Analisis Implementasi Kebijakan Tentang Keterbukaan Informas
Analisis Implementasi Kebijakan Tentang Keterbukaan Informas
ABSTRACT
1
politik, ekonomi, dan administrasi saja (UNDP, 2007). Dalam hal ini peran pemerintah
tidak hanya dalam bidang politik saja namun dapat berinteraksi secara efektif dalam
sektor privat dan organisasi masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.
Namun saat ini keterbukaan informasi masih menjadi hal yang asing bagi
sebagian besar aparatur pemerintah, baik di pusat maupun di daerah
(http://www.setkab.go.id/artikel-4915-.html). Padahal, keterbukaan informasi merupakan
bagian dari akuntabilitas, yaitu tentang integritas dan transparansi pemerintahan.
Akuntabilitas menjadi sebuah kebutuhan, karena masyarakat diarahkan menuju ke tata
pemerintahan yang baik. Selain itu, dengan adanya akuntabilitas, masyarakat
mendapat jaminan hak asasi manusia.
2
Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang
terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hak atas Informasi menjadi sangat penting karena makin terbuka
penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, penyelenggaraan negara tersebut makin
dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga
relevan untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan publik. Partisipasi masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan
keterbukaan Informasi Publik Saat ini Badan Publik mempunyai kewajiban untuk
membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut
untuk masyarakat luas. Lingkup Badan Publik dalam pembuatan Undang-undang
Keterbukaan Informasi Publik meliputi lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, serta
penyelenggara negara lainnya yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan
mencakup pula organisasi nonpemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang
tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta
organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau
seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk informasi yang harus dapat diakses oleh
masyarakat sebagai bentuk partisipasi publik.
Hak publik untuk memperoleh informasi ini mengacu pada konstitusi di Indonesia
yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Termasuk hak
untuk mencari, memperoleh memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang ada (UUD 1945: 28F).
3
mengarah kepada prinsip good governance, yang telah dijelaskan dalam UNDP.
Dengan dasar dan pertimbangan itu pemerintah menerbitkan sistem hukum yang
mengatur tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur lebih dalam tentang
keterbukaan informasi dan transparansi penyelenggaraan negara sebagai salah satu
wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Sistem hukum yang mengatur mengenai KIP ini disahkan dan ditandatangani
pada 30 April 2008 dan diberlakukan dua tahun sejak pengesahannya. Hal ini berarti
pemerintah masih memberikan toleransi kepada semua badan publik untuk menyiapkan
diri dalam menyelenggarakan negara secara transparan dan bertanggung jawab demi
tercapainya reformasi birokrasi (http://www.ppidkemkominfo.go.id). Namun, masih
banyak Badan Publik yang belum siap terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Hal ini
ditunjukkan masih sedikitnya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
yang ditunjuk oleh Lembaga Publik (http://www.setkab.go.id/artikel-4915-.html).
Sementara, keberadaan PPID sangat penting dan diperlukan oleh Badan Publik, karena
PPID yang bertanggung jawab dalam penyediaan, penyimpanan, pendokumentasian,
dan pengamanan informasi serta memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat
yang membutuhkan.
4
Tabel 1.1 Data PPID dalam Lembaga Publik
No Lembaga Jumlah PPID %
1. Kementerian 34 27 79,41%
2. LPNK 129 32 24,81%
3. Provinsi 33 15 45,45%
4. Kabupaten 399 55 13,37%
5. Kota 98 18 18,37%
Jumlah 693 147 21,21%
Dalam pelaksanaan kebijakan KIP telah diatur lebih lanjut dengan mewajibkan
setiap Badan Publik untuk menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
(UU No 14 Tahun 2008 Pasal 13). Kementerian Pertanian selaku badan publik juga
telah menetapkan aturan tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik di
Lingkungan Kementerian Pertanian. Dalam Permentan tersebut PPID terdiri dari PPID
Utama, PPID Pelaksana Eselon I/ Unit Pelaksana Teknis (UPT), dan PPID Pembantu
Pelaksana. Lebih lanjut bahwa setiap PPID Utama dan PPID Pelaksana wajib
melakukan monitoring dan evaluasi pelayanan informasi publik (Permentan No 32
Tahun 2011).
Sebagai salah satu Lembaga Publik yang wajib untuk melaksanakan kebijakan
ini, Kementerian Pertanian (Kementan) juga telah membentuk PPID, yaitu PPID utama
yang berada di Biro Hukum dan Informasi Publik dan PPID Pembantu yang berada di
masing-masing Eselon 1 lingkup Kementan. Seluruh PPID dalam lingkup Kementerian
Pertanian baru dilantik pada tanggal 29 September 2011.(Laporan Tahunan Informasi
Publik Biro Hukum dan Informasi Publik 2011)
5
3 PPID Pelaksana UPT 144
4 PPID Pembantu Pelaksana 102
Layaknya sebuah organisasi yang baru dibangun, banyak yang perlu dibenahi
dalam melaksanakan kebijakan KIP pada awal tahun 2011. Kementan merombak
struktur organisasi yang dibuat khusus untuk melaksanakan kebijakan informasi publik.
Struktur organisasi yang baru ini diharapkan memiliki sumber daya manusia dan
infrastruktur yang mampu melayani keterbukaan informasi publik sehingga terhindar
dari sengketa-sengketa informasi yang dapat terjadi antar instansi dengan publiknya
sebagai pengguna informasi publik. Tetapi, dalam implementasinya struktur organisasi
Informasi Publik yang berfungsi untuk melayani informasi, tumpang tindih dengan fungsi
humas di badan publik. Sementara itu, fungsi Informasi Publik yang seharusnya
terintegrasi dengan fungsi humas, malah dibuat parsial dan berbeda biro. Informasi
Publik di Kementerian Pertanian digabungkan dengan Hukum, menjadi Biro Hukum dan
Informasi Publik.(Laporan Tahunan Informasi Publik 2011).
6
tiap badan publik yang melaksanakan keterbukaan informasi dan dipublikasikan dalam
website Komisi Informasi. Berdasarkan peringkat tersebut Kementerian Pertanian turun
peringkatnya dari peringkat 7 pada tahun 2011, menjadi peringkat 16 pada tahun 2012
dengan kategori yang wajib diumumkan berkala (website).5 Hal ini dikarenakan bobot
kriteria penilaian yang semakin tinggi. Tahun lalu kriteria penilaian yang sebagian besar
berdasarkan informasi yang ditampilkan di website, sementara tahun ini karena
rendahnya bobot nilai dalam transparansi laporan keuangan, menjadikan Kementerian
Pertanian tertinggal dari badan publik lainnya. Laporan keuangan yang seharusnya
diinformasikan paling singkat enam bulan sekali, belum pernah dipublikasikan oleh
Kementerian Pertanian sampai saat ini.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
Bagaimana implementasi kebijakan tentang Keterbukaan Informasi Publik di
Kementerian Pertanian berdasarkan prinsip transparancy dalam good governance?
dengan submasalah:
a. Bagaimana kesesuaian kebijakan tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan
pelaksanaan pelayanan informasi publik di Kementerian Pertanian?
b. Apa yang menyebabkan implementasi kebijakan Keterbukaan Informasi Publik sulit
dilaksanakan?
TINJAUAN PUSTAKA
7
1. Hierarki Penyusunan Kebijakan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan Keterbukaan Informasi
Publik di Kementerian Pertanian, salah satunya adalah melihat kesesuaian kebijakan
yang diterapkan di Kementerian Pertanian dengan kebijakan yang seharusnya
dijalankan, karena itu tiga tahapan kebijakan yang dibuat oleh Bromley dianggap layak
untuk menganalisis implementasi tersebut.
Tahapan selanjutnya adalah Organizational Level, pada level ini kebijakan dibuat
oleh Lembaga Eksekutif sesuai dengan misi yang telah ditentukan dalam Policy Level.
Pada tahapan ini dikembangkan organisasi-organisasi sebagai penyelenggara dari
kebijaksanaan pada Policy Level. Pada tahap organisasi kebijakan yang terbentuk
berupa aturan dan hukum bagaimana sebuah organisasi tersebut beroperasi.
8
institusional pada level organisasi adalah Peraturan Menteri Pertanian mengenai
Keterbukaan Informasi Publik.
Akhir dari tahapan tingkatan Kebijaksanaan Negara yaitu Operational Level yang
merupakan penjabaran secara teknis dari kebijaksanaan pada Organizational Level
yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan suatu kebijaksanaan. Sehingga,
hasil yang telah dicapai pada tingkatan operasional akan dilihat langsung oleh
masyarakat, sehingga pada tahap inilah akan timbul reaksi kolektif dari berbagai
kalangan (Patterns of Interaction) yang pada akhirnya akan membuahkan hasil
(outcomes) tertentu yang dipandang baik atau buruk. Apabila outcome yang didapatkan
dipandang buruk, maka akan muncul tanggapan kolektif melalui proses politik untuk
merubah institutional arrangements yang membatasi seperangkat pilihan individu di
tingkat operasional. Dengan demikian, masukan ataupun umpan balik yang berasal dari
masyarakat akan diarahkan ke tingkat kebijakan untuk mencari konstelasi institusi
(undang-undang dan peraturan) yang baru yang akan merubah pilihan-pilihan yang
tersedia bagi perusahaan dan rumah tangga (unit-unit operasional dalam masyarakat).
9
a. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada
organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan
kebijakan, sikap dan tanggap dari para pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur
organisasi pelaksana kebijakan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses
komunikasi adalah transmission cara penyampaian informasi; clarity kejelasan
informasi, serta consistency konsistensi dalam penyampaian informasi.
b. Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya
sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan
publik untuk carry out kebijakan secara efektif. Edwards III menyatakan sebuah
kebijakan publik untuk dapat diterapkan harus memerhatikan kesiapan sumber daya
pelaksana kebijakan tersebut. Kesiapan sumber daya meliputi kualitas serta
kuantitas staf pelaksana; ketersediaan informasi bagi staf tersebut; keluasan
kewenangan yang diberikan kepada staf pelaksana; serta ketersediaan fasilitas
pendukung bagi staf dalam rangka melaksanakan kebijakan. Diyakini bahwa
motivasi adalah kondisi dasar yang harus diperhatikan agar aparat pemerintah
bersedia menjalankan kebijakan publik dengan baik.
c. Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out
kebijakan publik tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan
komitmen untuk melaksanakan kebijakan.
d. Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi
penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangannya adalah bagaimana
agar tidak terjadi bureaucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses
implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas
implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara
lembaga-lembaga Negara dan atau pemerintahan.
(http://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/model-model-
implementasikebijakan.html)
10
Metode Penelitian
11
6. Triangulasi. Melakukan proses cek dan ricek antara satu sumber data dengan
sumber data lainnya.
7. Melakukan penyimpulan akhir.
12
i. Mendorong terwujudnya sistem kemitraan usaha dan perdagangan komoditas
pertanian yang sehat, jujur dan berkeadilan.
j. Meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan aparatur pemerintah bidang
pertanian yang amanah dan profesional.
13
kepada masyarakat, menciptakan dan menjamin kelancaran dalam pelayanan informasi
publik pada Kementerian Pertanian.
14
disposition yang tidak sesuai dengan penugasan dan latar belakang, dan struktur
birokrasi yang tidak efektif
15
Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
Blau, Peter M., dan Marshall W. Meyer. (1987). Birokrasi dalam Masyarakat Moderen.
(Diterjemahkan oleh Gary Rachman Jusuf). Edisi Kedua. Jakarta: UI Press. Hal
27-28.
Dunn, William N,. (1999). Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
16
Hogwood, Brian W & Lewis A. Gunn. (1984). Policy Analysis for The Real World. Oxford
University Press.
Howlett, Mitchael and M. Ramesh. (1995). Studying Public Policy: Policy Cycles and
Policy Subsystems. Oxford: Oxford University Press
Irawan, Prasetya. (2006). Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial.
Depok: DIA Fisip UI
Lincoln, Yvonne, S, and Egon G. Guba. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills,
London, New Dehli
Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods (3rd
Edition). Thousand Oak, London, New Dehli: Sage Publication
Singarinbun, Masri, dan Sofian Effendi (Ed). (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta:
LP3ES
Subarsono, A.G. (2005). Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Cet 1.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
17