Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA NOVEMBER, 2017

KEJANG DEMAM

DISUSUN OLEH:

Desi Dwi Cahyanti


N 111 17 047

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DI BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017

0
BAB I
PENDAHULUAN

Temperatur tubuh normal adalah antara 36,537,5C di axilla.


Peningkatan temperatur tubuh ini diinduksi oleh pusat termoregulator di
hipotalamus sebagai respons terhadap perubahan tertentu. Demam didefinisikan
sebagai peningkatan suhu tubuh menjadi >38,0C.1
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi karena rangsangan demam,
tanpa adanya proses infeksi intrakranial; terjadi pada sekitar 2-4% anak berusia 3
bulan sampai 5 tahun. 1
Sebagian besar kejang demam merupakan kejang demam sederhana, tidak
menyebab- kan menurunnya IQ, epilepsi, dan kematian. Kejang demam dapat
berulang yang kadang menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada keluarga.
Saat pasien datang dengan kejang disertai demam, dipikirkan tiga kemungkinan,
yaitu: (1) kejang demam, (2) pasien epilepsi terkontrol dengan demam sebagai
pemicu kejang epilepsi, (3) kejang disebabkan infeksi sistem saraf pusat atau
gangguan elektrolit akibat dehidrasi. 1
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang saat
demam, tidak memenuhi kriteria kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, kemungkinan
lain harus dipertimbangkan, misalnya infeksi SSP/Sistem Saraf Pusat, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama dengan demam. 1
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), kejang
demam merupakan kejang selama masa kanak-kanak setelah usia 1 bulan, yang
berhubungan dengan penyakit demam tanpa disebabkan infeksi sistem saraf pusat,
tanpa riwayat kejang neonatus dan tidak berhubungan dengan kejang simptomatik
lainnya.2 Definisi ber- dasarkan konsensus tatalaksana kejang demam dari Ikatan
Dokter Anak Indonesia/ IDAI, kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh
suatu proses ekstrakranium.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas
380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh
proses intrakranial. 2
Keterangan:
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya.
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut
sebagai kejang demam.
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali. National Institute of Health (1980) menggunakan
batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta
ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam,
pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini
melainkan termasuk dalam kejang neonatus. 2

B. EPIDEMIOLOGI
Kejang demam adalah penyebab kejang paling umum pada anak dan
sering menjadi penyebab rawat inap di rumah sakit secara darurat. Kejang
demam didefinisikan sebagai kejang pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun
disertai demam, tanpa bukti infeksi sistem saraf pusat yang mendasari.
Puncak kejang demam terjadi pada usia 18 bulan.3 Kejang demam biasanya
merupakan kejadian tunggal dan tidak berbahaya. Berdasarkan studi populasi,
angka kejadian kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa 27%,
sedangkan di Jepang 910%. Dua puluh satu persen kejang demam durasinya

2
kurang dari 1 jam, 57% terjadi antara 1-24 jam berlangsungnya demam, dan
22% lebih dari 24 jam.2 Sekitar 30% pasien akan mengalami kejang demam
berulang dan kemudian me- ningkat menjadi 50% jika kejang pertama terjadi
usia kurang dari 1 tahun. Sejumlah 935% kejang demam pertama kali adalah
kompleks, 25% kejang demam kompleks tersebut berkembang ke arah
epilepsi.1

C. FAKTOR RESIKO
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
a. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
d. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu
tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak
dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.2
Adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kejang demam
berulang adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, usia kurang dari 12
bulan, temperatur yang rendah saat kejang, dan cepatnya kejang setelah
demam.4 Selain empat faktor di atas, adanya faktor jenis kelamin, riwayat
epilepsi dalam keluarga, dan kejang demam kompleks pada kejang demam
pertama juga ditambahkan sebagai faktor prediktif kejang demam berulang.3

D. KLASIFIKASI
Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni:
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk
kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu

3
24 jam, tanpa gambaran fokal dan pulih dengan spontan. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam dan dapat
berhenti sendiri.2
b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
biasanya menunjukkan gambaran kejang fokal atau parsial satu sisi atau
kejang umum yang didahului kejang parsial. Durasinya lebih dari 15
menit dan berulang atau lebih dari 1 kali kejang selama 24 jam. Kejang
lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali, dan di antara bangkitan kejang kondisi anak
tidak sadar- kan diri. Kejang lama terjadi pada sekitar 8% kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih
dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan anak sadar. Kejang berulang terjadi
pada 16% kejang demam.3-5.1

E. PATOFISIOLOGI
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan
letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan
sitokin yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat
seiring kejadian demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam
biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen
endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai
pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro-
dan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factor-alpha (TNF-), IL-6,
interleukin-1 receptor antagonist (IL- 1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2).
Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel endotelial circumventricular akan
menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan meng- katalis
konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus pusat
termoregulasi di hipotalamus, sehingga ter- jadi kenaikan suhu tubuh.
Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen
endogen, yakni interleukin 1, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal

4
(glutamatergic) dan menghambat GABA- ergic, peningkatan eksitabilitas
neuronal ini yang menimbulkan kejang.1
Patofisiologi kejang demam masih belum jelas, tetapi faktor genetik
memainkan peran utama dalam kerentanan kejang. Kejadian kejang demam
dipengaruhi oleh usia dan maturitas otak. Postulat ini didukung oleh fakta
bahwa sebagian besar (80-85%) kejang demam terjadi antara usia 6 bulan dan
5 tahun, dengan puncak insiden pada 18 bulan. Meskipun mekanisme
peningkatan kerentanan ini tidak jelas, tetapi menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan eksitabilitas neuron selama maturasi otak normal. Studi
pendahuluan pada anak menunjukkan bahwa jaringan sitokin diaktifkan dan
mungkin memiliki peran dalam patogenesis kejang demam.4

F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinisnya yaitu lama kejang, frekuensi kejang, dan sifat
kejang.Klasifikasi ini berpengaruh pada pengobatan dan menjadi salah satu
faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari.5

G. DIAGNOSIS
Untuk membantu menegakkan diagnosis, berbagai pemeriksaan penunjang
dapat dilakukan. Melalui pemeriksaan laboratorium dapat dievaluasi sumber
infeksi penyebab kejang demam. Pemeriksaan cairan serebrospinal melalui
lumbal pungsi dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
banding meningitis. EEG (elektroensefalografi) dan CT scan juga dapat
dikerjakan untuk mengetahui apakah ada kerusakan pada otak. 5
1. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
atas indikasi misalnya pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula
darah (level of evidence 2, derajat rekomendasi B).2

5
b. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis
adalah 0,66,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya
tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
1) Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan
2) Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3) Bayi >18 bulan tidak rutin
Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal. 1
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):
1) Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2) Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan klinis
3) Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik
tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.2
c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (electro- encephalography/EEG)
tidak direkomendasi- kan karena tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan epilepsi pada
pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih dapat di- lakukan
pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada kejang
demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang
demam fokal. 1
d. Pencitraan
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit
gawat darurat. CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal
yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang fokal

6
sekunder. Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti Computed
Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging
(MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti: 1. Kelainan
neurologik fokal yang menetap (hemiparesis) 2. Paresis nervus VI 3.
Papiledema.1

H. TATA LAKSANA
Penatalaksanaan Saat Kejang
Pada kebanyakan kasus, biasanya kejang demam berlangsung singkat dan
saat pasien datang kejang sudah berhenti. Bila datang dalam keadaan kejang,
obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-
0,5 mg/kgBB, dengan cara pemberian secara perlahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan dosis maksimal yang dapat diberikan
adalah 20 mg.1
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau jika kejang
terjadi di rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam
rektal 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Jika anak di bawah usia 3
tahun dapat diberi diazepam rektal 5 mg dan untuk anak di atas usia 3 tahun
diberi diazepam rektal 7,5 mg. Jika kejang belum berhenti, dapat diulang
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan untuk di bawa ke
rumah sakit. 1
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5
mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka diberikan phenytoin
intravena dengan dosis awal 10- 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/
kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Jika kejang berhenti, maka dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika
dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif. Jika kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya

7
tergantung apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya. 1

Pemberian obat pada Saat Demam


1. Antipiretik
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun para
ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
paracetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak
boleh lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali
sehari. Meskipun jarang, acetylsalicylic acid dapat menyebabkan sindrom
Reye, terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga tidak
dianjurkan. 1
2. Antikonvulsan
Diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat demam menurunkan
risiko berulang- nya kejang pada 30-60% kasus, juga dengan diazepam
rektal dosis 0,5 mg/kgBB tiap 8 jam pada suhu >38,50 C. Dosis tersebut
dapat menyebabkan ataksia, iritabel, dan sedasi cukup berat pada 25-39%
kasus. Phenobarbital, carbamazepine, dan phenytoin saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam. 1

Pemberian obat rumatan


Obat rumatan diberikan hanya jika kejang demam menunjukkan salah satu
ciri sebagai berikut:
Kejang lama dengan durasi >15 menit.
Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, dan
hidrosefalus.
Kejang fokal.
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24 jam.
Kejang demam terjadi pada bayi usia kurang dari 12 bulan.

8
Kejang demam dengan frekuensi >4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelainan neuro- logis tidak nyata, misalnya
keterlambatan perkembangan ringan, bukan merupakan indikasi pengobatan
rumat. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik. 1

Pengobatan rumat
Phenobarbital atau valproic acid efektif menurunkan risiko berulangnya
kejang. Obat pilihan saat ini adalah valproic acid. Berdasarkan bukti ilmiah,
kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan
efek samping, oleh karena itu pengobatan rumat hanya diberi- kan pada kasus
selektif dan dalam jangka pendek. Phenobarbital dapat menimbulkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 4050% kasus. Pada sebagian
kecil kasus, terutama pada usia kurang dari 2 tahun, valproic acid dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis valproic acid 15-40 mg/ kgBB/hari
dalam 2-3 dosis, dan phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis. 1

Edukasi pada orang Tua


Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang tua dan tak
jarang orang tua menganggap anaknya akan meninggal. Pertama, orang tua
perlu diyakinkan dan diberi penjelasan tentang risiko rekurensi serta petunjuk
dalam keadaan akut. Lembaran tertulis dapat membantu komunikasi antara
orang tua dan keluarga; penjelasan terutama pada:
Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis
baik.
Memberitahukan cara penanganan kejang.
Memberi informasi mengenai risiko berulang.
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif, tetapi harus diingat
risiko efek samping obat. 1

9
Beberapa hal yang harus dikerjakan saat kejang:
Tetap tenang dan tidak panik.
Longgarkan pakaian yang ketat ter- utama di sekitar leher.
Bila tidak sadar, posisikan anak telen- tang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun lidah
mungkin ter- gigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
Ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang.
Tetap bersama pasien selama kejang.
Berikan diazepam rektal. Jangan di- berikan bila kejang telah berhenti.
Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih. 1

Vaksinasi
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada
anak dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi
sangat jarang. Suatu studi kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang
demam terkait vaksin (vaccine-associated febrile seizure) dibandingkan
dengan kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-associated febrile
seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang
demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang
divaksinasi, sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000
anak. Pada keadaan tersebut, dianjurkan pemberian diazepam intermiten dan
parasetamol profilaksis.2

I. PROGNOSIS
Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun
sekitar 30 sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami
kejang demam berulang.4 Kejang demam sebenarnya merupakan kasus
benigna dan mempunyai prognosa baik, sebagian besar dapat sembuh
sempurna, namun 2-7% berkembang menjadi epilepsi dan 25-50%
mengalami kejang demam berulang. Empat persen penderita kejang demam

10
mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan intelegensi, sedangkan
angka kematian hanya 0,64%-0,75%.6 Meskipun kejang demam mempunyai
prognosa baik, namun cukup mengkhawatirkan orang tua. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan
mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang
berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat
gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal
tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi
menjadi kejang lama.2
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
1) Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2) Usia kurang dari 12 bulan
3) Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4) Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang.
5) Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut
kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan
berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.2
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana
dengan perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.2

11
BAB III
KESIMPULAN

Kejang demam merupakan jenis kejang yang sering terjadi, terbagi atas
kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.
Kejang demam merupakan suatu kondisi yang patut diperhatikan, dan
tatalaksana yang tepat dapat mengatasi kondisi kejang dan mengatasi kausanya.
Sebagian besar kejang demam tidak menyebabkan penurunan IQ, epilepsi,
ataupun kematian. Kejang demam dapat berulang yang kadang menimbulkan
ketakutan dan kecemasan pada keluarga. Diperlukan pemeriksaan sesuai indikasi
dan tatalaksana menyeluruh. Edukasi orang tua penting karena merupakan pilar
pertama penanganan kejang demam sebelum dirujuk ke rumah sakit.
Sebagian besar kejang demam berulang terjadi pada pasien yang
mengalami kejang demam pertama pada usia 11 20 bulan. Kejang demam
berulang lebih banyak terjadi pada pasien dengan jenis kelamin perempuan.
Kejang demam berulang lebih banyak terjadi pada pasien yang memiliki riwayat
kejang demam dalam keluarga. Sebagian besar kejang demam berulang terjadi
pada kelompok pasien yang tidak memiliki riwayat epilepsi dalam keluarga.
Kejang demam berulang lebih banyak terjadi pada pasien yang mengalami kejang
demam sederhana pada kejang demam pertama.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Arief RF. Penatalaksanaan Kejang Demam. CDK-232. Vol. 42 no. 9, 2015 :


658-661.
2. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Handryastuti S. Rekomendasi:
Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2016: 1-16
3. Yunita VE, Afdal, Syarif S. Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan
Timbulnya Kejang Demam Berulang pada Pasien yang Berobat di Poliklinik
Anak RS. DR. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 Desember 2012.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(3): 705-709
4. Nurindah D, Muid M, Retoprawiro S. Hubungan antara Kadar Tumor
Necrosis Factor-Alpha (TNF-) Plasma dengan Kejang Demam Sederhana
pada Anak. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2014; Agustus. Vol. 28 No. 2: 115-
119.
5. Nindela R, Dewi MR, Ansori IZ. Karakteristik Penderita Kejang Demam di
Instalasi Rawat Inap Bagian Anak Rumah Sakit Muhammad Hoesin
Palembang. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, Volume 1, No. 1, Oktober
2014:41-45
6. Rofiqoh. Tingkat Kecemasan Ibu pada Anak Kejang Demam. Jurnal Ilmu
Kesehatan (JIK). Vol VI, No.1, Maret 2014; 1-3

13

Anda mungkin juga menyukai