Anda di halaman 1dari 13

Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.

UPAYA-UPAYA PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN YANG


BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Suherman Banon1) Atmaja dan Duto Nugroho2)


1)
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
2)
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan, Ancol-Jakarta
Teregistrasi I tanggal:19 Januari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 16 Maret 2011;
Disetujui terbit tanggal: 28 Juli 2011

ABSTRAK

Pengertian dasar untuk pengelolaan perikanan terkait dengan fungsi fungsi


biologi, sosial, teknologi, ekonomi serta lingkungan sumber daya sebagai
komponen yang saling berhubungan untuk terjaminnya pengelolaan secara
berkelanjutan. Stok ikan, ekosistem dan masyarakat nelayan merupakan salah
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem yang dinamis, dimana
perubahan taktik dan strategi pemanfaatan masih merupakan suatu hal yang
banyak dilakukan dalam rangka penyesuaian antara faktor teknis dan ekonomis
yang sering kali mengabaikan pertimbangan bio-ekologi sumberdaya ikan. Sasaran
pendekatan dan kebijakan pengelolaan perikanan di berbagai negara sudah mulai
berubah, diawali dengan pendekatan memaksimalkan tangkapan tahunan dan
ketenaga-kerjaan menuju ke konservasi dan pengelolaan berbasis pelayanan
ekosistem. Konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko-manajemen masih
terbatas pada pengelolaan kawasan konservasi dan habitat terumbu karang.
Adanya kesenjangan dan perbedaan antara kepentingan kawasan konservasi
sebagai akibat kurangnya pemahaman kolektif terhadap tujuan pengelolaan, dan
kerapkali menyebabkan aktifitas perikanan tangkap sebagai bagian dari kebutuhan
ekonomis berbenturan dengan fungsi kawasan konservasi dalam jangka panjang.
Pengendalian upaya penangkapan dan memahami dinamika perikanan, serta
mengelola nelayan menjadi prioritas untuk pengelolaan sumber daya ikan,
sedangkan konsep pengelolaan berbasis masyarakat dan ko-manajemen
ditempatkan sebagai pelengkap untuk menutupi kelemahan aspek legal wilayah
pengelolaan perikanan atau sumber daya ikan.

KATA KUNCI: pengelolaan, sumberdaya ikan, ko manajemen

ABSTRACT: Management Efforts on Sustainable Marine Fish Resources in


Indonesia. By Suherman Banon Atmaja and Duto Nugroho.

Basic understanding of fisheries management related to biology, social,


technology and economic function of fish resources. Fish stocks, ecosystem and
fishers community are the integrated component under the dynamic of fisheries
system, where as changing and on fishing tactic and strategy still exist to adjust
between biology, technics and economics aspects. It is obvious that all technological
creeps oftenly ignored the bio-ecological consideration of fish resources. The
fisheries management and its policy were gradually shifting from maximize the
catch, job opportunity become conservation and ecosystem based fisheries
management. The concept of community-based management and co management
is still limited to the management of conservation areas and coral reef habitats. The
existence of gaps and differences between the interests of the conservation area as
a result of a lack of understanding collective to the management objectives and
often causing fishing activities as part of the economic needs clash with the function
___________________
Kosrespondensi penulis:
Jl. Muara Baru Ujung, Komp. Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia
Jakarta Utara-1440. Tlp. (021) 6602044 101
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113

of conservation areas in the long term. Control efforts to capture and understand
the dynamics of fisheries, as well as managing fishing is a priority for the
management of fish resources, while the concept of community-based management
and co management issued as a supplement to cover the weakness of legal aspects
of the fishery management area or fishery resource

Keywords: Management, fish resources, co-management

PENDAHULUAN Perkembangan upaya penangkapan baik


dalam jumlah, ukuran maupun teknologi
Perkembangan perikanan yang penangkapannnya telah meningkatkan
cenderung semakin mengarah kepada jumlah ikan yang didaratkan tetapi diikuti
pemanfaatan dengan tidak mengenal oleh runtuhnya stok kelompok jenis ikan
kesepakatan batas-batas wilayah pelagis kecil. Fenomena ini diikuti oleh
pengelolaan maupun penggunaan teknologi perilaku pembiaran yang semakin kerap
yang tidak sejalan dengan konsep ramah didengar terhadap rendahnya tanggung
lingkungan menyebabkan pengelolaan jawab pelaporan hasil tangkapan,
perikanan tangkap saat ini bukan lagi pada pengabaian saran dan pemikiran saintifik
mencari pilihan, tetapi cenderung berada serta menyalahkan ancaman lingkungan
pada kondisi tidak ada pilihan. Dengan sebagai faktor utama yang mengakibatkan
adanya tingkat ketidakpastian yang tinggi runtuhnya perikanan yang melanda
dihadapi tentang status stok sebagai dasar kawasan sub tropis. Pemanfaatan di daerah
dalam pengelolalan perikanan dan sering penangkapan dekat pantai juga mengalami
tidak efektifnya implementasi tentang perubahan tiga dimensi yaitu mengarah
pemikiran ataupun rekomendasi untuk pada perairan yang lebih dalam, jenis ikan
mengurangi kapasitas penangkapan pada yang baru serta meningkatnya pemasaran
tingkat panenan lestari telah menyebabkan jenis ikan dan invertebrata lain yang
beberapa stok ikan berada pada kondisi sebelumnya ditolak dan umumnya jenis
yang tidak dapat pulih kembali. Seperti pada tingkatan rantai makanan yang lebih
halnya beberapa laporan terbaru rendah (Pauly, 2009).
menyatakan bahwa pengelolaan perikanan
selama ini cenderung berkarakteristik Tantangan untuk memelihara sumber
kegagalan dibanding keberhasilan, karena daya ikan yang sehat menjadi isu yang
lemahnya sistem pengendalian dan cukup kompleks dalam pembangunan
pengawasan dan tingginya penguasaan perikanan. Konsep pembangunan
terhadap akses sumber daya ikan telah berkelanjutan adalah pembangunan untuk
menimbulkan operasi nelayan di bawah memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa
tekanan yang cenderung suka menentang merusak atau menurunkan kemampuan
terhadap adanya indikator-indikator generasi mendatang untuk mernenuhi
penurunan stok dan mendorong ke arah kebutuhan hidupnya (WCED, Commission
pemanfaatan berlebih baik ekonomi maupun on Environment and Development, 1987).
biologi, hingga mencapai tahapan yang Dalam pandangan Norton (2005) dalam
dapat dikategorikan sangat mengancam Howarth (2007) menyatakan bahwa konsep
keberadaan dari beberapa spesies. (Berkes, keberlanjutan mengingatkan para pengambil
et al.,2001 dan Cunningham, 2005). keputusan untuk mempertimbangkan hak
dan kepentingan generasi masa depan dan
kadang-kadang terdapat kesulitan untuk

102
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)

memegang nilai-nilai terhadap lingkungan menghindari kemungkinan kerusakan lebih


alam. Konsep tersebut dapat diberikan luas atau berdampak negatif pada suatu
cukup tepat dalam banyak konteks melalui perikanan. Pendekatan perikanan
musyawarah moral yang berusaha untuk bernuansa ramah lingkungan dapat
menyeimbangkan nilai-nilai dan perspektif berlanjut dan dapat dicapai jika ukuran-
dari para pemangku kepentingan yang ukuran pengelolaan utama diarahkan untuk
berbeda. mengelola dengan baik agar stok ikan
berada diatas save biological limit atau
Dalam konsep pengelolaan sumber daya pemulihan sumber daya ikan hingga tingkat
ikan berkelanjutan terdapat tiga komponen yang dibutuhkan, diikuti dengan
penting yang berjalan dalam kondisi pengurangan secara nyata terhadap hasil
berimbang, yaitu: ekologi, sosial, dan tangkap sampingan dan jenis ikan yang
ekonomi. Secara empiris adalah proses tidak termanfaatkan, serta melindungi
tarik ulur antara ketiga kepentingan tersebut ekosistem bahari dari aktifitas penangkapan
(Satria, 2004). Kusumastanto (*) yang merusak lingkungan (Anon, 2009)
menyatakan bahwa perikanan yang
berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan Tujuan utama dari makalah ini adalah
untuk kepentingan kelestarian ikan itu untuk meninjau beberapa model
sendiri (as fish) atau keuntungan ekonomi pengelolaan perikanan dan sejauh mana
semata (as rents) tapi lebih dari itu adalah berjalan menuju pengelolaan sumber daya
untuk keberlanjutan komunitas perikanan perikanan berkelanjutan di Indonesia, yang
(sustainable community) yang ditunjang disusun berdasarkan penelusuran pustaka
oleh keberlanjutan institusi (institutional dan, disajikan dalam bentuk esei.
sustainability) yang mencakup kualitas
keberlanjutan dari perangkat regulasi, BAHAN DAN METODA
kebijakan dan organisasi untuk mendukung
tercapainya keberlanjutan ekologi, ekonomi Telaah terhadap hasil dan temuan
dan komunitas perikanan. Sementara penelitian serta peraturan yang telah
Pitcher dan Pauly (1998) menyatakan ditetapkan terkait dengan pengelolaan
bahwa lebih penting untuk memulihkan merupakan bahan utama dalam tulisan ini.
ekosistem dibandingkan terjaminnya Analisis dilakukan dengan cara memetakan
keberlanjutan per se, dan hal ini harus fenomena perikanan yang sedang
menjadi tujuan dalam pengelolaan berlangsung didukung oleh diskusi terbatas
perikanan. Keberlanjutan adalah dengan beberapa pemangku usaha pada
memperdayakan tujuan terkait dengan saat melakukan observasi lapang
pemanenan ikan oleh manusia yang
mengarah pada terjadinya penyederhanaan HASIL DAN BAHASAN
terhadap pentingnya ekosistem, tingginya
keuntungan, dan semakin rendahnya Teknik - Teknik Pengelolaan Perikanan
trophic level jenis ikan yang dapat di Indonesia
bertahan dari perusakan maupun penurunan
kualitas habitat. Secara teoritis, terdapat dua bentuk
regulasi dalam pengelolaan sumber daya
Pada dekade terakhir telah diusulkan perikanan di berbagai belahan dunia, yakni
bahwa konsep MSY didukung oleh rezim akses terbuka (open access) dan
precautionary principle, dimana hal ini akses terkendali (controlled access). Akses
dijadikan pertimbangan yang untuk terbuka adalah suatu bentuk regulasi yang

103
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113

cenderung membiarkan nelayan menangkap permasalahan sebagai akibat dari


ikan dan mengeksploitasi sumber daya perbedaan pemahaman tentang arti
hayati lainnya kapan saja, dimana saja, pemanfaatan tersebut dimana realita yang
berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa dihadapi adalah timbulnya berbagai jenis
saja. Secara empiris, implikasi dalam dan tipe dari sistem hak kepemilikan dan
jangka panjang terhadap regulasi ini akan terdapatnya berbagai cara yang digunakan
menimbulkan dampak negatif, antara lain untuk mengelola perikanan (Anon, 2005)
apa yang dikenal sebagai tragedy of
common baik berupa kerusakan sumber Beberapa teknik teknik pengelolaan
daya perikanan maupun konflik antar perikanan sebagai dasar pelestarian
nelayan. Sebaliknya, pengelolaan dengan sumber daya ikan di Indonesia telah
system akses terkendali adalah regulasi termaktub dalam undang-undang dan
terkendali yang dijabarkan berupa (1) berbagai peraturan yang telah ditetapkan.
pembatasan input (input restriction), yakni Teknik pengelolaan perikanan menurut
membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis Undang-Undang Perikanan (pasal 7 UU 31
kapal, dan jenis alat tangkap, (2) Tahun /2004 dan UU 45 tahun 2009 tentang
pembatasan output (output restriction), perubahan atas UU 31 tahun 2004 tentang
yakni membatasi berupa jumlah tangkapan perikanan), yaitu: Pengendalian input
bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. meliputi pengendalian jenis, jumlah, ukuran
alat penangkapan ikan; jenis, jumlah,
Salah satu formulasi dari pembatas input ukuran, dan penempatan alat bantu
itu adalah territorial use right of fisheries penangkapan ikan; daerah, jalur, dan waktu
yang menekankan penggunaan fishing right atau musim penangkapan ikan; persyaratan
(hak memanfaatkan sumberdaya perikanan) atau standar prosedur operasional
dalam suatu wilayah tertentu dalam penangkapan ikan; sistem pemantauan
yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right kapal perikanan. Pengendalian output
system ini menempatkan pemegang hak meliputi pengendalian ukuran atau berat
penangkapan ikan melakukan kegiatan minimum jenis ikan yang boleh ditangkap.
perikanan di suatu wilayah, sementara Sebelumnya, upaya pemerintah dalam
yang tidak memiliki fishing right tidak mengelola perikanan telah ditunjukkan dari
diizinkan beroperasi di wilayah itu. Selain berbagai teknik pengelolaan untuk
diatur siapa yang berhak melakukan pengaturan, yang meliputi zonasi daerah
kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan penangkapan (SK No 607/KPTS/UM/9/
dengan alat apa kegiatan perikanan 1976), ukuran mata jaring pada bagian
dilakukan. Sistem yang menjurus pada kantong pukat cincin sebesar 1 inci (# 2,54
bentuk pengkaplingan laut utamanya di cm) (SK No. 123/Kpts/Um/3/1975 dan jalur
kawasan pesisir ini menempatkan penangkapan kapal pukat cincin
perlindungan kepentingan nelayan kecil (Kepmentan No. 392/1999), sampai
yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir pelarangan secara menyeluruh alat
serta kepentingan kelestarian fungsi tangkap pukat harimau (Keppres no 39/
sumber daya (Christy, 1982; Masyhuri, 1980) serta pengendalian melalui pungutan
2004), Namun demikian, dengan mengacu hasil perikanan (PHP) menurut PP No 54/
pada menggunakan hak pemanfaatan 2002 dan pungutan perikanan (UU 31/2004),
dalam pengelolaan perikanan dan Pasal 48 angka 1 dan Pasal 49.
pengelolaan berdasarkan hak pemanfaatan
terhadap arti dan konsep diatas dapat Kepmentan 392 tahun 1999 tentang jalur-
menimbulkan kekeliruan dan menimbulkan jalur penangkapan ikan yang berlaku pada

104
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)

semua perairan laut Indonesia, yaitu: jalur kabupaten/kota memiliki wewenang


penangkapan I bagi nelayan kecil (radius 6 mengelola wilayah pesisir masing-
mil dari pulau), jalur penangkapan II (6 12 masing. Kedua UU tersebut membuat
mil) dan jalur penangkapan III (>12 mil). pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi
Kapal, alat tangkap dan alat tangkap bantu (12 mil) dan kabupaten/kota (4 mil)
yang diizinkan untuk jalur I dapat memasuki mengindikasikan bahwa produk hukum itu
jalur II dan jalur III, sebaliknya kapal/alat menganut konsep pengelolaan wilayah laut
tangkap yang diperuntukan pada jalur yang tertentu berbasis batas-batas yurisdiksi.
lebih tinggi tidak diperbolehkan memasuki Konsep tersebut merupakan instrumen
jalur yang lebih rendah. Tinjauan sosial yang dapat berfungsi sebagai implementasi
ekonomi batasan jalur I dari peraturan ini di dari konsep regulasi akses terkendali
perairan dangkal adalah pengaturan sebagai bagian dari pola pembatasan input
pemanfaatan diberikan pada nelayan kecil yang berorientasi pada hak penggunaan
yang beroperasi dalam skala harian dengan berlandaskan wilayah kekuasaan (territorial
modalitas relatif terbatas agar dapat use right).
menopang kehidupan kesehariannya.
Makna biologis adalah rendahnya kapasitas Pengelolaan kawasan konservasi laut ke
penangkapan nelayan kecil diharapkan dalam rezim pengelolaan di bawah
tidak merusak kawasan asuh ikan karena Departemen Kehutanan, melalui UU. No.5
lokasi penangkapan berada disekitar Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
kawasan mereka sendiri, konsep daya alam Hayati dan Ekosistemnya yang
pengelolaan berbasis kearifan lokal merupakan ratifikasi Pemerintah Indonesia
diharapkan dapat melindungi keberlanjutan terhadap Strategi Pelestarian Dunia (World
sumber daya ikan dan lingkungannya. Conservation Strategy) yang ditetapkan
Sebaliknya armada yang berukuran lebih pada tahun 1980. Sementara UU No. 31
besar diarahkan ke jalur II dan III karena Tahun 2004 yang disempurnakan menjadi
tingginya daya tangkap dan modalitas UU 45/2009 tentang Perikanan (di bawah
investasi, sehingga mempermudah Departemen Kelautan dan Perikanan),
pergerakan armada yang cenderung berada ditetapkan untuk mewujudkan perikanan
diluar kawasan kesehariannya, sehingga yang bertanggung jawab dan kelestarian
pemanfaatan sumber daya lebih mengarah sumber daya ikan, yakni tercapainya
pada jenis-jenis yang tidak berada di manfaat yang optimal dan berkelanjutan,
kawasan asuhan, kecuali kawasan terumbu serta terjaminnya kelestarian sumber daya
karang lepas pantai. ikan, pelarangan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan dan alat tangkap yang
Dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang merusak lingkungan dan kelestarian
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- sumber daya. Implementasi UU 31/2004
pulau Kecil, Pasal 1 angka 7 dinyatakan ini diturunkan dalam bentuk Peraturan
bahwa 12 mil masih dalam zona wilayah Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2007 tentang
pesisir. Konsekuensinya bahwa wilayah Konservasi Sumber daya Ikan yang
pengelolaan 1/3 bagian dari 12 mil laut mengatur lebih rinci upaya pengelolaan
teritorial yang menjadi wewenang konservasi ekosistem atau habitat ikan
kabupaten/kota adalah wilayah pesisir. termasuk di dalamnya melalui
Ketentuan tersebut ditegaskan dalam pengembangan kawasan konservasi
Pasal 18 angka 1 UU No. 32 Tahun 2004 perairan sebagai bagian dari konservasi
tentang Pemerintahan Daerah. Pada ekosistem. Peraturan Menteri KP No. 17
pasal 18 angka 4 secara substansi tahun 2008 tentang kawasan konservasi di

105
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113

wilayah pesisir dan pulau pulau kecil, juga hidupnya atau dikenal sebagai highly
turut mewarnai perkembangan kebijakan migratory straddling (Maguire et al., 2006).
kawasan konservasi di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Dalam peraturan ini, Perikanan tangkap di Indonesia dapat
Menteri Kelautan dan Perikanan berwenang dibedakan berdasarkan kemampuan
menetapkan suatu kawasan konservasi jangkauan daerah penangkapan, dengan
perairan, dimana pengelolaannya diberikan mengacu pada klasifikasi Yamamoto
kepada pemerintah daerah, khususnya (1983), yaitu: (i) perikanan pesisir atau
untuk pengembangan KKLD (Kawasan coastal fishery, (ii) perikanan lepas pantai
Konservasi Laut Daerah). atau offshore fishery dan (iii) perikanan laut
lepas atau distant-water fishery. Meskipun
Kawasan perlindungan laut (Marine pada kenyataannnya untuk alat tangkap
Protected Areas, MPA) muncul sebagai tertentu kerapkali daerah penangkapan
suatu instrumen yang populer untuk antara perikanan pesisir dengan perikanan
konservasi laut dan pengelolaan perikanan. lepas pantai tidak dapat dipisahkan secara
Mengacu pada Resolusi 17.38 IUCNWorld tegas dan tumpang tindih daerah
Conservation Union (1988) yang ditegaskan penangkapan akan terjadi. Apalagi setelah
lagi dalam Resolusi 19.46 (1994), definisi keberhasilan motorisasi dan prasarana dan
MPA adalah perairan pasang surut sarana transportasi semakin baik, sehingga
termasuk kawasan pesisir dan pulau-pulau memungkinkan nelayan berpindah-pindah ke
kecil, termasuk tumbuhan dan hewan di tempat lain atau dikenal dengan andon
dalamnya, serta termasuk bukti sebagai upaya perluasan daerah
peninggalan sejarah dan sosial budaya di penangkapan dan menghindari kompetisi di
bawahnya, yang dilindungi secara hukum tempat asal. Berdasarkan Keputusan
atau cara lain yang efektif, baik dengan Menteri KP 13 tahun 2004 tentang
melindungi seluruh atau sebagian wilayah Pedoman Pengendalian Nelayan Andon
tersebut (Tilmant, 2000). Secara umum Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya
diakui kawasan konservasi bersifat efektif Ikan, nelayan andon adalah nelayan yang
dalam meningkatkan kekayaan spesies melakukan kegiatan penangkapan ikan di
standding fish stocks (ikan demersal dan laut dengan menggunakan kapal perikanan
karang), tetapi bagi spesies ikan pelagis berukuran tidak lebih dari 30 (tiga puluh)
yang bersifat peruaya (migratory species) Gross Tonnage (GT) atau yang mesinnya
tidak cukup mendapatkan perlindungan dari berkekuatan tidak lebih dari 90 (sembilan
kawasan konservasi, terutama ukurannya, puluh) Daya Kuda (DK) dengan daerah
jumlah dan lokasi jauh lebih sempit dari penangkapan yang berubah-ubah atau
pada wilayah perikanan. berpindah-pindah sehingga nelayan tersebut
berpangkalan atau berbasis sementara
Pengelolaan sumber daya perikanan waktu atau dalam waktu yang relatif lama
dalam banyak hal tidak dapat hanya di pelabuhan perikanan di luar daerah asal
dilakukan dari pendekatan lokal saja, nelayan tersebut (pasal 1 angka 2). Setiap
bagaimanapun sumber daya ikan di nelayan andon yang akan melakukan
kawasan oseanik terdiri dari berbagai kegiatan penangkapan ikan di wilayah
kriteria seperti halnya jenis peruaya jauh pengelolaan perikanan Indonesia, wajib
dan jenis ikan yang berada pada kawasan terlebih dahulu memiliki Izin Usaha
yang melewati batas-batas ZEE suatu Perikanan (IUP) dan Surat Penangkapan
Negara dan laut lepas dalam siklus Ikan (SPI) (pasal 3), dikecualikan bagi
nelayan andon yang memiliki dan

106
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)

menggunakan 1 (satu) unit kapal penangkap sumber daya di suatu wilayah laut, dan terus
ikan berukuran sampai dengan 5 (lima) berupaya mengembangkan dan
Gross Tonnage (GT) dan atau yang kecenderungan menyeimbangkan aspek
mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 15 ekonomi dan ekologi. Seperti, tuna di
(lima belas) Daya Kuda (DK) (pasal 4 Pasifik Selatan dipegang CCSBT. Tuna di
angka 1), artinya kewenangan yang dimiliki Laut India dipegang IOTC. Tuna di Atlantik
oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/ dipegang ICCAT. Kebijakan ini mungkin
kota ini tidak berlaku bagi penangkapan relatif lebih efektif bagi spesies tuna
ikan oleh nelayan kecil dan tidak akan (Thunnus maccoyii, (Castelnau, 1872) dan
membatasi usaha nelayan kecil dalam beberapa spesies tuna lainnya karena
mencari penghidupan. Dengan demikian, diberlakukan embargo perdagangan
nelayan kecil dapat memasuki dan Internasional bagi pelanggar.
menangkap ikan di wilayah laut daerah
tertentu di Indonesia. Pengelolaan Berbasis Masyarakat

Dengan beragamnya bentuk perikanan, Suatu upaya yang sudah dicoba di


tentunya bentuk kebijakan juga beragam wilayah pesisir di Indonesia dan negara-
tergantung pada hirarki perikanannya. negara lain di Asia yang diharapkan mampu
Satria (2004) menerangkan secara mengatasi kerusakan dan berkurangnya
simplifikasi ketiga hirarki perikanan sumber daya adalah merubah pola pikir
tersebut sebagai berikut: (i) Perikanan tentang pemanfaatan sumberdaya ikan dari
pesisir yang umumnya digerakkan para akses terbuka menjadi kepemilikan umum
nelayan tradisional, kebijakan umumnya dengan melibatkan masyarakat, pola ini
dipegang oleh institusi lokal, baik berupa dikenal dalam bentuk Community-based
kelompok nelayan, komunitas adat, atau Coastal Resources Management (CB-CRM)
desa, atau populer dengan sebutan atau pengelolaan sumber daya pesisir
community based management (CBM). (ii) berbasis masyarakat (Community-based
Perikanan lepas pantai umumnya Management, CBM) adalah proses dimana
mempunyai karakteristik dimensi ekonomi masyarakat melalui proses politik lokal
menjadi dominan, karena pelaku perikanan menyepakati atau menyetujui untuk
terus mengusung konsep efisensi dan mengelola sumber daya pesisir atau
produktivitas, sehingga masalah ekologi mengalokasikan sebagian sumber daya
kerapkali diabaikan. Kebijakan yang ada di masyarakat untuk dijadikan
menggunakan mekanisme perizinan kawasan yang dilindungi. Salah satu
berdasarkan alokasi sumber daya ikan dan aktivitas utama di dalam strategi
kondisi stok ikan atau berupa government pengembangan komunitas adalah
based-management. Pemerintah bertugas pengembangan kapasitas, di mana warga
memonitor dan mengawasi berlangsungnya lokal didorong menjadi lebih aktif dilibatkan
kebijakan ini. (iii) perikanan laut lepas yang dalam manajemen sumber daya lokal
umumnya beroperasi di dalam zona (UNEP, 2006). Pengelolaan berbasis
ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) sampai masyarakat merupakan salah satu
di luar ZEEI, digerakkan oleh pelaku yang pendekatan dalam upaya mengelola
sudah berciri industrial. Mereka padat modal sumber daya di wilayah pesisir, yang cukup
dan berteknologi tinggi. Pada saat ini, menjanjikan dalam rangka meningkatkan
kebijakan dikendalikan oleh komisi partisipasi aktif dari masyarakat dan dalam
Internasional yang beranggotakan negara- mendukung pembangunan yang
negara yang berkepentingan terhadap berkelanjutan dan ramah lingkungan.

107
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113

Dalam prakteknya yang serupa perikanan dan penerimaan co-management


merupakan hak ulayat yang secara tradisi sebagai satu koreksi yang penting pada
terbentuk dari suatu kesepakatan bersama pengelolaan perikanan yang moderen
pada suatu desa tertentu, yang memiliki hak (Nielsen & Degnbol, 2002). Ko-manajemen
khusus untuk penangkapan ikan di suatu dapat didefinisikan sebagai suatu
perairan tertentu dan pada waktu-waktu pengaturan kemitraan dimana masyarakat
tertentu pula. Namun demikian, CBM para pengguna sumberdaya lokal (nelayan),
mempunyai keterbatasan., salah satu pemerintah, pengguna (stakeholder) lain
contoh dari keterbatasan tersebut adalah (pemilik perahu, pedagang ikan, pembuat
adanya perubahan-perubahan pola perahu, bisnis, dll.) dan agen eksternal
managemen sehubungan dengan (organisasi non pemerintahan (NGO),
meningkatnya jumlah penduduk yang akademis dan lembaga; institusi riset)
berakibat pada meningkatnya tekanan pada berbagi tanggung jawab dan otoritas untuk
sumber daya yang tersedia, Dengan kata pengelola perikanan. ko-manajemen sering
lain CBM akan mengalami perubahan juga disebut partisipatisi, kerjasama,
sejalan dengan makin tingginya tuntutan stakeholder multi-party atau manajemen
ekonomi masyarakat (Masyhuri, 2004). kolaboratif (Charbonneau, 2005).
Sementara Mallawa (2006) menunjukkan Sedangkan pengelolaan kolaboratif menurut
kelemahan pada Pengelolaan Sumber daya IUCNWorld Conservation Union dalam
Perikanan Berbasis Masyarakat (CBM), Resolusinya 1.42 Tahun 1996 adalah
yaitu: 1) hanya dapat diterapkan dengan kemitraan antara lembaga pemerintah,
baik pada masyarakat yang kondisi komunitas lokal dan pengguna sumber
strukturnya masih sederhana dengan skala daya, lembaga non-pemerintah dan
dan wilayah kegiatan yang tidak luas; 2) kelompok kepentingan lainnya dalam
Tingkat pendidikan dan kesadaran bernegosiasi dan menentukan kerangka
masyarakat tentang pentingnya lingkungan; kerja yang tepat tentang kewenangan dan
3) Terjadinya kesukaran dalam tanggungjawab untuk mengelola daerah
implementasi karena kurang mendapat spesifik atau sumber daya (IUCN, 1997)
dukungan; 4) Hanya efektif pada kawasan
pengelolaan yang batas geografisnya jelas Di beberapa wilayah pesisir Indonesia
dan terbatas; dan 5) Rentan terhadap terdapat kepemilikan bersama (communal
intervensi luar atau peledakan permintaan property) oleh masyarakat nelayan, yang
SDI dan jasa lingkungan. Kemudian dicerminkan dengan kegiatan pengelolaan
muncul konsep ko-manajemen yang telah sumber daya ikan berbasiskan kearifan
dikenali secara luas sebagai suatu opsi, lokal atau hak ulayat laut (HUL), di
yang memberi untuk perubahan institusi antaranya yaitu: Panglima Laot (Nangroe
penguasaan perikanan. Konsep tersebut Aceh Darussalam), Rumpon (Lampung),
pertama kali diperkenalkan oleh Jentoft Kelong (Riau), Awig-awig (Bali dan Lombok),
pada 1989, Pinkerton pada 1989 dan Rompong (Sulawesi Selatan), Sasi
konsep dasar untuk pengelolaan sumber (Maluku) dan beberapa lainnya berada di
daya alam diperkenalkan oleh Kearney pada wilayah Kawasan Timur Indonesia (Solihin,
1984, sedangkan kerangka untuk mengerti 2010). Kearifan lokal yang dikembangkan
sumber daya miliki bersama (common oleh masyarakat asli (indigenous people)
property) termasuk aturan pengelolaan atau masyarakat adat, dianggap mampu
dikembangkan oleh Oakerson pada 1992. menjembatani antara tuntutan
Pada dekade terakhir konsep ko- pembangunan dengan tetap menciptakan
manajemen memasuki debat pengelolaan kondisi lingkungan yang sehat (Siswandi,

108
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)

2003 dalam Solihin, 2010). Bagi daerah yang peran habitat dalam mendukung perikanan;
memiliki kearifan lokal atau model 2) rendahnya tingkat pemahaman yang
pengelolaan CBM, perlu diperkuat dan berkaitan habitat dengan stok ikan, antara
dilengkapi dengan ko-manajemen yang stakeholders termasuk nelayan, para
lebih kompleks (Solihin dan Satria, 2007). ilmuwan, pembuat kebijaksanaan, dan para
Dengan merevitalisasi kearifan lokal di era manajer perikanan; 3) rendahnya tingkat
desentralisasi kelautan dapat menciptakan penerimaan masyarakat terhadap
pembagian wewenang yang seimbang pendekatan berbasis kawasan perlindungan
antara pemerintah (centralized government laut; dan 4) pengalaman terbatas
management) dengan masyarakat departemen perikanan dan lingkungan
(community based management), yang dalam pelayanan berkenaan dengan
dikenal dengan pengelolaan kolaboratif atau implementasi perikanan yang terintegrasi
ko-manajemen. dan pendekatan pengelolaan habitat

Di Indonesia, penerapan konsep ko- Perilaku nelayan di kawasan Asia


manajemen masih terbatas pada Tenggara, termasuk Indonesia, pada
pengelolaan sumber daya ikan dan habitat umumnya masih pada tahapan
terumbuk karang, seperti TN Bunaken dan konvensional, yaitu menitikberatkan pada
TN Wakatobi, tetapi masih kurang efektif kepentingan diri sendiri dan berorientasi
karena appropriate sharing kurang pada kepentingan jangka pendek. Nelayan
diakomodir dalam penataan kelembagaan cenderung melanggar peraturan perikanan
(Radarwati, et.al., 2010). karena disebabkan faktor-faktor: ekonomi,
moralitas, lingkungan, dan legitimasi.
Permasalahan Perilaku Sesuai dengan teori pilihan yang rasional,
individu nelayan akan memilih melanggar
Keberhasilan pengelolaan perikanan aturan apabila mereka dapat
pendekatan ekosistem sangat tergantung memperkirakan bahwa manfaat yang akan
pada dua hal, terutama atas: (1) kesediaan mereka peroleh masih lebih
nelayan untuk menerima tanggung jawab menguntungkan dibanding resiko yang
kolektif untuk konservasi sumber daya dan harus ditanggung bila tertangkap
(2) keberadaan institusi yang menyediakan (Wijayanto, 2003). Morgan, et al. (2007)
suasana keputusan kolektif dapat menyimpulkan bahwa karakteristik
diperdebatkan dan dibuat (Wilson, 2003). perikanan tangkap di Asia Tenggara adalah
UNEP (2007) mengidentifikasi bahwa pengembangan dan pengelolaan pantai
meningkatkan upaya penangkapan, yang kompleks. Konflik antar berbagai para
menggabungkan dengan berlanjutnya pengguna sumber daya akuatik, merosot
kemunduran total kawasan habitat kritis sumber daya perikanan, kelebihan
terhadap siklus hidup dari kebanyakan kapasitas, penangkapan ikan bersifat
spesies, telah menjadi perhatian serius merusak (destructive fishing), IUU fishing.
untuk keberlajutan jangka panjang dari Ada kompetisi tidak adil antara perikanan
perikanan-perikanan artisanal di Asia skala besar dan nelayan skala kecil.
Tenggara. Prakarsa untuk mengintegrasikan Kelebihan kapasitas & IUU fishing telah
pengelolaan perikanan dan habitat akan mengakibatkan kerangka pengelolaan yang
dibatasi oleh penghalang terhadap tindakan tidak efektif. Hukum, peraturan-peraturan
yang efektif sebagai berikut: 1) Informasi dan aturan-aturan diperumit dengan
terbatas mengenai daur hidup ikan dan penyelenggaraannya yang lemah
pertalian-pertalian dengan habitat kritis, dan

109
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113

Kesadaran masyarakat terhadap prinsip- ini didukung dari beberapa penelitian yang
prinsip konservasi pengelolaan sumber menyimpulkan secara umum, seperti :
daya perikanan nampaknya sangat sulit pemberdayaan SDM, pengurangan armada
dilaksanakan karena adanya kebutuhan kecil yang tidak efisien dan tidak ramah
ekonomi jangka pendek yang mendesak lingkungan, kapasitas kelembagaan
dan beragamnya pemahaman mereka perikanan dan kelautan, pemanfaatan
(nelayan) terhadap kelestarian. Sebagai sumber daya ikan harus sesuai dengan
contoh sebagian nelayan Karimunjawa tidak potensi lestari, rehabilitasi habitat lamun
peduli dan tidak mau tahu akan keberadaan dan mangrove, pelarangan penangkapan
daerah-daerah perlindungan, di sisi lain, pada waktu-waktu tertentu, melakukan
nelayan Karimunjawa menyadari bahwa budidaya, peningkatan pengawasan dan
tidak akan ada sanksi terhadap pelanggaran penegakan hukum di wilayah pesisir dan
memasuki kawasan zona inti maupun zona laut (Susilo, 2003, Pramono, 2006,.
perlindungan, karena pengawasan sulit Hamdan, 2008, Radarwati, et.al., 2010).
dilaksanakan dan kalau pun ada Dengan demikian, suatu proses menuju
pengawasan tidak akan terjadi apa-apa pengelolaan perikanan berkelanjutan masih
pada mereka (Mukminin, et al., 2006). dalam konsep yang bersifat himbauan
Pada pelaksanaannya kawasan konservasi moral. Oleh karena itu, pengendalian
kerapkali kurang efektif, karena adanya upaya penangkapan dan memahami
kesenjangan dan disharmonisasi aturan dinamika perikanan, serta mengelola
pengelolaan dan pemanfaatan di kawasan nelayan menjadi prioritas untuk pengelolaan
konservasi, serta perbedaan kepentingan sumber daya ikan, sedangkan konsep
dengan masyarakat karena kurangnya pengelolaan berbasis masyarakat dan co
pemahaman masyarakat tujuan management ditempatkan sebagai
pengelolaan, sehingga banyak pelanggaran pelengkap untuk menutupi kelemahan
hukum di bidang pengelolaan sumber daya wilayah pengelolaan perikanan/sumber
alam tidak mendapat sanksi hukum, selain daya ikan Republik Indonesia yang tertuang
itu tingkat pendidikan yang masih rendah dalam UU 31 Tahun /2004 dan UU 45 tahun
dan juga didorong oleh kebutuhan hidup 2009 tentang perubahan atas UU 31 tahun
(Purwanti, et al., 2008). Sementara data 2004 tentang perikanan.
empiris menujukkan pada kawasan padat
nelayan seperti Laut Jawa lebih banyak KESIMPULAN
ditemukan modifikasi dan diversifikasi alat
tangkap untuk menangkap segala spesies Berdasarkan konsep-konsep
yang masih tersedia. Dengan modifikasi pengelolaan dari konvensional sampai
dan divertifikasi di daerah penangkapan berbasis masyarakat dan ko-manajemen
padat nelayan dan lebih tangkap tanpa menunjukan pengelolaan sumber daya
pengelolaan yang tepat akan menggangu perikanan yang ada saat ini belum berjalan
pengelolaan sumber daya perikanan yang optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan
berkelanjutan. bersama maupun pengelolaan sumber daya
perikanan berbasis ekosistem berhadapan
Harapan pengelolaan sumber daya dengan suatu kondisi masalah klasik
perikanan berkenjutan masih berhadapan seperti tidak adanya alternatif lapangan
dengan permasalahan dasar human kerja, tingkat pendidikan rendah,
dimension, sehingga pengelolaan sumber kemiskinan.dan penegakan hukum yang
daya perikanan yang ada saat ini belum lemah.
berjalan optimal dan berkelanjutan. Situasi

110
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)

Pengendalian upaya penangkapan dan Berkes, F.; R. Mahon; P. McConney, R.


memahami dinamika perikanan, serta Pollnack, & R.Pomeroy, 2001. Managing
mengelola nelayan menjadi prioritas untuk small-scale fisheries, alternative
pengelolaan sumber daya ikan, sedangkan directions and methods. IDRC.
konsep pengelolaan berbasis masyarakat www.idrc.ca. 320 pp.
dan ko manajemen dtempatkan sebagai
pelengkap untuk menutupi kelemahan Cunningham, S. 2005. Successful fisheries
wilayah pengelolaan perikanan/sumber management, Issues, Case Studies,
daya ikan Republik Indonesia yang tertuang and Perspectives. Science 22 June 2007:
dalam UU 31 Tahun /2004 dan UU 45 tahun 316. (5832). 1713 1716.
2009 tentang perubahan atas UU 31 tahun
2004 tentang perikanan. Charbonneau, R., 2005. What is
Community-based Co-management in
Sebagaimana banyak dipahami bahwa Fshery Co-Management. A Practical
suatu sumber daya yang bersifat common, Handbook R.S. Pomeroy and R. Rivera-
ketika terjadi penurunan stok maka tidak Guieb (eds). IDRC (International
mudah untuk dibagi-bagikan di dalam Development Research Centre):1-18
pemanfaatannya. Persoalan ekstemalitas
tetap akan muncul pada saat sumber daya Christy, F.T.Jr. 1982. Territorial use rights
perikanan dlmanfaatkan, karena in marinefisheries: definitions and
ekstemalitas merupakan suatu dilema yang conditions. FAO Fish.Tech.Pap., (227):
menjadi ciri khas sendiri dan 10 pp.
membedakannya dari sumber daya lainnya.
Ekstemalitas muncul ketika nelayan Fauzi, A. 2005. Kebijakan perikanan dan
menangkap tidak akan memperhitungkan kelautan, isu, sistesis dan gagasan.
akibatnya bagi nelayan lain, atau Gramedia. 187p
pemanfaatan sumber daya yang dilakukan
seorang individu akan berpengaruh pada Garcia, S.M.; Newton, C. 1994. Current
individu yang lain. situation, trends and prospects in world
capture fisheries. Paper presented at the
DAFTAR PUSTAKA Conference on Fisheries Management,
Global Trends, June 1994, Seattle,
Anonymous,. 2005. World inventory of Washington, DC, USA
fisheries. Property rights and fisheries
management. Issues Fact Sheets In: Graham, J., A. Charles and A. Bull. 1971.
FAO Fisheries and Aquaculture Community Fisheries Management
Department [online]. Rome. Updated 27 Handbook. Gorsebrook Research
May 2005. (http://www.fao.org/fishery/ Institute, Saint Marys University, 2006.
topic/13335/en Cited 25 April 2011) 138 pp.

-, 2009. Towards Hamdan. 2008. Analisis Kebijakan


Sustainable Fisheries. Comment to the Pengelolaan Perikanan Tangkap
Commissions Green Paper Reform of Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu.
the Common Fisheries (disertasi). Program Pascasarjana IPB.
Policy(COM(2009)163 final). October Bogor. 199 hal (tidak dipublikasikan)
2009 No. 7. SRU, German Advisory
Council on the environment. 14 pp.

111
J. Kebijak. Perikan. Ind. Vol.3 No. 2 Nopember 2011 : 101-113

Howarth R.B..2007. Sustainability and the Nielsen J. R. & P. Degnbol. 2002. Fisheries
Fair-Sharing Principle, Environmental Co-Management - An Institutional
Studies Program Dartmouth College, Innovation. Perspectives and
Hanover, New Hampshire www.epa.gov/ Challenges Ahead. Paper no 216.
sustainability/ pdfs/howarth-epa-ord- Institute for Fisheries Management and
paper.pdf (downloaded 26/04/2011). Coastal Community Development (IFM).

Kusumastanto. T. (*). .Revitalisasi Sektor Pauly D., V. Christensen, S. Gunette, T.J.


Kelautan dan Perikanan secara Pitcher, U. R. Sumaila, C.J. Walters,R.
Berkelanjutan. tridoyo.blogspot.com Watson & D. Zeller, 2002. Towards
sustainability in world fisheries. Nature
Mallawa A, 2006. Pengeloaan Perikanan 418: 689-695. www.nature.com/nature
Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan
Berbasis Masyarakat. Lokakarya Pauly, D. 2009. Beyond duplicity and
Agenda Penelitian Program Coremap II ignorance in global fisheries. Scienta
Kabuoten .9-10 September 2006 Marina 73 (2). June 2009. p.215-224.

Maguire, J.J., M.Sissenwine, J. Csirke, R. Pitcher, T.J. and D. Pauly. 1998. Rebuilding
Grainger and S. Garcia, 2006. The state ecosystems, not sustainability, as the
of world highly migratory, straddling and proper goal of fishery management. in
other high seas fishery resources and Reinventing Fisheries Management ed
associated species. FAO. Rome. T. Pitcher, D. Pauly & P. Hart, (1998)
Chapman & Hall Fish and Fisheries
Masyhuri, 2004. Co-Management dan Series. Pages 311-325 (Chapter 24 ).
Pengelolaan Sumber daya Perikanan di
Era Otonomi. Jur. Ekonomi dan Pomeroy, R. S., M.B. Mascia & R. B.
Pembangunan, XII (2):72- 96 Pollnac, 2006. Marine Protected Areas:
The Social Dimension. FAO Expert
Mukminin, A., T. Kartawijaya, Y. Herdiana, Workshop on Marine Protected Areas
I. Yulianto. 2006. Laporan Monitoring. and Fisheries Management: Review of
Kajian Pola Pemanfaatan Perikanan di Issues and Considerations (1214 June,
Karimunjawa (2003-2005). Wildlife 2006)
Conservation Society Marine Program
Indonesia. Bogor, Indonesia. 35pp. Pramono, B. 2006. Strategi Pengelolaan
Perikanan Jaring Arad yang Berbasis di
Morgan, G., D. Staples and S.F. Smith. Kota Tegal. Tesis. Program
2007. Fishing capacity management and Pascasarjana. IPB. Bogor. 100 hal (tidak
IUU fishing in Asia. Asia-Pacific Fishery dipublikasikan)
Commmision FAO of The United Nations
Regional Office for Asia and the Pacific. Purwanti, F, H.S Alikodra, S.Basuni & D.
Bangkok. RAP publication 2007/16. Soedharma. 2008. Pengembangan Co-
28pp. Management Taman Nasional
Karimunjawa. Ilmu Kelautan. Vol
Mullon, C., P. Fron and P. Cury, 2005. The 13(3):159-166
dynamics of collapse in world fisheries.
Fish and Fisheries. 6: 111120. Radarwati, S., M. S,. Baskoro, D. R.
Monintja, A. Purbayanto. 2010. Analisis

112
Upaya-Upaya Pengelolaan ........... Berkelanjutan di Indonesia (Banon, S., et al.)

Faktor Internal - Eksternal Dan Status Tilmant, J. 2000. Coral reef protected areas:
Keberlanjutan Pengelolaan Perikanan A guide for management. U.S Coral Reef
Tangkap Di Teluk Jakarta. Jurnal Task Force. Departement of the Interior.
Teknologi Perikanan Dan Kelautan. 1 Washington. 14 pp.
(1).
Tridoyo Kusumastanto, T (*) Revitalisasi
Satria, A., 2004. Paradigma Perikanan Sektor Kelanjutan dan Perikanan
Berkelanjutan. Republika, 16 Juli 2004 Secara Berkelanjutan. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut
Solihin. A. & A. Satria, 2007. Hak Ulayat Pertanian Bogor. tridoyo.blogspot.com
Laut di Era Otonomi Daerah sebagai
Solusi Pengelolaan Perikanan UNEP, 2007. Procedure for Establishing a
Berkelanjutan: Kasus Awig-awig di Regional System of Fisheries Refugia
Lombok Barat. Jur. Transdisplin in the South China Sea and Gulf of
Sosiologi, komunikasi dan Ekologi Thailand in the context of the UNEP/GEF
Manusia. 1 (1) : 67 -86. project entitled: Reversing
Environmental Degradation Trends in the
Solihin A. 2010. Desentralisasi Kelautan South China Sea and Gulf of Thailand.
dan Revitalisasi Kearifan Lokal. South China Sea Knowledge Document
www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/ No. 4. UNEP/GEF/SCS/Inf.4
index.php
Wilson, D.C. 2003. The community
Susilo, S. B. 2003. Keberfanjutan development tradition and fisheries co-
Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi management. In: The Fisheries Co-
Kasus Kelurahan Pulau Panggang Dan management Experience
Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta. Disertasi. Program Wijayanto, D., 2003. Wacana Modernisasi
Pascasarjana IPB. Bogor. 233 hal. (tidak Perikanan Nasional.
dipublikasikan) www.sinarharapan.co.id/ berita/0611/22/
opi01.html

113

Anda mungkin juga menyukai