Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH SENI RUPA

RENAISSANCE

Dosen Pengampu: Putri Sekar Hapsari, S.Sn

Disusun oleh:
Yosafat Adi Pradipta (16150111)

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN


PRODI DESAIN INTERIOR
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Zaman Renaissance (kebangkitan kembali budaya Gracco-Roman di Italia dan Eropa)
terjadi sekitar tahun 1500, meskipun gejalanya telah muncul satu atau dua ahad sebelumnya.
Tetapi, sebagai gerakan budaya, budaya ini baru berkembang meluas pada tahun 1500. Pokok
zaman ini adalah pandangan kembali ke bumi sebagai reaksi terhadap pandangan Abad
Pertengahan yang menekankan surgawi akibat besarnya pengaruh agama.
Pada masa Renaissance muncul aliran yang menetapkan kebenaran berpusat pada
manusia, yang kemudian disebut dengan Humanisme. Aliran ini lahir disebabkan kekuasaan
gereja yang telah menafikan berbagai penemuan manusia, bahkan dengan doktrin dan
kekuasaannya, gereja telah meredam para filosof dan ilmuan yang dipandang dengan
penemuan ilmiahnya telah mengingkari kitab suci yang selama ini telah diacu oleh kaum
kristiani.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi focus
permasalahan dalam penulisan paper ini adalah:
1. Apa pengertian Renaissance?
2. Bagaimana perkembangan Renaissance di Italia?
3. Apa pengertian Humanisme?
4. Bagaimana sejarah perkembangan Humanisme?

C. Manfaat Penulisan Paper


Secara teoretis, manfaat penulisan paper ini diharapkan dapat mengungkapkan
informasi yang signifikan bagi Humanisme dan Renaissance. Oleh karena itu hasil penulisan
paper ini diharapkan dapat menemukan konsep-konsep yang bermakna bagi pengembangan
Filsafat Humanisme dan Renaissance dalam lingkungan sehari-hari. Secara praktis temuan
dalam penulisan paper ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pengembangan sejarah
Humanisme dan Renaissance dalam mempelajarinya. Manfaat penulisan paper ini antara lain
untuk mengetahui gambaran berikut:
1. Kita dapat mengetahui definisi Renaissance.
2. Kita dapat mengetahui dan memahami bagaimana perkembangan Renaissance di Italia.
3. Kita dapat mengetahui definisi Humanisme.
4. Kita dapat mengetahui dan memahami sejarah perkembangan Humanisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Renaissance
Istilah Renaissance berasal dari bahasa Perancis yang berarti kebangkitan kembali.
Oleh sejarawan, istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan berbagai periode kebangkitan
intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa. Orang yang pertama menggunakan istilah tersebut
adalah Jules Michelet, sejarawan Perancis terkenal. Menurutnya, Renaissance adalah periode
penemuan manusia dan dunia dan bukan sekedar sebagai kebangkitan kembali yang merupakan
permulaan kebangkitan modern. Bila dikaitkan dengan keadaan, Renaissance adalah masa
antara zaman pertengahan dan zaman modern yang dapat di pandang sebagai masa peralihan,
yang ditandai oleh terjadinya sejumlah kekacauan dalam bidang pemikiran. Di satu pihak
terdapat astrologi, kepercayaan yang bersangkutan dengan dunia hitam, perang-perang agama
dan sebagainya dan di lain pihak muncullah ilmu pengetahuan alam modern serta mulai
berpengaruhnya suatu perasaan hidup baru. Pada saat itu muncullah usaha-usaha penelitian
empiris yang lebih giat yang pada akhirnya memunculkan sains bentuk baru.
Awal mula dari suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari Descartes (1596-
1650 M) untuk memberikan kepada filsafat suatu bangunan yang baru. Dalam bidang filsafat,
zaman Renaissance kurang menghasilkan karya penting bila dibandingkan dengan bidang seni
dan sains. Namun, diantara perkembangan itu, terjadi pula perkembangan dalam bidang
filsafat. Descartes sering disebut sebagai tokoh pertama filsafat modern.
Pada abad pertengahan, manusia dianggap kurang dihargai sebagai manusia.
Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari gereja (Kristen), bukan menurut ukuran yang dibuat
oleh manusia. Humanisme menghendaki ukuran haruslah dibuat oleh manusia. Karena manusia
mempunyai kemampuan berpikir, Humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya
dan mengatur dunia.
Ciri utama Renaissance adalah Humanisme, individualisme, lepas dari agama (tidak
mau diatur oleh agama), empirisme dan rasionalisme. Hasil yang diperoleh dari watak itu ialah
berkembangnya pengetahuan rasional. Filsafat berkembang bukan pada zaman Renaissance,
melainkan kelak pada zaman sesudahnya (zaman modern). Sains berkembang karena semangat
dan hasil empirisme itu. Agama (Kristen) semakin ditinggalkan, karena semangat Humanisme
itu. Ini kelihatan dengan jelas kelak pada zaman modern. Rupanya, setiap gerakan pemikiran
mempunyai kecenderungan menghasilkanyang positif, tetapi sekaligus yang negatif.
Pemikiran mengenai alam pada jaman Renaissance menghasilkan tokoh-tokohnya yang
terpenting di Italia dan Jerman. Leonardo Da Vinci telah sepenuhnya mengerti, bahwa alam
hanya dapat diketahui melalui pengalaman dan bahwa bagi perusahaan ilmu alam, pengalaman
harus ditimbulkan melalui eksperimen dan dikembangkan dengan menggunakan matematika.
Da Vinci yang dengan tenang menerapkan metodenya yang menjauhi segenap filsafat alam
spekulatif, mendahului Galilei dan baru dapat diimbangi oleh Galilei. Karena hasil karya Da
Vinci tetap tidak dikenal, maka gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya tidak membawa
pengaruh terhadap rekan-rekan sesamanya dan terhadap para pemikir di kemudia hari.
Nicolaus Coper Nicus (Thorn, Polandia, 1473- Frauenburg, Prusia Timur, 1543), yang selama
beberapa waktu menuntut pelajaran di Italia, mengemukakan pendapat bahwa bukannya
matahari yang mengelilingi bumi, melainkan bumilah yang mengitari matahari. Secara
demikian bukan hanya fisika Aristoteles yang digulingkan, melainkan sekaligus dipersiapkan
suatu perubahan pemikiran mengenai hubungan antara manusia dengan alam semesta.
Tokoh pertama filsafat adalah Descartes. Dalam filsafat, kita menemukan ciri-ciri
Renaissance tersebut, yaitu menghidupkan kembali rasionalisme Yunani (Renaissance),
individualisme, Humanisme, lepas dari pengaruh agama. Sekalipun demikian, para ahli lebih
senang meyebut Descartes sebagai tokoh rasionalisme.
Ciri utama filsafat pada masa Renaissance adalah rasionalisme, yang menetapkan
bahwa kebenaran berpusat dari akal, tetapi setiap akal bergantung pada subjek yang
menggunakannya. Oleh karena itu, seorang filosof rasionalis menekankan bahwa berpikir
sebagai wujud keberadaan diri, jika seseorang berpikir berarti ia ada. Ajaran ini diperkenalkan
oleh Rene Dercartes dengan paradiga cagito ergo sum atau cagito descartes.
B. Humanisme
Humanisme, menurut Ali Syariati (1992 : 39), berkaitan dengan eksistensi manusia,
bagian dari segala sesuatu adalah kesempurnaan manusia. Aliran ini memandang bahwa
manusia adalah makhluk mulia yang semua kebutuhan pokok diperuntukkan untuk
memperbaiki spesiesnya.
Ada empat aliran yang mengklaim sebagai bagian dari humanisme, yaitu liberalisme
barat, marxisme, eksistensialisme dan agama. Liberalisme barat menyatakan diri sebagai
pewaris asli filsafat dan peradaban humanisme dalam sejarah, yang dipandang sebagi aliran
pemikiran peradaban yang dimulai dari Yunani Kuno dan mencapai puncak kematangan
kesempurnaan relatif pada Eropa modern. Teori humanisme Barat dibangun atas asas yang
sama yang dimiliki oleh mitologi Yunani Kuno bahwa antara langit dan bumi, alam dewa-dewa
dan alam manusia, terdapat pertentangan dan pertarungan, sampai-sampai muncul kebencian
dan kedengkian antara keduanya. Para dewa adalah kekuatan yang memusuhi manusia. Seluruh
perbuatan dan kesadarannya ditegakkan atas kekuasaannya yang lazim terhadap manusia yang
dibelenggu oleh kelemahan dan kebodohannya. Hal itu dilakukan karena dewa-dewa takut
menghadapi ancaman kesadaran, kebebasan, kemerdekaan dan kepemimpinan manusia atas
alam. Setiap manusia yang menempuh jalan ini dipandang telah melakukan dosa besar dan
memberontak kepda dewa-dewa. Karena pemberontakannya itu, manusia dihukum dengan
berbagai siksaan yang amat kejam.
Pada satu sisi, manusia selalu berusaha membebaskan diri dari belenggu dan tawanan
para dewa. Untuk bisa bebas dan merdeka, manusia harus bisa merebut kekuasaan para dewa
dan selanjutnya menggeser tahta mereka atas alam semesta, yang dengan begitu, manusia bisa
melepaskan nasibnya dari cengkraman para dewa zalim dan menentukan kehendaknya sendiri.
Kesalahan Barat yang paling serius yang diatasnya ditegakkan bangunan humanisme
modern- dimulai dari pandangan Politzer, dan berlanjut pada Feurbach dan Marx- ialah mereka
menganggap dunia mitologi Yunani Kuno yang bergerak di seputar jiwa yang terbatas, alami
dan fisikal dan dunia spiritual yang sakral dalam pandangan agama-agama besar Timur-
sekalipun ada perbedaan esensial antar keduanya- sebagai dunia yang sama dan
manganalogikan fenomena yang ada dalam hubungan manusia dengan Ahuramazda, Rhama,
Tao, Yesus sang Juru Selamat, dengan hubungan manusia dengan Zeus, bahkan mereka
menyatakan adanya kesamaan antara keduanya. Padahal, mereka tau bahwa kedua bentuk
hubungan tersebut sepenuhnya berbanding terbalik.
Pada mitologi Yunani Kuno terdapat Bramateus yang menghadiahkan api ketuhanan
kepada manusia, yang dicurinya dari para dewa ketika mereka sedang tidur lelap, lalu
dibawanya ke bumi. Bramateus memproleh siksaan keras akibat dosanya itu. Adapun dalam
agama-agama terdapat malaikat besar, iblis, yang kemudian diusir dan dilaknak oleh Tuhan
karena ia mengingkari perintah Allah swt dengan tidak mau bersujud kepada Adam
sebagaimana malaikat lainnya.
Kedua aliran yang bertentangan dan berasal dari satu sumber itu, mengambil bentuk
dalam borjuisme dan maxisme, yang sama-sama bermuara pada materialisme-humanisme,
baik dalam bidang kehidupan maupun akidah. Baik Pulitzer maupun Marx sama-sama menutup
mata terhadap dampak psikologis pandangannya pada diri manusia. Masyarakat borjuis dan
komunis, memperoleh hasil yang sama dalam usahanya membentuk manusia, kehidupan dan
masyarakat manusia. Borjuisme masyarakat komunis yang lebih terkemudian- yang sekarang
ini tidak memiliki pendukung- bukan terjadi secara kebetulan, asal-asalan dan tidak terkena
revisi. Sebab, semuanya berakhir pada manusia. Oleh karena itu, adalah wajar bila filsafat-
filsafat yang menjadikan manusia sebagai objeknya, bila berangkat dari titik yang sama, pasti
memperoleh hasil yang sama pula.
Eksistensialisme, mengajukan klaim lebih dari dua aliran sebelumnya, seperti yang
terlihat dalam ucapan Sartre, Eksistensialisme adalah humanisme itu sendiri. Dengan klaim
itu, otomatis eksistensialisme mempunyai hak yang lebih besar daripada dua yang disebut
terdahulu.
Adapun mazhab pemikiran yang keempat, yang jauh lebih tua dan memiliki akar lebih
dalam daripada tiga aliran yang tersebut terdahulu adalah pandangan agama tentang alam.
Mengingat semua agama menyatakan bahwa asaa dakwahnya adalah memberi petunjuk kepada
manusia menuju kebahagiaan abadi, tidak bisa tidak, ia pasti memiliki filsafat tersendiri tentang
manusia. Sebab, mustahil berbicara tentang kebahagiaan manusia, sepanjang belum dijelaskan
terlebih dahulu makna yang definitif tentang manusia. Dengan demikian, semua agama dimulai
dengan filsafat pembentukan dan perekayasaan manusia.
C. Tokoh-Tokoh Renaissance dan Humanisme
Diantara tokoh-tokoh Renaissance yang mempunyai peran yang penting dalam
Renaissance, adalah tokoh-tokoh antara lain, seperti:
1. Dante Alighiere (1265-1321)
Dante lahir pada tanggal 21 Mei 1265 di Ferenze, ia berasal dari keluarga kaya raya.
Dia pernah menjadi prajurit Firenze, yang menginginkan negaranya dapat merdeka dari
pengaruh tiga kerajaan yang lebih besar yaitu Kepausan, Spanyol dan Perancis. Dante mulai
menjadi pengkritik dan penentang otoritas moral Kepausan yang dinilainya tidak adil dan tidak
bermoral. Puncaknya ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul De Monarchia (On Monarchy)
yang menggambarkan kedudukan dan keabsahan Sri Paus sebagai pemimpin spiritual tertinggi
Gereja Khatolik, mengapa sekaligus menjadi raja dunia (Kerajaan Kepausan) yang otoriter.
Hasil karya Dante antara lain adalah La Vita Nuova (The New Life) juga berisi tentang
gambaran pertumbuhan cinta manusia. Comedia yang ditulis ketika dia berada dalam
pengasingan panjang dan Revenna. Buku ini berisi tentang perjalanan jiwa manusia yang penuh
kepedihan yang penuh kepedihan dalam perjalanan dari dunia ke alam gaib. Tokoh utamanya
adalah Virgilius (nama sastrawan dari zaman Romawi Kuno) yang setelah kematiannya harus
melewati tiga fase yaitu Inferno (neraka), Purgatoria (pembersih jiwa) dan Paradiso (surga).
2. Lorenzo Valla (1405-1457)
Lorenzo lahir di Roma pada tahun 1405 dari keluarga ahli hukum. Salah satu
ungkapannya yang sangat terkenal adalah Mengorbankan hidup demi kebenaran dan keadilan,
adalah jalan menuju kebajikan tertinggi, kehormatan tertinggi dan pada hal tertinggi. Hasil
karyanya antara lain adalah De Volupte (kesenangan) yang terbit pada tahun 1440, yang berisi
kekagumannya pada etika Stoisisme yang mengajarkan pentingnya manusia itu mati raga
(Askese) dalam rangka mendapatkan keselamatan jiwa. Buku yang berjudul De Libero Erbitrio
(keinginan bebas) yang mengatakan individualitas manusia berakar pada kebesaran dan
keuinikan manusia, khususnya kebebasan sehingga kehendak awal Sang Pencipta tidak
membatasi perbuatan bebas manusia dan tidak meniadakan peran kreatif manusia dalam
sejarahnya dan buku berjudul De Valso Credita Et Ementita Constantini Donation
Declamation, yang mengisahkan tentang donasi hadiah kepada Sri Paus oleh Kaisar
Constantinus sebenarnya adalah palsu, sebab dari sudut bahasa donasi itu jelas bukan gaya
bahasa abad ke-4 melainkan abad ke-8.
3. Niccolo Machiavelli (1469-1527)
Niccolo Machiavelli adalah filosof politik Italia, Niccolo Machiavelli lahir pada tahun
1469 di Florence, Italia. Ayahnya, seorang ahli hukum. Pada usia 29 tahun Machiavelli
memperoleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Selama 14 tahun sesudah itu dia
mengabdi kepada Republik Florentine dan terlibat dalam berbagai misi diplomatik atas
namanya, melakukan perjalanan ke Perancis, Jerman dan di dalam negeri Italia.
Hasil karyanya yang paling masyur adalah The Prince (Sang Pangeran) ditulis tahun
1513 dan The Discourses Upon The First Ten Books Of Titus Lifius (pembicaran terhadap 10
buku pertama Titus Lifius). Diantara karya-karya termasyur lainnya adalah The Art Of War
(seni berperang), A History of Forence (sejarah Forence) dan La Mandragola (suatu drama
yang bagus, kadang-kadang masih dipanggungkan orang). Tetapi karya pokoknya yang terenal
adalah The Prince (Sang Pangeran), mungkin yang paling brilian yang pernah ditulisnya dan
memang paling mudah dibaca dari semua tulisan filosofis. Machiavelli kawin dan punya enam
anak. Dia meninggal dunia tahun 1527 pada umur 58 tahun.
4. Boccacio (1313-1375)
Giovani Boccacio lahir di Certaldo, Italia tahun 1313 dari seorang pedagang yang
berasal dari Firenze. Hasil karyanya antara lain cerita epos seperti Thebaid atau Aenid, prosa
seperti Ameto, puisi seperti Amoroso Fisione dan Ninfale Fiesolan. Puncak karyanya
Decamerome, adalah karya sastra berjudul De Genealogis Dorum Gentilium (On The
Genealogi Of God) yang tersusun dalam 15 jilid.
5. Francesco Petrarca (1304-1374)
Francesco adalah seorang yang lahir pada 20 juli 1304 di Tuscan. Ia belajar hukum di
Montpellier dan melanjutkan ke Universitas Bologna. Namun, ia lebih tertarik pada seni sastra
dan seni lukis. Dia seorang humanis yang mengagumi hal-hal yang serba naturalis, polos dan
apa adanya. Salah satu ungkapan terkenalnya pada alam dituangkan dalam karya lukis yang di
beri nama Ikaros.
6. Desiderius Erasmus (1466-1536)
Erasmus lahir pada 27 Oktober 1466 di Gouda. Ibundanya bernama Margaret. Setelah
lulus dari sekolah atas ia melanjutkan ke Biara Agustin di Styn hingga menjadi Pastor
kemudian melanjutkan ke Universitas Paris.

Hasil karya Eramus dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:


a) Kelompok karya-karya Satiris dengan tujuan ingin mengungkap segala kelemahan penyakit
korup dan munafik yang melanda warga masyarakat, seperti Praise Of Folly (1509).
b) Kelompok karya bernada satiris berupa pesan moral yang diharapkan dapat memperbaiki atau
mempengaruhi mentalitas kaum Khatolik, seperti buku yang berjudul Hand Book Of The
Christian Knight (1501), The Complaint Of Peace (1517).
c) Kelompok dalam bentuk terjemahan kitab suci Perjanjian Baru berdasarkan naskah asli
Yunani, seperti Annotations On The New Testament (1505), The Prince Of The Christian
Humanists.

D. Konsep Eksistensialis tentang Manusia


Kaum radikalis yang merupakan pemikir-pemikir humanisme modern dan penganjur-
penganjurnya di Eropa abad ke 18 dan awal abad ke 19 dalam keterangan yang mereka
publikasikan pada tahun 1800 menyatakan, Singkirkan Tuhan dari kaidah moral dan gantikan
dengan kata hati, sebab manusia adalah makhluk yang mempunyai hati yang bersifat moral
bawaan. Kata hati yang bersifat moral (conscience morale) ini, menurut persepsi dan
pandangan mereka, tumbuh dari jati diri manusia, dan itulah yang dibutuhkan oleh watak dasar
manusia.
Dengan semua ini, humanisme modern yang dipandang liberalisme Barat- borjuis
sendiri sebagai sistem yang menjadi landasan bangunannya, memandang manusia sebagai
makhluk yang memiliki keutamaan moral yang abadi dan nilai mulia yang lebih luhur daripada
materi- suatu keutamaan dan nilai-nilai yang menjadi inti penting satu-satunya bagi manusia.
Bertolak dari sisi, liberalisme Barat- borjuis bersandar pada humanisme ang menjadi lawan
naturalisme dan metafisika.
Disini, humanisme sesungguhnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya dari
agama, tetapi karena semata-mata persoalan justifikasi keagamaan itu saja, cukup suda untuk
menolak agama. Humanisme menyatakan bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji,
dalam nisbatnya dengan keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa keyakinan terhadap
Tuhan.
Pada agama-agama besar Timur, manusia mempunyai hubungan kekerabatan khusus
dengan Tuhan- alam. Pada zama Zoroaster, manusia merupakan kawan dekat dengan
dukungan Ahuramazda, bahkan disebut-sebut bahwa manusia membantunya dalam
peperangan besar untuk memenangkan kebaikan melawan Manyu, si Dewa Angkara Murka
dan pasukannya.
Dalam agama-agama yang mengajarkan pantheisme logos, dengan Hinduisme pada
barisan paling depan, tuhan, manusia dan cinta, bersama-sama membangun alam semesta guna
mewujudkan alam dalam bentuknya yang baru. Dengan demikian, Tuhan dan manusia dalam
agama ini menyatu tanpa bisa dipisahkan, sebagaimana yang juga kita terlihat dalam karya-
karya para sufi besar kita.
Sekarang, kita bisa mendeskripsikan asas-asas penting mengenai generasi manusia
dalam humanisme yang telah disepakati bersama itu, sebagai berikut:
1. Manusia adalah makhluk asli. Artinya, ia mempunyai substansi yang mandiri di antara
makhluk-makhluk yang mempunyai wujud fisik dan yang gaib, dan esensi genera yang mulia
(essence generique).
2. Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas, dan ini merupakan kekuatan paling
besar yang luar biasa dan tidak bisa ditafsirkan-suatu iradah dengan pengertian bahwa manusia,
sebagai sebab awal yang mandiri, terlibat dan bekerja dalam rangkaian keterpaksaan alam
(sunnatullah), yang menjadikan masyarakat dan sejarah merupakan kelanjutan-mutlak baginya
dalam mata rantai atas. Kemerdekaan dan kebebasan memilih, adalah dua sifat ilmiah yang
merupakan ciri menonjol yang ada dalam diri manusia.
3. Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir), dan ini merupakan karakteristik-menonjolnya,
yakni sadar dalam pengertian bahwa manusia memahami realitas alam luar dengan kegiatan
berpikirnya yang menakjubkan dan merupakan suatu mukjizat, menemukan berbagai hal
yang tersembunyi dari indra, dan mampu menganalisis dan mencari sebab-sebab yang terdapat
dalam setiap fakta atau realita, tanpa terpaku pada hal-hal yang bersifat indrawi dan kausalitas,
dan menarik kesimpulan tentang akibat melalui sebab, dan seterusnya. Manusia bisa
menembus batas-batas indranya dan merentangkan zamannya pada masa lalu dan masa yang
akan datang-dua masa yang dia sendiri belum dan tidak pernah berada di dalamnya-serta dapat
menggambarkan secara tepat, luas dan teliti tentang lingkungannya.
4. Meminjam istilah Pascal, Manusia sebenarnya tidak pernah menjadi sesuatu yang lain,
kecuali seonggok daging yang tidak berarti, dan sekadar virus kecil saja tidak cukup untuk
mematikannya. Akan tetapi, kalau semua makhluk yang ada di muka bumi ini berusaha untuk
mematikannya, ternyata dia lebih perkasa dari mereka. Kalau benda-benda yang ada di alam
ini diancam oleh manusia, mereka tidak menyadari ancaman tersebut, tetapi bila hal itu
dilakukan terhadap manusia, dia menyadarinya. Artinya, kesadaran adalah esensi yang lebih
tinggi ketimbang eksistensi.
5. Manusia adalah mahluk yang sadar akan dirinya sendiri. Artinya, dia adalah makhluk hidup
satu-satunya yang memiliki pengetahuan budaya dalam nisbatnya dengan dirinya. Ini
memungkinkan manusia untuk mempelajari dirinya sendiri sebagai objek yang terpisah dari
dirinya:menarik hubungan sebab-akibat, menganalisis, mendefinisikan, memberi penilaian,
dan akhirnya mengubah dirinya sendiri. Tweiny, seorang filosof sejarah yang besar pada masa
ini, mengatakan Peradaban manusia dewasa ini, telah sampai pada tingkat puncak
kesempurnaan sejarahnya. Sebab, peradaban masa modern sekarang inilah satu-satunya,
peradaban manusia yang tau bahwa manusia menuju pada kehancurannya.
6. Manusia adalah makhluk kreatif. Kreativitas yang menyatu dengan perbuatannya ini,
menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya sebagai makhluk sempurna di depan alam
dan di hadapan Tuhan. Kreativitas inilah yang menjadikan manusia memiliki kekuatan luar
biasa yang memungkinkan dirinya menembus batas-batas fisik dan kemampuannya yang
sangat terbatas, dan memberinya capaian-capaian besar dan tidak terbatas yang tidak bisa
dinikmati oleh benda-benda alam lainnya.
Manusia dianugerahi jiwa yang kuat yang terdapat di dalam alam, agar dengan itu, dia bisa
membuat segala sesuatu yang diinginkannya yang tidak terdapat dalam alam. Dengan
kekuataan kreativitasnya itu, manusia menciptakan peralatan pada tahap awal dan teknologi
pada tahap berikutnya.
7. Manusia adalah makhluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal, dalam
arti dia tidak akan menyerah dan menerima apa yang ada, tetapi selalu berusaha
mengubahnya menjadi apa yang semestinya. Itulah sebabnya, manusia selamanya
berteknologi, dan karena itu pula, dia memandang bahwa dirinya makhluk satu-satunya yang
bisa membentuk lingkungan , dan bukan lingkungan yang membentuk dirinya. Dengan kata
lain, manusia selamanya memberlakukan keyakinannya atas hal-hal yang nyata. Dengan
kualitas ini, manusia tidak saja terus menuju kesempurnaan dan pergerakan, tetapi, berbeda
dengan makhluk-makhluk hidup lainnya, dia menegaskan bahwa dirinyalah yang
menggerakkan jalan menuju kesempurnaannya. Dia mempunyai preseden untuk itu.
8. Manusia adalah makhluk moral, dan pada bagian ini, tibalah kita pada pengkajian penting
tentang nilai-nilai (values). Nilai-nilai adalah ungkapan tentang hubungan manusia dengan
salah satu fenomena, cara, kerja, atau kondisi, yang di dalamnya terdapat motif yang lebih luhur
dari pada keuntungan (utilite). Itulah sebabnya, kita bisa menyebutnya sebagai jenis hubungan
sakral yang memukau.
Kemuliaan dan ibadah, pada batas ketika manusia, dalam hubungan ini, menyadari
bahwa harta yang namanya pengorbanan diri dan kehidupannya pun mempunyai justifikasi.
Akan tetapi, manusia dituntut untuk semakin berpihak ketika menghadapi kenyataan
bahwa justifikasi disini tidak mungkin selamanya berupa justifikasi natural, rasional dan ilmiah
dan pada saat yang sama, kesadaran ini mungkin jadi sumber diterimanya seluruh agama dan
kebudayaan di sepanjang sejarah, karena dianggap sebagai fenomena tertinggi bagi eksistensi
genera manusia. Ia menciptakan modal paling berharga, kebanggan paling tinggi, kecintaan
dan kehormatan paling mulia dalam peradaban manusia yang besar.
Marx, dengan bangga, menyebut ulang analisis ilmiah yang digunakannya di sini demi
memelihara kehormatan manusia, yaitu bahwa dia menganggap manusia sebagaimana
anggapan kaum materialis natural lainnya sebagai sesuatu yang fisikal dan tetap yang
berubah mengikuti dialektika historis.
Melalui pemikiran itu, Marx memindahkan manusia dari alam fisik ke sejarah.
Akan tetapi, manusia dalam peningkatan posisi ini, tetap tidak menemukan kemuliaan
esensial apapun. Sebab, sejarah mengikuti pendapat Marx juga merupakan lanjutan dari
gerakan fisik dan materi. Dengan begitu, dalam posisi kesejahteraannnya pun, manusia akan
kembali dalam analisis akhir pada naturalisme aplikatifnya kaum naturalis, yang
dikembalikan ke sini dengan meminjam tangan dialektika materialisme.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai asli (bawaan) dalam alam fisik. Ia
memiliki esensi yang khas, yaitu merupakan makhluk atau fenomena kekecualian dan mulia.
Sebab, dia mempunyai kehendak, dan berada dalam alam sebagai penyebab yang mandiri.
Manusia mempunyai kemampuan menentukan pilihan dan menciptakan masa depannya
sebagai usaha menentang nasib yang ditentukan oleh alam. Semua kemampuan ini
membebankan kewajiban dan tanggung jawab kepadanya dan hal-hal seperti ini tidak akan
berarti bila diimbangi dengan nilai-nilai.
Manusia menyadari bahwa ia hidup di dunia dan harus menguasai dunia setelah
memahaminya. Begitu pula, manusia harus memahami siapa dirinya. Semua itu dapat dicapai
apabila manusia mengadakan observasi dan penelitian dengan analisis logis terhadap berbagai
kenyataan duniawi.
Bentuk ekonomi kapitalis sudah dikenal jauh sebelum abad ke 17 dan juga diluar Eropa.
Kota-kota pelabuhan dilaut tengah dan kota-kota besar lainnya di Asia dan Eropa mengenal
bentuk-bentuk perdagangan yang mirip kapitalisme. Pascarenaissance adalah abad
industrialisasi dan kekuatan modernitas yang tinggi.
Kapitalisme dalam arti khas, sebagai suatu sistem ekonomi yang merevolusikan
perekonomian dunia, lahir di Eropa Barat dan Utara (Inggris, Belanda, Belgia, Perancis) dalam
abad ke 17. Hakikat kapitalisme ialah bahwa tujuan produksi bukanlah konsumsi pihak yang
berproduksi, melainkan penambahan modal. Selama produksi ekonomis pada hakikatnya
dijalankan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, baik secara langsung, melalui perdagangan,
kuantitas dan kualitas produksi masih mengenal batas alamiah, tidak masuk akal untuk
berproduksi melebihi kebutuhan maksimal. Batas alamiah bagi rasionalitas produksi itu hilang
dalam kapitalisme baru karena tujuannya adalah modal, sedangkan modal dapat
diakumulasikan tanpa batas dan makin kuat landasan moral sebuah perusahaan, makin kuat
kedudukannya dalam proses ekonomis. Dengan demikian, berbeda dengan sistem produksi
prakapitalis, kapitalisme secara hakiki bersifat dinamis, berusaha untuk memperluas prodeksi,
untuk semakin menguasai pasaran.
Penemuan-penemuan teknologi modern, mulai dengan penemuan mesin uap oleh
James Watt, menyediakan sarana-sarana teknis untuk memperluas jangkauan produksi secara
dramatis karena tidak lagi terbatas oleh kekuatan fisik manusia, kuda, sapi, gajah dan anjing.
Teknik sendiri tidak lepas dari kemajuan ilmu-ilmu alam, terutama ilmu kimia, fisika dan
kemudian ilmu hayat. Dalam abad ini, dinamika produksi kapitalis menciptakan suatu ilmu
baru, yaitu teknologi yang tidak lagi meneliti alam demi pengetahuan yang diperoleh,
melainkan demi penerapan pengetahuan itu bagi produksi industrial. Oleh karena itu,
perusahaan-perusahaan besar zaman sekarang semua melibatkan diri dalam penelitian menurut
ilmu-ilmu alam.
Dengan subjektivitas modern dimaksud bahwa manusia, dalam memandang alam,
sesama dan Tuhan, mengacu pada dirinya sendiri. Manusia adalah subjek yang tidak sekedar
hadir dalam dunia, melainkan hadir dengan sadar, dengan berpikir, dengan berefleksi, dengan
mengambil jarak, secar kritis, dengan bebas.
Subjektivitas modern itu mempunyai beberapa segi:
1. Subjektivitas modern bertolak dari suatu perubahan perspektif manusia yang fundamental. Cara
memandang para filosof Yunani bersifat kosmosentris. Artinya mereka mencari dasar realitas
dalam unsur-unsur kosmos atau alam raya. Misalnya ada yang berpendapat bahwa dasar realitas
terdiri dari empat unsur: tanah, air, udara dan api (pandangan yang masih dapat kita temukan
dalam Wirid Hidayat Jati). Ada pula yang memahami realitas sebagai ungkapan angka-angka
(Phytagoras). Dalam abad pertengahan, pandangan kosmosentris disingkirkan oleh pandangan
Theosentris, semuanya dilihat dari segi Allah swt. Manusia memahami diri sebagai salah satu
unsur, meskipun yang tertinggi, dalam ordo atau tatanan hierarkis alam semesta yang
diciptakan Allah swt.
Pandangan Theosentris itu mulai didesak ke samping oleh pandangan antroposentris dalam
masa Renaissance yang lahir di Italia dalam abad ke 14. Renaissance merupakan bantinga
terhadap perspektif kebudayaan di Barat yang sama kerasnya dengan bantingan gambaran
sistem planit tradisional oleh Copernicus. Renaissance menemukan serta menghargai kembali
kebudayaan pakristiani Yunani dan Romawi, tetapi tidak dengan masuk kembali ke alam
kosmosentris mereka. Bagi Renaissance, alam Yunani dan Romawi membuka pandangan
mereka tentang manusia.
2. Langkah berikut dalam drama perkembangan manusia modern dapat dipahami sebagai
jawaban dialektis terhadap Humanisme Renaissance, yaitu subjektivitas religius yang
mendapat ungkapannya dalam reformasi Kristen Protestan, terutama aliran Martin Luther.
Renaissance bersifat ekstrovert, terbuka bagi yang duniawi, memang sangat duniawi, bahkan
bagi orang-orang introvert di Eropa Utara Humanisme di Italia itu bersifat kekafir-kafiran.
Lebih mengherankan lagi bahwa dukungan kuat bagi Humanisme itu datang bukan hanya dari
para pangeran duniawi di kota-kota kaya, seperti Firense, Genova dan Venesia, melainkan juga
dari para pemimpin rohani gereja Khatolik, para uskup dan terutama para Paus di Roma.
Selama abad ke 15 sampai ke 17, para Paus menjadi dukungan kebudayaan, seni dan ilmu
pengetahuan yang kuat sebagaimana dengan mudah dapat dilihat kalau kita berjalan-jalan di
Roma. Martin Luther adalah seorang bekas biarawan dan teolog dari Jerman Tengah. Melawan
pemimpin gereja dan para pengusaha dunia Luther mempermaklumkan kekabasan orang
Kristen, artinya hak untuk tidak memercayai sesuatu yang bertentangan dengan suara hatnya.
Pada tahun 1521, di hadapan kaisar dan para pangeran Jerman, ia disuruh untuk menarik
kembali ajarannya dan ia menjawab dengan kata-kata termasyhur:Di sinilah aku berdiri dan
tidak dapat lain!.
Kata Aku dalam ucapan ini adalah kunci bagi pengertian subjektivitas manusia modern.
Walaupun Luther tampaknya menentang keduniaan dan antroposentrisme Renaissance yang
bersifat Eropa Selatan dan Katholik, sebenarnya ia justru memantapkan antroposentrisme itu,
kesadaran hati religius menjadi ukuran dan dasar kepercayaan seseorang. Manusia tidak dapat
dipaksa untuk memercayai sesuatu. Bagi Luther, keyakinan itu terungkap dalam tuntutan
bahwa setiap orang Kristiani berhak untuk membaca kitab suci serta untuk memahaminya
sendiri. Tafsiran arti kitab suci bukan lagi hak para pimpinan gereja, melainkan hak bagi setiap
orang Kristiani untuk membaca, merenungkan dan mengartikan kitab suci sendiri.
3. Keyakinan akan hak manusia untuk mengikuti kepercayaan yang diyakininya, ditampung dan
diuniversalisasikan secara etis oleh Immanuel Kant (1724-1804). Kant membedakan antara
moralitas dan legalitas. Sikap moral yang sebenarnya tidak lagi dapat diukur apakah seseorang
melakukan tindakan yang menurut norma-norma moral harus dilakukannya, melainkan
bergantung pada motivasi.
Seseorang dapat bertindak sesuai dengan kewajibannya semata-mata karena hal ini
menguntungkan, misalnya karena ia akan dipuji dan dipercayai dan dianggap orang baik. Sikap
itu tidak lebih dari legalitas semata-mata, suatu kesesuaian lahirilah antara tindakan dan
hukum. Moralitas, atau sikap moral terpuji, harus terletak di dalam hati. Orang hanya bersikap
baik dalam arti moral apabila ia bertindak sesuai dengan kewajibannya. Karena mau
menghormati kewajibannya, ia lepas dari segala pertimbangan untung-rugi.
4. Dalam bidang filsafat politik, perhatian pada subjektivitas manusia menghasilkan
individualisme dan penghargaan tinggi terhadap kebebasan individu. Paham hak-hak asasi
manusia, terutama yang bersifat kebebasan liberal dan hak demokratis, mengungkapkan
kesadaran itu. Dalam filsafat politik, kesadaran itu terwujud dalam teori tentang perjanjian
negara. Itulah anggapan bahwa negara berasal dari suatu perjanjian antara individu-individu
yang sebelumnya belum bernegara. Mereka bersama-sama menciptakan negara untuk
memecahkan masalah-masalah di antara mereka dengan lebih baik. Jelas bahwa ajaran
perjanjian negara melawan semua paham yang hendak menempatkan nilai manusia konkret di
bawah kepentingan negara. Negara adalah demi manusia dan bukan manusia demi negara.
5. Dalam filsafat pada umumnya subjektivitas modern menempatkan akan manusia pada pusat
perhatiannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara etimologi, renaissance berarti kelahiran kembali atau kebangkitan kembali. Dari
bahasa Perancis re (lagi, kembali) naissance (kelahiran), sedangkan dalam bahasa latin
nascentia, nascor, natus (kelahiran, lahir, dilahirkan), kelahiran kembali ini disebut juga
dengan zama pencerahan (Auflarung). Begitu juga pencerahan kembali mengandung arti
munculnya kesadaran baru manusia terhadap dirinya (yang selama ini dikunkung di gereja).
Manusia menyadari bahwa dialah yang menjadi pusat dunianya (vaber mundi) bukan lagi
sebagai objek dunianya (fitiator) sedangkan itilah ini menunjukkan suatu gerakan yang
meliputi suatu zaman dimana orang merasa dilahirkan kembali dalam keadaban.
2. Humanisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa manusia dapat memahami dunia serta
keseluruhan realita dengan menggunakan pengalaman dan nilai-nilai kemanusiaan bersama.
Kita bisa hidup baik tanpa agama sekalipun. Para humanis berusaha menciptakan yang terbaik
bagi kehidupan dengan menciptakan makna dan tujuan bagi diri sendiri, tokoh besar dari
humanisme adalah Erasmus dari Rotterdam, yang pernah bersahabat dengan Marthin Luther.
3. Jadi, humanisme dan renaissance adalah kesatuan yang saling pengaruh mempengaruhi secara
bersama-sama. Humanisme merupakan sebuah ideologi yang menentang dogma-dogma pada
Abad Pertengahan yang melatarbelakangi dan memengaruhi Renaissance. Karena Renaissance
merupakan era waktu, maka dapatlah dikatakan bahwa Humanisme berada dalam Renaissance.

B. Saran
1. Sebagai Mahasiswa hendaknya kita memahami tentang Filsafat Renaissance dan Humanisme
dan perkembangannya.
2. Sebaliknya kita bisa memilah faham atau dogmatis yang bermanfaat dan yang berbahaya bagi
kita sebagai insan yang beragama.
C. Daftar Pustaka
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia. 2008). Hal.
339-340

Bernard Delfgaaw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, (Banten: Tiara Wacana Yogya. 1992). Hal. 104
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, . . . Hal. 341-354

Jalako S. Summadjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB. 1994). Hal. 291


Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, . . . Hal. 355-360

Anda mungkin juga menyukai