Anda di halaman 1dari 6

Kampung Keramat

Met, kamu kamu lihat si Rifai seharian ini?

Loh, bukannya dia lagi ngemong istrinya ya, Cak! kata Slamet. Ia memandang Cak Sur yang tengah
asyik menghisap cerutu cokelat zaman Belanda. Dilihatnya cerutu itu semakin mengepulkan
asapnya.

Istri kok diemong terus. Nanti yang ada malah minta jajan terus, kata Cak Sur yang semakin asyik
mengisap cerutu berisikan kretek kesayangannya. Asap cerutu di depannya makin lama makin pekat.
Ia justru menikmatinya. Kehagangatan yang ia dapat dari asap cerutu itu tak akan tergantikan oleh
apapun.

Walah biar toh, Cak. Ya namanya istri. Daripada kita-kita ini. Siapa yang mau ngemong?

Cak Sur hanya menghela nafas. Hisapan cerutunya semakin kuat. Matanya mulai mencoba mendarat
ke beberapa sudut kuburan yang ada di belakang pos kamling tempat mereka jagongan. Pos Kamling
tua dengan jam dinding yang menunjukkan waktu pukul sebelas.

Met, coba lihat tembok kuburan ini. Orang-orang semprul!

Loalah, iya. Sudah jadi rupanya. Lha saya idrek terus dari kemarin. Cari ojir, Cak.

Cak Sur lalu menebar pandangan ke arah tembok-tembok itu. Menguliti tembok pembatas kuburan
dengan jalan yang tak putih lagi. Dilihatnya gambar-gambar pocong, wewe gombel, dan kuntilanak
menyeruak diantara heningnya pusara.

Keplek. Mana mau orang-orang selfie di kuburan? Gambarnya ngaco lagi. Mbok ya kalau mau buat
tempat wisata yang masuk akal! kata Cak Sur sambil geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir dengan
aneka tempat selfie yang tak mengenal ampun.

Oyi, Cak. Semuanya sekarang diwarnai. Digambari. Apa-apa diwarna. Nanti katanya biar dunianya
berwana. Berwarna ndasmu peyang, timpal Slamet. Pemuda itu lantas juga mengikuti jejak Cak Sur,
membakar kretek. Dinginnya udara siang itu semakin menusuk tulang. Asap cerutunya berpadu
dengan milik lawan bicaranya. Menari-nari mengiringi semilir angin yang berembus dari pohon-
pohon akasia di dekat kuburan.

Cak Sur lalu menambahkan,Kudengar juga di Poncokusumo batu-batu buat acara jeram-jeraman itu
diwana juga. Gak sekalian yuyu kangkang dicat polka dot. Atau sekalian tempat buat beser diberi
ornamen bunga.

Hahaha, Cak, Cak. Sampeyan ini kok sewot terus. Ya sudah suka-suka mereka. Biar toh kalau
mereka mau selfie di kuburan ini. Apa ya tega lihat di bawahnya pada disiksa Malaikat Kubur. Biar
mereka bisa dengar juga jadi bisa siap-siap. Atau, yang suka bikin video-video di yutub itu bisa
ngrekam aksi para Malaikat. Kan mereka dapat untung juga, kata Slamet panjang lebar. Tak perlu
waktu lama untuk menghabiskan selinting kretek di tengah dinginnya Malang.

Wis edan sekarang. Benar katamu nanti aku ikut edan, kayak Pak Mun yang baru meninggal
kemarin.

Oh yang pernah masuk Sumber Porong itu ya, Cak? Kasian ya Pak Mun itu, celetuk Slamet.

Iya, Met. Istrinya tiba-tiba nikah lagi. Anaknya juga gak ada yang peduli. Orang-orang baru tau
kematiannya eh jenazahnya udah busuk dua hari. Bu Sal, tetangganya yang jualan Rujak Bakso itu
yang nemu pas mau ngambil mangkoknya.

Iya, Cak. Apes banget. Ojobe rabi maneh, kanae ganok sing ngreken.

Mangkane Met. Lek golek ojob iku sing genah. Jangan cari yang cantik saja,Cak Sur mencoba
menasihati.

Mereka berdua terus menghisap cerutunya masing-masing. Cak Met memandang tulisan Kampung
Keramat di pintu masuk kuburan itu. Ia lantas bicara lagi,Met, kemarin jenazahnya si Wati, anak
mahasiswa di dekat Rumah Sakit itu jatuh di depan pintu itu!

Loh, bukannya memang ditaruh sebentar dulu di situ. Katanya si Cikrak, Pak RT-nya lagi nunggu
bapaknya. Gak ada yang ngadzani.

Ah, masak. Kalau cuma adzan saja Pak Modin atau kerabatnya juga bisa. Lha itu kan bukan bapak
kandungnya juga. Lagian, anak itu sudah gak diaku anak lagi.

Gak diaku anak bagaimana, Cak?

Ya si Wati itu kan punya gendaan anak Bebekan. Itu loh, yang rumahnya belakangnya Dieng Plaza.
Yang suka bawa motor gede itu.

Lha kan enak, Cak. Wong sugih.

Masalahnya bukan sugih, Met. Kera nganal itu sukanya main perempuan. Ya masak mau anaknya
dimainin gitu.

Iya juga, ya Cak. Terus Watinya kok sampek meninggal gitu?

Ya depresi, Met. Sudah kadung cinta. Terus dia mau cerita sama siapa wong ibunya juga meninggal
pas dia TK. Sebelum meninggal dia suka jerit-jerit gak karuan. Gendaannya juga ninggalin lah, mana
mau punya ojob kayak orang gila.

Iya, Cak. Ribet kalau masalah cinta.

Makanya, jangan dipikir kalau kamu ditolak terus sama Endah.

Lah, aku yang minder, Cak.

Minder kenapa, Met?

Dia rajin ngaji, Cak. Alim, pinter lagi. Yah mana mau sama aku?
Hahaha, Met, Met. Ya cari yang lain saja. Yang levelnya di bawah dia.

Wis, Cak. Tapi belum nemu. Sementara gak cari kodew dulu.

Loh, iki wis mau 2018 lho. Kamu kok tenang aja. Nanti kamu ditanya emesmu bagaimana. Kalau
ebesmu sih paling ngerti kamu masih kayak gini, timpal Cak Sur. Ia sudah tak kuasa menahan untuk
menghisap cerutu terus. Di musim hujan seperti sekarang ini, Malang seperti Finlandia. Matahari
hanya bersinar 6 jam saja. Kehangatan dari hisapan cerutu bagi Cak Sur tiada duanya.

Biar, Cak. Nanti ayas ikut depresi, haha. Hujan-hujan gini enaknya kemulan, ya Cak.

Kemulan terus nanti bisa mati kayak si Parmin kamu.

Lah dia kan mati karena ulahnya sendiri. Wong dukun keplek kok dituruti, ya modar.

Hahaha iya, Met. Kok mau disuruh tidur pakai selimut sambil gak boleh nafas. Katanya sih buat
ngucapin mantra dalam hari. Ya modar.

Padahal jualan rujak gobetnya laris. Gak syukur.

Iya, met. Pas ada acara di Balaikota, orang Pemkot mborong dagangannya. Lalu pas ada acara
Suroan di Dinoyo, dia juga dapat banyak buat pala pendhem. Mbok ya sudah diterusin saja itu
usaha.

Bener, Cak. Kata istrinya dia pengen beli mobil baru. Jadi, si Parmin cari dukun di deketnya Kali
Metro. Katanya sih lebih murah. Tapi lek cari dukun ya sing bener. Minimal ke Gunung Kawi lah kalau
gak mau lelaku di Gunung Arjuno.

Ndukun di manapun ya sama, Met. Kalau mati susah. Kamu masih ingat sama Pak Samiran pas kita
jalan-jalan ke Gunung Kawi dulu? Kamu tahu dia matinya gimana?

Yang mana, Cak? Aku lupa.

Duh kamu ini. Itu loh, yang punya pabrik di Pandaan. Yang istrinya tiga.

Oh, yang pernah nyaleg di DPRD Kota tapi gak jadi itu ya?

Iya bener. Dia kan mencak-mencak terus seminggu sebelum matinya. Ublem utem rumah sakit juga.
Tapi, kata dokter tak ada yang serius, cuma sering kecapekan. Katanya dia mengeluh panas terus di
kepalanya. Lha wong anak istrinya aja pada kedinginan.

Slamet hanya mengangguk. Siang itu benar-benar dingin. Jalan di depan kuburan juga sepi. Orang-
orang lebih senang meringkuk di dalam rumah. Melihat acara TV bela-belaan Gubernur Jakarta lebih
asyik atau mengetik sumpah serapah di medsos juga lebih nikmat. Daripada kedinginan di depan
kuburan.

Met, si Rifai kok belum kelihatan juga batang hidungnya?

Iya, ya. Apa mereka ke pantai. Selfie-selfie.


Ngapain mereka ke pantai. Yang ada kebawa ombak Ratu Kidul.

Ya kali saja, Cak. Namanya jalan-jalan, sergah Slamet.

Kita berdua saja yang di kuburan ini. Kalau ada Rifai pasti ramai. Anak itu kan suka dapat cerita
baru.

Iyalah, Cak. Hobinya ngider di rumahnya orang juga. Tempo hari dia malah mau masuk ke kamarnya
si Puah, anaknya Mak Sayem yang bisu itu.

Loh ngapain? Cari selingkuhan kok yang bisu. Mbok kayak si Kenes, janda sintal di depan warungnya
Yu Sri itu. Arek sempel.

Hahaha iya, Cak. Kurang apa itu istrinya. Eh, ngomong-ngomong tentang Yu Sri, kudengar pelet
warung nasinya tokcer juga ya.

Masa sih, Met. Kamu kok tahu?

Iya, coba amati saja, Cak. Sudah ada berapa warung yang tutup di dekatnya. Masih ingat Warung
Padang yang murah dan enak itu? Sebulan saja sudah bagus itu warung buka. Ayam Pedas yang
katanya cabangnya menggurita seantero Malang juga tak berkutik.

Iya, Met. Kayaknya kalau pakai Mustika Jaya Ningrat tak akan sehebat itu. Lah warung-warung
sebelahnya dibabat habis.

Iya, Cak. Si Rifai pernah dengar perkataan Yu Sri pas warung ayam pedas itu baru buka dan bagi-
bagi ayam goreng gratis. Yu Sri bilang bakal bisa tahan berapa lama warung itu. Benar kan, cuma
sepuluh hari langsung tutup.

Iya. Sakti bener ajiannya Yu Sri. Nanti kalau bekas warung-warung itu benar-benar dijadikan
Foodcourt, apa masih bisa ajiannya Yu Sri menandingi aji-ajinya para konglomerat itu.

Hahaha, iya Cak. Kalau tak bisa nandingi aji-aji mereka dan warungnya mulai sepi, yang ada malah
depresi. Akhirnya, jadi penghuni kuburan ini.

Ya itulah menungso, Met. Eh, lihat. Itu si Rifai kok mendadadak berlari ke sini. Ada apa?

Iya ya. Apa dia ketahuan selingkuh sama istrinya?

Sosok bernama Rifai tiba-tiba saja datang dan mendekati mereka bedua. Nafasnya nampak
tersengal-sengal saat sampai di dekat pintu pos kamling itu.

Gawat, Cak, Met, gawat!

Arek ini kok tiba-tiba datang bilang gawat, ada apa toh? tanya Cak Sur.

Iya. Ojok kesusu. Cerita ada apa. Ojobmu ngambek tah? Slamet juga ikut bertanya.

Aku baru saja dihajar sama Ustad dari Kidul Pasar. Pas jalan-jalan di dekat Bioskop Garuda aku
nemu anak yang lagi depresi. Langsung aku ajak istriku masuk. Eh ndilalah ibunya anak itu manggil
ustad. Dia tanya di mana aku suka nongkrong. Aku jawab di sini. Itu ustad mau ke sini. Cepetan
kalian kabur sebelum kalian habis terbakar!

Waduh Cak, ini gimana? Slamet mulai ketakutan. Ia buang cerutunya yang masih tersisa kretek
separuhnya.

Met, ayo kabur, Met! ajak Cak Sur. Ia juga merasa takut. Ustad-ustad dari Kidul Pasar terkenal
galak. Ia pernah kena hajar.

Kabur ke mana, Cak? Aku sudah kadung nyaman di sini. Slamet bertanya balik.

Apa kamu mau ikut modar?

Oke Cak. Kamu ada ide, Ri?

Kita ke sekolah di belakang rumah sakit. Di sana banyak anak-anak. Nanti cari saja anak perawan di
kelas 5 atau 6 yang lagi M. Sementara ke sana dulu saja. Aman. Rifai tiba-tiba punya ide. Ia teringat
istrinya yang tempo hari bisa masuk ke tubuh anak perempuan.

Oke. Kita ke sana. Aku tak ke Mbah Sarinem dulu. Siapa tahu ada yang bisa aku konsultasikan sama
beliau, kata Cak Mat.

Mereka pun pergi menghilang diiringi tiupan angin kencang yang membuat kuburan itu semakin
dingin. Semenjak ditinggalkan ketiga penghuninya, pos kamling dekat kuburan itu menjadi sepi.
Warga lebih memilih terus berdiam diri di rumah. Siang yang dingin menjadi tak bernada lagi. Tapi,
di suatu siang ketika beberapa anak laki-laki yang berseragam SMP sedang duduk di sana untuk
sekedar membolos pada jam terakhir, sebuah alunan nada mengalir dengan indahnya.

Sigra milir sang gethek si nangga bajul

Kawan dasa kang njageni

Ing ngarsamiwah ing pungkur

Tana pi ing kanan kering

Sang gethek lampahnya alon

Aywa kliru kang jeneng urip iku

Ya kang gumelar neng bumi

Sing bisa branahan iku

Run tumurun ing salami

Tetuwuhan kewan janma*)


Anak-anak itu tak mengerti apa maksud lagu itu. Meski sempat takut, mereka berpikir tak ada yang
mengganggu di siang bolong. Lama-lama akan hilang dengan sendirinya atau lagu itu sedang diputar
oleh sesorang. Mereka pun berselfie tanpa ampun hingga matahari menyingsing.

Banguntapan, 01122017

*) Petikan serat Megatruh, salah satu tembang Macapat. Megatruh yang berasal dari kata Megat-
Roh menceritakan proses sakaratul maut pada manusia.

Kamus kecil :

Idrek : bekerja

Ojir : uang

Ojob : suami/istri.

Kana : anak

Ayas : saya

Nganal : laki-laki

Kodew : perempuan

Ebes : Ayah

Emes : Ibu

Ublem utem : Keluar masuk

Sempel : Gila

Lokasi Foto :

TPU Kelurahan Kasin, Kecamatan Klojen, Kota Malang

Anda mungkin juga menyukai