Anda di halaman 1dari 20

Tgl Praktikum : 10 Oktober 2017

Tgl Pengumpulan : 01 November 2017


Nama Asisten : Indira Hapsarini
PRAKTIKUM EVALUASI SENSORI PANGAN
Mempelajari Sifat-Sifat Kenampakan Makanan

Disusun Oleh :
Galih Dwi Hardiyan 240210150029

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS TEKONOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PANGAN
JATINANGOR, SUMEDANG
2017
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

I. TUJUAN
Praktikum ini memiliki tujuan yakni dapat mengenali sifat-sifat suatu
produk berdasarkan kenampakannya, baik berupa ukuran, bentuk, warna, kilap,
kekentalan, dan juga kerusakan.

II. TEORI DASAR


Kenampakan produk menjadi salah satu sifat yang dapat mempengaruhi
nilai jual produk tersebut. Hal tersebut terjadi karena kenampakan produk menjadi
salah satu penunjang kualitas produk tersebut (Early, 1995). Pengujian
organoleptik memiliki cara untuk menunjang kualitas atau mutu dari produk
tersebut (Civille, 1991). Pengujian organoleptik merupakan suatu cara penilaian
dengan memanfaatkan kelima indera manusia yang bertujuan untuk mengamati
tekstur, warna, bentuk, aroma, rasa suatu produk makanan, minuman, ataupun
obat-obatan (Ayustaningwarno, 2014). Pemilihan konsumen terhadap siatu
produk pangan umumnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya
ialah pada kebiasaan (Kittler, Sucher, dan Nelms, 2012), budaya, dan juga estetika
(Almerico, 2014).
Sangatlah jelas bahwa evaluasi sensori merupakan garda terdepan dari
managemen mutu pada produk pangan (Moskowitz, 1995). Hal tersebut dilakukan
bertujuan untuk memenuhi keinginan konsumen yang terus meingkat dalam
beberapa tahun terakhir (Meiselman dan MacFie, 1996). Selain itu, evaluasi
sensori juga bertujuan untuk produk yang dihasilkan oleh industri pengolahan
pangan dapat diterima oleh masyarakat (Creed, 1998).
Adapun pengujiannya dapat dilakukan dengan pengujian kenampakan
pada produk tersebut. Salah satu indera yang digunakan pada pengujian ini ialah
penginderaan pengelihatan (Meilgaard, Civille, dan Carr, 2016). Adapun
parameter dari penilaian kenampakan produk pangan ialah berupa warna, kilap,
viskositas, bentuk, ukuran, volume kerapatan, hingga sifat fisik yang berkaitan
dengan bahan pangan tersebut (Setyaningsih, Apriyantono, dan Sari, 2010).
Bentuk bahan pangan merupakan salah satu parameter dalam penilaian
pembelian bahan pangan oleh konsumen. Bentuk yang merupakan deskripsi
keseluruhan dari perbandingan ukuran-ukuran dimensi suatu benda dengan
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

kriteria-kriteria tertentu (Nurhadi dan Nurhasanah, 2010). Bentuk pada bahan


pangan tentu dipengaruhi oleh ukuran bahan pangan tersebut, sehingga melalui
ukurannya, dapat diketahui jenis bentuk dari bahan pangan tersebut. Ukuran pada
bahan pangan juga penting dalam perhitungan pindah panas dan pindah massa,
pemilahan bahan padat untuk pemisahan bahan asing, pengkelasan (grading)
bahan pangan, dan mengevaluasi kualitas bahan pangan (Sahin dan Sumnu, 2006)
Kondisi perubahan bentuk, seperti kerusakan bahan pangan menjadi salah satu
tampilan eksternal yang menjadi kualitas utama pada setiap konsumen yang dapat
mempengaruhi pembelian suatu produk (Nicola, Ltze, Peirs, Scheerlinck, dan
Theron, 2006). Perubahan bentuk atau ketidaksesuaian bentuk secara umum yang
terjadi pada bahan pangan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya
pada faktor genetik, teknik pemanenan, kondisi pascapanen yang kurang baik,
hingga keruakan mikrobiologis pada komoditas tersebut (Rahman, 2007).
Penampilan produk juga tidak terlepas pada warna produk tersebut. Warna
merupakan suatu sifat bahan yang dianggap berasal dari penyebaran spektrum
sinar tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna yang berwarna putih
dan ditentukan oleh panjang gelombang tersebut (Laksono dan Widjajanti, 1998).
Proses terlihatnya warna adalah dikarenakan adanya cahaya yang menimpa suatu
benda, dan benda tersebut memantulkan cahaya ke retina pada mata, sehingga
terbentuk warna yang dideteksi melalui oleh retina tersebut (Nugraha, 2008).
Adapun hal tersebut juga terjadi pada sifat kilap dari bahan dipengaruhi oleh
sinar, terutama sinar pantul. Warna pada komoditas juga menjadi salah satu
indikator kualitas, karena warna pada dasarnya memberikan petunjuk pada
kondisi komoditas yang hendak disimpan (Vieira, 1996).
Indera yang digunakan untuk mengamati kenampakan makanan adalah
mata. Mata sebagai organ tubuh manusia untuk melihat. Mata tersusun atas
bermacam-macam jaringan, seperti jaringan otot, jaringan syaraf, jaringan ikat
dan jaringan pembuluh darah (Raven dan Johnson, 2002). Dalam jaringan mata
terdapat banyak sel dalam menghubungkan satu sama lain. Pada bagian-bagian
mata terdapat lensa, sklera, retina, pupil, iris, kornea, saraf mata, forea, pembuluh
darah itu semua bagian besar mata (Hall dan Guyton, 2010). Semua bagian itu
menjadi satu dan bekerja sama dalam menjalankan tugasnya sebagai alat
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

penglihatan (Setyaningsih, Apriyantono, dan Sari, 2010). Menurut Sofiah dan


Achyar (2008), serta Soekarto (2008) bahwa kenampakan produk pada dasarnya
dipengaruhi oleh adanya sistem penginderaan yang meliputi:
1. Penerimaan rangsangan pada sel-sel, khususnya indera pengelihatan.
2. Interpretasi psikologis ke saraf pusat.
3. Sikap atau kesan psikologis.
Prinsip cahaya dalam alat tubuh mata menyerupai alat kamera yang ada
dalam ruangan gelap, celah cahaya (iris), lensa, dan penerima bayangan benda.
Jika ada benda atau objek di depan mata, maka benda itu akan mengrimkan sinar
melaui lubang diafragma mata yang dibuat oleh selaput iris. Sinar tersebut
dibiaskan oleh lensa mata dan diteruskan menembus ruang bening belakang yang
gelap dan membentuk bayangan benda perangsang tepat di daerah reseptor yang
disebut retina. Sinar berupa bayangan itu merangsang sel-sel reseptor dan impulsa
yang dihasilkan melalui saraf optikus ke saraf pusat (otak) sehingga timbullah
kesadaran penglihatan (Sofiah, 2008).
Berbagai kenampakan merupakan sifat-sifat yang penting dalam
menentukan mutu suatu produk pangan dan berkaitan erat dengan daya terima
konsumen dan nilai jual produk tersebut (Civille, 1991). Karakteristik penampilan
produk yang menjadi ciri khas dari komoditas tersebut, kemudian mampu
merangsang otak untuk menghasilkan persepsi lapar pada manusia. Hal itu
membuat penampakan bahan pangan dan perangsangan yang dirasakan otak
saling berkaitan satu sama lain, dimana menurut Laska, Freist, dan Krause (2007)
terjadi pada hewan-hewan yang ada di alam. Adapun tujuan melalui adanya
evaluasi sensori ini ialah menilai sifat-sifat kenampakan dalam penentuan standar
grade suatu produk, seperti warna, ukuran, kemasakan, tekstur, dan bebasnya dari
kotoran ataupun kerusakan, sehingga konsumen dapat membedakan kualitas pada
produk tersebut (Chollet dan Valentin, 2001).
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

III. ALAT DAN BAHAN


3.1 Alat
Praktikum ini tentu memerlukan peralatan untuk menunjang
berlangsungnya analisis secara organoleptik pada berbagai sampel yang diuji.
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
1. Gelas 4. Piring
2. Mangkuk kecil 5. Pisau
3. Penggaris 6. Sendok

3.2 Bahan
Adapun bahan yang menjadi sampel dalam praktikum kali ini adalah
sebagai berikut:
1. Apel 4. Kentang
2. Beras 5. Minyak goreng
3. Kacang merah 6. Susu

IV. PROSEDUR
Praktikum kali ini pasti perlu memiliki prosedur yang tepat dalam
melaksanakan praktikum dengan baik. Adapun prosedur praktikum ini adalah
sebagai berikut:
1. Sampel pada praktikum ini disiapkan dan disajikan.
2. Sampel kemudian dinilai dengan parameter penilaian berupa ukuran dan
keseragaman ukuran, bentuk dan keseragaman bentuk, warna dan
keseragaman warna, kilap/suram, jernih/keruh, serta cacat ataupun
kerusakan pada sampel.
3. Sampel cairan (berupa susu dan minyak) diambil sebanyak satu sendok
dan dituangkan kembali ke wadahnya, dengan tujuan untuk pengukuran
viskositas sampel tersebut.
4. Hasil pengamatan kemudian dicatat dan didiskusikan dengan teman kerja.
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN


Praktikum kali ini mengenai pengenalan sifat kenampakan makanan.
Perlunya kenampakan makanan untuk dipelajari, karena dapat memengaruhi
penerimaan konsumen terhadap produk tertentu, sehingga sifat ini merupakan
sifat yang sangat penting dalam menunjang kualitas atau mutu produk tertentu
(Moskowitz, 1995; Cayot, 2007). Pengujian dilakukan dengan menggunakan
indera penglihatan, yaitu mata. Setiap jenis makanan memiliki sifat yang khas
sehingga kita dapat mengidentifikasi dan membedakan makanan yang satu dengan
yang lainnya (Laska, Freist, dan Krause, 2007).
Kenampakan makanan yang diamati adalah kenampakan makanan padat
dan makanan cair. Sampel makanan padat yang diamati yaitu apel, kentang,
kacang merah, dan beras. Sampel makanan cair yang diamati yaitu minyak goreng
dan susu. Pengamatan kenampakan pada makanan padat dilakukan terhadap
ukuran dan keseragaman ukuran, bentuk dan keseragaman bentuk, warna dan
keseragaman warna, sifat kilap atau suram, dan adanya kerusakan (noda, layu,
retak, dan kerusakan lainnya). Pengukuran pada makanan padat dilakukan pada
ketiga jenis sampel dengan ukuran yang berbeda-beda dan kemudian hasil dari
pengukuran tersebut nilainya dirata-ratakan. Pengamatan kenampakan pada
makanan cair dilakukan dengan menilai warna dan keseragaman warna, sifat kilap
atau suram, sifat jernih atau keruh, dan perbandingan kekentalan cairan dengan
air. Penilaian warna pada komoditas, baik makanan padat ataupun makanan cair
dilakukan hanya melihat komposisi warna pada komoditas tersebut dan menilai
keseragaman warna pada komoditas yang diuji. Adapun hasil pengamatan pada
praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

Tabel 1. Hasil Pengamatan Sifat Kenampakan Bahan Pangan

Jenis Makanan
Kenampakan
Apel Kentang Kacang Merah Beras Susu Minyak Goreng
Ukuran dan D = 5,0 cm H = 6 6,5 3,5 cm 1,5 0,5 0,8 0,8 0,1 0,2
Keseragaman 4 cm cm cm
Ukuran
Bentuk dan Round Long-Irregular Elliptical Oblong
Keseragaman
Bentuk Seragam Tidak Seragam Seragam Seragam
Warna dan Merah 70%, Coklat Muda Coklat 80% Putih kusam Putih kekuningan Kuning
Keseragaman Hijau 30% 100% Merah muda 20% 100% 100% Keemasan 100%
Warna
Tidak seragam Seragam Seragam Seragam Seragam Seragam
Kilap atau Suram Kilap Suram Kilap Suram Suram Kilap
Jernih atau Keruh Keruh Jernih
Kekentalan + ++
Cairan
Noda, Layu, Berlubang, retak Terdapat lubang Noda Retak
Retak timbul bengkak retak
pada dinding
Lainnya - Terdapat bekas - - Aroma khas susu Licin dan
sayatan berminyak jika
diraba dengan
jari
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2017)
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

5.1 Apel
Apel merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang sangat populer di
Indonesia. Walaupun buah apel tidak sepenuhnya berasal dari Indonesia, tentunya
sangatlah penting mengetahui karakteristik penampilan pada apel tersebut. Apel
memiliki nama Latin Malus domestica Borkh., yang berasal dari keluarga
Rosaceae. Banyak varietas apel yang tumbuh di berbagai penjuru dunia, seperti
Golden Delicious, Granny Smith, hingga Fuji mungkin menjadi varietas yang
paling mudah untuk dijumpai di setiap pusat perbelanjaan (Nunes, 2008).
Umumnya warna pada kulit tidak menjadi indikator yang baik akan pelayuan
buah ataupun kualitas, namun pembeli tentunya akan terpengaruh dengan warna
pada buah. Hal itu dapat terjadi karena pada dasarnya bahwa indikator
kematangan buah apel tersebut sangatlah berpengaruh terhadap parameter
penerimaan terhadap konsumen (Drogoudi, Michailidis, dan Pantelidis, 2008;
Vieira, Borges, Copetti, Amboni, Denardi, dan Fett, 2009).
Bentuk buah ini berbentuk round dengan ukuran diameter 4,0 cm dan
tinggi 5,6 cm. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tawali (2004) yang
menyatakan bahwa apel berbentuk bulat (round) hingga lonjong, bagian pucuk
buah berlekuk dangkal, kulit agak kasar dan tebal, pori-pori buah kasar dan
renggang, tetapi setelah tua akan menjadi halus dan mengkilat. Adapun bentuk
dan ukuran dari buah ini dipengaruhi oleh jenis tanah, iklim, dan nutrisi yang
didapatkan dari buah tersebut (Yulianti, Sufrida, Irfansyah, Junaedi, dan Muatis,
2007).
Warna apel yang diamati memiliki warna hijau kemerahan yakni dengan
persentase merah 70%, dan hijau 30%. Hal tersebut diduga merupakan jenis apel
lokal Indonesia, yakni apel Malang atau lebih dikenal dengan varian Rome Beauty
(Kusumo, 1986). Apel jenis ini dimemiliki warna hijau kemerahan (Harker,
Gunson, dan Jaeger, 2003). Buah tersebut tentu tidak memiliki keseragaman
warna, dimana hal itu dipengaruhi oleh galurnya (Tawali, 2004). Warna merah
pada apel tentu dipengaruhi oleh adanya antioksidan pada pigmen warna tersebut
(Astawan, 2008). Adapun menurut Belitz, Grosch, dan Schieberle (2009) dan De
Man (1999) menyatakan bahwa warna merah pada apel tentu dipengaruhi oleh
pigmen antosianin yang tinggi sehingga menghasilkan warna merah pada apel
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

tersebut, sedangkan warna hijau menunjukan tingkat belum matang penuhnya apel
tersebut, dimana warna hijau tersebut merupakan pigmen klorofil pada buah apel
tersebut (Tjahjadi dan Martha, 2014). Adapun berdasarkan spektrum gelombang,
warna dominan merah pada apel tersebut disebabkan oleh panjang gelombang
yang dipantulkan apel berada diantara gelombang 620-750 nm dan ditangkap oleh
mata sebagai warna merah (Sofiah dan Achyar, 2008).
Kilap pada buah apel pada dasarnya dipengaruhi oleh adanya refraksi
gelombang cahaya dari kulit apel tersebut. Kilap pada apel dipengaruhi oleh
paparan sinar matahari yang tertuju pada satu titik (Yulianti, Sufrida, Irfansyah,
Junaedi, dan Muatis, 2007). Menurut Jha, Rai, dan Shrama (2012) bahwa nilai
kilap dari buah apel ialah 45o hingga 60o gloss unit (GU), dimana semakin kecil
nilai tersebut, maka semakin diterangi oleh cahaya, sedangkan semakin besar nilai
gloss unit semakin besar juga defusi dari refleksi cahaya tersebut. Penyusutan
pada apel kemudian akan mempengaruhi dari kondisi kilap pada apel, dan tentu
dapat terjadi pendegradasian kilap apel (Jha, Rai, dan Shrama, 2012). Khan dan
Ahmad (2005) menjabarkan bahwa lama penyimpanan apel yang kulitnya sangat
kuat, lembut dan sangat berkilap, dapat menurun dan mengerut akibat lama waktu
penyimpanan tersebut.
Kerusakan yang timbul pada dasarnya timbul diakibatkan oleh kerusakan
secara genetis. Hal tersebut kemudian menghasilkan timbul tonjolan pada apel.
Adapun retakan dan noda dihasilkan oleh kerusakan mekanis, akibat kesalahan
yang terjadi selama pemanenan (Buckle, Edwards, Fleet, dan Wooton, 1985).

5.2 Kentang
Kentang merupakan salah satu komoditas sayur-mayur yang sering
dijumpai oleh konsumen. Sayuran yang tergolong umbi-umbian ini tentu sangat
kaya akan kandungan karbohidratnya (Muchtadi, Sugiyono, dan
Ayustaningwarno, 2016). Kentang atau yang bernama Latin Solanum tuberosum
merupakan umbi-umbian yang menyuplai karbohidrat bagi kebutuhan manusia.
Kentang merupakan hasil dari perbesaran umbi pada bagian batang lateral
(Department of Agriculture, Forestry and Fisheries Republic of South Africa,
2013).
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

Karakterisik dimensi dari kentang ialah 6 6,5 3,5 cm. Kentang juga
tergolong bentuk yang long-irregular. Hal itu dipengaruhi oleh dimensi dari
kentang tersebut (Mohsenin, 1986). Bentuk yang tidak sergam tersebut
dipengaruhi oleh faktor atau kondisi yang terjadi selama proses penanaman
kentang, seperti faktor genetis ataupun faktor morfologis. Apabila dibandingkan
dengan ukuran atau dimensinya, kentang tergolong ke dalam bahan pangan yang
menghabiskan tempat penyimpanan (bulky food) (Bakker-Arkema,
DeBaerdemaeker, Amirante, Ruiz-Altisent, dan Studmaned, 1999).
Warna yang dihasilkan oleh kentang ialah berwarna coklat muda dengan
warna yang suram. Hal itu dipengaruhi oleh penanaman kentang yang dilakukan
di dalam tanah, sehingga warna kentang yang dihasilkan cenderung berwarna
coklat muda dengan warna yang suram (Samadi, 1997). Adapun warna daging
buah umbi kentang tersebut berwarna putih kekuningan hingga kuning muda. Hal
itu oleh pigmen antosianin yang khas berwarna putih bahkan kekuningan pada
daging buah tersebut (De Man, 1999).
Adanya lubang retakan, dan juga bekas sayatan pada kentang, dapat
dipengaruhi oleh kerusakan secara mekanis. Kesalahan metode pemanenan
merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi kerusakan pada kentang
tersebut (Tjahjadi, 2008). Hal itu kemudian dapat menurunkan nilai penerimaan
komoditas oleh para konsumen, akibat kerusakan mekanis tersebut.

5.3 Kacang Merah


Kacang-kacangan merupakan biji-bijian yang sangat tinggi protein dan
lemak. Kacang-kacangan berasal dari tanaman yang berumpun Fabaceae (Belitz,
Grosch, dan Schieberle, 2009). Jenis kacang-kacangan diantaranya ialah kacang
merah. Kacang merah atau yang bernama Latin Phaseolus vulgaris merupakan
jenis kacang-kacangan yang berukuran besar dan berbentuk seperti ginjal,
sehingga dalam bahasa Inggris disebut dengan sebutan kidney bean.
Kacang ini memiliki warna kulit yang berwarna coklat kemerah-mudaan
(coklat 80%, merah muda 20%). Hal itu diakibatkan oleh adanya warna tanin pada
kulit kacang merah (Winarno, 1991). Bagian daging buah pada kacang tersebut
tetap berwarna coklat muda akibat adanya flavonoid pada kacang tersebut (De
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

Man, 1999). Kilapnya warna pada kacang merah dipengaruhi oleh kondisi
pencahayaan yang baik, sehingga cahaya yang direfleksikan pada kacang terlalu
banyak yang dipendar (Sofiah dan Achyar, 2008). Selain itu, pada kacang merah
terdapat noda yang diakibakan oleh kerusakan genetis (Buckle, Edwards, Fleet,
dan Wooton, 1985).
Ukuran dari kacang merah tersebut ialah sebesar1,5 0,5 0,8 cm Hal
tersebut sangat berpengaruh terhadap bentuk dari kacang merah tersebut. Kacang
ini memiliki bentuk elips atau ellipitical, sesuai dengan pendapat Mohsenin
(1986). Bentuk dan ukuran dari kacang merah yang menjadi sampel secara
keseluruhan seragam.

5.4 Beras
Padi merupakan salah satu tanaman serealia yang umumnya tumbuh di
kawasan Asia, khususnya di Asia Tenggara. Ketika panen, padi akan berbuah
menghasilkan gabah dan bulir dari gabah tersebut disebut sebagai beras. Beras
adalah gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling dan
disosoh menggunakan alat pengupas dan penggiling serta alat penyosoh. Beras
menjadi pangan hampir seluruh penduduk Indonesia, tanpa terkecuali. Beras
dimanfaatkan terutama untuk diolah menjadi nasi, makanan pokok terpenting
warga dunia. Beras juga dijadikan sebagai salah satu sumber pangan bebas gluten
terutama untuk kepentingan diet. Beras adalah sumber protein yang baik dengan
kandungan protein 6,8 gram per 100 gram (Muchtadi, Sugiyono, dan
Ayustaningwarno, 2016). Itulah sebabnya, di Indonesia, dalam neraca makanan,
sumbangan beras terhadap energi dan protein masih sangat tinggi (Sukami, 1979).
Beras (Oryza sativa) memiliki ukuran dan bentuk yang sangat beragam.
Adapun pengukuran beras pada praktikum kali ini ialah sebesar 0,8 0,1 0,2
cm. Hal tersebut kemudian membuat bentuk beras tergolong ke dalam bentuk
yang menyerupai berbentuk oblong (Bakker-Arkema, DeBaerdemaeker,
Amirante, Ruiz-Altisent, dan Studmaned., 1999). Selain itu, pada beras terdapat
retakan akibat kesalahan penggilingan.
Warna beras yang tergolong putih kusam dipengaruhi oleh warna pati
yang dimiliki oleh beras tersebut, dimana warna pati beras yang tergolong putih
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

gelap (Winarno, 1991). Suramnya warna pada beras dipengaruhi oleh kondisi
beras itu sendiri yang sangat kecil, sehingga fokus cahaya dari lampu tidak dapat
dipantulkan pada permukaan beras tersebut.

5.5 Susu
Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang
diperlukan oleh tubuh manusia. Konsumsi susu pada saat remaja terutama
dimaksudkan untuk memperkuat tulang sehingga tulang lebih padat, tidak rapuh
dan tidak mudah terkena risiko osteoporosis pada saat usia lanjut. Agar tulang
menjadi kuat, diperlukan asupan zat gizi yang cukup terutama kalsium. Kalsium
merupakan zat utama yang diperlukan dalam pembentukan tulang, dan zat gizi ini
antara lain dapat diperoleh dari susu. Susu juga terkandung zat-zat gizi yang
berperan dalam pembentukan tulang seperti protein, fosfor, vitamin D, vitamin C
dan besi. Susu juga masih mengandung zat-zat gizi penting lainnya yang dapat
meningkatkan status gizi (Dole Food Company, Inc., 2002; Caballero, Finglas,
dan Toldra, 2016).
Susu pada dasarnya merupakan larutan air yang encer (kekentalan +) dan
saling berkaitan satu sama lain. Senyawa polar yang terdapa pada susu dapat
terlarut sempurna sehingga dielectric constant dari susu sangat tinggi. Keruhnya
susu dan juga warna putih pada susu dipengaruhi oleh adanya emulsi cair dari
lemak pada plasma susu. Adapun reaksi tersebut membuat lemak harus
menyebrangi membran globula lemak, dimana dengan proses konsentrasi pada
globula lemak dapat dihilangkan dengan metode sentrifugasi ataupun proses
creaming (Walstra, Geuris, Noomen, Jellema, dan van Boekel, 1999). Warna air
susu yang diamati sama dengan air susu yang seharusnya yaitu berwarna putih
kekuningan. Warna putih dari susu merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya
oleh globula lemak dan partikel koloidal dari kasein dan kalsium fosfat. Warna
kuning adalah karena lemak dan caroten yang dapat larut (Blakely dan Bade,
1985). Bila warna susu tidak normal seperti biru, berarti dicampur dengan air;
kuning, terdapat karoten (pro-vitamin A), merah, kemungkinan terdapat darah
(Ernawati, 1986). Adapun suramnya produk ini akibat cahaya yang sulit untuk
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

merefleksikan sinar pada permukaan susu tersebut, sehingga tampak produk


terlihat suram.

5.6 Minyak Goreng


Minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang khas dan unik,
sebab minyak goreng menjadi salah satu indikator kadar lemak pada tubuh
manusia. Minyak yang digunakan dalam makanan sebagian besar adalah
trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dan berbagai asam lemak (Buckle,
Edwards, Fleet, dan Wooton, 1985). Minyak juga menjadi pelarut bagi vitamin A,
D, E, K dan dapat larut dalam pelarut-pelarut nonpolar, karena dalam lemak
mengandung unit struktural dimana memiliki hidrofobisitas. Karakteristik
kelarutan minyak atau karakteristik kelarutan lemak ialah larut pada pelarut
organik, namun tidak larut dalam air. Ketidaklarutan dalam air membuat air
sebagai alat pemisahan dari karbohidrat dan air. Lemak merupakan molekul
ambifilik karena mengandung gugus hidrofil dan hidrofobik (Belitz, Grosch, dan
Schieberle, 2009). Adapun minyak dapat diperoleh dari komoditas nabati seperti
kacang-kacangan, kelapa dan kelapa sawit, serealia, hingga canola (Herudiyanto,
2008).
Minyak goreng pada dasarnya berwarna kuning keemasan. Warna pada
minyak goreng pada dasarnya dihasilkan oleh kandungan karoten pada bahan
baku tersebut (Herudiyanto, 2008). Adapun karakteristik lainnya ialah berupa
viskositasnya yang kental (kekentalan ++). Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya
densitasnya yang rendah dan juga sifat alirannya yang lebih lambat daripada air
(Setiasih dan Nurhasanah, 2008). Kesan kesat pada indera peraba yang dirasakan,
dihasilkan oleh sifat tekstur minyak goreng yang oilly. Kilapnya warna minyak
dipengaruhi oleh mampunya minyak dalam merefleksinya cahaya yang
diakibatkan oleh jernihnya warna minyak, sehingga pada minyak tampak terlihat
kilap.
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada praktikum kali ini, maka kesimpulan pada
praktikum kali ini ialah sebagai berikut :
1. Apel memiliki ukuran diameter 5,6 dengan tinggi 4 cm, berbentuk round
dengan warna merah-kehijauan (70% merah, 30% hijau), berkilap,
terdapat lubang, retak dan timbul bagian yang menonjol pada dinding
buah.
2. Kentang memiliki ukuran 6,0 6,5 3,5 cm dengan bentuk long-
irregular, berwarna coklat muda, suram, terdapat lubang, retak dan bekas
sayatan.
3. Kacang merah memiliki ukuran 1,5 0,5 0,8 cm dengan bentuk
elliptical, berwarna coklat kemerah-mudaan, kilap, terdapat noda.
4. Beras memiliki ukuran 0,8 0,1 0,2 cm dengan bentuk oblong,
berwarna putih kusam, suram, terdapat retakan.
5. Susu memiliki warna yang putih kekuningan dengan warna yang suram,
keruh dan kekentalan + atau dapat dikatakan cair, memiliki aroma susu
yang khas.
6. Minyak goreng berwarna kuning keemasan dengan kondisi kilap dan
jernih, memiliki kekentalan yang lebih tinggi daripada susu (kekentalan
++) disertai tekstur yang licin dan berminyak.

6.2 Saran
Adapun saran pada praktikum kali ini ialah perlunya dilakukan penelitian
lanjutan mengenai sifat-sifat kenampakan pada bahan pangan dengan
menggunakan peralatan yang lebih canggih, sehingga karakteristik sampel dapat
diketahui lebih lanjut.
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

DAFTAR PUSTAKA

Almerico, G. M. 2014. Food and Identity: Food Studies, Cultural, and Personal
Identity. J. Int. Business and Cultural Studies 8: 1-7.

Astawan, M. 2008. Khasiat Warna Warni Makanan. Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta.

Ayustaningwarno, F. 2014. Teknologi Pangan : Teori Praktis dan Aplikasi. Graha


Ilmu, Yogyakarta.

Bakker-Arkema, F. W., J. DeBaerdemaeker. P. Amirante, M. Ruiz-Altisent, dan


C. J. Studmaned. 1999. CIGR Handbook of Agricultural Engineering :
Agro-Processing Engineering. Vol. IV. American Society of Agricultural
Engineers, Saint Joseph.

Belitz, H.-D., W. Grosch, dan P. Schieberle. 2009. Food Chemestry. Springer


Leipzig.

Blakely, J., dan D. Bade. 1985. The Science of Animal Husbandry. Edisi ke-4.
Prentice All, Engzlewood Cliffs, USA.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan.


UI Press, Jakarta.

Caballero, B., P. M. Finglas, dan F. Toldra. 2016. Encyclopedia of Food and


Health. Academic Press. Oxford.

Cayot, N. 2007. Sensory quality of traditional foods. Food Chemistry 102: 445-
453.

Chollet, S., dan D. Valentin. 2001. Le degree dexpertise a-t-il une influence sur
la perception olfactive? Quelques elements de reponse dans le domaine du
vin. Lannee psychologique 100: 1136.

Civille, G. 1991. Food Quality: Consumer Acceptance and Sensory Attributes.


Journal of Food Quality 14: 1-8.

Creed, P. 1998. A Study of the Sensory Characteristics of Food produced by the


Sous Vide System: The Measure of Pleasure. PhD Thesis. Bournemouth
University, Bournemouth, Dorset.

De Man, J. M. 1999. Principles of Food Chemistry. Edisi ke-3. Aspen Publishers,


Maryland.
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

Department of Agriculture, Forestry and Fisheries Republic of South Africa.


2013. Potatoes : Production Guideline. Department of Agriculture,
Forestry and Fisheries Republic of South Africa, Pretoria.

Dole Food Company, Inc. 2002. The Encyclopedia of Foods: A Guide to Healthy
Nutrition. Academic Press, San Diego.

Drogoudi, P., Z. Michailidis, dan G. Pantelidis. 2008. Peel and flesh antioxidant
content and harvest quality characteristics of seven apple cultivars. Sci.
Hort. 115: 149153.

Early, R. 1995. Guide to Quality Management Systems for the Food Industry.
Springer, New York.

Ernawati. 1986. Pengaruh Penanganan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Air


Susu Sapi. Media Peternakan Vol 1. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor: 50-59.

Hall, J. E., dan A. Guyton. 2010. Guyton and Hall Textbook of Medical
Physiology. Edisi ke-12. Saunders, Philadelphia.

Harker, F., F. Gunson, dan S. Jaeger. 2003. The Case of Fruit Quality : An
Interpretive Review of Consumer Attitudes, and Preferences for Apples.
Postharvest Biology and Technology 28: 333-347.

Herudiyanto, M. S. 2008. Pengantar Teknologi Pengolahan Pangan. Widya


Padjadjaran, Bandung.

Jha, S. N., D. R. Rai, dan R. Shrama. 2012. Physico-chemical quality parameters


and overall quality index of apple during storage. J. Food Sci. Technol. 49
(5): 594-600.

Khan, M., dan I. Ahmad. 2005. Morphological studies on physical changes in


apple fruit after storage at room temperature. J. Agric. Soc. Sci. 1: 102
104.

Kittler, P., K. Sucher, dan M. Nelms. 2012. Food and Culture. Edisi ke-6.
Wadsworth, Belmont, CA.

Kusumo, S. 1986. Budidaya Apel (Mallus sylvestris Mill). LPH Pasar Minggu,
Jakarta.

Laksono, dan E. Widjajanti. 1998. Meramalkan Zat Pewarna dengan Pendekatan


Partikel dalam Kotak IDimensi. Cakrawala Pendidikan 1: 1-8.

Laska, M., P. Freist, dan S. Krause. 2007. Which senses play a role in nonhuman
primate food selection? A comparison between squirrel monkeys and
spider monkeys. American Journal of Primatology 69: 282294.
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

Meilgaard, M., G. Civille, dan B. Carr. 2016. Sensory Evaluation Techniques.


Edisi ke-5. CRC Press, Boca Raton.

Meiselman, H., dan H. MacFie. 1996. Food Choice, Acceptance and


Consumption. Blackie Academic dan Professional, London.

Mohsenin, N. 1986. Physical Properties of Plant and Animal Materials:


Structure, Physical Characteristics, and Mechanical Properties. Gordon
and Breach Science Pub., New York.

Moskowitz, H. 1995. Food Quality : Conceptual and Sensory Aspects. Food


Quality and Preference 6: 157-162.

Muchtadi, T., Sugiyono, dan F. Ayustaningwarno. 2016. Ilmu Pengetahuan Bahan


Pangan. Penerbit Alfabeta, Bandung.

Nicola, B., E. Ltze, A. Peirs, N. Scheerlinck, dan K. Theron. 2006. Non-


destructive measurement of bitter pit in apple fruit using NIR
hyperspectral imaging. Postharvest Biology and Technology 40: 16.

Nugraha, A. 2008. Pengembangan Pembelajaran Sains pada Anak Usia Dini.


JILSI Foundation, Bandung.

Nunes, M. C. 2008. Color Atlas of Postharvest Quality of Fruits and Vegetables


Edisi ke-1. Blackwell Publishing, Iowa.

Nurhadi, B., dan S. Nurhasanah. 2010. Sifat Fisik Bahan Pangan. Widya
Padjadjaran, Bandung.

Rahman, S. M. 2007. Handbook of Food Preservation. CRC Press, Boca Raton.

Raven, P. H., dan G.B. Johnson. 2002. Biology. Edisi ke-6. McGraw Hill, Boston.

Sahin, S., dan S. G. Sumnu. 2006. Physical Properties of Foods. Springer, New
York.

Samadi, B. 1997. Usaha Tani Kentang. Yogyakarta, Kanisius.

Setiasih, I., dan S. Nurhasanah. 2008. Prinsip Keteknikan Pengolahan Pangan.


Widya Padjadjaran, Bandung.

Setyaningsih, D., A. Apriyantono, dan M. Sari. 2010. Analisis Sensori untuk


Industri Pangan dan Agro. IPB Press, Bogor.

Soekarto. 2008. Penilaian Organoleptik. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan,


IPB Press, Bogor.
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

Sofiah, B., dan T. S. Achyar. 2008. Penilaian Indera. Universitas Padjadjaran,


Jatinangor.

Sukami, M. 1979. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Ilmu


Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

Tawali, B. A. 2004. Pengaruh Suhu Penyimpanan terhadap Mutu Buah-Buahan


Impor yang Dipasarkan di Sulawesi Selatan. Skripsi. Jurusan Teknologi
Pertanian, Universitas Hasanuddin .

Tjahjadi, C. 2008. Teknologi Pengolahan Sayur dan Buah. Widya Padjadjaran,


Bandung.

Tjahjadi, C., dan Martha, H. 2014. Pengantar Teknologi Pangan. Jurusan


Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang.

Vieira, E. 1996. Elementary Food Science. Springer, Dordrecht.

Vieira, F., G. Borges, C. Copetti, R. Amboni, F. Denardi, dan R. Fett. 2009.


Physico-chemical and antioxidant properties of six apple cultivars grown
in southern Brazil. Sci. Hort. 122: 421425.

Walstra, P., T. Geuris, A. Noomen, A. Jellema, dan M. van Boekel. 1999. Dairy
Technology - Principles of Milk Properties and Processes. Marcel Dekker,
New York.

Winarno, F. G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yulianti, Sufrida, Irfansyah, E. Junaedi, dan W. Muatis. 2007. Khasiat dan


Manfaat Apel. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

JAWABAN DAN PERTANYAAN

1. Bila Saudara panen padi, kacang merah ataupun apel, apakah setiap
tanaman/rumpun akan menghasilkan produk yang mempunyai
kenampakan seragam? Jelaskan jawaban saudara!
Jawab:
Tidak selalu akan seragam. Setiap tanaman atau rumpun tidak akan
menghasilkan produk yang mempunyai kenampakan seragam karena
dalam satu jenis tanaman, bisa saja terdapat perbedaan bentuk, warna
,ukuran apalagi dengan tanaman yang berbeda jenis. Keseragaman
tergantung dari varietas tanaman, keadaan lingkungan tumbuh, ada
tidaknya hama, selain itu perbedaan tersebut dapat pula disebabkan
perbedaan genetik, fisiologis, kelainan entomologis, kelainan patologis,
kelainan mekanis dan kelainan karena perlakuan atau kesalahan saat
pemanenan dan pengolahan. Oleh sebab itu untuk mendapatkan produk
yang seragam sering dilakukan sortasi dan grading terhadap produk yang
dihasilkan.

2. Apabila Saudara pergi ke pasar/supermarket, perhatikan cara bagaimana


setiap bahan atau produk makanan itu disusun. Bagaimanakah setiap jenis
bahan itu disusun dalam beberapa kelompok, apa yang menjadi dasar
pengelompokan tersebut? Apakah setiap kelompok itu mempunyai harga
yang sama/berbeda? Jelaskan!
Jawab:
Cara bahan pangan disusun yaitu dengan dijajarkan secara teratur
dan memperhatikan prinsip FIFO (First In First Out). Setiap bahan atau
produk makanan disusun berdasarkan jenis bahan/produk tersebut, suhu
penyimpanan produk, misalnya sayuran disusun bersama sayuran lainnya,
buah-buahan dengan buah-buahan lainnya, minuman kaleng, makanan
siap saji, cake and bakery. Khusus untuk daging dan ikan segar disimpan
dalam tempat yang memiliki sushu rendah. Setiap kelompok memiliki
Galih Dwi Hardiyan
240210150029

harga yang berbeda karena memiliki kualitas yang berbeda. Kelompok


dengan kualitas tinggi tentunya memiliki harga yang lebih mahal.

3. Mengapa kita perlu memperhatikan karakteristik daging buah apel dan


kentang segar?
Jawab:
Karakteristik buah apel dan kentang harus diperhatikan karena
apel dan kentang adalah buah yang mudah mengalami kerusakan terutama
kerusakan atau perubahan warna menjadi coklat yang tidak diinginkan
karena mengalami oksidasi oleh O2. Pencokelatan pada buah ini tergolong
pada pencoklatan enzimatis, hal ini dikarenakan pada buah-buahan
umumnya banyak mengandung substrat senyawa fenolik yang dapat
berubah menjadi gugus o-kuinon yang membentuk warna coklat. Reaksi
pencoklatan ini disebabkan adanya bagian buah yang sudah mengalami
pelukaan, terpotong, diiris yang kontak dengan oksigen atau udara.
Pencoklatan yang terjadi merupakan penurunan terhadap mutu atau
kualitas dari buah, karena kenampakannya yang menjadi tidak menarik.
Pencokelatan enzimatis merupakan salah satu gejala yang dapat merugikan
konsumen karena umumnya konsumen menginginkan produk segar.

Anda mungkin juga menyukai