Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era
sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan
dan mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian
kemerdekaan menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan
jamannya. Kondisi dan tuntutan yang berbeda tersebut ditanggapi oleh
Bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilainilai perjuangan bangsa yang
senantiasa tumbuh dan berkembang. Kesamaan nilainilai ini dilandasi oleh
jiwa, tekad, dan semangat kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh menjadi
kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan
RepublikIndonesia dalam wadah Nusantara.
Semangat perjuangan bangsa yang telah ditunjukkan pada
kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersebut dilandasi oleh keimanan serta
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan keikhlasan untuk berkorban.
Landasan perjuangan tersebut merupakan nilainilai perjuangan Bangsa
Indonesia. Semangat inilah yang harus dimiliki oleh setiap warga negara
Republik Indonesia. Selain itu nilainilai perjuangan bangsa masih relevan
dalam memecahkan setiap permasalahan dalam bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara serta terbukti keandalannya.
Secara resmi, Pancasila diterapkan sebagai dasar negara yang
didokumentasikan beberapa kali karena berbagai dinamika politik dan
kebangsaan di usianya yang belia. Rumusan Pertama Piagam Jakarta (Jakarta
Charter) pada tanggal 22 Juni 1945. Rumusan kedua di dalam Pembukaan
UUD 18 Agustus 1945. Rumusan ketiga di dalam Mukaddimah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat tanggal 27 Desember 1949. Rumusan keempat di
dalam Mukaddimah Undang Undang Dasar Sementara tanggal 15 Agustus
1950. Dan rumusan kelima, rumusan kedua yang dijiwai oleh rumusan
pertama Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Perjalanan Pancasila sebagai dasar
negara tak pernah sepi dari berbagai ancaman dan penyimpangan. Di masa

1
Soekarno misalnya, Pancasila dibuntuti oleh kelompok komunis yang hendak
mengganti dasar negara tanpa Tuhan (negara komunis). Haluan politik
Soekarno yang lebih condong ke Soviet pada waktu itu, menjadi jembatan
emas kelompok-kelompok komunis untuk melegitimasi aksi-aksinya.
Termasuk juga dugaan adanya campur tangan intelijen Amerika Serikat yang
memang tidak senang dengan haluan politik antikolonial Soekarno, yang
notabenenya merupakan sekutu Amerika merupakan negeri-negeri penjajah.
Pancasila dijadikan korban, termasuk Soekarno sebagai Presiden RI pada
waktu itu berupaya mendrive Pancasila untuk kepentingan politiknya. Inilah
sejarah awal suramnya perjalanan Pancasila yang telah dirumuskan melalui
perdebatan marathon dan alot sebagai buah pemikiran founding father
bangsa. Bahkan Soekarno secara akomodatif namun penuh muatan politik,
menggagas konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis), adalah
sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Tetapi nilainilai perjuangan itu kini telah mengalami pasang surut
sesuai dengan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Semangat perjuangan bangsa telah mengalami penurunan pada titik yang
kritis. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh globalisasi. Globalisasi
ditandai oleh kuatnya pengaruh lembagalembaga kemasyarakatan
internasional, negaranegara maju yang ikut mengatur percaturan politik,
ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan global. Disamping
itu, isu global yang meliputi demokratisasi, hak asasi manusia, dan
lingkungan hidup turut pula mempengaruhi keadaan nasional. Globalisasi
juga ditandai oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya dibidang informasi, komunikasi, dan transportasi. Hingga
membuat dunia menjadi transparan seolaholah menjadi sebuah kampung
tanpa mengenal batas negara.
Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena
kehidupan manusia. Tetapi pada umumnya meliputi arena ekonomi, politik,
dan budaya. Pada arena ekonomi mempengaruhi dimensi perdagangan,
produksi, investasi, ideologi organisasi, pasar uang, dan pasar kerja. Pada

2
arena politik mempengaruhi kedaulatan negara, fokus pemecahan masalah,
organisasi internasional, hubungan internasional, dan politik budaya. Pada
arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape),
lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap
persantaian (leisurescape).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana relevansi Pancasila sebagai ideologi bangsa di era reformasi
dan globalisasi?
2. Bagaimana penyelesaian masalah mengenai relevansi Pancasila sebagai
ideologi bangsa di era reformasi dan globalisasi?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Relevansi Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Di Era Reformasi dan


Globalisasi
Reformasi di Indonesia telah banyak melahirkan perubahan-
perubahan signifikan yang terjadi dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik
bahkan dalam dunia pendidikan. Masyarakat meyakini bahwa perubahan
yang terjadi membawa nilai-nilai sebagai upaya untuk membawa bangsa
Indonesia ke arah yang lebih baik. Ketika reformasi berjalan begitu cepat,
paradigma masyarakat juga begitu cepat meyakini nilai-nilai baru yang
berkembang ditengah masyarakat sebagai pengganti nilai-nilai lama. Namun
tidak ada upaya penakaran yang obyektif apakah nilai-nilai lama tersebut
dianggap usang dan perlu dinegasikan. Sementara nilai-nilai baru tersebut
juga tidak ada yang mampu menjustifikasi sebagai nilai-nilai yang harus
dipegang. Salah satu perubahan nilai yang signifikan adalah kasus
radikalisme dan pemahaman ideologi masyarakat yang tidak lagi
menempatkan Pancasila sebagai dasar tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah ideologi Pancasila
masih relevan untuk era reformasi saat ini mengingat dari berbagai aspek
kehidupan telah terjadi perubahan yang amat besar jika dibandingakan
dengan masa dahulu saat Pancasila disusun dan ditetapkan sebagai ideologi
dan dasar Negara. Apakah ideologi semacam Pancasila dan Wawasan
Kebangsaan masih relevan di era globalisasi dan demokratisasi yang nyaris
tanpa batas dewasa ini? Dalam lingkungan strategis baik nasional, regional,
maupun global yang begitu cepat berubah, membuat ideologi Pancasila dan
Wawasan Kebangsaanjika tidak diaktualisasikan dalam kondisi kekinian
semakin sulit dan marjinal dalam menghadapi lingkungan strategis yang
selalu berubah. Prof. Dr. Azyumardi Azra, dalam Jurnal Negarawan, Tahun
2007 memaparkan ada beberapa latar belakang yang menyebabkan ideologi

4
Pancasila dan Wawasan Kebangsaan semakin marjinal dalam kehidupan
kebangsaan dewasa ini.
Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan pemerintah
Orde Baru yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk
mempertahankan status-quo kekuasaannya.Pemerintah Orde Baru
mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara
paksa melalui Penataran P4.
Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh
Presiden B.J. Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap
organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas
ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology).
Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam
kehidupan politik.
Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah yang sedikit banyak
mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisipasi
bukan tidak mungkin menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat
tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik
sengaja maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya; dan
wawasan kebangsaan akan tergerus oleh semangat kedaerahan yang akan
mengembalikan jarum jam sejarah ke abad 19 sebelum Sumpah Pemuda
digulirkan;
Keempat, di era reformasi, pembicaran tentang Pancasila seolah-olah
menjadi tabu. Berbicara tentang Pancasila seakan-akan berbicara tentang
Orde Baru. Berbicara tentang Pancasila seolah-olah kembali ke zaman
indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).
Di era reformasi sekarang ini, demokrasi makin mekar. Kebebasan tumbuh,
dan hak-hak asasi manusia mendapatkan penghormatan yang tinggi. Namun,
semuanya itu menimbulkan masalah baru. Atas nama reformasi dan
demokratisasi, seringkali sebagian masyarakat tidak lagi memaknai Pancasila,
UUD 1945, Wawasan Kebangsaan, dan Bhinneka Tunggal Ika dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara utuh. Keinginan memisahkan diri

5
dari wilayah NKRI dari sebagian kelompok masyarakat, seolah mendapat
angin di era reformasi ini. Untuk itu, ke depan, perlu terus dibangun dan
dikembangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara
harmonis dan seimbang, di mana demokrasi dan kebebasan makin hidup,
disertai kepatuhan kepada pranata hukum (rule of law), toleransi, serta etika
dan aturan main yang disepakati bersama.

B. Penyelesaian Masalah Mengenai Relevansi Pancasila sebagai Ideologi


Bangsa di Era Reformasi dan Globalisasi
Untuk menjawab penyelesaian masalah mengenai relevansi pancasila
sebagai ideologi bangsa di era reformasi dan globalisasi diperlukan kembali
suatu pemahaman, pemaknaan, dan telaah yang lebih dalam terhadap
karakteristik, sifat dan isi dari Pancasila itu sendiri.
Pancasila merupakan suatu ideologi (science of ideas atau
weltaanschaung) yang dapat bersifat dogmatik. Ideologi merupakan sistem
pemikiran yang besifat power oriented, totalitarianism oriented, dogmatism
oriented dan establishment oriented. Sebagai ideologi yang dapat diterima
semua orang, berarti Pancasila merupakan ideologi yang bersifat terbuka.
Sebagai ideologi Pancasila memiliki dimensi-dimensi :
Realitas
Yaitu pemahaman situasi sosial yang sedang dihadapi sebagai masa
lampau.Bahwa nilai-nilai ideologi itu bersumber dari nilai-nilai riil yang
hidup didalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai itu benar-benar telah
dijalankan, diamalkan, dan dihayati sebagai nilai dasar bersama. Kelima
nilai dasar Pancasila itu kita temukan dalam suasana atau pengamalan
kehidupan masyarakat bangsa kita yang bersifat kekeluargaan,
kegotongroyongan, atau kebersamaan.
Idealisme
Yaitu usaha memberi gambaran situasi sosial baru yang ingin
diciptakan. Bahwa suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin
dicapai dalam berbagai bidang kehidupan. Ideologi tidak sekedar

6
mendeskripsikan atau menggambarkan hakikat manusia dan
kehidupannya, namun juga memberi gambaran ideal masyarakat sekaligus
memberi arah pedoman yang ingin dituju oleh masyarakat tersebut.
Fleksibilitas
Yaitu penyusunan program umum yang kondisional dan situasional
yang menggariskan langkah-langkah untuk mencapai situasi yang baru
yang dikehendakinya. Bahwa suatu ideologi perlu mengandung cita-cita
yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan. Ideologi tidak
sekedar mendeskripsikan atau menggambarkan hakikat manusia dan
kehidupannya, namun juga memberi gambaran ideal masyarakat sekaligus
memberi arah pedoman yang ingin dituju oleh masyarakat tersebut.
(Wahana 1993:86).
Sebagai ideologi yang terbuka, Pancasila dianggap siap beradaptasi
dengan perkembangan zaman dimana informasi sudah tidak terbendung lagi,
Pancasila tetap mampu menjadi ideologi yang relevan, tidak terbatas waktu
dan tergerus zaman. Persoalan yang sering mengemuka mengenai perdebatan
Pancasila pada dasarnya tidak terletak pada nilai-nilai melainkan pada cara
memberi maknanya. Oleh karena itu Pancasila sebagai Ideologi sudah final,
hanya bagaimana cara kita sebagai bangsa Indonesia menjalankan syariat
Pancasila secara konsekuen. Faktor yang mendorong pemikiran mengenai
keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut:
Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat
yang berkembang secara cepat.
Kenyataan menunjukkan, bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup dan
beku dikarenakan cenderung meredupkan perkembangan dirinya.
Pengalaman sejarah politik kita di masa lampau.
Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang
bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis
dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Keterbukaan ideologi Pancasila terutama ditujukan dalam
penerapannya yang berbentuk pola pikir yang dinamis dan konseptual dalam
dunia modern. Kita mengenal ada tiga tingkat nilai, yaitu nilai dasar yang

7
tidak berubah, nilai instrumental sebagai sarana mewujudkan nilai dasar yang
dapat berubah sesuai keadaan dan nilai praktis berupa pelaksanaan secara
nyata yang sesungguhnya. Nilai-nilai Pancasila dijabarkan dalam norma
norma dasar Pancasila yang terkandung dan tercermin dalam Pembukaan
UUD 1945. Nilai atau norma dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945 ini tidak boleh berubah atau diubah. Karena itu adalah pilihan dan hasil
konsensus bangsa yang disebut kaidah pokok dasar negara yang fundamental
(Staats fundamenteal norm). Perwujudan atau pelaksanaan nilai-nilai
instrumental dan nilai-nilai praktis harus tetap mengandung jiwa dan
semangat yang sama dengan nilai dasarnya.
Kebenaran pola pikir seperti yang terurai di atas adalah sesuai dengan
ideologi yang memiliki tiga dimensi penting yaitu Dimensi Realitas, Dimensi
Idealisme dan Dimensi Fleksibilitas.
Pancasila sebagai Dasar Sistem Filsafat Bangsa hendaknya
dikembangkan sebagai filsafat kritikal, karena Pancasila sebagai ideologi
terbuka harus dapat dikembangkan sejalan dengan perkembangan pemikiran
umat manusia dan peradaban. Pancasila bukan sebuah ideologi konservatif,
namun sebuah ideologi terbuka yang progresif, yang mampu menyesuaikan
diri dengan perkembangan pemikiran umat manusia, sekaligus mampu
memberikan kritik-kritik yang mendasar terhadap hal-hal atau pemikiran
yang tidak fungsional. Salah satu karakter suatu budaya ialah selalu
beradaptasi dengan seluruh perubahan manusia dan peradaban (Y.A. Cohen,
1964). Pancasila bukanlah suatu sistem filsafat yang tertutup dan tidak
mampu beradaptasi dengan perubahan dan peradaban. Pancasila memiliki
daya sesuai dan adaptasi yang tinggi, karena Pancasila sebagai sumber daya
nilai yang sangat mendasar dan universal.
Tidak ada yang salah dengan Pancasila. Pemaknaan yang keliru
selama ini adalah buah kebijakan dan bukan sesuatu yang melekat, karena
nilai-nilai Pancasila sendiri adalah sesuatu yang universal, yang pada
dasarnya merupakan penjelmaan dari suara nurani tentang kewajiban ber-
Tuhan sebagai sesuatu hak yang paling asasi, penghargaan terhadap nilai-nilai

8
kemanusiaan, indahnya kebersamaan dengan persatuan, menghargai dan
mendahulukan atau pro kerakyatan dan hikmah serta mendeklarasikan pula
penghargaan, penghormatan dan perjuangan untuk keadilan yang egalitarian.
Nilai-nilai seperti ini sangat berharga untuk membangun suatu komunitas
sosial bersama.
Sebagai salah satu contoh fenomena yang pernah terjadi dan
bersinggungan dengan hal ini adalah kasus kebhinekaan. Sangat sering terjadi
ketegangan sosial dan perdebatan tentang berbagai masalah terutama tentang
pluralisme dan kebijakan yang berkenaan atau menyentil rasa kebhinekaan.
Polemik berkenaan tentang RUU APP misalnya dan konsistensi menjadikan
Pancasila sebagai falsafah atau ideologi negara telah mengemuka di ruang
publik. Pro dan kontra diikuti dengan ketegangan-ketegangan masalah show
of force semakin sering terjadi. Ada yang merasa benar, ada yang merasa
unggul, ada yang merasa terdiskriminasikan dan adapula yang merasa
terancam seperti yang di paparkan oleh Imdadun Rahmat, bahwa salah satu
hal yang menjadi kontroversi dari RUU APP adalah penyeragaman nilai dan
standar etika. Ukuran susila dan asusila milik satu golongan dipaksakan untuk
menjadi ukuran kesopanan bagi semua golongan bangsa ini. Pengertian porno
dan tidak porno dibangun dari keyakinan, paradigma dan perspektif tunggal.
Bagi bangsa yang plural baik dari sisi budaya, adat maupun agama ini
uniformisasi nilai dan etika tidak saja akan menimbulkan masalah, tetapi juga
memantik rasa ketidakadilan dan akhirnya bisa muncul problem
sektarianisme dan primordialisme yang sempit.
Dalam masalah ini, Pancasila menemukan momentumnya. Pancasila
kembali harus dimunculkan sebagai suatu nilai yang sedapat mungkin masih
diterima bersama selama Indonesia masih ada. Sesungguhnya Pancasila
masih bisa diupayakan menjadi acuan nation state kita yang meletakkan
seluruh kepentingan pada posisi yang sama yakni kesetaraan sebagai hal yang
utama bagi eksistensi Indonesia. Di tengah situasi politik dan ekonomi yang
teramat rentan, nilai-nilai multikulturalisme yang ada pada Pancasila menjadi
faktor penyelamat negara-bangsa. Sekarang Pancasila seharusnya kembali

9
menjadi suatu milik bersama mulai dari pengkajian sebagai wacana bersama,
pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat
dimaknai secara terus-menerus sampai merumuskan paradigma baru
pemikiran dan pemaknaan Pancasila sehingga tetap relevan dalam kehidupan
bangsa dan negara Indonesia. Pancasila menjadi penting bagi bagi pluralisme
Indonesia.
Pancasila dalam Sistem Ekonomi ditengah terjangan dan jeratan
sistem liberalis-kapitalistik saat ini, ketika kita kembali terjajah secara
ekonomi, nilai-nilai suatu sistem seperti apa yang mampu menjatidirikan
negara-bangsa ini. Sejatinya, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem
ekonomi yang mestinya berbasis kerakyatan, bukan sistem yang cenderung
melegalisasi liberalisme dan kapitalisme global. Meskipun pasca reformasi
terkadang kita enggan untuk mengenali kembali atau memaknai kembali
sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis Pancasila sebagai idea moral.
Namun jika diletakkan Pancasila sebagai spirit dasar ekonomi kerakyatan,
tidak ada yang salah. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Edi Swasono, bahwa
sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem ekonomi yang harus memuat dan
berlandaskan pada berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, artinya sistem ekonomi yang tidak
mengenal pemerasan atau eksploitasi. Persatuan Indonesia, berarti sistem
ekonomi ini mengedepankan kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi. Kerakyatan, yang tentulah
maksudnya untuk mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan hajat hidup
orang banyak. Serta Keadilan Sosial, sebuah sistem ekonomi yang mesti
menjamin adanya persamaan atau emansipasi, kemakmuran masyarakat yang
utama, bukan kemakmuran orang-seorang.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

10
Pancasila masih sangat relevan sebagai ideologi bangsa di era
reformasi dan globalisasi, hal ini mengacu pada sifat Pancasila sebagai
ideologi yang terbuka, tidak konservatif, dan merupakan suatu sumber
nilai yang sangat mendasar dan universal. Pancasila merupakan sebuah
ideologi terbuka yang progresif, yang mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan pemikiran umat manusia, sekaligus mampu memberikan
kritik-kritik yang mendasar terhadap hal-hal atau pemikiran yang tidak
fungsional. Salah satu karakter suatu budaya ialah selalu beradaptasi
dengan seluruh perubahan manusia dan peradaban.
Penyelesaian masalah mengenai relevansi pancasila sebagai
ideologi bangsa di era reformasi dan globalisasi bukan hanya kepada nilai-
nilai apa saja yang terkandung, tetapi juga mengenai pemaknaan atau
penafsiran dari sumber nilai pada Pancasila dalam mengatasi berbagai
permasalahan bangsa di era reformasi dan globalisasi ini. Perlu
penyegaran kembali di dalam melaksanakan cita-cita yang terkandung
dalam Pancasila, yang sebenarnya juga merupakan tantangan bagi kita
semua.Karena kembali pada dasar penetapanya sebagai ideologi, Pancasila
merupakan kontrak sosial yang telah disepakati yang memuat nilai luhur
demi mencapai tujuan bersama semua rakyat Indonesia.

B. Saran
1. Perlunya strategi dan peran serta dari pemerintah dan semua pihak
untuk memelihara ideologi pancasila agar mampu mengatasi berbagai
permasalahan bangsa sesuai dengan perkembangan zaman.
2. Kiranya perlu untuk mengidupkan kembali panduan tentang
pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru
kepada masyarakat.

11
Daftar Pustaka

Anugrah, Dadan. 2008. Pancasila dan Implementasinya. Jakarta : Universitas


Mercubuana.
Hidayati, Noor Arifah. 2012. Masih Relevankah Pancasila Sebagai Ideologi
Bangsa Di Era Globalisasi Ini. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Manajemen
Informatika Dan Komputer Amikom Yogyakarta
Sujana, Naya. 2010. Aksiologi Kritikal Terhadap Semangat Dan Ideologi
Kebangsaan Indonesia Dalam Arus Globalisasi. Malang : Mutiara Jatidiri
Universitas Airlangga dan Identitas Kebangsaan.
Wildan, Dadan. 2009. Pendidikan Wawasan Kebangsaan di Era Reformasi
Gelombang Kedua Untuk Mewujudkan Visi Indonesia 2025. Jurnal
Sekretariat Negara RI No. 14

12

Anda mungkin juga menyukai