Anda di halaman 1dari 14

Referat Kecil

NERVUS OPTIKUS

Disusun oleh:
Personaldi
0808121327

Pembimbing:
dr. AMSAR AT, Sp.S

Bagian Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Pekanbaru
2014

0
NERVUS OPTIKUS

I. Anatomi
Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual. Retina
berfungsi menerima cahaya dan merubahnya menjadi sinyal fotokimia, untuk
selanjutnya meneruskan sinyal tersebut ke otak. Retina terdiri dari 3 macam sel
saraf (neuron), yaitu sel-sel reseptor sensoris atau fotoreseptor (batang dan
kerucut), sel bipolar, serta sel ganglion. Sel batang bertanggungjawab untuk
penglihatan pada daerah kurang cahaya dan sel kerucut bertanggungjawab untuk
penglihatan pada daerah cukup cahaya dan warna (gambar 1). 1,2

Gambar 1. Lapisan neuron pada retina1

Cahaya yang masuk ke mata diubah menjadi sinyal elektrik di retina.


Cahaya tersebut mencetuskan reaksi fotokimiawi di sel batang dan kerucut, yang
mengakibatkan pembentukan impuls yang akhirnya dihantarkan ke korteks
visual.1,2 Sel-sel bipolar retina menerima input pada dendritnya dari sel batang dan
kerucut, kemudian menghantarkan impuls lebih jauh ke arah sentral pada lapisan
sel ganglion. Akson panjang sel ganglion melewati papilla optika (diskus nervi

1
optica) dan meninggalkan mata sebagai nervus optikus, yang mengandung sekitar
1 juta serabut. Pada bagian tengah kaput nervus optikus tersebut keluar cabang-
cabang dari arteri centralis retina yang merupakan cabang dari A. oftalmika.1,
Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum. Di
depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan bergabung
menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum, dimana serabut bagian nasal
dari masing-masing mata akan bersilangan dan kemudian menyatu dengan serabut
temporal mata yang lain membentuk traktus optikus dan melanjutkan perjalanan
untuk ke korpus genikulatum lateral dan nucleus pretektalis (gambar 2).1,3

Gambar 2. Perjalanan serabut saraf nervus optikus (tampak basal)1,4

Serabut saraf yang bersinaps di korpus genikulatum lateral merupakan


jaras visual sedangkan serabut saraf yang berakhir di nukleus pretektalis di batang
otak menghantarkan impuls visual (saraf afferent) yang membangkitkan refleks
visual seperti refleks pupil.1,3 Selanjutnya, dari korpus genikulatum lateral, jaras
visual terus melalui traktus genikulokalkarina (radiasio optik) ke korteks visual.
Daerah berakhirnya serabut di korteks disebut korteks striatum (area 17/area
Brodmann). Ini merupakan pusat persepsi cahaya. Di sekitar area 17, terdapat area
yang berfungsi untuk asosiasi rangsang visual, yaitu area 18 dan 19.3,5

2
Setelah sampai di korpus genikulatum lateral, serabut saraf yang
membawa impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika (optic
radiation) atau traktus genikulokalkarina ke korteks penglihatan primer di girus
kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut mendapat vaskularisasi dari a.
kalkarina yang merupakan cabang dari a. serebri posterior. Serabut yang berasal
dari bagian parietal korpus genikulatum lateral membawa impuls lapang pandang
bawah sedangkan serabut yang berasal dari temporal membawa impuls dari
lapang pandang atas (gambar 3).1,4

Gambar 3. Radiatio optika1

Untuk serabut yang mengurus refleks pupil, dari nukleus pretektalis,


kemudian bersinaps dengan neuron berikutnya yang mengirimkan serabut ke
nucleus Edinger Westphal sisi yang sama dan sisi kontralateral. Dari sini rangsang
kemudian diteruskan melalui nervus okulomotorius ke sfingter pupil (gambar 4).5,6

3
Gambar 4. Jaras refleks pupil6

II. Pemeriksaan Sistem Visual


Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada sistem visual antara lain:5,6
1. Pemeriksaan visus
2. Pemeriksaan refleks pupil
3. Pemeriksaan lapang pandang
4. Pemeriksaan funduskopi
5. Pengenalan warna
Apabila pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan
nervus optikus dan pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan, maka
dilakukan pemeriksaan visus dan lapang pandang secara kasar, tetapi apabila
dicurigai adanya gangguan, maka dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti, dan
juga dilakukan pemeriksaan funduskopi.5
Pemeriksaan visus dilakukan dengan membaca kartu Snellen (gambar 5)
pada jarak 6 meter. Kartu Snellen berisi huruf-huruf yang disusun semakin ke
bawah semakin kecil. Pada orang normal, kartu Snellen dapat dibaca dalam jarak
6 meter pada baris yang telah disepakati untuk visus 6/6. Masing-masing mata
diperiksa secara terpisah, diikuti dengan pemeriksaan menggunakan pinhole untuk
menyingkirkan kelainan visus akibat gangguan refraksi (gambar 6).5

4
Gambar 5. Kartu Snellen dan pemeriksaan visus menggunakan pinhole 5

Cara pemeriksaan visus dengan kartu Snellen adalah:5


1. Pasien disuruh membaca kartu Snellen dari jarak 6 meter.
2. Kemudian ditentukan sampai barisan mana dapat dibaca oleh pasien.
3. Bila pasien dapat membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman
penglihatannya adalah normal (6/6).
4. Apabila tidak 6/6 maka visusnya tidak normal dan hal ini dinyatakan dengan
menggunakan pecahan, misalnya 6/18, ini berarti bahwa orang normal bisa
membaca dalam jarak 18 meter sedangkan ia hanya bisa membaca dalam jarak
6 meter.
Selain menggunakan kartu Snellen, pemeriksaan visus juga dapat
dilakukan dengan menggunakan:5
1. Hitung jari tangan
Normal jari tangan bisa dihitung pada jarak 60 meter. Bila seseorang tidak
dapat menghitung jari tangan pada jarak 3 meter tetapi bisa menghitung
pada jarak 2 meter maka visusnya 2/60.

2. Gerakan tangan

5
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 300 meter. Bila seseorang
tidak dapat melihat gerakan tangan pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat
pada jarak 1 meter berarti visusnya 1/300.
Pemeriksaan refleks pupil atau refleks cahaya terdiri dari reaksi cahaya
langsung dan tidak langsung (konsensual). Refleks cahaya langsung maksudnya
adalah mengecilnya pupil (miosis) pada mata yang disinari cahaya. Sedangkan
refleks cahaya tidak langsung atau konsensual adalah mengecilnya pupil pada
mata yang tidak disinari cahaya.5
Pemeriksaan lapang pandang bertujuan untuk memeriksa batas perifer
penglihatan, yaitu batas dimana benda dapat dilihat bila mata difiksasi pada satu
titik. Lapang pandang yang normal mempunyai bentuk tertentu dan tidak sama ke
semua jurusan, misalnya ke lateral kita dapat melihat 90 100 o dari titik fiksasi,
ke medial 60o, ke atas 50 60o, dan ke bawah 60 75 o. Terdapat dua jenis
pemeriksaan lapang pandang yaitu pemeriksaan secara kasar (tes konfrontasi) dan
pemeriksaan yang lebih teliti dengan menggunakan kampimetri atau perimetri.5
Pemeriksaan funduskopi di bidang neurologi bertujuan untuk menilai
keadaan fundus okuli terutama retina dan papil nervus optikus. Pemeriksaan
dilakukan dengan menggunakan alat berupa oftalmoskop. Papil normal berbentuk
lonjong, warna jingga muda, di bagian temporal sedikit pucat, batas dengan
sekitarnya tegas, batas di bagian nasal agak kabur. Selain itu juga terdapat lekukan
fisiologis. Pembuluh darah muncul di bagian tengah, bercabang ke atas dan ke
bawah. Jalannya arteri agak lurus, sedangkan vena berkelok-kelok. Perbandingan
besar vena : arteri adalah 3:2 sampai 5:4.5
Pengenalan warna bergantung kepada sel-sel kerucut di retina, yang
terbanyak terdapat di macula. Sel kerucut mempunyai tiga pigmen, yaitu biru,
hijau dan merah-kuning. Satu sel kerucut hanya mempunyai satu pigmen. Dalam
pengiriman impuls, terdapat dua system warna yaitu merah-hijau dan kuning-biru.
Pengenalan warna diperiksa dengan menggunakan kartu ishihara.6

III. Gangguan Sistem Visual


3.1. Kelainan pada pemeriksaan visus

6
Apabila terdapat penurunan visus, perlu diselidiki apakah gangguan ini
disebabkan oleh kelainan oftalmologik (bukan saraf), misalnya kelainan kornea,
uveitis, katarak dan kelainan refraksi. Pemeriksaan kasar dengan menggunakan
kertas yang berlubang kecil (pinhole, lubang peniti) dapat memberi kesan adanya
faktor refraksi dalam penurunan visus. Bila dengan melihat lubang kecil, huruf
bertambah jelas, maka faktor yang berperan adalah gangguan refraksi.5

3.2. Kelainan pada pemeriksaan refleks pupil


Reaksi pupil terhadap cahaya dapat menghilang atau berkurang jika
terdapat lesi yang mengenai jaras penglihatan pada lintasan saraf yang berperan
pada refleks pupil atau refleks cahaya tersebut. Kelainan tersebut termasuk
diataranya:7
1. Kegagalan cahaya untuk mencapai retina, misalnya akibat katarak dan
kekeruhan cairan vitreus pada pasien diabetes melitus.
2. Penyakit pada retina, seperti retinitis atau scar.
3. Penyakit atau kelainan pada nervus optikus seperti neuritis optik, neuritis
retrobulbar, dan atrofi nervus optikus.
4. Kelainan yang mengenai traktus optikus dan hubungannya dengan batang
otak.
5. Penyakit atau kelainan pada batang otak.
6. Penyakit atau kelainan pada nervus okulomotorius atau ganglion siliare.

3.3. Kelainan pada pemeriksaan lapang pandang


Lesi di sepanjang lintasan nervus optikus (N.II) hingga korteks sensorik,
akan menunjukkan gejala gangguan penglihatan yaitu pada lapang pandang atau
medan penglihatan. Lesi pada nervus optikus akan mengakibatkan kebutaan atau
anopsia pada mata yang disarafinya. Hal ini disebabkan karena penyumbatan
arteri centralis retina yang memperdarahi retina tanpa kolateral, ataupun arteri
karotis interna yang akan bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian
menjadi arteri centralis retina. Kebutaan tersebut terjadi tiba-tiba dan disebut
amaurosis fugax.1

7
Lesi pada bagian medial kiasma akan menghilangkan medan penglihatan
temporal yang disebut hemianopsia bitemporal, sedangkan lesi pada kedua bagian
lateralnya akan menimbulkan hemianopsia binasal. Lesi pada traktus optikus akan
menyebabkan hemianopsia homonim kontralateral. Lesi pada radiasio optika
bagian temporal akan menyebabkan quadroanopsia superior homonim
kontralateral, sedangkan lesi pada serabut parietal akan menyebabkan
quadroanopsia inferior homonim kontralateral (gambar 7).1

Gambar 6. Gangguan lapang pandang1

3.4. Kelainan pada pemeriksaan funduskopi


Dalam bidang neurologi, kelainan papil nervus optikus yang perlu
diperhatikan adalah papil yang mengalami atrofi dan sembab atau papiledema.
Atrofi papil terbagi atas primer dan sekunder. Pada atrofi primer, warna papil
menjadi pucat, batasnya tegas dan pembuluh darah berkurang. Gambaran ini
dijumpai pada tahap lanjut dari neuritis retrobulbaris. Pada atrofi sekunder, warna
papil juga pucat tetapi batasnya tidak tegas. Atrofi sekunder merupakan akibat
lanjut dari papilitis dan papiledema. Lamina cribrosa terlihat pada atrofi primer.

8
Atrofi primer dijumpai pada kasus lesi nervus optikus atau khiasma optikum
(misalnya pada tumor hipofisis atau arachnoiditis opto-khisamatis). Atrofi
sekunder merupakan akibat lanjut dari papiledema misalnya pada pasien yang
menderita tekanan tinggi intracranial yang lama.6

Gambar 7. Atrofi primer dan sekunder8

Papilitis dan neuritis retrobulbaris merupakan kelompok dari neuritis


optika. Neuritis optika sering disebabkan oleh proses infeksi, intoksikasi dan
demielinisasi. Pada papilitis, papil dan sekitarnya akan terlihat sembab, infiltrat
dan perdarahan biasanya disertai perburukan visus yang hebat. Gambaran papilitis
terlihat jika proses patologik neuritis optika terletak pada serabut-serabut yang
berada intra okuler. Pada neuritis retrobulbaris, papil terlihat normal, proses
patologiknya terjadi di nervus optikus, setelah serabut saraf melewati lamina
kribosa.7
Papiledema ialah sembab papil yang bersifat noninfeksi dan terkait pada
tekanan intrakranial yang meninggi. Gambaran fundus hampir tidak bisa
dibedakan dengan gambaran papilitis, bedanya pada papiledema daya penglihatan
masih bertahan lama sampai terjadi atrofi. Pada neuritis optika, daya penglihatan
hilang secara akut dan hampir tidak terasa nyeri, baik di dalam mata maupun di
kepala.6

9
Gambar 8. Papiledema8

a. Retinopati hipertensi
Retinopati hipertensi merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan
kelainan pada vaskuler retina pada penderita dengan peningkatan tekanan darah.
Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh Marcus Gunn pada kurun abad ke-19
pada sekelompok penderita hipertensi dan penyakit ginjal. Tanda-tanda pada
retina yang diobservasi adalah penyempitan arteriolar secara general dan fokal,
perlengketan atau nicking arteriovenosa, perdarahan retina dengan bentuk
flame-shape dan blot-shape, cottonwool spots, dan edema papilla. Pada tahun
1939, Keith et al menunjukkan bahwa tanda tanda retinopati ini dapat dipakai
untuk memprediksi mortalitas pada pasien hipertensi.9

Gambar 9. Retinopati hipertensi ringan9

Gambar retinopati hipertensi sedang

10
Gambar10. Retinopati hipertensi berat9

b.Retinopati diabetik
Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskularDM yang
merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa. Risiko menderita
retinopati DM meningkat sebanding dengan semakin lamanya seseorang
menyandang DM. Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak
mengalami gejala penurunan tajam penglihatan. Apabila telah terjadi kerusakan
sawar darah retina, dapat ditemukan mikroaneurisma, eksudat lipid dan protein,
edema, serta perdarahan intraretina.10

Gambar 11. Retinopati diabetik non proliperatif dan proliperatif 10

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Frotscher M, Baehr M. Duus topical diagnosis in neurology. 4th completely


revised edition. Stuttgart: Thieme; 2005. 130-137,155
2. Pauwels LW, Akesson EJ, Stewart PA, Spacey SD. Cranial nerves in health
and disease. 2nd edition. London: BC Decker Inc: 2002. 28 - 41
3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Edisi V. Jakarta : Dian
Rakyat; 2004. 121-130
4. The targets of the optic nerve. [30 Januari 2013]. Diunduh dari:
http://thebrain.mcgill.ca/flash/d/d_02/d_02_cr/d_02_cr_vis/d_02_cr_vis.html.
5. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2006. 25-37
6. Ropper AH, Brown RH. Adams and victors principles of neurology. 8 thed.
New York: McGraw-Hill, 2005; 203-221,241

12
7. Gilroy J. Basic neurology. 3rd edition. New York: Mc Graw-Hill; 2000.
8. Riordan-Eva Paul and Whitcher John P. The Optic Nerve. In : Vaughan &
Asbury's General Ophthalmology 17th Edition. New York : Mc Graw-Hill
Lange. 2007.
9. Wong TY, Mitchell P. Current concept hypertensive retinopathy. The New
England Journal of Medicine. 2004. 351:2310-7
10. Sitompul R. Retinopati diabetik. J Indon Med Assoc, 2011. 334.41

13

Anda mungkin juga menyukai