Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui
beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis
dan intradermal. Apabila injeksi diberikan melalui rute intramuscular, seluruh
obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke
pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam
sirkulasi. Cara ini sesuai utuk bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun
yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik
secara fisis maupun secara kimia. Bahkan bentuk sediaan larutan, suspensi,
atau emulsi juga dapat diterima lewat intramuskuler, begitu juga pembawanya
bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja apabila
berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut.

Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berarti
disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara
menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau
membran mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat
tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membran mukosa, maka kemurniaan
yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan
kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril.

Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume kecil
sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume besar,
yang biasa diberikan secara intravena. Produk parenteral, selain diusahakan
harus steril juga tidak boleh mengandung partikel yang memberikan reaksi
pada pemberian juga diusahakan tidak mengandung bahan pirogenik. Bebas
dari mikroba (steril) dapat dilakukan dengan cara sterilisasi dengan
pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat bahwa ada bahan yang
tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic.

Larutan yang mengandung bakteri gram positif-negatif dapat saja


memberikan reaksi demam atau pirogenik walaupun larutan injeksi tersebut
steril. Reaksi demam atau pirogen ini disebabkan oleh adanya fragmen
dinding sel bakteri yang disebut endotoksin. Adanya endotoksin yang
ditandai dengan reaksi demam itu merupakan pertanda bahwa selama proses
produksi terjadi kontaminasi mikroba pada produk. Oleh sebab itu dalam
proses produksi sediaan parenteral diisyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Personil yang bekerja pada bagian produk steril harus memiliki moral
dan etik professional yang tinggi.
2. Setiap personil mendapat latihan tentang sediaan steril secara lengkap.
3. Memiliki teknik spesialisasi untuk memproduksi sediaan steril.
4. Bahan yang digunakan harus bermutu tinggi.
5. Kestabilan dan kemanjuran produk harus terjamin.
6. Program pengontrolan (quality control) harus baik untuk memastikan
mutu produk dan harus memenuhi keabsahan prosedur produksi.

B. TUJUAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mempelajari biotransformasi obat melalui sediaan parenteral.
2. Untuk memberikan pengetahuan kepada para mahasiswa/i tentang
berbagai tipe sediaan yang digunakan melalui sediaan parenteral.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Sediaan parenteral adalah sediaan yang digunakan tanpa melalui mulut atau
dapat dikatakan obat dimasukkan ke dalam tubuh selain saluran cerna
(langsung ke pembuluh darah) sehingga memperoleh efek yang cepat dan
langsung sampai sasaran. Misal suntikan atau insulin.

Injeksi dan infus termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara
parenteral. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila
obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat dalam bentuk sediaan kering.
Apabila mau dipakai baru ditambahkan aqua steril untuk memperoleh larutan
atau suspensi injeksi.

B. Jenis Sediaan Parenteral


Sediaan parental dibagi menjadi 2 macam yaitu :
1. Sediaan Parenteral Volume Kecil
Sediaan parenteral volume kecil diartikan sebagai obat steril yang
dikemas dalam wadah di bawah 100 ml.
Kategori sediaan parenteral volume kecil :
a. Produk Farmaseutikal yang terdiri dari bahan kimia organik dan
anorganik dalam larutan, suspensi, emulsi, produk freezedried atau
sebagai serbuk steril.
b. Produk Biologi yang disiapkan dari sumber biologi meliputi vaksin,
toksoid, ekstrak biologi.
c. Zat pendiagnosa seperti media kontras sinar x.
d. Produk radiofarmasi untuk deteksi dan diagnosis.
e. Produk gigi seperti anestetik lokal.
f. Produk bioteknologi.
g. Produk liposom dan lipid.

2. Sediaan Parenteral Volume Besar


Sediaan cair steril yang mengandung obat yang dikemas dalam wadah
100 ml atau lebih dan ditujukan untuk manusia.

Tujuan Penggunaan
a. Bila tubuh kekurangan air, elektrolit dan karbohidrat maka kebutuhan
tersebut harus cepat diganti.
b. Pemberian infus memiliki keuntungan karena tidak harus menyuntik
pasien berulangkali.
c. Mudah mengatur keseimbangan keasam dan kebasaan obat dalam
darah.
d. Sebagai penambah nutrisi bagi paseien yang tidak dapat makan secara
oral.
e. Berfungsi sebagai dialisa pada pasien gagal ginjal.

Syarat-syarat parenteral volume besar


a. Steril
b. Bebas Pirogen
Sediaan Parenteral Volume Besar harus steril dan bebas pirogen
karena :
1) Sediaan diinjeksikan langsung kedalam aliran darah (i.v).
2) Sediaan ditumpahkan pada tubuh dan daerah gigi (larutan
penguras).
3) Sediaan langsung berhubungan dengan darah (hemofiltrasi).
4) Sediaan langsung ke dalam tubuh (dialisa peritoneal).
c. Bebas dari bahan pertikulat jernih, karena dapat menyebabkan
emboli.
d. Dikemas dalam wadah dosis tunggal
e. Tidak mengadung bahan baktersid karena volume cairan terlalu
besar.
f. Isotonis dan isohidris

C. Persyaratan Sediaan Parenteral


1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan
pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas
selama penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi dan
sebagainya.
2. Penggunaan wadah yang cocok, sehingga tidak hanya memungkinkan
sediaan tetap steril , tetapi juga mencegah terjadinya ineraksi antara bahn
obat dengan material dinding wadah.
3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi.
4. Bebas kuman.
5. Bebas Pirogen.
6. Isotonis.
7. Isohidris.
8. Bebas partikel melayang

D. Rute Pemberian
Rute pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa
pustaka, antara lain Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua
pustaka tersebut di dalam antara kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan
tentang rute pemeberian ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan
dengan benar, tetapi untuk farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk
ditinjau secara farmasis

Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah dengan


ukuran yang tepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan penetapan
tonisitas. Untuk jelasnya dapat diikuti uraian masing-masing rute pemberian
injeksi.
1. Pemberian Subkutis (Subkutan)
Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak (lipoid)
yang dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain vaksin, insulin,
skopolamin, dan epinefrin atau obat lainnya. Injeksi subkutis biasanya
diberikan dengan volume samapi 2 ml (PTM membatasi tak boleh lebih
dari 1 ml) jarum suntik yang digunakan yang panjangnya samapi
sampai 1 inci (1 inchi = 2,35 cm).

Cara formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan bahwa sediaan


(produk) mendekati kondisi faal dalam hal pH dan isotonis. FN (1978)
mensyaratkan larutannya isotoni dan dapat ditambahkan bahan
vasokontriktor seperti Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat)

Cara pemberian subkutis lebih lambat apabila dibandingkan cara


intramuskuler atau intravena. Namun apabila cara intravena volume besar
tidak dimungkinkan cara ini seringkali digunakan untuk pemberian
elektrolit atau larutan infuse i.v sejenisnya. Cara ini disebut
hipodermoklisis, dalam hal ini vena sulit ditemukan. Karena pasti terjadi
iritasi maka pemberiannya harus hati-hati. Cara ini dpata dimanfaatkan
untuk pemberian dalam jumlah 250 ml sampai 1 liter.

2. Pemberian intramuskuler
Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan
absorbsinya terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik
ditusukkan langsung pada serabut otot yang letaknya dibawah lapisan
subkutis. Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume
injeksi 1 samapi 3 ml dengan batas sampai 10 ml (PTMvolume injeksi
tetap dijaga kecil, biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan
1 samai 1 inci. Problem klinik yang biasa terjadi adalah kerusakan otot
atau syaraf, terutama apabila ada kesalahan dalam teknik pemberian (ini
penting bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan
bagi Farmasis anatara lain bentuk sediaan yang dapat diberikan
intramuskuler, yaitu bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi
dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril.

Pemberian intramuskuler memberikan efek depot (lepas lambat),


puncak konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang
mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) anatar lain :
rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa,
bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari
produk. Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi,
tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel
kurang dari 50 mikron.

3. Pemberian intravena
Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk mendapatkan
efek segera. Dari segi kefarmasian injeksi IV ini boleh dikata merupakan
pilihan untuk injeksi yang bila diberikan secara intrakutan atau
intramuskuler mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu jauh dari kondisi
fisiologis. Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya cepat, maka
pemberian antidotum mungkin terlambat.

Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml hingga 100 ml, bahkan untuk
infus dapat lebih besar dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan sampai 5 ml
diberikan 1 ml/10 detik, sedangkan untuk di atas 5 ml kecepatannya 1
ml/20 detik. Intravena hanya terbatas untuk pemberian larutan air, kalau
merupakan bentuk emulsi harus memenuhi ukuran partikel tertentu. Kalau
dapay diusahakan pH dan tonisitas sesuai dengan keadaan fisiologis.

4. Pemberian intrathekal-intraspinal
Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa
tempat. Cara ini berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian
ini mensyaratkan sediaan dengan kemurniaannya yang sangat tinggi,
karena dearah ini ada barier (sawar) darah sehingga daerahnya tertutup.

Sediaan intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya


mempunyai tekanan barik lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan
sediaan akan bergerak turun karena gravitasi, oleh sebab itu harus pada
posisi pasien tegak.

5. Intraperitoneal
Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara cepat
diabsorbsi. Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara intraspinal,
im,sc, dan intradermal

6. Intradermal
Cara penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume
pemberian lebih kecil dan sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset
yang dapat dicapai sangat lambat.

7. Intratekal
Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan
serebrospinal. Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk
anestesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada
lumbar spinal atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk
ke dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP.

E. Keuntungan & Kerugian


1. Keuntungan :
a. Efek obat dapat diramalkan dengan pasti.
b. Bioavabiltas sempurna atau hampir sempurna.
c. Kerusakan obat dalam tractus gastrointestinalis dapat dihindarkan .
d. Obat dapat diberikan kepada penderita yang sedang sakit keras
ataupun koma.

2. Kerugian :
a. Pemberian sediaan parenteral harus dilakukan oleh personal yang
terlatih dan membutuuhkan waktu pemberian yang lebih lama.
b. Pemberian obat secara parenteral sangat berkaitan dengan ketentuan
prosedur aseptic rasa nyeri pada lokasi penyuntikan yang tidak selalu
dapat dihindari.
c. Bila obat telah diberikan secara parenteral, sukar sekali untuk
menghilangkan/merubah efek fisiologisnya karena obat telah berada
dalam sirkulasi sistemik.
d. Harganya relatif lebih mahal, karena persyaratan manufaktur dan
pegemasan.
e. Masalah lain dapat timbul pada pemberian obat secara parenteral dan
interaksi obat secara parenteral seperti septisema, infeksi jamur,
inkompatibilitas karena pencampuran sediaan parenteral dan interaksi
obat.
f. Persyaratan sediaan parenteral tentang sterilitas, bebas dari partikulat,
bebas dari pirogen, dan stabilitas parenteral harus oleh semua personel
yang terlihat.

F. Biotransformasi Obat
Untuk mendapatkan respon, obat harus dipecah terlebih dahulu menjadi
molekul kecil. Misalnya dengan disolusi dan disintegrasi. Dalam fase ini,
yang penting adalah ketersediaan farmasi dari zat aktifnya, yaitu obat siap
untuk diabsorbsi.
1. Absorbsi
Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan efek, terlebih
dahulu harus diabsorbsi. Proses absorbsi meliputi masuknya obat hingga
sampai ke aliran darah.
a. Intravena tidak mengalami tahap absorbsi. Obat langsung dimasukkan
ke pembuluh darah sehingga kadar obat didalam darah diperoleh
dengan cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons
penderita. Injeksi larutan obat secara langsung ke aliran darah
memberikan prediksi respon farmakologik yang lebih baik.

Kerugiannya adalah obat yang sudah diberikan tidak dapat ditarik


kembali, sehingga efek toksik lebih mudah terjadi. Jika penderita
alergi akan lebih terjadi. Pemberian intravena harus dilakukan
perlahan-lahan sambil mengawasi respons penderita.

b. Pada intramuscular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan


dan kelengkapan absorbsi. Obat yang sukar larut seperti dizepam dan
penitoin akan mengendap di tempat suntikan sehingga absorbsinya
berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut
dalam air lebih cepat diabsorbsi. Tempat suntikan yang sering dipilih
adalah gluteus maksimus dan deltoid.

c. Pada daerah subcutan hanya boleh dilakukan untuk obat yang tidak
iritatif terhadap jaringan. Absorbsi biasanya berjalan lambat dan
konstan, sehingga efeknya bertahan lebih lama. Absorbsi menjadi
lebih lambat jika diberikan dalam bentuk padat yang ditanamkan
dibawah kulit atau dalam bentuk suspensi. Pemberian obat bersama
dengan vasokonstriktor juga dapat memperlambat absorbsinya.

Intramuscular dan Subcutan, absorbsi pada kedua injeksi ini akan


lebih cepat jika diberikan dalam bentuk cairan. Kecepatan absorbsinya
tergantung pada vaskularisasi di wilayah tubuh yang diinjeksi. Faktor
lainnya yang mempengaruhi adalah konsentrasi obat, derajat ionisasi
dan bentuk lipid nonion, serta wilayah injeksi.

d. Untuk intrathecal, obat langsung dimasukkan kedalam ruang


subaraknoid spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang cepat
dan setempat pada selaput otak atau sumbu cerebrospinal seperti pada
anestesia spinal atau pengobatan infeksi sistem saraf pusat yang akut.

G. Faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan biotransformasi


1. Faktor Intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat,
lipofilitas, dosis, dan cara pemberian. Banyak obat, terutama yang
lipofil dapat menstimulir pembentukan dan aktivitas enzim-enzim hati.
Sebaliknya dikenal pula obat yang menghambat atau menginaktifkan
enzim tersebut, misalnya anti koagulansia, antidiabetika oral,
sulfonamide, antidepresiva trisiklis, metronidazol, allopurinol dan
disulfiram (Tan Hoan Tjay dkk., 1978).

2. Faktor-Fisiologi meliputi sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup


seperti: jenis atau spesies, genetik, umur, dan jenis kelamin.
a. Perbedaan Spesies dan Galur
Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi
pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit berbeda,
tetapi kadang-kadang ada perbedaan yang cukup besar pada reaksi
metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan
galur terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan yaitu
pada tipe reaksi metabolik atau perbedaan kualitatif dan pada
kecepatan metabolismenya atau perbedaan kuantitatif (Siswandono
dan Soekardjo,2000).

b. Faktor Genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat
kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan berperan
terhadap kecepatan metabolisme obat (Siswandono dan
Soekardjo,2000).

c. Perbedaan umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun, tapi
biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi ginjal. Pada
usia 65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG) menurun sampai 30%
dan tiap 1 tahun berikutnya menurun lagi 1-2% (sebagai akibat
hilangnya sel dan penurunan aliran darah ginjal). Oleh karena itu
,orang lanjut usia membutuhkan beberapa obat dengan dosis lebih
kecil daripada orang muda (Neal,2005).

d. Perbedaan Jenis Kelamin


Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis
kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada manusia baru
sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh perbedaan jenis
kelamin terhadap metabolisme obat. Contoh: nikotin dan asetosal
dimetabolisme secara berbeda pada pria dan wanita.

3. Faktor Farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh induktor.
Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan lebih cepatnya metabolisme
(deaktivasi obat). Akibatnya, kadar dalam plasma berkurang dan
memperpendek waktu paro obat. Karena itu intensitas dan efek
farmakologinya berkurang dan sebaliknya.

4. Faktor Patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada penderita
stroke, pemberian fenobarbital bersama dengan warfarin secara agonis
akan mengurangi efek anti koagulasinya (sehingga sumbatan
pembuluh darah dapat dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis
reseptor H2) akan menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam
memetabolisme obat-obat lain.

5. Faktor Makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan panggang
arang dan sayur mayur cruciferous diketahui menginduksi enzim
CYP1A, sedang jus buah anggur diketahui menghambat metabolisme
oleh CYP3A terhadap substrat obat yang diberikan secara bersamaan.

6. Faktor Lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok sigaret
memetabolisme beberapa obat lebih cepat daripada yang tidak
merokok, karena terjadi induksi enzim. Perbedaan yang demikian
mempersulit penentuan dosis yang efektif dan aman dari obat-obat
yang mempunyai indeks terapi sempit.

7. Induksi Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya sendiri
dengan induksi enzim (menaikkan kapasitas biosintesis enzim).
Induktor dapat dibedakan menjadi dua menurut enzim yang di
induksinya,antara lain:
a. Jenis fenobarbital
b. Jenis metilkolantrena

Untuk terapi dengan obat, induktor enzim memberi akibat berikut:

a. Pada pengobatan jangka panjang dengan induktor enzim terjadi


penurunan konsentrasi bahan obat yang dapat mencapai tingkat
konsentrasi dalam plasma pada awal pengobatan dengan dosis
tertentu.
b. Kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma dapat menurun
sampai dibawah angka normal.
c. Pada pemberian bersama dengan obat lain terdapat banyak
interaksi obat yang kadang-kadang berbahaya. Selama pemberian
induktor enzim, konsentrasi obat kedua dalam darah dapat juga
menurun sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk
mendapatkan efek yang sama (Ernst Mutschler,1991).
d. Inhibisi enzim
Inhibisi (penghambatan) enzim bisa menyebabkan interaksi obat
yang tidak diharapkan. Interaksi ini cenderung terjadi lebih cepat
daripada yang melibatkan induksi enzim karena interaksi ini terjadi
setelah obat yang dihambat mencapai konsentrasi yang cukup
tinggi untuk berkompetisi dengan obat yang dipengaruhi
(Neal,2005)

H. Evaluasi biofarmasetik
Tahapan Uji:
1. Menentukan waktu aksi yang diharapkan
2. Memilih pembawa yang dapat memberikan hasil yang sesuai harapan
3. Evaluasi in vivo: penentuan kadar obat di dalam darah hewan dan
manusia.
4. Evaluasi Sediaan Parenteral
a. Potensi/Kadar
Penentuan kadar dilakukan dengan pektoskopi UV, HPLC,
Spektroskopi IR.
b. Ph
Adanya perubahan pH mengindikasikan telah terjadi penguraian obat
atau interaksi obat dengan wadah.

c. Warna
Perubahan warna umumnya terjadi pada sediaan parenteral yang
disimpan pada suhu tinggi (> 40 0C). Suhu tinggi menyebabkan
penguraian.
d. Kekeruhan
Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap dan
memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 92-
97% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5
tahun.Terjadinya kekeruhan dapat disebabkan oleh : benda asing,
terjadinya pengendapan atau pertumbuhan mikroorganisme.
e. Bau Pemeriksaan bau dilakukan secara periodik terutama untuk
sediaan yang mengandung sulfur atau anti oksidan.
f. Toksisistas
Lakukan uji LD 50 atau LD 0 pada sediaan parenteral selama
penyimpanan.
g. Evaluasi Wadah
h. Keseragaman bobot
i. Keseragaman volume
DAFTAR PUSTAKA

Shargel, L. Dan Andrew B.C.Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika


Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.

http://anitabintiakhamad.blogspot.com/2013/11/biofarmasetika-obat.html
(diakses pada tanggal 10 Mei 2015)

http://www.scribd.com/doc/145850054/biofarmasetika-sediaan-parentral#scribd
(diakses pada tanggal 20 Mei 2015)

http://alfinjazz.blogspot.com/2011/01/biofarmasetika-sediaan-perkutan.html
(diakses pada tanggal 28 Mei 2015)

http://mimin-mien.blogspot.com/2010/03/nasib-obat-didalam-tubuh.html (diakses
pada tanggal 28 Mei 2015)

Anda mungkin juga menyukai