Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut WHO(World Health Organization), rumah sakit adalah

bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi

menyediakan pelayanan paripurna komprehensif, penyembuhan penyakit

kuratifdan pencegahanpenyakitpreventif kepadamasyarakat.


Rumah Sakit adalah sebagai tempat berkumpulnya orang sakit atau

orang sehat yang dapat menjadi sumber penularan penyakit dan pencemaran

lingkungan (gangguan kesehatan), maka untuk mengatasi kemungkinan

dampak negatif yang ditimbulkan dari institusi pelayanan kesehatan

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2004)


Selain dapat menimbulkan pencemaran, rumah sakit juga dapat

menjadi tempat penularan penyakit yang disebut Healthcare Assosiated

Infections (HAIs). Penularan penyakit tersebut terjadi karena pengunjung atau

pasien yang berkunjung ke rumah sakit terinfeksi oleh kuman yang terdapat di

lingkungan rumah sakit. Oleh karena itu unsur-unsur penunjang proses

pelayanan rumah sakit perlu dikelola dengan sungguh-sungguh diantaranya

adalah aspek sanitasi kesehatan lingkungan.

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, dinyatakan bahwa

Rumah Sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya

orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan
2

penyakit serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan

gangguan kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2004)

Menurut (WHO, 2005), vektor adalah serangga atau hewan lain yang

biasanya membawa kuman penyakit yang merupakan suatu risiko bagi

kesehatan masyarakat. Sedangkan menurut (Kemenkes RI, 2010) Vektor

merupakan Arthopoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi

sumber penularan penyakit pada manusia. Vektor penyakit merupakan

Arthopoda yang berperan sebagai penular penyakit sehingga dikenal sebagai

Arthopoda borne diseases atau sering juga disebut sebagai Vector borne

diseases yang merupakan penyakit yang penting dan sering kali bersifat

endemis maupun epidemis dan menimbulkan bahaya bagi kesehatan sampai

kematian.

Indonesia terdapat berbagai macam jenis vektor yaitu, nyamuk, lalat,

kecoa dan sebagainya. Kecoa adalah salah satu vektor yang dapat

menimbulkan atau menularkan berbagai macam penyakit dan jenis kecoa yang

banyak ditemukan di lingkungan pemukiman Indonesia adalah kecoa

periplaneta americana dan germanica, dua kecoa ini merupakan salah satu

serangga rumah yang sering menganggu kenyamanan hidup manusia bahkan

dapat menggangu kesehatan manusia, serangga ini dikatakan penganggu

karena meninggalkan bau yang tidak sedap, menyebarkan berbagai patogen

penyakit, menimbulkan alergi, mengotori dinding, buku, dan perkakas rumah

tangga (Depkes, 2012).


3

Dalamtubuhkecoapernahditemukanlebihdari40mikroorganisme,

sepertiPastreulla pestis, Shigella dysentriae, Microbacterium tuberculosis,

Salmonella typhosadan lain sebagainya. Di tubuh kecoa juga terdapat

beberapa telur cacing nematoda sepertiAscaris lumbricoides. Kecoa juga

diduga dapat berperan sebagai hospes perantara dariHymenolepis

nanadanMonniliformis monilacormis. Menurut penelitian di laboratorium,

dalamtubuhkecoajuga pernahditemukanjenisvirussepertiviruspolio.Pada

tinjakecoajugaterdapat zatzatkarsinogeniksepertikynurenic,xanturenic,

dan8hydroxyquinaldicacids sehinggajikamakananmanusiaterkontaminasi

dengantinjakecoamakadapat membahayakankesehatanorangorangyang

mengkonsumsinya(Mullins,DE&Cochran,1973)

Untuk pengelolaan pengendalian serangga dan binatang penganggu di

Rumah Sakit telah dilakukan upaya-upaya pengendalian dengan insect

proofing, pemasangan umpan, pembunuhan secara mekanik, dan edukasi

tentang pencegahan atau pengendalian serangga kepada para petugas maupun

kepada penunggu dan keluarga pasien. Namun demikian masih dijumpai

masalah gangguan kecoa di Instalasi Gizi Rumah Sakit Dr. Sardjito yaitu

masih ditemukannya 125 ekor kecoa.

Di Instalasi Gizi seharusnya tidak boleh ada 1 ekor kecoa atau harus

bebas dari kecoa. Padahal di Instalasi Gizi seharusnya bebas dari keberadaan

kecoa, karena dengan adanya kecoa dapat menimbulkan bau yang tidak enak,

dapat menjadi vector mekanis, dapat menularkan virus dan bakteria seperti

Poliovirus, Salmonella dan Clostridia.


4

Di Instalasi Gizi sudah dilakukan usaha pengendalian kecoa antara

lain: menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada pagi dan sore hari

sehingga diharapkan tidak ada lagi sisa kotoran yang bisa menjadi sumber

makanan kecoa, menyiram saluran pembuangan limbah cair dengan air

panas agar bisa melarutkan lemak yang bisa menjadi sumber nutrisi kecoa,

pemasangan strimin/kassa untuk menghalangi jalan keluar masuk kecoa,

dilakukan fogging baik sesuai jadwal pengendalian atau kasus yang

mendesak sehingga diharapkan dapat mengendalikan kecoa dengan tuntas.

Akan tetapi usaha tersebut belum bisa menyelesaikan permasalahan

adanya kecoa di Instalasi Gizi RSUP Dr. Sardjito, pengendalain dengan fisik

hanya bisa membunuh kecoa dengan jumlah yang kecil, penyemproten

dengan insektisida memang yang paling baik diantara tindakan yang ada.

Namun demikian penyemprotan tidak boleh dilakukan terus menerus sebab

bisa menyebabkan resisten. Kecoa yang terpapar insektisida akan mati,

sedang yang terpapar tidak optimal bisa menjadi resisten. Belum lagi bahwa

kecoa masih mempunyai telur yang disimpan disarang yang sulit terjangkau

bahan insektisida akan segera menetas dan menjadi kecoa baru, yang akan

mempunyai ketahanan tubuh yang lebih baik dari generasi sebelumnya.

Blattanex Gel 2,15 adalah insektisida racun perut, berbentuk gel

berwarna putih untuk mengendalikan kecoa dengan sistem umpan (baiting

system) (Products, 2015). Blattanex Gel merupakan salah satu insektisida

yang berbahan aktif Imidakloprid 2,15% yang diformulasi dengan teknologi

terbaru dan bekerja dengan cara yang unik sehingga merupakan pilihan tepat
5

dalam pengendalian kecoa. Imidacloprid adalah insektisida sistemik yang

bertindak sebagai neurotoksin serangga dan termasuk dalam kelas bahan

kimia yang disebut neonicotinoid yang bekerja pada sistem saraf pusat

serangga, dengan toksisitas jauh lebih rendah pada mamalia. Bahan kimia

bekerja dengan mengganggu transmisi rangsangan pada sistem saraf

serangga. Secara khusus, hal itu menyebabkan penyumbatan jalur neuron

nikotinergik dengan menghalangi reseptor asetilkolin nikotin, imidacloprid

mencegah asetilkolin mentransmisikan impuls di antara saraf,

mengakibatkan kelumpuhan serangga dan kematian akhirnya.

Hal ini efektif pada kontak dan melalui tindakan lambung. Karena

imidacloprid mengikat jauh lebih kuat untuk serangga reseptor neuron

daripada reseptor neuron mamalia, insektisida ini lebih beracun bagi

serangga daripada mamalia.

Sedangkan Insektisida Maxforce Forte 0.3 % merupakan racun kontak

dan lambung berbentuk gel (semi padat dan cair) berwarna coklat muda,

untuk mengendalikan kecoa Blattella germanica dan Periplaneta

americana dengan sistem pengumpanan pada area dapur restaurant, kantin,

rumah tinggal, pabrik makanan, catering dan lain-lain. Mudah

pengaplikasiannya, mampu bertahan minimal 1 bulan selama umpan yang

terpasang masih bersisa, mempunyai cascade efect berupa kecoa mati

karena memakan temannya yang mati, berbahan aktif Fipronil 0,05 %,

bahan aktif Fipronil adalah insektisida spektrum luas yang termasuk dalam

keluarga kimia phenylpyrazole. Fipronil mengganggu sistem saraf pusat


6

serangga dengan cara memblokir saluran klorida GABA dan saluran klorida

glutamat (GluCl) . Hal ini menyebabkan hipereksitasi saraf dan otot

serangga yang terkontaminasi.

Maka disini diperlukan upaya pengedalian yang lebih efektif dan

efisien. Salah satu cara yang dapat ditempuh ialah menggunakan Blattanex

Gel sebagai umpan siap saji yang disukai oleh kecoa, sehingga kecoa

terangsang untuk datang dan makan sehingga mati, dapat membunuh secara

kanibal/massal, tidak berbau, mudah dipasang, lekat pada tempat

pemasangan tapi tidak menimbulkan noda, ekonomis dan dapat

mengendalikan hingga 1 bulan dalam satu tindakan.

B. Rumusan Masalah

Apakah Ada Pengaruh Penggunaan Penggunaan Blattanex Gel 2,15 % Dan

Maxforce Forte 0.3 % Terhadap Populasi Kecoa Di Instalasi Gizi RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Pengendalian kecoa di Instalasi Gizi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya keberadaan Kecoa sebelum dan sesudah penggunaan

Blattanex Gel.

b. Diketahuinya keefektifan insektisida blattanex gel 2,15 % dan

maxforce forte 0.3 % untuk pengendalian kecoa.


7

D. Ruang Lingkup

1. Ruang Lingkup Materi

Materi penelitian adalah lingkup Kesehatan Lingkungan khususnya

pengendalian Kecoa

2. Ruang Lingkup Kecoa.

Obyek penelitian difokuskan pada Instalasi Gizi yang pada saat ini masih

mengalami gangguan kecoa.

3. Ruang Lingkup Tempat.

Tempat penelitian adalah Instalasi Gizi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

4. Ruang Lingkup Waktu.

Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan Desember 2017 sampai

dengan Januari 2018.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit

a. Bahan masukan bagi pengelola RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

b. Mempermudah petugas sanitarian RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

dalam pengendalian kecoa.

2. Bagi Pengguna Instalasi Gizi RSUP Dr. Sardjito

a. Memberikan rasa aman dan nyaman bagi petugas gizi maupun

rekanan.

3. Bagi Petugas Instalasi Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit.

a. Mengurangi kontak dengan bahan-bahan kimia.


8

b. Merasa nyaman berkurangnya kecoa.

4. Bagi Peneliti.

a. Menambah ilmu dan pengetuhuan tentang Pengendalian Kecoa.

b. Menambah pengalaman tentang menyusun skripsi.

F. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Eksperimen yang belum pernah diteliti

sebelumnya namun ada beberapa penelitian yang terkait seperti :


1. Fauzi, Sulistiyani, & Hestiningsih (2014) , meneliti tentang Uji

Efektifitas Bakteri Simbion Lamunenhalus Sp. Sebagai Bioinsektisida

Pada Kecoa Blatella Germanica Di Laboratorium FKM UNDIP

Semarang tahun 2014. Penelitian ini mengetahui daya bunuh dari

ekstraksi bakteri lamun Enhalus sp. terhadap kecoa Blatella

Germanica. Hasil penelitian ini Kematian kecoa Blatella germanica

karena pemaparan ekstrak bakteri simbion lamun Enhalus sp. terendah

terdapat pada konsentrasi 70% dengan rata-rata kematian 2,3 atau

(11,5%) dan kematian tertinggi terdapat pada konsentrasi 90% dengan

rata-rata kematian 18,3 atau (91,5%). Berbeda dengan penelitian ini

yang akan dilakukan pengujian Penggunaan Insektisida Blattanex Gell

Terhadap Pengendalian Kecoa Di Instaslisi Gizi RSUP DR. Sardjito,

Yogyakarta.
2. Bestari, Rahayu, & Hariani (2014), meneliti tentang Efektivitas

Beberapa Insektisida Aerosol Terhadap Kecoak Blattella germanica

(L.) (Dictyoptera; Blattellidae) Strain VCRU-WHO, GFA-JKT DAN


9

PLZ-PDG Dengan Metode Semprot Universitas Andalas Tahun 2014.

Hasil penelitian ini penelitian ini menunjukan bahwa Insektisida yang

efektif melumpuhkan kecoak jermanica strain PLZPDG adalah HtWS

dan RdWS (kriteria efektif, lumpuh dalam waktu 20 menit). Berbeda

dengan penelitian ini yang akan dilakukan pengujian Penggunaan

Insektisida Blattanex Gell Terhadap Pengendalian Kecoa Di Instaslisi

Gizi RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta.


3. Madona, Rahayu, & Hariani (2015), meneliti tentang Efektivitas

Insektisida Komersial Terhadap Kecoak Jerman (Blattella Germanica

L.) Strain VCRU-WHO, GFA-JKT dan PLZ-PDG dengan Metode

Kontak (Glass Jar) Universitas Andalas 2015. Hasil penelitian ini

menunjukan Insektisida yang efektif melumpuhkan kecoak Jerman

strain PLZPDG adalah ByWS, HtWS dan VpWS (kriteria efektif,

lumpuh dalam waktu 20 menit). Berbeda dengan penelitian ini yang

akan dilakukan pengujian Penggunaan Insektisida Blattanex Gell

Terhadap Pengendalian Kecoa Di Instalasi Gizi RSUP DR. Sardjito,

Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai