Anda di halaman 1dari 11

Keadilan Sosial dalam Pelayanan Kesehatan yang Tidak Merata

Destin Marseli (10.2014.051)


Kelompok A4
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.06 Jakarta Barat 11510
Telp : (021)56942061. Fax (021)5631731
Email : destin.2014fk051@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Keadilan sosial adalah keadilan yang berhubungan dengan pembagian nikmat dan
beban dari suatu kerja sama sosial khususnya yang disebut negara. Karena itu, dalam
literatur, keadilan sosial sering juga disebut sebagai keadilan distributif . Meski istilah
tersebut tidak keliru, tapi perlu diberi catatan bahwa keadilan sosial bukan sekedar masalah
distribusi ekonomi saja, melainkan jauh lebih luas, mencakup keseluruhan dimensi moral
dalam penataan politik, ekonomi, dan semua aspek kemasyarakatan yang lain. Dalam bahasa
Indonesia dikenal pula ungkapan keadilan struktural yang melihat keadilan, sosial maupun
individual, lebih dari perspektif struktur sosial. Keadilan sosial digunakan sebagai istilah
umum, yang dalam kajian ini sering akan disingkat keadilan saja. Keadilan distributif
dibedakan dari keadilan retributif, yaitu keadilan yang berkenaan dengan kontrol bagi
pelaksanaan keadilan distributif, lebih berhubungan dengan keadilan legal atau hukum.1

7
Pembahasan

Asumsi publik tentang manusia, rumah sakit, keadilan


Hegemoni
Istilah hegemoni berasal dari istilah yunani, hegeisthai. Konsep hegemoni banyak
digunakan oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk
mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa disini memiliki arti luas, tidak
hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah).2
Hegemoni bisa didefinisikan sebagai: dominasi oleh satu kelompok terhadap
kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan
oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang
wajar (common sense).2

Keadilan Sosial dalam Pelayanan Kesehatan


Jika pelayanan kesehatan dalam suatu masyarakat hanya tersedia untuk orang berduit,
masyarakat itu memang belum mewujudkan keadilan sosial. Tetapi pelaksanaan keadilan
sosial itu tidak tergantung pada beberapa individu saja. Hal itu tergantung pada struktur-
struktur sosial-ekonomi-politik yang tidak adil.3
Topik bioetis lain lagi kadang-kadang dilupakan, tetapi sebenarnya sangat penting
dalam refleksi etika tentang masalah biomedis, yaitu keadilan dalam pelayanan kesehatan.
Tidak dapat diragukan, keadilan merupakan suatu tema pokok dalam pemikiran etika dan
diantara hal-hal yang harus diatur dengan adil dalam masyarakat, pelayanan kesehatan
menduduki peringkat penting. Setiap negara menghadapi pertanyaan: bagaimana kita dapat
menciptakan suatu sistem pelayanan kesehatan yang adil, artinya terjangkau oleh semua
warga negara?. Berbeda dengan banyak topik bioetis yang lain, masalah ini bukan merupakan
sesuatu yang baru. Namun, bersama dengan kemajuan yang dialami oleh ilmu dan teknologi
biomedis, masalah keadilan sosial berkembang juga. Tidak adil bila kemajuan begitu besar
hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Semua warga harus mempunyai akses kepada
pelayanan kesehatan, setidak-tidaknya kepada pelayanan kesehatan yang perlu unutk hidup
dengan layak.4

7
Keadilan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Urusan Rumah Sakit dan Pemerintah
Salah satu program yang sebenarnya sangat strategis, dan yang masih perlu
memperoleh perhatian secara konsepsional sebagaimana mestinya adalah penyelenggaraan
program jaminan sosial. Program jaminan sosial di setiap negara tidak hanya bermakna
sosial, tetapi juga ekonomi. Dana yang disimpan oleh setiap program jaminan sosial adalah
sangat besar, sehingga dapat menunjang pembangunan ekonomi suatu negara.5
Banyak negara, termasuk AS, melihat program jaminan sosial sebagai salah satu jalan
untuk memenuhi kesejahteraan rakyat dan menjadikannya sebagai isu politik yang penting.
Bill Clinton memenangkan kampanye melalui gagasan reformasi jaminan kesehatan dan
sampai sekarang pun Bill Clinton masih konsisten dengan gagasannya.5
Misalnya, ia telah mengalokasikan anggaran sebesar 2,7 triliun dolar AS untuk memperkuat
program social security-nya. Jepang, Singapura, dan bahkan Malaysia, barangkali akan lebih
sulit, apabila belum memiliki program jaminan sosial yang tangguh. 5
Hal ini sudah tentu tanpa upaya-upaya yang telah dilakukan, baik dalam program
Jamsostek, Askes, Taspen, dan lain sebagainya yang dananya sudah demikian besar untuk
ukuran Indonesia. Namun, apabila upaya-upaya itu dilakukan dalam kerangka membangun
sebuah sistem, akan berdampak ekonomi yang jauh lebih besar. 5
Sekedar contoh, pada setiap bank BUMN, mereka memiliki yayasan tersendiri yang
menjamin jaminan sosial tenaga kerjanya, dengan organisasi, pengurus dan jaringan sendiri-
sendiri. Meskipun demikian, dalam ukuran kita sekarang, keberadannya sudah dapat
bermakna bagi tenaga kerja di lingkungannya masing-masing.5
Namun, dalam waktu bersamaan, sesungguhnya juga ada permasalahan yang juga
obyektif, yaitu karena memang belum ada sebuah skenario nasioanl untuk mewujudkan
bentuk jaminan sosial yang kita cita-citakan. Karena itu, semua pihak berjalan sendiri-sendiri,
dalam bentuk yang relatif kecil, sangat fragmented, sehingga terkadang sangat rawan
keberadaannya, di samping tidak mampu menyumbang secara bermakna pada ekonomi
nasional.5
Karena itu, ada gagasan apakah belum saatnya kita sekarang mengkaji kembali
perundangan yang ada? Mengkaji kembali program yang telah berjalan, dalam kerangka
membangun sistem jaminan sosial nasional, sehingga keberadannya lebih mantap dan mampu
memberi sumbangan yang lebih besar pada ekonomi nasional? Gagasan itu sangat wajar,
mengingat terasa adanya keganjilan, bahwa penyelenggaraan jaminan sosial, khususnya
dalam penyelenggaraan JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan).5
7
Pemerintah menetapkan kebijaksanaan investasi dana jaminan sosial, unutk menjamin
keamanan dan nilai tambah yang diperoleh. Investasi di bidang usaha yang dapat
mengganggu likuiditas dan kurang aman harus dilarang. 5
Perlu dilakukan review perundangan yang ada, sehingga perundangan yang ada
(bilamana perlu) disempurnakan, dalam kerangka membangun sistem jaminan sosial yang
integrated dan mantap. 5

Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakadilan sosial dalam pelayanan kesehatan


Sosial ekonomi
Mungkin satu-satunya alasan yang kuat mengenai dianutnya sistem sosialisme
terletak pada pencantuman Sila ke lima dari Pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Bersama-sama dengan penegasan tujuan pembangunan nasional yaitu
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dengan mencantumkan adil lebih
dahulu daripada makmur, maka terkandung adanya semangat jiwa sosialisme yang
menekankan pada aspek keadilan sosial. Tetapi mengenai inipun masih banyak pendapat
yang menyatakan bahwa tidak mungkin keadilan dicapai tanpa bertambahnya kemakmuran
lebih dahulu.6 Perekonomian harus tumbuh dengan cepat, sebelum program-program
pemerataan untuk mencapai keadilan sosial dapat dilaksanakan. 6
Asas kekeluargaan adalah prinsip tidak saling merugikan. Kesukaran kita disini
adalah bagaimana pembagian keuntungan dalam perekonomian dapat dikatakan adil dan
memenuhi asas keadilan. Di sini kembali kita terlibat dalam masalah yang mengandung unsur
moral dan etika yang tidak semata-mata menggambarkan ukuran efisiensi. 6
Asas pemerataan dan keadilan sosial dalam sistem ekonomi Pancasila memang dapat
kita gali dalam jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar 1945 dan filsafat hidup bangsa
kita. Tanpa kebijaksanaan dan program eksplisit sebagaimana tercantum dalam delapan jalur
pemerataan, sebenarnya bangsa Indonesia sudah harus mampu merealisasikan sila keadilan
sosial. Memang dengan penegasannya dalam delapan jalur pemerataan lebih terasa ada
saluran operasional, yang lebih jelas mengarahkan para penentu dan pelaksana kebijaksanaan.
Tetapi lebih daripada itu, iktikad dan semangat pemerataan seyogyanya sudah menjiwai
pikiran, tindak-tanduk dan tingkah laku kita semuanya. Inilah norma keadilan sosial dalam
sistem ekonomi Pancasila, suatu norma yang secara moral perlu mengikat setiap warga
negara, tetapi yang sukar kita peroleh jaminan pelaksanaannya dalam praktek hidup sehari-
hari. Dalam kenyataan, bila kita bertekad secara konsekuen menerapkan asas keadilan sosial,
maka ketentuan lain-lain seperti pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar dan

7
ketentuan pemberian pekerjaan, kesehatan dan penghidupan yang manusiawi kepada setiap
warga negara harus mendapat perhatian sepenuhnya, tidak saja oleh negara dan pemerintah
tetapi oleh anggota-anggota masyarakat secara keseluruhan. 6

Sosial budaya
Relativisme budaya menganggap bahwa tidak ada satu budaya pun, adat istiadat, dan
keyakinan yang mendominasi budaya lain dalam pengertian moral. Mereka menganggap
bahwa HAM tidak relevan untuk budaya yang tidak menganut adat istiadat karena berasal
dari keyakinan dan nilai Barat. Relativisme budaya merupakan suatu pandangan yang
memersepsikan gejala sosial budaya dari perspektif para penganut budaya yang
bersangkutan. Dengan kata lain, itu menjadi suatu pandangan dalam pemertahanan budaya
dari gempuran luar yang dominan.7
Adamantia Pollis dan Peter Schwab, tokoh relativis budaya, menolak HAM universal
sebab hak sipil dan politis tidak bermakna bagi sebagian masyarakat di luar dunia Barat.
Menurut mereka, alasan perjuangan gerakan HAM universal, adalah hak tersebut tidak
dihargai dan diterima sebagai prinsip universal. Bahwa setiap masyarakat pada dasarnya
sudah memiliki kerangka acuan tentang hak mereka yang terdapat dalam tradisi dan
kebudayaannya. Dengan demikian dalam masyarakat yang berbeda terdapat konsepsi HAM
yang berbeda pula. Akibatnya semua sistem keadilan sosial, moralitas, dan martabat manusia
yang terdapat dalam kebudayaan tertentu dapat dipandang sebagai sistem HAM. 7
Kritik relativisme terhadap HAM universalisme sama dengan kritik dan
pandangannya terhadap modernisme, liberalisme, individualisme, kapitalisme, dan
imperialisme Barat. Sementara itu, kritik kaum universalisme terhadap kaum relativisme
yang cenderung berada di belakang budaya, menganggap pandangan mereka itu represif,
diskriminatif, tidak bebas, eksklusif dan homogen. Menurut pandangan universalisme, jika
suatu perubahan cenderung berproses dengan sehat memungkinkan seseorang dapat memilih
dan menjadi dinamik. Masyarakat yang berubah menunjukkan kemajuan. Sebaliknya,
masyarakat tradisional adalah masyarakat yang statis.7

7
Pendidikan
Peningkatan akses masyarakat secara umum terhadap pendidikan yang lebih
berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan
negara Indonesia, yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945: ...untuk melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdakaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam batang tubuh UUD
1945, diamanatkan pentingnya pendidikan bagi seluruh warga negara, seperti yang tertuang
dalam Pasal 28-B Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1). Pasal 28-B Ayat (1) mengamanatkan bahwa
setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya, demi kesejahteraan umat manusia.
Pasal 31 Ayat (1) mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan.8
Pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia, bahkan kinerja pendidikan, yaitu gabungan Angka Partisipasi Kasar (APK)
jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek aksara
digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
bersama-sama dengan variabel kesehatan dan ekonomi. Pembangunan pendidikan nasional
harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, serta
relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal,nasional,dan global. Pembangunan pendidikan nasional
yang dilakukan dalam kurun waktu 2004-2009 telah mempertimbangkan kesepakatan-
kesepakatan internasional, seperti pendidikan untuk semua (education for all), konvensi hak
anak (convention on the right of child), millenium development goals (MDGs), serta world
summit on sustainable development yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan
sebagai salah satu cara untuk menanggulangi kemiskinan, peningkatan keadilan dan
kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, peningkatan
keadilan sosial. Permasalahan pendidikan yang selama ini dialami, antara lain: 8
Tingkat pendidikan penduduk relatif rendah.
Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya teratasi dalam pembangunan
pendidikan.

7
Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup besar antarkelompok masyarakat.
Fasilitas pelayanan pendidikan, khususnya untuk jenjang pendidikan menengah pertama dan
yang lebih tinggi belum tersedia secara merata.
Kualitas pendidikan relatif masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan.
Kompetensi peserta didik.
Pembangunan pendidikan belum sepenuhnya dapat meningkatkan kemampuan kewirausaan
lulusan.
Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien.
Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.
Sasaran pembangunan pendidikan adalah meningkatkan akses masyarakat terhadap
pendidikan dan mutu pendidikan yang ditandai oleh: 8
Meningkatnya taraf pendidikan penduduk Indonesia melalui peningkatan secara nyata
persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun dan meningkatnya partisipasi penduduk yang mengikuti pendidikan
menengah secara signifikan.
Meningkatnya kualitas pendidikan.
Meningkatnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
Meningkatnya efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan.

Sasaran tersebut dicapai dengan melaksanakan program-program pembangunan dan kegiatan


pokok, antara lain: 8
Program pendidikan anak usia dini.
Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Program pendidikan menengah.
Program pendidikan tinggi.
Program pendidikan nonformal.
Program peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan.
Program pendidikan kedinasan.
Program pengembangan budaya baca dan pembinaan perpusatakaan.
Program penelitian dan pengembangan pendidikan.
Program manajemen pelayanan pendidikan.

7
Refleksi filosofis
Gagasan tentang negara dan keadilan menurut Hobbes
Dimulainya pengonsepsian negara sebagai organisasi kekuasaan yang bersifat sekular
dapat merujuk pada pemikiran Thomas Hobbes dalam Leviathan. Hobbes berpandangan
apabila negara diadakan tak lain dengan tujuan supaya melindungi hak-hak alamiah manusia
atas hidup dan keamanan dalam hidup. Karena sebelumnya manusia berada di masa alamiah
yang mana hukum yang berlaku hanyalah siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Oleh
karenanya Hobbes menginginkan sebuah negara yang kuat atau monster yang kuat
(leviathan) untuk dapat mengatasi berbagai pertentangan yang diakibatkan oleh sifat
manusia yang buruk. Pada masa ini teori-teori kenegaraan yang didasarkan pada keyakinan
akan terdapatnya sebuah kontrak sosial antara penguasa dan rakyatnya marak. Atau dengan
kata lain, negara eksis tak lain dikarenakan ia memiliki kewajiban untuk menunaikan
kewajibannya di bawah kontrak sosial tersebut.9

Gagasan tentang keadilan menurut Habermas Rawls


Seperti Habermas Rawls mengembangkan sebuah teori politik yang berciri
proseduralistis. Dalam teori itu dia menetapkan sebuah prosedur yang harus diikuti untuk
mengerti prioritas yang adil atas yang baik. Untuk itu Rawls menempuh metode yang
berbeda dari Habermas. Alih-alih mencari kondisi-kondisi komunikasi ideal dia bekerja
dengan sebuah konstruksi fiktif tentang posisi asali (original position). Di dalam posisi
asali ini-demikian dibayangkan Rawls-para individu berkedudukan sama dan berunding satu
sama lain di belakang tabir ketidaktahuan (veil if ignorance). Proses itu memungkinkan
persetujuan atas tatanan-tataban sosial-politis yang berlaku untuk semua pihak secara sama.
Individu-individu di dalam posisi asali ini tidak mengetahui keistimewaan-keistimewaan
yang mungkin diraih di masa depan entah karena keuntungan atau kerugian yang akan
mereka terima. Mereka tidak mengetahui, misalnya, apakah nanti mereka kiranya akan
termasuk dalam kalangan orang kaya atau orang miskin, dalam kalangan berkuasa atau
kalangan lemah. Di dalam situasi seperti itu menurut Rawls asas-asas rasional yang kiranya
akan dipilih oleh semua pihak adalah asas-asas keadilan. Jika kita mencermati cara berpikir
ini kita akan menemukan motif yang sama di dalam gagasan Rawls tentang keadilan dan
gagasan Habermas tentang diskursus moral : Tatanan politis seharusnya tersusun sedemikian
rupa sehingga tidak hanya mencerminkan kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok
tertentu di masyarakat, melainkan kepentingan-kepentingan semua pihak.10

7
Gagasan Emmanuel Levinas
Dari seluruh filsafatnya itu, Levinas meyakini bahwa metafisika harus menggantikan
onotologi merupakan pengetahuan totalm menyeluruh mengenai ada. Padahal, seperti
sudah diutarakan di depan, yang lain menurut Levinas, mustahil dikuasai dan dimasukkan
dalam totalitasku. Jadi, tidak dimungkinkan pengetahuan mengenai Ada yang total tanpa
transendensi. Metafisika, sebaliknya, memperlakukan yang lain, kodrati, dan alami.
Metafisika memperlakukan yang lain tetap sebagai yang lain dan bukan yang sama. Akan
tetapi, dalam anggapan Zygmunt Bauman, melalui metafisikanya Levinas sebetulnya malah
sudah lebih jauh ke depan dengan menenmpatkan etika mendahului ontologi. Paham
moralnya yang diletakan bukan pada kewajiban dari diriku, melainkan panggilan kepedulian
pada yang lain, menyebabkan bobot moral keluar dari pusat keakuan si pemoral dan
melesat ke dalam lingkup asing yang tidak kukenal. Sebab dalam metafisika Levinas, yang
lain mendahului adaku, yang lain ber balik menjadi pusat, sementara diriku menjadi
pinggiran. Dengan cara itu, Levinas juga mengatasi kecenderungan egologi yang
berkembang hingga zama modern. Dengan demikian keberadaanku sudah selalu bersifat etis,
ditandai dengan ciri ada bagi (being for) yang lain sejak awal. Adaku tidak berarti apa-
apa tanpa yang lain.11

Hak Asasi Manusia Dalam Pelayanan Kesehatan


Proses medical liability dan respondent hospital liability dalam lingkup hukum
kesehatan yang bersifat lex specialis mendalilkan pada mendical defences profession of
justice sebagai peradilan profesi kesehatan yang dapat dilakukan oleh organisasi profesi
kesehatan dan pimpinan rumah sakit yang bersangkutan.12
Tugas pelayanan kesehatan yang enuju pada masyarakat sejahtera menjadi tanggung
jawab pemerintah bersama-sama dengan masyarakat itu sendiri. 12
Rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan kesehatan seperti tersebut di atas
dapat berbentuk badan usaha non profit yangb ergerak dalam bidang pelayanan kesehatan,
hanrus mengandung visi, misi, dan pedoman rumah sakit adalah pelayanan kesehatan
manusia untuk kesejahteraan (social welfare) yang berorientasi pada hak asasi manusia
(human rights) di bidang kesehatan. 12

7
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan khusus manajemen rumah sakit program pelayanan
(medicare) dan pendanaan (medicaid) yang difungsikan dan dipertanggungjawabkan oleh tiga
kelompok provider sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan, yaitu : 12
Direksi dan staf direksi;
Dokter Umum, dokter gigi, dan dokter spesialis;
Paramedis dan perawat.
Ketiga kelompok provider dalam manajemen rumah sakit adalah sebagai tolak ukur
keberhasilan manajemen rumah sakit terhadap maraknya kasus dugaan malapraktik
kedokteran. Tanpa disadari, ketiga kelompok provider dalam rumah sakit tersebut
sesungguhnya turut andil terhadap maraknya kasus dugaan malapraktik kedokteran. 12
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, sesuai dengan UU
No. 23 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 1, yang berbunyi: 12
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 12

Gagasan yang perlu diketahui


Pemerintah
Management RS
Masyarakat umum dan marginal
Para dokter

7
Penutup
Keadilan sosial adalah keadilan yang berhubungan dengan pembagian nikmat dan beban dari
suatu kerja sama sosial khususnya yang disebut negara. Akan tetapi hingga saat ini keadilan
sosial yang tidak merata masih banyak dirasakan oleh masyarakat yang kurang
mampu/masyarakat marginal terutama keadilan sosial dalam pelayanan kesehatan. Faktor-
faktor yang menyebabkan ketidakadilan sosial ini antara lain ekonomi, sosial dan pendidikan.
Pemerintah memiliki peran penting untuk mengatasi ketidakadilan sosial ini. Pemerintah
seharusnya membuat kebijakan seperti memberikan jaminan sosial, dll. Jika kebijakan
pemerintah itu terealisasi dengan baik, tidak akan ada lagi masyarakat miskin/masyarakat
marginal yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal.

Daftar pustaka
1. Lemhanas. Keadilan sosial. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama;2005. h. 6.
2. Harry WS. Pengantar hegemoni[Internet]. Di post 1 Desember 2005 (Diakses pada 5
November 2014).
Diakses : https://synaps.wordpress.com/2005/12/01/pengantar-hegemoni/.
3. Bertens K. Pengantar etika bisnis. Edisi ke-10. Yogyakarta:Kanisius;2009. h. 93.
4. Bertens K. Perspektif etika baru. Cetakan ke-5. Yogyakarta:Kanisius;2013. h. 193.
5. Sulastomo. Manajemen kesehatan. Cetakan ke-3. Jakarta:PT Gramedia Pustaka
Utama;2007. h. 300-5.
6. Soesastro H, Budiman A, Triaswasti N, Alisjahbana A, Adiningsih S. Pemikiran dan
permasalahan ekonomi di Indonesia dalam setengah abad terakhir.
Yogyakarta:Kanisius;2005. h. 75-7.
7. Zeffry A. Wacana. Jurnal ilmu pengetahuan budaya Oktober 2006;8(2):195.
8. Hanafie R. Pengantar ekonomi pertanian. Edisi ke-1. Yogyakarta:CV Andi
Offset;2010. h. 85-6.
9. Iskandar P. Hukum HAM internasional sebuah pengantar kontekstual. Edisi ke-1.
Cianjur:IMR Press;2010. h. 114.
10. Hardiman FB. Demokrasi deliberatif:menimbang negara hukum dan ruang publik
dalam teori. Cetakan ke-1. Yogyakarta:Kanisius;2010. h. 176.
11. Wibowo I, Priyono BH. Sesudah filsafat:esai-esai untuk franz magnis suseno. Cetakan
ke-1. Yogyakarta:Kanisius;2006. h. 54.
12. Jayanti NKI. Penyelesaian hukum dalam malpraktik kedokteran. Cetakan ke-1.
Yogyakarta:Pustaka Yustia;2009. h. 16-31.

Anda mungkin juga menyukai