Anda di halaman 1dari 17

Skrining Karsinoma Serviks dengan Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam

Asetat di Puskesmas
Destin Marseli
102014051
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
e-mail: destinmarseli97@gmail.com

Pendahuluan
Kanker adalah suatu pertumbuhan sel-sel abnormal atau proliferasi sel-sel yang tidak dapat
diatur. Tingkat poliferasi antara sel kanker berbeda beda antara satu dengan yang lainnya.
Perbedaan sel kanker dengan sel normal terletak pada sifat sel kanker yang tidak pernah
berhenti membelah. Kanker merupakan suatu kegagalan morfogenesis normal dan kegagalan
diferensiasi normal, artinya pertumbuhan kanker tidak dapat dikendalikan dan tidak pernah
memperoleh struktur normal serta fungsi khas jaringan tempat sel kanker tumbuh. Menurut
Guyton, Arthur C. ,Kanker merupakan suatu penyakit yang menyerang proses dasar
kehidupan sel, yang hampir semuanya menambah genom sel (komplemen genetik total sel)
serta mengakibatkan pertumbuhan liar dan penyebaran sel kanker.1
Penyebab perubahan genom ini adalah mutasi (perubahan) salah satu gen atau lebih atau
mutasi sebagian besar segmen utas DNA yang mengandung banyak gen atau pada beberapa
keadaan penambahan atau pengurangan sebagian besar segmen kromosom. Setiap kanker
mulai dengan sebuah sel. Kejadian apapun yang mengalihkan sebuah se lnormal menjadi
sebuah sebuah sel kanker. Sel kanker tidak menyerang massa sel, meskipun pada stadium
akhir kanker, badan dapat mengandung berbiliun sel kanker dan semuanya itu adalah
keturunan sebuah sel pendahulunya. Jadi semua sel kanker metastasis maupun pada tumor
merupakan sebuah klon.1
Pada makalah ini kami akan membahas tentang kanker ser'iks. Kanker serviks adalah kanker
yang terdapat pada serviks atau leher rahim, yaitu area bagian bawah Rahim yang
menghubungkan rahim dengan vagina. Pada tahun 2003, WHO menyatakan bahwa kanker
merupakan problem kesehatan yang sangat serius karena jumlah penderitanya meningkat
sekitar 20% per tahun. Kanker serviks (mulut Rahim) adalah penyakit pembunuh wanita
nomor satu di dunia. di seluruh dunia, kasus kanker serviks ini sudah dialami oleh 0,1 juta
wanita.1

1
Pembahasan
- Perjalanan Penyakit Kanker Serviks
Secara histologi, lapisan normal ektoserviks adalah epitel skwamosa berlapis dan
yang melapisi endoserviks adalah epitel kolumner. Pertemuan ini disebut sebagai sambungan
skwamokolumner / SSK (scuamocolumnar junction). Karena aktifitas seksual dan hormonal,
SSK dapat migrasi ke ektoserviks, dan pada menopouse dapat berada kranial dari orifisium
uteri eksterna.1
Serviks secara normal dapat bermetaplasia (berubah dari satu jenis sel ke jenis lain)
pada zona transisi yaitu zona dimana epitel kolumner endoserviks berpindah ke SSK dan lisis
oleh suasana asam ektoserviks sehingga zona di bawah kolumner berubah menjadi
skwamosa. Namun metaplasia yang normal dapat menjadi ganas dengan masuknya zat
karsinogen atau bahan yang merubah genetik sel (segmen DNA virus HPV) dapat
menyebabkan sel berdisplasia dan merubah genetik sel serviks sehingga sel bereplikasi
berlebihan dan tidak terkendali. Displasia ini biasa dimulai pada zona transisional. Displasia
dibagi menjadi ringan (displasia hanya pada lapisan basal), sedang (displasia pada setengah
lapisan serviks) dan berat (seluruh lapisan serviks berdisplasia). Displasia berat sulit
dibedakan dengan NIS (Neoplasia Intraepitel Serviks) yaitu gangguan diferensiasi sel pada
lapisan epitel skwamosa serviks dan mempunyai potensi invasif (imaturitas selular,
disorganisasi sel, abnormalitas inti sel, dan peningkatan aktivitas mitosis). NIS dibagi dalam
NIS I, II,II dengan stadium 0-IV. Stadium 0 (Ca insitu), Stadium I (terbatas pada serviks),
Stadium II (2/3 bagian atas vagina dan parametrium), Stadium III (dinding pelvis dan 1/3
bawah vagina), Stadium IV (menyebuk ke vesika urinarius, rektum dan metastase keluar
pelvis).1
NIS I apabila displasia (sel normal menjadi sel muda) ringan, sel-sel besar poligonal,
ukuran kurang lebih normal, sitoplasma basofilik atau orangefilik. Inti sel sedikit membesar
dengan kromatin granuler halus. NIS II apabila displasia sedang, sel-sel lebih kecil seukuran
parabasal, rasio inti sitoplasma lebih besar, pembesaran inti nyata, hiperkromatik, membran
inti teratur, sitoplasma basofilik bervakuol, tidak dijumpai nukleoli, bentuk dan ukuran sel
dan inti bervariasi. NIS III bila displasia berat dan karsinoma in situ, sel ukuran kecil, bentuk
memanjang, pembesaran inti nyata, hiperkromatin, kromatin gumpal padat, deskuamasi
orengofilik. Kanker serviks biasa diawali dengan sevisitis kronik dengan gejala klinik kurang
spesifik seperi keputihan, muncul bercak-bercak perdarahan dan postcoital bleeding.1

2
- Epidemiologi
Kanker serviks merupakan salah satu penyebab kematian wanita yang berhubungan
dengan kanker. Di seluruh dunia, diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker serviks baru dan
250.000 kematian tiap tahunnya yang kurang lebih 80% terjadi di negara-negara berkembang.
Di Indonesia, insidens kanker serviks diperkirakan kurang lebih 40.000 kasus pertahun dan
masih merupakan kanker wanita yang tersering. Dari jumlah itu, 50% kematian di negara-
negara berkembang. Hal ini terjadi karena pasien datang dalam keadaan lanjut.2
Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat ini menempati
urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini di Indonesia ada sekitar 100
kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya. Kanker serviks yang sudah
masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat.
Selain itu, lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan
stadium lanjut.2
Selama kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50
tahun. Periode laten dari fase prainvasif menjadi invasif memakan waktu selama 10 tahun.
Hanya 9% dari wanita berusia <35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat
diagnosis, sedangkan 53% dari KIS (kanker in situ) terdapat pada wanita di bawah usia 35
tahun.2
Kejadian kanker serviks, berhubungan dengan faktor agent yaitu HPV (Human Pavilloma
Virus) HPV tipe 16, 18,31,33,35,45,51,52,56 dan 58 sering ditemukan pada kanker dan lesi
prakanker. HPV adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada permukaan
epiderman dan mukosa. Faktor agent berhubungan dengan tipe virus, infeksi beberapa tipe
onkogenik HPV secara bersamaan dan jumlah virus (viral load). Faktor host (penjamu)
berhubungan dengan status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita
HIV positif) yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi prekanker dan
kanker, jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker. Faktor
eksogen atau environment berupa merokok, ko-infeksi dengan penyakit menular seksual
lainnya, penggunaan jangka panjang (lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral.2

- Faktor Resiko
Faktor resiko berhubungan dengan faktor host sangat berkaitan erat dengan riwayat
berhubungan seksual host, partner sex host, dan riwayat ginekologi host serta status imunitas.
Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual, dimana
beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual dan risiko

3
penyakit ini. Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak
dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko
terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama
usia dewasa, maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko
terkena kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan
maupun jumlah partner seksual, adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks.
Karakteristik partner hubungan seksual berhubungan dengan sirkumsisi pada partner pernah
dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan
penurunan faktor risiko. Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker
serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan partner yang melakukan seks berulang kali.
Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis atau partner dari pria yang istrinya
meninggal terkena kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker serviks. Riwayat
ginekologis, walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko kanker
serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak
tepat dapat pula meningkatkan risiko.1,2
Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan HPV sebagai penyebab neoplasia
servikal. Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus papiloma hewan; hubungan infeksi HPV
serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia ringan atau
sedang; dan deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal. HPV tipe 6 dan 11
berhubungan erat dengan displasia ringan, yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18
dihubungkan dengan displasia berat, yang jarang regresi dan seringkali progresif menjadi
karsinoma in situ. Virus Herpes Simpleks. Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2
(HPV 2) belum didemonstrasikan pada semua sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah
menunjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik pada sampel jaringan wanita dengan
displasia serviks. DNA sekuens juga telah diidentifikasi pada sel tumor dengan menggunakan
DNA rekombinan. Diperkirakan 90% pasien dengan kanker serviks invasif dan lebih dari
60% pasien dengan neoplasia intraepitelial serviks (CIN) mempunyai antibodi terhadap
virus.1,2
Infeksi Trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berhubungan dengan kanker
serviks. Namun infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan multipel
partner dan tidak dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung.1,2
Dietilstilbesterol (DES). Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviks dan paparan
DES in utero telah dibuktikan. Merokok, sekarang ini ada data yang mendukung rokok
sebagai penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel

4
skuamoasa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa
langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek
imunosupresif dari merokok.1,2

- Cara Penularan
Tes HPV umumnya hanya digunakan untuk membantu deteksi kanker serviks. Tidak ada
tes umum bagi laki-laki atau perempuan untuk memeriksa seseorang secara keseluruhan
status HPV, juga tidak ada tes HPV untuk menentukan HPV pada alat kelamin atau di
mulut, atau tenggorokan.bila ingin mengidentifikasi tipe HPV, dapat diketahui dengan
pemeriksaan PCR, tetapi bila hanya untuk mengetahui infeksi HPV onkogenik dapat
dilakukan pemeriksaan tes DNA HPV.2
Virus HPV 95% menular dengan hubungan seksual, 5% menular nonseksual yaitu
menular melalui kulit, kuku, dan lain sebagainya. HPV menular melalui kontak kelamin,
yang paling sering melalui vagina dan anal seks. HPV dapat juga ditularkan di antara
pasangan berbeda jenis kelamin maupun pasangan gay, lesbian, dan heteroseksual. Bahkan
ketika terinfeksi, pasangan tersebut tidak memiliki tanda-tanda atau gejala.1,2
Seseorang bisa terkena HPV bahkan bertahun-tahun berlalu sejak penderita kontak
seksual dengan orang yang terinfeksi. Sebagian besar orang yang terkena virus HPV tidak
menyadari mereka terinfeksi atau mereka menularkan virus pada pasangannya. Hal ini juga
memungkin seseorang dapat terinfeksi pada lebih dari satu jenis HPV. Sangat jarang terjadi,
seorang wanita hamil yang terkena infeksi HPV dapat menularkan HPV pada bayinya selama
proses persalinan.2

- Skrinning
Skrining didefinisikan sebagai pelaksanaan prosedur sederhana dan cepat untuk
mengidentifikasi dan memisahkan orang yang tampaknya sehat, tetapi kemungkinan berisiko
terkena penyakit, dari mereka yang mungkin tidak terkena penyakit tersebut. Skrining
dilakukan untuk mengidentifikasi mereka yang diduga mengidap penyakit sehingga mereka
dapat dikirim untuk menjalani pemeriksaan medis dan studi diagnostik yang lebih pasti.
Skrining terkadang dipertukarkan maknanya dengan diagnosis, tetapi skrining itu sendiri
merupakan prekursor untuk diagnosis. Tes skrining, seperti tes penglihatan, pengukuran
tekanan darah, pap smears, IVA, pemeriksaan darah, dan x-rays dada dilakukan pada
kelompok besar atau populasi. Jenis-jenis skrining yaitu mass screening, selective screening,
case finding screening, single disease screening dan multiphastic screening. Mass screening

5
adalah screening secara masal pada masyarakat tertentu. Selective screening adalah screening
secara selektif berdasarkan kriteria tertentu, contoh pemeriksaan ca paru pada perokok,
pemeriksaan ca cervix pada wanita yang beresiko tinggi (wanita tuna susila). Case finding
screening adalah upaya dokter/tenaga kesehatan untuk menyelidiki suatu kelainan yang tidak
berhubungan dengan keluhan pasien yang datang untuk kepentingan pemeriksaan kesehatan.
Single disease screening adalah screening yang dilakukan untuk satu jenis penyakit.
Multiphasic screening adalah screening yang dilakukan untuk lebih dari satu jenis penyakit
contoh pemeriksaan IMS, penyakit sesak nafas.3
Dalam melakukan skrining, alat tes harus memenuhi syarat yaitu validitas, realibilitas dan
efficacy. Validitas tes skrining adalah kemampuan tes skrining tersebut dalam mengukur
sesuatu yang seharusnya diukur. Validitas tes skrining dapat dinilai dengan sensitivitas dan
spesifisitas. Sensitivitas menggambarkan kemampuan tes skrining menentukan seseorang
menderita suatu penyakit. Sensitivitas ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar positif
dibandingkan hasil positif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam per sen
dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar positif (true positive) dengan jumlah hasil
pemeriksaan benar positif dan negatif palsu. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes
skrining maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang menderita penyakit tertentu
sehingga dapat memperoleh penanganan dini. Spesifisitas menggambarkan kemampuan tes
skrining menentukan seseorang bukan penderita suatu penyakit. Spesifisitas ditunjukkan oleh
probabilitas hasil tes benar negatif dibandingkan hasil negatif menurut standar (gold
standart). Probabilitas dalam per sen dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar
negatif (true negative) dengan jumlah hasil pemeriksaan benar negatif dan positif palsu.
Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining maka semakin baik kemampuan
mendeteksi seseorang tidak menderita penyakit tertentu.3,4
Reliabilitas tes skrining baik apabila hasil konsisten jika dilakukan lebih 1 kali pada
individu yang sama pada situasi yang beda waktu berbeda (pengamat sama), pengamat
berbeda atau tes serupa. Dipengaruhi oleh beberapa variasi yaitu variasi pada metode
pemeriksaan (tergantung stabilitas instrumen alat harus dibakukan). Variasi didalam subyek
atau individu (contohnya hasil pengukuran suhu tubuh pagi berbeda dengan siang dan malam
hari). Variasi intraobserver (contohnya pembacaan hasil rontgen pada waktu yang berbeda,
hasil berbeda karena jenuh, lelah & lingkungan). Variasi interobserver (contohnya dua orang
radiologis mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap sebuah hasil rontgen gunakan
orang terlatih & motivasi tinggi).3,4

6
Efficacy dapat diukur dengan nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Nilai
Prediksi Positif menggambarkan kemampuan tes skrining memprediksi kemungkinan
seseorang benar-benar menderita penyakit dari hasil pemeriksaan positif menurut tes
skrining. Nilai Prediksi Positif dihitung dengan membandingkan hasil benar positif dengan
seluruh hasil tes positif menurut uji skrining (True Positive dan False Positive) dalam persen.
Semakin tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang menderita penyakit akan
membantu petugas kesehatan memberikan penanganan yang tepat dan segera. Nilai Prediksi
Negatif menggambarkan kemampuan tes skrining memprediksi kemungkinan seseorang
benar-benar tidak menderita penyakit dari hasil pemeriksaan negatif menurut tes skrining.
Nilai Prediksi Negatif dihitung dengan membandingkan hasil benar negatif dengan seluruh
hasil tes negatif menurut uji skrining (True Negative dan False Negative) dalam persen.
Semakin tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang tidak menderita suatu
penyakit akan sangat membantu petugas kesehatan menghindarkan penanganan atau
pengobatan yang tidak perlu sehingga terhindar dari efek samping pengobatan.3,4
Hasil test sesuatu skrining di gambarkan secara positif maupun negatif. Suatu test dikatakan
valid apabila tes tersebut dapat memprediksi secara sempurna dan benar, di mana semua
orang yang positif berdasarkan hasil tes skrining adalah benar-benar sakit dan semua yang
tesnya negatif adalah mereka yang benar-benar tidak sakit. Pada kenyataannya tidak ada test
yang benar-benar sempurna.
Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada tabel 1. Dibawah ini.4
Tabel 1. Hasil Skrining Dibanding Status Penyakit4

Hasil Status Penyakit Total


Skrining Tes
Positif Negatif

Positif a b a+b

Negatif c d c+d

Total a+c b+d a+b+c+d

Rumus :
Sensitivitas : TP/(TP+FN x 100% = a/(a+c) x 100%
Spesifisitas: TN / (TN + FP) x 100% = (d/(b+d) x 100%
Nilai prediksi positif : TP/ (TP + FP) x 100% = a/(a+b) x 100%
Nilai prediksi negatif : FN/ (FN + TN) x 100% = c/(c+d) x 100%
7
Wilson dan Junger menetapkan beberapa hal yang harus dipertimbangkan ahli
epidemiologi saat merencanakan dan melaksanakan program skrining. Dari sudut pandang
ksehatan masyarakat, skrining paling efektif jika dapat mencapai sebagian besar populasi.
Berikut faktor yang perlu dipertimbangkan ketika merencanakan program skrining untuk
kelompok populasi yang besar:

Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis
utama.
Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit
yang terungkap saat proses skrining dilakukan.
Harus tersedia akses ke fasilitas dan pelayanan perawatan kesehatan untuk
diagnosis dan pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan.
Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali, dengan keadaan awal
dan lanjutannya yang dapat diidentifikasi.
Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit.
Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyarakat umum.
Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami, termasuk fase
reguler dan perjalanan penyakit, dengan periode awal yang dapat diidentifikasi
melalui uji.
Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan
siapa yang harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih
lanjut.
Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau
berpartisipasi.
Skrining jangan dijadikan kegiatan sesekali saja, tetapi harus dilakukan dalam
proses yang teratur dan berkelanjutan.3

Sasaran skrining kanker leher rahim yang ditetapkan WHO adalah setiap perempuan
yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap sebelumnya, atau
pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih. Perempuan yang pernah
mengalami lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya. Perempuan yang mengalami
perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca sanggama atau perdarahan pasca
menopause atau mengalami tanda dan gejala abnormal lainnya. Perempuan yang ditemukan
ketidaknormalan pada leher rahimnya.5

8
Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat ini adalah
antara usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70 tahun yang belum
pernah diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk menghindari lolosnya kasus
kanker leher rahim. Selain sasaran diatas, semua perempuan yang pernah melakukan aktivitas
seksual perlu menjalani skrining kanker leher rahim. WHO tidak merekomendasikan
perempuan yang sudah menopause menjalani skrining dengan metode IVA karena zona
transisional leher rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoleher rahim dalam
kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum. Namun untuk
pelaksanaan di Indonesia, perempuan yang sudah mengalami menopause tetap dapat diikut
sertakan dalam program skrining, untuk menghindari terlewatnya penemuan kasus kanker
leher rahim. Perlu disertakan informed consent pada perempuan golongan ini, mengingat
alasan di atas. Tidak ditemukannya lesi prekanker tidak berarti tidak ada lesi prakanker pada
golongan perempuan ini.5

- Skrinning Kanker Serviks


Dasar Pemeriksaan IVA
Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang
pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam
asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang.
Pemberian asam asetat akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan
osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan
menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan
semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak
akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal
akan berwarna putih, disebut juga epitel putih (acetowhite). Daerah metaplasia yang
merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam asetat
tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan
proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam
asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin
putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan jaringannya. Dibutuhkan 1-2 menit untuk
dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim yang diberi 5% larutan asam
asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar
50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran leher
rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang

9
tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi disebut
leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses keratosis.5
Keuntungan tes IVA yaitu murah, mudah, praktis, mampu laksana, dapat
dilaksanakan oleh seluruh tenaga kesehatan, alat-alat yang dibutuhkan sederhana, sesuai
untuk pusat pelayanan sederhana, kinerja tes sama dengan tes lain, memberikan hasil segera
sehingga dapat diambil keputusan mengenai penatalaksanaannya. Sementara itu, syarat tes
skrining IVA adalah sudah pernah melakukan hubungan seksual, tidak sedang datang bulan,
tidak sedang hamil, 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual. Ada beberapa
kategori yang dapat dipergunakan, salah satu kategori yang dapat dipergunakan adalah:
1. IVA negatif = menunjukkan leher rahim normal.
2. IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya
(polip serviks).
3. IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto white epithelium). Kelompok ini
yang menjadi sasaran temuan skrining kanker serviks dengan metode IVA
karena temuan ini mengarah pada diagnosis Serviks-pra kanker (dispalsia
ringan-sedang-berat atau kanker serviks in situ).
4. IVA-Kanker serviks = serviks mudah berdarah, pada tahap ini pun untuk
upaya penurunan temuan stadium kanker serviks, masih akan bermanfaat bagi
penurunan kematian akibat kanker serviks bila ditemukan masih pada stadium
invasif dini (stadium IB-IIA).5

- Pemeriksaan Pap Smear


Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada pasien yang tidak
memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada sekret yang diambil dari porsi serviks.
Pemeriksaan ini harus mulai dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah
melakukan aktivitas seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap
tiga tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus
kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal, akibatnya angka
kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang
telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap
tahun.6
Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka
pemeriksaan pap smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Syarat untuk melakukan
pap smear adalah melakukan pap smear pada 2 minggu setelah hari pertama haid, sebelum

10
pemeriksaan sebaiknya tidak menggunakan obat atau bahan herbal pencuci alat kelamin,
penderita pasca persalinan dianjurkan datang 6-8 minggu untuk melakukan pap smear,
setelah 24 jam sebelum pemeriksaan tidak dianjurkan untuk berhubungan seksual.6

- Pemeriksaan sitology cairan (liquid base cytology/LBC)


Dikenal juga dengan thin prep atau monolayer. Tujuan metode ini adalah mengurangi
hasil negative palsu dari pemeriksaan tes pap konvensional dengan cara optimalisasi tekhnik
koleki dan preparasi sel. Pada pemeriksaan ini sel dikoleksi dengan sikat khusus yang
dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi larutan fiksasi. Keuntungan pengunaan tekhnik
monolayer ini adalah sel abnormal lebih tersebar dan mudah tertangkap dengan fiksasi
monolayer sehingga mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh waktu yang cukup lama
untuk pengolahan slide dna biaya yang lebih mahal.6

- Metode Pemeriksaan DNA-HPV


Deteksi DNA HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai cara mulai cara
southern blot yang dianggap sebagai baku emas, filter in situ, dot blot, hibridisasi in situ yang
memerlukan jaringan biopsy, atau dengan cara pembesaran sepertyi PCR (polymerase chain
reaction) yang amat sensitive.6

- Interval skrining
American cancer society (ACS) merekomendasikan idealnya skrining dimulai 3 tahun
setelah dimulainya hubungan seksual melalui vagina. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa risiko munculnya lesi prakanker baru terjadi setelah 3-5 tahun setelah paparan HPV
pertama. Interval yang ideal untuk dilakukan skrining adalah 3 tahun. Skrining 3 tahun sekali
memberi hasil yang hampir sama dengan skrining tiap tahun. ACS merekomendasikan
skrining tiap tahun dengan metode tes Pap konvensional atau 2 tahun sekali bila
menggunakan pemeriksaan sitologi cairan (liquid-based cytology) setelah skrining yang
pertama. Setelah perempuan berusia 30 tahun, atau setelah 3 kali berturut-turut skrining
dengan hasil negatif, skrining cukup dilakukan 2-3 tahun sekali. Bila dana sangat terbatas
skrining dapat dilakukan tiap 10 tahun atau sekali seumur hidup dengan tetap memberikan
hasil yang signifikan.5,6

11
- Program IVA Puskesmas
Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat yang
memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil dengan
segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti. Metode satu kali
kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan
bedah krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk
peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker.7
Mengkaji masalah penanggulangan kanker leher rahim yang ada di Indonesia dan adanya
pilihan metode yang mudah di-ujikan di berbagai negara, agaknya metode IVA (inspeksi
visual dengan aplikasi asam asetat) layak dipilih sebagai metode skrining alternatif untuk
kanker leher rahim. Pertimbangan tersebut didasarkan oleh pemikiran, bahwa metode
skrining IVA itu. Mudah, praktis dan sangat mampu laksana. Dapat dilaksanakan oleh tenaga
kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan
kesehatan ibu. Alat-alat yang dibutuhkan sangat sederhana. Metode skrining IVA sesuai
untuk pusat pelayanan sederhana.7
Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes Pap telah
menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher rahim. Namun di
negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya terbatas, skrining hanya
menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di daerah perkotaan. Ada beberapa
kelemahan tes Pap diantaranya keterbatasan jumlah laboratorium sitologi dan tenaga
sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil tes Pap baru didapat dalam rentang waktu
yang relatif lama (berkisar 1 hari-1 bulan). Skrining dengan metode tes Pap memerlukan
tenaga ahli, sistem transportasi, komunikasi dan tindak lanjut (follow-up) yang belum dapat
dipenuhi oleh negara-negara berkembang. Hanya sebagian kecil dari perempuan yang
menjalani dan mendapatkan hasil tes Pap juga menjalani evaluasi dan pengobatan yang
semestinya bila ditemukan abnormalitas. Sebagai konsekuensinya, angka insidens kanker
leher rahim tetap tinggi dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. Masalah yang
berkembang akibat keterbatasan metode tes Pap Smears inilah yang mendorong banyak
penelitian untuk mencari metode alternatif skrining kanker leher rahim. Salah satu metode
yang dianggap dapat dijadikan alternatif adalah metode inspeksi visual dengan asam asetat
(IVA). Efektivitas IVA sudah di teliti oleh banyak peneliti. Walaupun demikian
perbandingan masing-masing penelitian tentang IVA agak sulit dievaluasi karena perbedaan
protokol dan populasi. Sehingga, metode IVA merupakan jenis alternatif skrining yang paling

12
efektif dan efisien yang dapat dilakukan oleh Puskesmas karena keuntungan-keuntungan yg
sudah dipaparkan sebelumnya.7

- Penatalaksanaan Medis
Jika sudah terdeteksi mengidap kanker serviks, maka ada beberapa metode pengobatan
yang bisa dilakukan. Jika terdeteksi kanker serviks stadium awal, maka pengobatannya
dilakukan dengan cara menghilangkan kanker serviks tersebut dengan cara dilakukan
pembedahan, baik pembedahan laser, listrik atau dengan cara pembekuan dan membuang
jaringan kanker serviks.1,5
Metode krioterapi adalah membekukan serviks yang terdapat lesi prakanker pada suhu
yang amat dingin (dengan gas CO2 dan NO2) sehingga sel-sel pada area tersebut mati dan
luruh, dan selanjutnya akan tumbuh sel-sel baru yang sehat.1,5
Untuk kasus kanker serviks stadium lanjut akan dilakukan pengobatan dengan cara
kemoterapi serta radioterapi, namun jika sudah terdeteksi cukup parah, tiada lain kecuali
dengan mengangkat rahim (histerektomi) secara menyeluruh agar kanker tidak
berkembang.1,5

- Pencegahan
Pencegahan kanker serviks bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan angka
kematian akibat kanker serviks. Pencegahan menurut Leavel and Clark terdiri dari beberapa
tahap yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier. Prinsipnya adalah untuk memutus rantai
penyebaran penyakit dan menguntungkan host dengan perbaikan lingkungan bersih sehingga
agent dirugikan. Pencegahan primer berupa Promosi Kesehatan (Health Promotion) dan
Specific Protection. Pencegahan sekunder berupa Early Diagnosis and Prompt Treatment
serta Disability Limitation. Pencegahan tersier berupa Rehabilitation. Selain itu juga ada
pencegahan primodial yaitu pencegahan timbulnya faktor resiko kanker serviks bagi
perempuan yang belum mempunyai faktor resiko dengan cara seperti pendidikan seks bagi
remaja, menunda hubungan seks remaja sampai pada usia yang matang yaitu lebih dari 20
tahun.8
1. Pencegahan primer bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan faktor resiko
bagi perempuan yang mempunyai faktor resiko, untuk mengetahui informasi
bagaimana pencegahan primer dapat dilakukan pada kanker serviks maka perlu
diketahui karsiogenesisnya (bagaimana kanker dapat timbul), dilakukan dengan
menghindari diri dari bahan karsinogenik atau penyebab kanker dapat dilakuakn

13
dengan penerapan kebiasaan sehat (menghindari berhubungan seksual terlalu dini,
hindari multipartner sex, hindari bilas vagina, hindari pemberian talk pada vagina, cek
berkala) dan konsumsi makanan sehat seimbang. Hal ini dilakukan sebagai upaya
Health Promotion.1,5,7,8
Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang perempuan yang sudah benar-benar
matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat ia sudah menstruasi atau belum, tetapi juga
bergantung pada kematangan sel-sel mukosa yang terdapat diselput kulit bgian dalam rongga
tubuhn. Umumnya sel-sel muikosa baru matang setelah perempuan berusia 20 tahun ke atas.
Terutama untuk perempuan yang masih dibawah 16 tahun mempunyai resiko kanker serviks
lebih tinggi bila telah melakukan hubungan seks. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel
mukosa pada serviks perempuan. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum
matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga belum siap menerima
rangsangan dari luar termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma sehingga sel ini bisa
berubah sifanya menjadi kanker. Resiko terkena kanker serviks lebih tinggi pada perempuan
yang berganti-ganti pasangan seks daripada yang tidak. Kebiasaan mencuci vagina dengan
obat-obatan antiseptik bisa menimbulkan kanker serviks. Douching atau cuci vagina
menyebabkan iritasi di serviks seperti penggunaan betadine untuk pencucian vagina. Iritasi
berlebihan dan terlalu sering akan merangsang terjadinya perubahan sel, yang akhirnya
menjadi kaner. Sebainya pencucia vaginan dengan bahan-bahan kimia tidak dilakukan secara
rutin. Kecuali bila ada indikasinya misalkan infeksi yang memerlukan pencucian dengan zat-
zat kimia dan atas saran dokter. Terlebih lagi pembersih tersebut umumnya akan membunuh
kuman termasuk Basillus doderlain di vagina yang memproduksi asam laktat untuk
mempertahanlkan pH vagina, bila pH vagina tidak seimbang maka kuman patogen seperti
jamur dan bakteri mempunyai kesempatan untuk hidup di vagina.1,5,7,8
Hindari kebiasaan menaburi talk. Ketika vagina terasa agak dan merah-merah sering
sekali seorang perempuan menaburkan talk disekitarnya. Pemakaian talk pad vagian
perempuan usia subir bisa memicu terjadinya kanker di daerah serviks dan ovarium, kaena
pada usia subur sering ovulasi dan saat ovulasi dipastikan terjadi perlukaan di ovarium. Bila
partikel talk masuk dan menempel di atas permukaan luka akan merangsang luka untuk
berubah sifat menjadi kanker, dan kanker di ovarium akan menyebaab ke area lainnya
termasuk serviks. Apabila talk tersebut menumpuk dan mengendap makan akan menjadi
benda asing dalam tubuh yang dapat merangsang sel normal menjadi kanker. Upayaka hidup
sehat dan periksa kesehatan secara berkala dan teratur. 1,5,7,8

14
Pengaturan pola makan sehari-hari juga diperlukan agar tubuh mempunyai cadangan
antioksidan yang cukup sebagai penangkal radikal bebas yang merusak tubuh. Perbanyak
makan buah dan sayuran berwarna kuning atau hijau karena banyak mengandung vitamin
seperti betakarotein, vitamin C, mineral, klorofil dan fitonutrein;ainnya, klorofil bersifat radio
protektif, antimutagenik, dan antikarsinogenik. Kurangi makanan yang diasinkan, dibakar,
diasap, atau diawetkan dengan nitrit karena dapat menghasilkam senyawa kimia yang dapat
merubah menjadi kasinogen aktif. Konsumsi makanan golongan kubis seperti kubis bunga,
kubis tunas, kubis rabi, brokoli karena dapat melindungi tubuh dari sinar radiasi dan
menghasilkan suatu enzim yang daoat menguraikan dan membuang zat beracun yang beredar
dalam tubuh.1,5,7,8
Specific Protection dilakukan dengan memeberikan vaksinasi terhadap virus HPV yang
mnjadi etiologi kanker serviks. Idealnya vaksinasi diberikan sebelum adanya bahaya infeksi
HPV. Vaksinasi ini paling efektif apabila diberikan pada perempuan berusia 9 sampai 26
tahun yang belum aktif secara seksual. Namun bukan berarti wanita yang sudah menikah atau
berhubungan seksual tidak boleh mendapatkannya. Hanya saja angka proteksinya tidak
setinggi pada golongan sebelumnya. Vaksinasi secara berulang dibutuhkan untuk merangsang
tubuh membentuk antibodi (kekebalan tubuh) yang kuat untuk melindungi tubuh dari
serangan virus HPV yang akan masuk. Antibodi akan menangkap virus yang akan masuk ke
dalam tubuh sehingga tubuh terhindar dari infeksi HPV.8
2. Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menentukan kasus dini
sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatka, temasuk skrining, deteksi
dini (Paps smear) dan pengobatan.8
Early diagnosis and prompt treatment dilakukan dengan program skrining untuk
memperbaiki prognosis pada sebagian penderita sehingga terhindar dari kematian akibat
kanker, tidak diperlukan pengobatan radikal untuk mencapau kesembuhan, adanya perasaan
tentram bagi mereka yang menunjukan hasil negatif dan penghematan biaya karena
pengibatan yang relatif murah. Kanker serviks mengenal stadium pra-kanker yang dapat
ditemukan dengan skrining sitologi yang relatif murah, tidak sakit, cukup akurat dan dengan
bantuan koloskopi, satdium ini dapat diobatai dengan cara konservatif seperti krioterapi,
kauterisasi atau sinar laser dengan memperhatikan fungsi reproduksi. Adapun pengobatan
yang dilakukan untuk penderita kanker serviks sebagai upaya Disability Limitation adalah
krioterapi, bedah, radioterapi dan kemoterapi.8

15
Pada prinsipnya operasi sebagai pengobatan apabila kanker belum menyebar yang
tujuannya agar kanker tidak kambuh lagi. Operasi terutama dilakukan untuk kuratif
disamping tujuan paliatif (meringankan). Operasi dilakukan pada karsinoma in situ dan
mikrovasif, dalam operasi tumor dibuang dengan konisasi, koagulasi, ataupun histerektomi.
Khusus karsinoma mikrovasif banyak ahli ginekoligik memilih tindakan histerektomi radikal
(seluruh rahim diangkat berikut sepertiga vagina, serta penggantung rahim akan dipotong
hingga sedekat mungkin dengan dinding panggul). Pada perempuan yang masih
menginginkan anak atau penderita yang menolak histerektomi dapat dipertimbangkan
konisasi atau elektrokoagulasi. Pada karsinoma invasif stadium IB dan IIA, lebih banyak
dipilih tindakan operasi pengangkatan rahim secara total berikut kelenjer getah bening
sekitarnya (histerektomi radikal). 1,8
Radioterapi adalah terapi untuk menghancurkan kanker dengan sinar ionisasi. Kerusakan
yang terjadi akibat sinar tidak terbatas pada sel-sel kanker saja tetapi juga pada sel-sel normal
disekitarnya, tetapi kerusakan pada sel kanker umumnya lebih besar dari pada sel normal,
karena itu perlu diatur dosis radiasi sehingga kerusakan jaringan yang normal minimal dan
dapat pulih kembali. Radioterapi dilakukan pada karsinoma invasif stadium lanjut (IIB, III,
IV). Terapi biasanya hanya bersifat paliatif (mengurangi atau mengatasi keluhan penderita),
dititik beratkan pada radisi eksternal dan internal. Kemajuan teknologi radioterapi pada saai
ini dimana radiasi dapat diarahkan pada massa tumor secara akurat, sehingga pemberian dosis
tinggi tidak memberikan penyulit yang berarti. Pada stadium IV lebih banyak memilih
mutilasi eksentaris total yaitu mengangkat kantong kemih, rektum dan dibuat uretra dan anus
tiruan (Praeter naturalis). Kemoterapi ialah terapi untuk membunuh sel-sel kanker dengan
obat-obat anti kanker yang disebut sitostatika. Pada umumnya sitostatika hanya merupakan
terapi anjuvant (terapi tambahan yaitu : terapi yang bertujuan untuk menghancurkan sisa-sisa
sel kanker yang mikroskopik yang mungkin masih ada) setelah terapi utama dilakukan.
Khemoterapi yang sering dipergunakan pada karsinoma serviks adalah Methotrexate,
Cyclophospahanimide, Adiamycin dan Mitomicin-C. Sitostatika biasanya diberi kombinasi.1,8
3. Pencegahan tertier biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita
kanker serviks. Penderita yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau
karena pengobatan perlu mendapatkan Rehabilittion untuk mengembalikan bentuk
dan/atau fungsi organ yang cacat itu supaya penderita dapat hidup dengan layak dan
wajar di masyarakat. Rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk penderita kanker
serviks yang baru menjalani operasi contohnya seperti melakukan gerakan-gerakan
untuk membantu mengembalikan fungsi gerak dan untuk mengurangi pembengkakan,

16
bagi penderita yang mengalami alopesia (rambut gugur) akibat khemoterapi dan
radioterapi bisa diatasi dengan memakai wig untuk sementara karena umumnya
rambut akan tumbuh kembali.1,8

Kesimpulan
Skrining tes IVA positif belum pasti menderita kanker serviks dan sebaliknya. Oleh
sebab itu, diperlukan pemeriksaan konfirmasi tambahan dan anamnesis serta pemeriksaan
fisik yang tepat untuk menegakkan diagnosis kanker serviks. Namun demikian, skrining IVA
dan pap smears sangatlah penting untuk upaya pencegahan sekunder early diagnosis and
prompt treatment pada kelomppok wanita beresiko tinggi (wanita tuna susila).

Daftar Pustaka
1. Petignat P, Roy M.. Diagnosis and management of cervical cancer. BMJ 2007;
335:765-8.
2. Aziz MF. Cermin Dunia Kedokteran. Masalah pada kanker serviks. Jakarta; 2001:
133: 5-7.
3. Rajab W. Buku ajar epidemiologi untuk mahasiswa. Jakarta : EGC; 2009.p.155-8.
4. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto;
2011.p.228-30.
5. Melianti M. Skining kanker serviks dengan metode inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA) test. Jakarta: Departmen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
6. Nurwijaya H, Andrijono, Suheimi HK. Cegah dan deteksi kanker serviks. Jakarta:
Elex Media Komputindo; 2010.p.59-60.
7. World Health Organization. A Guide to Essential Practice. Comprehensive cervical
cancer control. Geneva: WHO; 2006.
8. Sukaca EB. Cara cerdas menghadapi kanker serviks (leher rahim). Yogyakarta:
Genius Printika; 2009.

17

Anda mungkin juga menyukai