Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP MEDIS

1. DEFINISI

Menurut Gruendemann (2014) (cit Arif dan Kumala, 2013), Apendiks (umbai

cacing) merupakan perluasan sekum yang rata-rata panjangnya adalah 10cm. Ujung

apendiks dapat terletak di berbagai lokasi, terutama di belakang sekum. Arteri

apendisialis mengalirkan darah ke apendiks dan merupakan cabang dari arteri

ileokolika.

Apendisitis adalah kasus bedah abdomen darurat yang paling sering terjadi.

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis dan

merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi. Apendiks disebut juga

umbai cacing (Andran & Yessie. 2013, p. 88). Menurut Price (2009) apendisitis

adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut

yang disebabkan oleh agen infeksi.

2. ETIOLOGI

Menurut Andra &Yessie(2013) penyebab apendisitis antara lain:

a. Ulserasi pada mukosa

b. Obstruksi pada colon oleh fecalit (feses yang keras)

c. Berbagai macam penyakit cacing

d. Striktur karena fibrosis pada dinding usus

1
3. PATOFISIOLOGI

Obstruksi apendiks itu menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung,

makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding appendiks

oedem serta merangsang tunika serosa dan peritonium viseral. Oleh karena itu

persarafan appendiks sama dengan usus yaitu torakal X maka rangsangan itu

dirasakan sebagai rasa sakit disekitar umblikus.

Mukus yang terkumpul itu lalu terinfeksi oleh bakteri menjadi nanah, kemudian

timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu, peradangan yang

timbul meluas dan mengenai peritonium parietal setempat, sehingga menimbulkan

rasa sakit dikanan bawah, keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu maka timbul alergen dan ini disebut dengan

appendisitis gangrenosa. Bila dinding apendiks yang telah akut itu pecah, dinamakan

appendisitis perforasi.

Bila omentum usus yang berdekatan dapat mengelilingi apendiks yang meradang

atau perforasi akan timbul suatu masa lokal, keadaan ini disebut sebagai appendisitis

abses. Pada anak anak karena omentum masih pendek dan tipis, apendiks yang

relatif lebih panjang , dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang

masih kurang, demikian juga pada orang tua karena telah ada gangguan pembuluh

darah, maka perforasi terjadi lebih cepat. Bila appendisitis infiltrat ini menyembuh

dan kemudian gejalanya hilang timbul dikemudian hari maka terjadi appendisitis

kronis. (Syamsuhidayat, et.al, 2013)


4. MANIFESTASI KLINIK

Menurut Andra dan Yessie (2013) tanda terjadinya apendisitis antara lain:

a. Nyeri pindah ke kanan bawah (yang menetap dan diperberat bila berjalan atau

batuk) dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc.

Burney : nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler.

b. Nyeri rangsangan peritoneum tidaklangsung

c. Nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan (Roving

Sign)

d. Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepas (Blumberg)

e. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam, berjalan,

batuk, mengedan

f. Nafsu makan menurun

g. Demam

h. Gejala-gejala permulaan pada apendisitis yaitu perasaan tidak enak sekitar

umbilikus diikuti oleh anoreksia, nausea dan muntah, gejala ini umumnya

berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari.Beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran

kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan sekitar titik Mc. Burney,

kemudian dapat timbul spasme otot dan nyeri lepas.Biasanya ditemukan

demam ringan dan leukosit meningkat.Bila ruptureapendiks terjadi nyeri

sering sekali hilang secara dramatik untuk sementara.

5. KOMPLIKASI

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks, yang dapat berkembang

menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden
lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Peforasi secara umum terjadi 24 jam setelah

nyeri (gejala-gejalanya termasuk demam, penampilan toksik dan nyeri berlanjut).

(Syamsuhidayat, et.al, 2013)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein

(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara

10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP

ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen

protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses

inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka

sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

b. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed

Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian

memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks, sedangkan pada

pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan

perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu

85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.

c. Pemeriksaan penunjang lainnya

1) Pada copy fluorossekum dan ileum terminasuk tampak irritable

2) Pemeriksaan colok dubur : menyebabkan nyeri bila di daerah infeksi, bisa

dicapai dengan jari telunjuk. Menurut Craig, (2009) (cit Arif & Tutik, 2010, p.
505) pemeriksaan colok dubur diperlukan untuk mengevaluasi adanya

peradangan apendiks. Pertama-tama tentukan diameter anus dengan

mencocokkan jari. Apabila yang diperiksa adalah pediatrik, maka jari

kelingking diperlukan untuk melakukan colok dubur. Pemeriksaan colok

dubur dengan manifestasi nyeri pada saat palpasi mencapai area

inflamasi.Pemeriksaan juga mendeteksi adanya feses atau masa inflamasi

apendiks. Pada rectal taoucher, apabila terdapat nyeri pada arah jam 10-11

merupakan petunjuk adanya perforasi.

3) Uji psoas dan uji obturator

4) Pemeriksaan fisik menurut Deden &Tutik (2010, p. 85) ada 2 cara

pemeriksaan, yaitu:

a) Psoas Sign

Penderita terlentang, tungkai kanan harus lurus dan ditahan oleh

pemeriksa. Penderita disuruh aktif memfleksikan articulatio coxae kanan,

akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara aktif). Penderita miring ke

kiri, paha kanan di hiperektensi oleh pemeriksa, akan terasa nyeri di perut

kanan bawah (cara pasif).

b) Obtrutor Sign

Gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi supine akan

menimbulkan nyeri. Bila nyeri berarti kontak dengan Obturator internus,

artinya apendiks terletak di pelvis.

7. PENATALAKSANAAN

a. Sebelum operasi
1) Observasi

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis

seringkalibelum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan.

Penderita diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Pemeriksaan

abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis)

diulang secara periodik, foto abdomen dan thoraks dilakukan untuk mencari

kemungkinan adanya penyulit lain. Kebanyakan kasus diagnosa ditegakkan

dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah

timbulnya keluhan.

2) Antibiotik

Apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali

apendisitis gangrenosa atau apendisitis perporasi. Penundaan tindakan

pembedahan sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau

perforasi.

3) Operasi

Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera

mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan

dibawah anestesi umum dengan insisi abdomen bawah atau dengan

laparoscopy, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Brunner &

Suddarth, 2001).

Apendektomi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode

pembedahan, yaitu secara tehnik terbuka / pembedahan konvensional

(laparotomy) atau dengan tehnik laparoscopy yang merupakan teknik


pembedahan minimal invasif dengan metode terbaru yang sangat efektif

(Brunner & Suddarth, 2001).

1) Laparotomy

Laparotomy adalah prosedur yang membuat irisan vertikal besar pada

dinding perut ke dalam rongga perut. Menurut referensi lain

laparotomy adalah salah operasi yang dilakukan pada daerah abdomen.

Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ

dalam dalam membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik

diagnosa yang tidak invansif, laparotomy semakin kurang digunakan

dibandingkan masa lalu. Prosedur ini hanya dilakukan jika semua

prosedur lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti

pemeriksaan sinar X atau tes darah atau urineatau tesdarah, gagal

mengungkap penyakit penderita. Teknik laparoscopy yang seminimal

mungkin tingkat invansifnya juga membuat laparotomy tidak sesering

di masa lalu. Bila laparotomy dilakukan, begitu organ-organ dalam

dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah yang

diperlukan harus segera dilakukan.

2) Laparoscopy

Laparoscopy berasal dari kata lapara yaitu bagian dari badan mulai iga

paling bawah sampai dengan panggul. Teknologi laparoscopy ini bisa

digunakan untuk melakukan pengobatan dan juga untuk melakukan

diagnosa terhadap penyakit yang belum jelas.


b. Pasca operasi

Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan, baringkan

penderita dalam posisi fowler.Penderita dikatakan baik bila dalam 12 jam

tidak terjadi gangguan, selama itu penderita dipuasakan sampai fungsi usus

kembali normal. Satu hari pasca operasi penderita dianjurkan untuk duduk

tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk

duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan penderita

diperbolehkan pulang (Mansjoer, 2010).

8. PENCEGAHAN

1) Meningkatkan Daya Imun

Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mencegah usus buntu adalah

dengan meningkatkan sistem imun tubuh. Alasannya adalah ketika sistem imun

meningkat makanan tidak akan bisa masuk ke dalam usus buntu tersebut. Jika

imun melemah di dalam usus buntu terdapat makanan yang nantinya bisa

membusuk di dalam usus tersebut. Setelah terjadi pembusukan akan muncul

infeksi dan bisa menyebabkan orang tersebut mengalami sakit perut. Jika tidak

segera diatasi infeksi itu akan menyebabkan usus buntu menjadi pecah dan infeksi

bisa menjalar ke bagian usus lainnya.

2) Mengkonsumsi Makanan Kaya Serat

Makanan yang tinggi serat adalah makanan yang bisa digunakan untuk

mencegah terjadinya usus buntu. Alasannya adalah radang yang ada di usus buntu

banyak disebabkan oleh penumpukan feses. Bisa dikatakan bahwa orang yang
terkena sembelit dia akan memiliki resiko untuk terkena radang usus buntu. Oleh

sebab itu orang yang sering mengalami sembelit ada baiknya mengkonsumsi

makana tinggi serat seperti agar-agar, sayuran dan juga buah-buahan. Hal itu

dikarenakan semua makanan tersebut banyak mengandung serat. Serat baik untuk

pencernaan sehingga feses akan melunak dan bab menjadi lancar. Feses yang

keras akan menyumbat usus terutama usus buntu.

3) Jangan Menunda BAB

Orang yang suka menunda BAB rentan untuk terkena usus buntu.

Meskipun terlihat sepele ternyata menahan BAB menjadi penyebab seseorang

bisa terkena radang usus buntu. Ketika kita menahan BAB, kita akan mengalami

penumpukan feses padahal penumpukan feses itu adalah hal yang bisa

menyebabkan radang usus buntu..

4) Hindari Bahaya Menahan Kentut

Sering kentut memang ada efek negatif dan positifnya. Menahan kentut

juga menjadi penyebab mengapa seseorang bisa mengalami usus buntu. Hal itu

dikarenakan saat seseorang kentut saluran pencernaan akan menjadi lancar dan

tidak tersumbat. Untuk itu, jangan pernah menahan kentut sebab saluran

pencernaan yang tersumbat bisa menjadi penyebab radang usus buntu.

5) Banyak Mengkonsumsi Air Putih

Cara lainnya untuk mencegah usus buntu adalah banyak mengkonsumsi

air putih. Air putih bisa melancarkan pencernaan dan mencegah sembelit. Feses

yang keras bisa dilunakkan dengan cairan yang ada di dalam tubuh, oleh sebab itu

orang yang kurang dalam mengkonsumsi cairan dirinya akan rentan untuk terkena
sembelit dan juga radang usus buntu. Orang yang duduk selama berjam-jam di

depan komputer juga rentan untuk mengalami sembelit sehingga diwajibkan

untuk mengkonsumsi 8 gelas air per harinya.


B. KONSEP KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Menurut Perry Potter (2007) pengkajian pada penderita post operasi adalah:

a. Jalan Napas dan Pernapasan

Agen anestesi tertentu menyebabkan depresi pernafasan. Waspadai

pernapasan dangkal, lambat, dan batuk lemah. Kaji patensi jalan napas, laju

napas, irama, kedalaman ventilasi, simetri gerakan dinding dada, suara napas, dan

warna mukosa. Nilai normal oksimeter pulsa berkisar antara 92% dan 100%

saturasi. Kebingungan pasca operasi merupakan efek sekunder dari hipoksia

terutama pada lansia.

b. Sirkulasi

Penderita berisiko mengalami komplikasi kardiovaskular yang disebabkan

oleh hilangnya darah aktual atau potensial dari tempat pembedahan, efek samping

dari anestesi, ketidakseimbangan elektrolit, dan depresi mekanisme yang

mengatur sirkulasi normal. Pengkajian yang telah diteliti terhadap denyut dan

irama jantung, bersama dengan tekanan darah, mengungkapkan status

kardiovaskular penderita. Kaji sirkulasi kapiler dengan mencatat pengisian

kembali kapiler, denyut, serta warna kuku dan temperatu kulit.Masalah umum

awal sirkulasi adalah perdarahan. Kehilangan darah dapat terjadi secara eksternal

melalui saluran atau sayatan internal. Kedua tipe ini menghasilkan perdarahan dan

penurunan tekanan darah, jantung, dan laju pernapasan meningkat, nadi terdengar

lemah, kulit dingin, lembab, pucat, dan gelisah.

c. Kontrol Suhu
d. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Kaji status hidrasi dan pantau fungsi jatung dan saraf untuk tanda-tanda

perubahan elektrolit. Monitor dan bandingkan nilai-nilai laboratorium dengan

nilai-nilai dasar dari penderita. Catatan yang akurat dari asupan dan keluaran

dapat menilai fungsi ginjal dan peredaran darah. Ukur semua sumber keluaran,

termasuk urine, keluaran dari pembedahan, drainase luka dan perhatikan setiap

keluaran yang tidak terlihat dari diaforesis.

e. Fungsi Neurologi

Kaji refleks pupil dan muntah, cengkeraman tangan, dan gerakan kaki. Jika

penderita telah menjalani operasi melibatkan sebagian sistem saraf, lakukan

pengkajian neurologi secara lebih menyeluruh.

f. Integritas Kulit dan Kondisi Luka

Perhatikan jumlah, warna, bau dan konsistensi drainase diperban. Pada

penggantian perban pertama kalinya perlu dikaji area insisi, jika tepi luka

berdekatan dan untuk perdarahan atau drainase.

g. Fungsi Perkemihan

Anestesi epidural atau spinal sering mencegah penderita dari sensasi kandung

kemih yang penuh. Raba perut bagian bawah tapat di atas simfisis pubis untuk

mengkaji distensi kandung kemih. Jika penderita terpasang kateter urine, harus

ada aliran urine terus-menerus sebanyak 30-50 ml/jam pada orang dewasa. Amati

warna dan bau urine, pembedahan yang melibatkan saluran kemih biasanya akan

menyebabkan urine berdarah paling sedikit selama 12 sampai 24 jam, tergantung

pada jenis operasi.


h. Fungsi Gastrointestinal

Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat akumulasi gas.

Perawat perlu memantau asupan oral awal penderita yang berisiko menyebabkan

aspirasi atau adanya mual dan muntah. Kaji juga kembalinya peristaltik setiap 4

sampai 8 jam. Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali

normal, 5-30 bunyi keras per menit pada masing-masing kuadran menunjukkan

gerak peristaltik yang telah kembali. Suara denting tinggi disertai oleh distensi

perut menunjukkan bahwa usus tidak berfungsi dengan baik. Tanyakan apakah

penderita membuang gas (flatus), ini merupakan tanda penting yang menunjukkan

fungsi usus normal.

i. Kenyamanan

Penderita merasakan nyeri sebelum mendapatkan kembali kesadaran penuh. Nyeri

insisi akut menyebabkan penderita menjadi gelisah dan mungkin

bertanggungjawab atas perubahan sementara pada tanda vital. Kaji nyeri penderita

dengan skala nyeri, evaluasi respons terhadap analgesik.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Nyeri akut berhubungan dengan Agen-agen penyebab cedera (misalnya, biologis,

kimia, fisik, dan psikologis)

b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan

Ketidakmampuan untuk menelan atau menerima makanan atau menyerap nutrien

c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas dan

penurunan kekuatan, nyeri,

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan


e. Risiko infeksi berhubungan dengan Pertahanan primer tidak adekuat (misal, kulit

luka, trauma jaringan)

3. HASIL YANG DIHARAPKAN

a. Nyeri akut

Kriteria hasil :

Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai

berikut (sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau

selalu):

a. Mengenali awitan nyeri

b. Menggunakan tindakan pencegahan

c. Melaporkan nyeri dapat dikendalikan

Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut

(sebutkan 1-5: sangat berat, berat, sedang, ringan, atau tidak ada):

Ekspresi nyeri pada wajah

Gelisah atau ketegangan otot

Durasi episode nyeri

Merintih dan menangis

Gelisah

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Kriteria hasil :

a) Memperlihatkan status gizi : asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan

oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak adekuat,sedikit

adekuat, cukup adekuat, adekuat, sangat adekuat)


Makanan oral, pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi

parenteral total

Asupan cairan oral / IV

b) Mempertahankan berat badan ideal

c) Memiliki nilai laboratorium (misalnya, transferin, albumin, dan elektrolit

dalam batas normal)

c. Hambatan Mobilitas Fisik

Kriteria hasil :

Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh indikator berikut (gangguan

ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan keseimbangan,

koordinasi, performa posisi tubuh, pergerakan sendi dan otot, berjalan dan

bergerak dengan mudah).

d. Ansietas

Kriteria hasil :

a) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan

sampai sedang, konsentrasi

b) Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan mengalami kecemasan

c) Memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal

e. Risiko infeksi

Kriteria hasil :

a) Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan dengan : status imun,

keparahan infeksi, dan penyembuhan luka

b) Terbebas dari tanda gejala infeksi


4. RENCANA/INTERVENSI KEPERAWATAN

a. Nyeri akut

Intervensi

1. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka

yang tidak mampu berkomunikasi efektif

2. Minta penderita untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0

samapi 10 (0 = tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10 = nyeri hebat).

3. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi,

karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau

keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

4. Informasikan kepada penderita tentang prosedur yang dapat

meningkatkan nyeri

5. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri

akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.

6. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya,umpan balik

biologis, relaksasi, imajinasi terbimbing,terapi musik, distraksi, terapi

bermain, terapi aktivitas, kompres hangat atau dingin, massase sebelum

dan sesudah, dan jikamemungkinkan selama aktivitas yang menimbulkan

nyeri

7. Bantu penderita untuk lebih fokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan

rasa tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui televisi,

radio,tape, dan interaksi dengan pengunjung


8. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon penderita

terhadap ketidaknyamanan (misalnya, suhu ruangan, pencahayaan, dan

kegaduhan)

9. Pastikan pemberian analgesia terapi atau strategi nonfarmakologis

sebelum melakukan prosedur yang menimbulkan nyeri

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Intervensi :

1. Timbang penderita pada interval yang tepat.

2. Instruksikan penderita agar menarik napas dalam, perlahan, dan menelan

secara sadar untuk mengurangi mual dan muntah.

3. Letakkan makanan pada bagian mulut yang tidak bermasalah untuk

memudahkan menelan.

4. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana

memenuhinya.

5. Tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan,

jumlah kalori dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi

kebutuhan nutrisi (khususnya untuk penderita dengan kebutuhan energi

tinggi, seperti penderita pascabedah dan luka bakar, trauma, demam, dan

luka).

6. Berikan obat antiemetik dan/atau analgesik sebelum makan atau sesuai

jadwal yang dianjurkan.

c. Hambatan mobilitas fisik

Intervensi
1. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan

2. Berikan penguatan positif selama aktivitas

3. Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan ambulasi

4. Ajarkan dan dukung penderita dalam latihan ROM aktif atau pasif

5. Ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang aman

6. Kolaborasi dengan terapi ahli fisik dan okupasi

7. Berikan penguatan positif selama aktivitas

8. Berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik

9. Atur posisi dengan kesejajaran tubuh yang benar

10. Ubah posisi penderita minimal setiap 2 jam

11. Dukung latihan ROM aktif atau pasif jika diperlukan

d. Ansietas

Intervensi

1. Kaji faktor budaya (misalnya konflik nilai) yang menjadi penyebab

ansietas

2. Berikan penguatan positif kepada penderita

3. Berikan sikap empatik secara verbal non verbal

4. Berikan informasi kepada kelurga tentang gejala ansietas

5. Ajarkan relaksasi distraksi

6. Kolaborasi pemberian obat ansietas jika diperlukan

e. Resiko infeksi

Intervensi :
1. Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh, denyut jantung,

drainase, penampilan luka, suhu kulit, lesi kulit)

2. Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi

3. Bersihkan, pantau, dan fasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup

dengan jahitan.

4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.

5. EVALUASI

a. Nyeri akut

a. Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai

berikut (sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau

selalu):

i. Mengenali awitan nyeri

ii. Menggunakan tindakan pencegahan

iii. Melaporkan nyeri dapat dikendalikan

b. Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut

(sebutkan 1-5: sangat berat, berat, sedang, ringan, atau tidak ada):

a) Ekspresi nyeri pada wajah

b) Gelisah atau ketegangan otot

c) Durasi episode nyeri

d) Merintih dan menangis


b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

1) Memperlihatkan status gizi : asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan

oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak adekuat,sedikit adekuat,

cukup adekuat, adekuat, sangat adekuat)

2) Makanan oral, pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi parenteral total

3) Asupan cairan oral / IV

4) Mempertahankan berat badanideal

5) Memiliki nilai laboratorium (misalnya, transferin, albumin, dan elektrolit

dalam batas normal)

c. Hambatan mobilitas fisik

Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh indikator berikut

1) gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan

keseimbangan, koordinasi, performa posisi tubuh, pergerakan sendi dan otot,

berjalan dan bergerak dengan mudah).

d. Ansietas

1) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan

sampai sedang, konsentrasi

2) Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan mengalami kecemasan

3) Memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal

e. Risiko infeksi

1) Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan dengan : status imun, keparahan

infeksi, dan penyembuhan luka

2) Terbebas dari tanda gejala infeksi


DAFTAR PUSTAKA

Andra & Yessie. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa Teori dan
Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Dermawan, Deden, dkk. (2010). Keperawatan Medikal Bedah (Sistem Pencernaan).


Yogyakarta : Gosyen Publishing

Ed. Herman T.H And Komitsuru. S. 2014. Nanda Internasional Nursing Diagnosis,
Definition And Clasification 2015-2017. Egc. Jakarta

Judith M. Wilkinson. (2016) Diagnosis Keperawatan: Diagnosis Nanda-I, Intervensi Nic,


Hasil Noc Edisi10. Jakarta : Egc

Muttaqin, Arif dkk. (2013). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan


Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika

Price, Sylvia Anderson.(2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - proses Penyakit. Jilid 6.
Jakarta: EGC

Sjamsuhidajat. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC. Jakarta

Smeltzer, S. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2
Edisi 8. Jakarta : EGC

Wilkinson & Ahern. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9 (Terjemahan).
Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai