 40%
i. Major urologic surgery: 15% - 40%
j. Medical patients: 10% - 20%

2.3. Etiologi

Berbagai faktor dapat menyebabkan munculnya DVT (Deep Venous


Thrombosis) baik yang bersifat kongenital (variasi anatomi, defisiensi enzim,
mutasi) maupun yang bersifat acquired (pengobatan, penyakit). Berikut ini adalah
penyebab DVT : 5

(a) Peningkatan viskositas darah dan tekanan vena sentral. Peningkatan


kekentalan darah dapat mengurangi aliran darah yang dapat meningkatkan
komponen seluler pada darah dalam policitemia rubra vera atau trombositosis.
Selain itu, peningkatan tekanan vena sentral dapat mengurangi aliran dalam vena
pada kaki yang berefek pada vena iliac atau vena cava inferior.

3
(b) Perbedaan anatomi menyebabkan Venous Stasis. Abnormalitas atau
ketiadaan vena cava inferior atau vena iliac dapat menyebabkan venous stasis.
Dalam trombosis iliocaval, anomali anatomi teridentifikasi pada 60-80% pasien
yaitu adanya penekanan vena iliaka komunis kiri pada persilangan arteri iliaka
komunis. Dimana normalnya vena berjalan di bawah arteri iliaka komunis kanan.
Tertekannya vena iliaka komunis kiri ini menyebabkan terbentuknya
web/anyaman sehingga terjadi stasis vena dan timbul DVT kaki kiri. Gangguan ini
sering disebut dengan sindrom May-Thurner atau sindrom Cockett.

(c) Injuri mekanik pada vena. Injuri mekanik pada dinding vena dapat
menimbulkan stimulus tambahan untuk terjadinya trombosis vena. Pasien dengan
hip arthroplasty yang berhubungan dengan manipulasi vena femoral adalah
kelompok yang beresiko tinggi mengalami DVT dengan 57% thrombus berasal
dari vena femoral. Injuri yang dapat menyebabkan DVT bisa berupa injuri yang
terlihat jelas seperti trauma, intervensi bedah, atau injuri iatrogenik, tetapi dapat
juga berupa injuri yang tidak jelas seperti trauma minor, yang menyebabkan DVT
asimptomatik.

(d) Faktor Genetik. Mutasi genetik dalam kaskade pembekuan darah


menunjukkan resiko tinggi untuk berkembangnya thrombosis vena. Defisiensi
primer koagulasi inhibitor antitrombin, protein C dan protein S terdapat ada 5-
10% pasien dengan DVT. Perubahan prokoagulasi protein enzim seperti faktor V,
faktor VIII, faktor IX, faktor XI dan protrombin. Resistensi faktor prokoagulan
terhadap sistem antikoagulan juga didapatkan adanya mutasi faktor V Leiden pada
10-65% pasien DVT. Mutasi faktor V Leiden menyebabkan terbentuknya faktor
Va yang resisten terhadap aktivasi protein C yang menyebabkan
hiperkoagulabiliti.

Adapun faktor resiko dari DVT yaitu (a) adanya riwayat DVT dapat
mencetuskan adanya thrombosis yang berulang pada pasien 25% pasien DVT; (b)
keganasan terjadi pada 30% pasien yang mengalami thrombosis vena. Mekanisme
trombogenik melibatkan koagulasi abnormal terbukti bahwa 90% pasien kanker
memiliki gangguan faktor koagulasi. Kemoterapi dapat meningkatkan resiko
thrombosis vena yang dengan cara berdampak pada endothelium vascular,

4
kaskade koagulasi, dan lisis sel tumor; (c) meningkatnya usia dapat meningkatkan
perkembangan thrombosis vena; (d) imobilisasi dan kelumpuhan tungkai bawah;
(e) Postoperative trombosis vena; (f) kehamilan dan periode postpartum;

2.3. Patogenesis

Berbeda dengan trombosis arteri, trombosis vena dapat terjadi tanpa adanya injuri
pada venaitu sendiri. Trombosis dapat muncul melalui interaksi antara TF- bearing
mikrovesikel dengan endotelia. Seperti platelet, sel endotelia juga memiliki
sejumlah besar P- selektin yang disimpan di intracelular granulnya yang dapat
diekspresikan saat endotelia sel teraktivasi dan menyediakan reseptor bagi TF-
bearing microvesikel. Dan seperti platelet juga, sel endotelia dapat
mengekspresikan phosphatidylserine pada permukaanya yang nantinya akan
berikatan dan berfusi dengan TF-bearing microvesicles dan menginisiasi
koagulasi. Disamping itu endotelia sel juga akan menyediakan permukaan
katalitik bagi proses koagulasi dari platelet teraktivasi.6

Rudolph Virchow melalui hasil observasi patologi, menyimpulkan ada tiga faktor
utama yang bertanggung jawab atas pembentukan trombus vena. Ketiga faktor
tersebut yaitu; 1) Stasis darah, 2) perubahan dinding pembuluh, 3)
hiperkoagulabilitas.6

Stasis darah

Banyak jalur antikoagulan dicetuskan lewat paparan sel endotelial dengan


komponen-komponen seperti thrombomodulin, EPCR, tissue factor pathway
inhibitor dan heparin like proteoglycans. EPCR dan trombin akan melekat pada
thrombomodulin yang menginisiasi jalur protein C yang bertanggung jawab pada
inaktivasi dari kofaktor Va dan VIIIa, inhibitor jalur tissue factor akan memblok
tissue factor untuk melakukan proses koagulasi dan heparin like proteoglycan
akan menstimulasi aktivitas inhibiori dari antithrombin. Aktivitas dari komponen
antikoagulan ini akan sangat terpengaruh rasio antara permukaan sel endotelia
terhadap volume darah. Karenanya darah yang bergerak dari pembuluh besar
menuju mikrosirkulasi akan meningkatkan aktifitas antikoagulan.Namun jika
aliran darah mengalami stasis di pembuluh darah besar, maka interaksi antara

5
antikoagulan dengan mikrosirkulasi akan menjadi minimal dan berakibat pada
peningkatan kemungkian pembentukan thrombi

Stasis darah vena juga mengaktivasi sel endotelial dalam proses koagulasi sebagai
hasil dari desaturasi hemoglobin yang menimbulkan hipoksia endotelia. Pada
aliran darah yang mengalami stasis, tensi oksigen vena akan menurun. Akibatnya
sel endotelia mengalami hipoksia yang berujung pada iskemia. Iskemia akan
mengaktivasi sel endotelial untuk mengekspresikan P-selektin. P-selektin akan
mengundang infiltrasi leukosit pada dinding pembuluh darah juga jaringan target,
dan berikatan dengan TF-bearing mikrovesikel. 6,7

Perubahan dinding pembuluh

Injuri endotelia pembuluh akan menyebabkan permukaan membran prokoagulan


terpapar dengan molekul-molekul adesif . Sel endotelial yang mengalami
disfungsi ini nantinya akan menghasilkan lebih banyak faktor prokoagulan
(platelet adhesion factor, TF) atau mengsintesis lebih sedikit efektor bagi
antikoagulan ( thrombomodulin, PGI-2, t-PA). Disfungsi dari endotelial ini dapat
diinduksi oleh hipertensi, endotoksin bakteria, radiasi, kelainan metabolik juga
toksin dari asap rokok.8

Hiperkoagulabilitas

Hiperkoagulabilitas diartikan sebagai perubahan dari jalur koagulasi yang


mengundang terjadinya trombosis yang dapat terjadi secara genetik atau
didapat.Kondisi hiperkogulabilitas primer yang sering terjadi diantaranya, 1)
Mutasi Leiden faktor V. Mutasi ini menyebabkan faktor V tesisten terhadap
proteolisi dari protein C sehingga tidak terjadi perlawanan antitombin. 2) Mutasi
gen Protrombin G20210A, yang menyebabkan peningkatan kadar protrombin
yang meningkatkan resiko venus trombosis. 3) Peningkatan kadar homosistein
yang memiliki efek protrombotik. Sedangkan hiperkoagulabilitas sekunder dapat
dicetuskan oleh trauma, injuri pembuluh, penggunaan kontrasepsi oral, keganasan
melalui peningkatan sintesi prokoagulan, penurunan sintesis antikoagulan.8

2.4. Diagnosis

6
Pada pasien dengan trombosis vena dalam dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis.
Anamnesis dilakukan dengan dasar sacred seven (lokasi, onset, kualitas, kuantitas,
kronologis, faktor memperberat dan memperingan, dan keluhan penyerta),
fundamental four (penyakit sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat
keluarga, dan riwayat pribadi/ sosial). Pasien dengan trombosis vena dalam biasa
mengeluh kaki bengkak dan nyeri.9 Pada anamnesis juga bisa ditemukan faktor
resiko terjadinya trombosis vena dalam.

Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan.
Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri,
dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif. 9 Tanda
Homan dilakukan dengan cara kaki dalam keadaan fleksi lalu pergelangan kaki
secara paksa di dorsofleksikan. Tanda Homan positif apabila terasa nyeri pada
bagian betis maupun regio popliteal.10 Trombosis vena dalam juga dapat dinilai
menggunakan sistem skor klinik Scarvelis dan Wells (tabel.1).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis trombosis vena


dalam dapat berupa pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan D-dimer dan
pemeriksaan radiologis berupa venografi/ flebografi, USG doppler, USG
kompresi, venous impedance plethysmography (IPG), dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). D- dimer merupakan produk degradasi fibrin, D-dimer meningkat
pada pasien dengan tromboembolisme vena akut maupun pada kondisi lain seperti
pendarahan, trauma, kehamilan, setelah operasi , dan kanker.11 Secara umum
pemeriksaan D-dimer merupakan pemeriksaan yang sensitif namun tidak spesifik
untuk DVT.11

Venografi atau flebografi merupakan gold standart untuk mendiagnosis DVT baik
pada betis, paha, maupun sistem ileofemoral. Venografi dilakukan dengan
memasukan kontras ke vena melalui kateter lalu diperiksa dengan menggunakan
x-ray. Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena dan resiko alergi terhadap
bahan radiokontras atau yodium.9 MRI umumnya digunakan untuk mendiagnosis
DVT pada perempuan hamil atau pada DVT di daerah pelvis, iliaka dan vena kava
dimana USG doppler pada ekstremitas bawah menunjukan hasil negatif.9

7
Tabel .1. Model klinis untuk memprediksi probabilitas DVT11

Karakteristik klinis Skor


Kanker yang aktif 1
Paralisis atau pemasangan gips pada 1
ekstremitas bawah
Rawat inap > 3 hari atau operasi besar < 1
4 minggu
Nyeri tekan yang terlokalisir 1
Pembengkakan seluruh kaki 1
Pembengkakan tungkai >3cm 1
dibandingkan dengan kaki sebelahnya
Pitting edema 1
Riwayat DVT 1
Koateral vena superfisial 1
Alternatif diagnosis yang miripdengan -2
DVT
Skor 2 mengindikasikan probabilitas yang tinggi untuk terjadinya DVT
Skor 2 mengindikasikan probabilitas yang rendah untuk terjadinya DVT

2.5. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari bengkak, nyeri tungkai bawah pada deep vein thrombosis
sangatlah luas, seperti cellulitis, arthritis,neuropathy, arterial occlusion,
lymphedema, ruptured Baker cyst , varicose veins, superficial thrombophlebitis,
and chronic venous insufficiency.

Cellulitis

Cellulitis adalah kondisi peradangan akut pada kulit yang ditandai dengan nyeri
lokal, eritema, bengkak, dan heat. Cellulitis dapat disebabkan oleh flora normal
yang berkolonisasi pada kulit (misalnya, S. aureus dan S. pyogenes) atau dengan
berbagai bakteri eksogen.

Lymphedema

Lymphedema dapat dikategorikan menjadi primer atau sekunder. Lymphedema


umumnya kondisi menyakitkan, tetapi pasien mungkin mengalami kusam kronis,

8
sensasi berat pada tungkai, dan mereka paling sering khawatir tentang penampilan
tungkai. Lymphedema ekstremitas bawah, awalnya melibatkan kaki, secara
bertahap naik sehingga seluruh anggota gerak bawah menjadi edematous. Pada
tahap awal, terdapat edema yang lembut dan mudah lubang dengan tekanan. Pada
tahap kronis, anggota gerak bawah memiliki tekstur kayu, dan jaringan menjadi
mengeras dan fibrosis.

Superficial Thrombophlebitis

Sebuah benang merah menyakitkan adalah tanda yang jelas dari tromboflebitis
superfisial. Ini adalah satu-satunya jenis trombosis vena yang dapat didiagnosis
tanpa pemeriksaan imaging.

Chronic venous insufficiency

Insufisiensi vena kronis dapat terjadi akibat deep vein thrombosis. Oleh karena
deep vein thrombosis, daun katup yang seharusnya halus berangsur-angsur
menjadi menebal dan mengkerut sehingga mereka tidak dapat mencegah aliran
balik darah sehingga vena menjadi kaku dan berdinding tebal. Pasien dengan
chronic venous insufficiency sering mengeluh rasa nyeri di tungkai yang
memburuk dengan berdiri terlalu lama dan membaik dengan menaikan tungkai.
Pemeriksaan menunjukkan peningkatan lingkar tungkai, edema, dan varises
superfisial. Eritema, dermatitis, dan hiperpigmentasi dapat tampak pada daerah
distal kaki, dan ulserasi kulit dapat terjadi pada daerah malleoli medial dan
lateral.5

Untuk menentukan apakah mendiagnosis deep vein thrombosis tidak mungkin


tanpa melakukan tes objektif atau pemeriksaan penunjang. Beberapa diagnosis
banding dapat dengan mudah didiagnosis pada saat pemeriksaan awal, sedangkan
yang lain dapat disimpulkan hanya setelah kecurigaan terhadap deep vein
thrombosis ditolak melalui pemeriksaan penunjang. Penyebab gejala dapat
ditentukan dengan mengikuti perkembangan deep vein thrombosis secara hati-
hati. Sekitar 25 persen pasien, bagaimanapun, penyebab sakit, nyeri, dan bengkak
masih belum jelas bahkan setelah mengikuti perjalanan penyakitnya.12

9
2.6. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan Deep Vein Thrombosis (DVT) pada fase akut : 11

1) Menghentikan bertambahnya thrombus


2) Membatasi bengkak yang progresif pada tungkai
3) Melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah
disfungsi vena atau sindrom pasca trombosis (post thrombotic syndrome)
di kemudian hari
4) Mencegah eboli

Antikoagulan

Unfractioned Heparin (UFH) merupakan antikoagulan yang sudah lama


digunakan untuk penatalaksanaan DVT pada saat awal. Mekanisme kerja utama
heparin adalah meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor anti
pembekuan dan melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding
pembuluh darah. Terapi ini diberikan dengan bolus 80 IU/kg BB/jam dengan
pemantauan nilai activated partial thromboplastin time (APTT) ekitar 6 jam
setelah bolus untuk mencapai target APTT A1,5-2,5 kali nilai kontrol dan
kemudian dipantau sdikitnya setiap hari. Sebelum memulai terapi heparin, APTT,
masa protrombin (prothrombin time) dan jumlah trombosit harus diperiksa,
terutama pada pasien dengan risiko pendarahan yang tinggi atau dengan
gangguan hati atau ginjal.11

Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparin/ LMWH) dapat
diberikan satu atau dua kali sehari secara subkutan dan mempunyai efikasi yang
baik. Keuntungan LMWH adalah risiko pendarahan mayor yang lebih kecil dan
tidak memerlukan pemantauan laboratorium yang sering dibandingan dengan
UFH, keculi pada pasien-pasien tertentu seperti gagal ginjal atau sangat gemuk.

Pemberian antikoagulan UFH atau LMWH ini dilanjutkan dengan antikoagulan


oral yang bekerja dengan menghambat fakto pembekuan yang memerlukan
vitamin K. Antikoagulan oral yang sering digunakan adalah warfarin atau
comarin/derivatnya. Obat ini diberikan bersama-sama awal terapi heparin dengan

10
pemantauan (international normalized ratio) INR. Heparin diberikan selama
minimal 5 hari dan dapat dihentikan bila antikoagulan oral ini mencapai target
INR yaitu 2,0-3,0 selama dua hari berturut-turut.

Lama pemberian antikoagulan masih bervariasi, tetapi pada umumnya tergantung


pada faktor risiko DVT tersebut. Pasien yang mengalami DVT harus mendapatkan
antikoagulan 6 minggu sampai 3 bulan jika mempunyai faktor risiko yang
reversible atau setidaknya 6 bulan pada pasien idiopatik. Pasien yang mempunyai
faktor risiko molecular yang diturunkan seperti defisiensi antitrombin III, protein
C atau S, activated protein C resistance atau dengan lupus anticoagulant,
antikoagulan oral diberikan lebih lama bahkan dapat seumur hidup. Pemberian
antikoagulan ini juga diberikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali
episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker yang aktif.

Terapi trombolitik

Terapi ini bertujuan untuk melisiska thrombus secara tepat dengan cara
mengaktifkan plasminogen menjadi plasmin. Terapi ini umumnya hanya efektif
pada fase awal dan penggunaannya harus benar-benar dipertimbangkan dengan
bai karena mempunyai risiko perdarahan tiga kali lipat dibandingkan dengan
terapi antikoagulan saja. Pada umumnya terapi ini hanya dilakukan pad DVT
dengan oklusi total, terutama pada iliofemoral.

Trombektomi

Terapi ini terutama dengan fistula atriovena sementara, harus dipertimbangkan


pada trombosis vena iliofemoral akut yang kurang dari 7 hari dengan harapan
hidup lebih dari 10 tahun.

Filter vena kava inferior

Filter ini digunakan pada trombosis di atas lutut pada kasus dimana antikoagulan
merupakan kontraindikasi atau gagal mncegah emboli berulang.

11
2.7. Pencegahan
Resiko terjadinya trombosis vena dalam dapat diturunkan dan dicegah
dengan melakukan gaya hidup yang aktif dan berolahraga secara teratur - setiap
hari jika memungkinkan, seperti berjalan, berenang, dan bersepeda, mengatur
berat badan dengan menyeimbangkan antara olahraga dengan makan makanan
yang sehat, berhenti merokok, menghindari konsumsi alkohol, memeriksa tekanan
darah secara teratur, berkonsultasi kepada dokter jika anda atau keluarga ada yang
mengalami masalah pembekuan darah, jika melakukan perjalanan udara atau
duduk selama lebih dari 4 jam, berjalan atau lakukan peregangan kaki dan tetaplah
terhidrasi dengan baik, menggunakan stocking bisa membantu untuk mencegah
pembekuan darah. Untuk pencegahan trombosis vena dalam pasca pembedahan
atau akibat bedrest yang lama bisa dengan memberikan antikoagulan (heparin,
coumadin, atau xarelto) sebelum atau segera sesudah pembedahan, menggunakan
alat semacam stocking untuk mengompres kaki dan menjaga agar darah tetap
mengalir di pembuluh darah, meninggikan kaki saat di tempat tidur, bangun dan
bergeraklah sesegera mungkin, dan konsumsilah obat pereda nyeri untuk
memudahkan proses pergerakan.13,14,15

2.8. Prognosis

Secara umum DVT dapat sembuh spontan tanpa komplikasi. Morbiditas


jangka panjang yang dapat ditimbulkan adalah post-thrombothic syndrome (PTS)
atau sering disebut dengan post-phlebitic syndrome. PTS terjadi pada 5% kasus
DVT asimptomatik. Sebanyak 25-50% pada DVT simptomatik proksimal yang
muncul setelah dua tahun setelah terkena DVT. Kekambuhan DVT yang tidak
ditangani terjadi sebanyak 50% dari kasus setelah tiga bulan. Pada PTS, bekuan
darah yang tidak sembuh sepenuhnya menghambat aliran darah. Hal ini
menyebabkan nyeri pada kaki, bengkak, dan kemerahan. Pada keadaan yang lebih
berat dapat menyebabkan ulkus.16,17
Mortalitas dari DVT disebabkan oleh emboli paru yang massif. Emboli
paru terjadi pada 50% kasus DVT proksimal yang tidak ditangani. Pada DVT
yang telah ditangani, emboli paru hanya terjadi sebanyak 2-4% kasus. Emboli
paru menyebabkan 300.000 kematian di Amerika Serikat.2,3 Pada emboli paru,
terjadi obstuksi anatomi serta pelepasan agen vasoakttif dan bronkoaktif seperti

12
serotonin menyebabkan terganggunya ventilationperfusion matching yang
menyebabkan gejala seperti sesak. Peningkatan afterload ventrikel kanan
menyebabkan peningkatan tekanan pada ventrikel kanan dan mengarah pada
dilatasi disfungsi, serta iskemia pada ventrikel kanan. Kematian disebabkan oleh
kegagalan ventrikel kanan. 18

BAB III
KESIMPULAN

Deep Veins thrombosis (DVT) merupakan salah satu jenis venous


thromboembolism (VTE) selain pulmonary embolism (PE). Venous
thromboembolism adalah bekuan darah (trombus) yang terbentuk di dalam
pembuluh darah vena. Secara Global angka insiden DVT, 70 sampai 113 kasus
per 100.000 jiwa per tahun, yang mana, meningkat secara tajam setelah umur 40
tahun. Berbagai faktor dapat menyebabkan munculnya DVT (Deep Venous
Thrombosis) baik yang bersifat kongenital (variasi anatomi, defisiensi enzim,
mutasi) maupun yang bersifat acquired (pengobatan, penyakit).
Dalam menegakan diagnosis trombosis vena dalam dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis. Pada
pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan.
Gambaran klasik DVT adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri,
dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis trombosis vena
dalam dapat berupa pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan D-dimer dan

13
pemeriksaan radiologis berupa venografi/ flebografi, USG doppler, USG
kompresi, venous impedance plethysmography (IPG), dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI).Diagnosis banding dari bengkak, nyeri tungkai bawah pada deep
vein thrombosis sangatlah luas, seperti cellulitis, arthritis,neuropathy, arterial
occlusion, lymphedema, ruptured Baker cyst , varicose veins, superficial
thrombophlebitis, and chronic venous insufficiency.
Tujuan penatalaksanaan Deep Vein Thrombosis (DVT) pada fase akut :
menghentikan bertambahnya thrombus, membatasi bengkak yang progresif pada
tungkai ,melisiskan atau membuang bekuan darah (trombektomi) dan mencegah
disfungsi vena atau sindrom pasca trombosis (post thrombotic syndrome) di
kemudian hari, serta mencegah emboli. Prognosis dari DVT secara umum DVT
dapat sembuh spontan tanpa komplikasi, serta biasanya mortalitas terjadi karena
emboli paru masif.

14

Anda mungkin juga menyukai