Anda di halaman 1dari 21

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebakan
mikoroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit. Menurut anatomis
pneumonia pada anak dibedakan menjadi pneumonia lobaris, pneumonia
interstisialis, dan bronkopneumonia. Bronkopneumonia lebih sering menyerang
bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum
berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering
bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae (PDPI, 2003)
Pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun,
mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta
anak-balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang.
Oleh karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak nomor satu (the
number one killer of children). Berdasarkan data WHO, infeksi sauran nafas
akut bagian bawah pada tahun 2000 menyebabkan 2,1 juta kematian anak di
bawah umur 5 tahun (William, 2000).
Menurut WHO kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan
antara 10%-20% per tahun. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari
penderita pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan. Bila hal ini
benar maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan didapat 250.000
kematian balita akibat pneumonia setiap tahunnya (Depkes RI, 2002).
Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab
kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Menurut Riskesdes 2007
pneumonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% di
antara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap
tahunnya di fasilitas kesehatan. Pneumonia balita merupakan salah satu
indikator keberhasilan program pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan seperti tertuang dalam Rencana Strategis Kementrian Kesehatan
tahun 2010-2014. Ditargetkan presentase penemuan dan tata laksana penderita
pneumonia balita pada tahun 2014 adalah sebesar 100% (Kemenkes RI, 2010).

1
Faktor resiko yang meningkatkan insiden bronkopneumonia yaitu :
pertusis, morbili, gizi kurang, umur kurang dari 2 bulan, berat badan lahir
rendah, tidak mendapat ASI yang memadai, polusi udara, laki-laki, imunisasi
yang tidak memadai, defisiensi Vitamin A, pemberian makanan tambahan
terlalu dini, kepadatan tempat tinggal (Laskmi, 2006).

B. Tujuan
Untuk memahami bronkopneumonia berdasarkan definisi, epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan
prognosis, dan komplikasinya.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu
peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa
anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia
disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non
infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan
infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan
tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada
anak-anak dan orang dewasa (Bradley et.al., 2011).
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-
bercak (patchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut
pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil
disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011).

Gambar 1.

Bronkopneumonia

B. Anatomi dan Fisiologi

3
1. Anatomi
Organ pernafasan berguna bagi transportasi gas-gas di mana organ-
organ pernafasan tersebut dibedakan menjadi bagian dimana udara mengalir
yaitu rongga hidung, faring, laring dan trakea serta bagian paru-paru yang
berfungsi melakukan pertukaran gas-gas antara udara dan darah. Sebagian
besar saluran pernafasan (dilalui udara) yaitu bronkus, berada di dalam
paru-paru. Laring juga berguna untuk menghasilkan suara. Organ
penciuman (hidung) mengatur udara yang dihirup, membantu orientasi
dalam lingkungan dan bersama-sama dengan saraf-saraf sensorik mukosa
hidung membantu melindungi manusia. Pernafasan (respirasi) adalah
peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 ke dalam tubuh
serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2
(karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan
udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Organ-
organ pernafasan meliputi, hidung, faring, laring, trakea,dan paru-paru.
(Price & Wilson, 2005)
a. Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang
(kavum nasi), dipisahkan dengan sekat hidung (septum nasi). Di
dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu
dan kotoran-kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung. Bagian luar
dinding terdiri dari kulit, lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang
rawan, lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang barlipat-lipat yang
dinamakan karang hidung (konka nasalis).
b. Faring (tekak) merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan
dan jalan makanan. Terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rogga
hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
c. Laring (tenggorok) merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya.
d. Trakea (batang tenggorok). Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira
ketinggian vertebra torakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi
dua bronkus. Yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan

4
disebut karina. Panjang trakea 9- 11 cm, sebelah dalam diliputi oleh
selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia).
e. Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan terletak
di rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan
beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru
mempunyai apeks (bagian atas paru) dan basis (dasar). Pembuluh darah
paru, bronkial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru
pada bagian hilus dan membentuk akar paru.

Gambar 2. Anatomi Sistem Pernafasan

2. Fisiologi
Bernafas berarti melakukan inspirasi dan ekspirasi secara
bergantian, teratur, berirama dan terus-menerus. Bernafas merupakan gerak
reflek yang terjadi pada otot-otot pernafasan. Reflek bernafas ini diatur oleh
pusat pernafasan yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla
oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat, atau
mempercepat nafasnya, ini berarti reflek bernafas ini juga di bawah
pengaruh korteks serebri. Pusat pernafasan sangat peka terhadap kelebihan
kadar CO2 dalam darah dan kekurangan dalam darah. Inspirasi terjadi bila

5
muskulus diafragma telah dapat rangsangan dari nervus prenikus lalu
mengkerut datar. Muskulus Interkostalis yang letaknya miring, setelah dapat
rangsangan kemudian mengkerut dan tulang iga (kusta) menjadi datar
(Syarifudin, 2006).
Dengan demikian jarak antara sternum (tulang dada) dan vertebra
semakin luas dan melebar. Rongga dada membesar maka pleura akan
berbalik dengan demikian akan menarik paru-paru maka tekanan di
dalammya berkurang, masuklah udara dari luar dan dilembabkan. Ketiga
proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi. Ekspirasi, pada
suatu saat otot akan kendor lagi (diafragma akan menjadi cekung, muskulus
interkostalis) dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil kembali,
maka udara di dalam keluar. Jadi proses respirasi atau pernafasan ini terjadi
karena adanya tekanan antar rongga pleura dan paru (Syarifudin, 2006).
Bernafas dalam paru-paru terjadi pertukaran zat antara O2 ditarik
dari udara masuk ke dalam darah dan CO2 akan dikeluarkan dari darah
secara osmosis seterusnya CO2 akan dikeluarkan melalui traktus
respiratorius (jalan pernafasan) dan masuk ke dalam tubuh melaui kapiler-
kapiler vena pulmonalis kemudian masuk ke serambi kiri jantung (atrium
sinistra) ke aorta seluruh tubuh (jaringan-jaringan dan sel-sel) di sini terjadi
oksidasi (pertukaran) sebagai ampas (sisa) dari pembakaran adalah CO2 dan
zat ini dikeluarkan melalui peredaran darah vena masuk ke jantung (serambi
kanan/atrium dekstra) ke otak kanan (ventrikel dekstra) dan dari sini keluar
melalui arteri pulmonaris ke jaringan-jaringan paru-paru akhirnya
dikeluarkan menembus lapisan epitel dan alveoli. Proses pengeluaran sisa
dari metabolism lainnya akan dikeluarkan melalui traktus urogenetalis dan
kulit. Diafragma merupakan otot berbentuk lengkungan yang membentuk
dasar rongga toraks dan memisahkan rongga tersebut dari rongga abdomen
(Price, 2005).

C. Epidemiologi

6
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-
anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi
pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011).
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama
dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang
sudah maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. Menurut WHO tahun
2008, insidens pneumonia anak-balita di negara berkembang adalah 151,8 juta
kasus pneumonia setiap tahun, 10% diantaranya merupakan pneumonia berat
dan perlu perawatan di rumah sakit. Di negara maju terdapat 4 juta kasus setiap
tahun sehingga total insidens pneumonia di seluruh dunia ada 156 juta kasus
pneumonia anak balita setiap tahun. Terdapat 15 negara dengan insidens
pneumonia anak balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta
kasus di seluruh dunia. Lebih dari setengahnya terdapat di 6 negara, mencakup
44% populasi anak-balita di dunia (Kemenkes RI, 2010).
Menurut WHO kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan
antara 10%-20% per tahun. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari
penderita pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan. Bila hal ini
benar maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan didapat 250.000
kematian balita akibat pneumonia setiap tahunnya (Depkes RI, 2002).

D. Etiologi
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung : (Staf IKA
UNPAD, 2005)
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).

Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan


pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas

7
sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A,
S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri
tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Asih, 2006)
1. Faktor Infeksi :
a. Pada neonatus
Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b. Pada bayi
1) Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
2) Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
c. Pada anak-anak
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV.
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia.
3) Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosi.
d. Pada anak besar dewasa muda
1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis.
2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis.
2. Faktor Non Infeksi
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi:
a. Bronkopneumonia hidrokarbon yang terjadi oleh karena aspirasi selama
penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur,
minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid biasa terjadi akibat pemasukan obat yang
mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap
keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis,
pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian
makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis
minyak binatang yang mengandung asam lemak

E. Klasifikasi

8
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa
ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi
terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al.,
2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris, Pneumonia
interstitiali, Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi yaitu Pneumonia yang didapat dari masyarakat
(community acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang didapat dari
rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri Pneumonia
virus Pneumonia mikoplasma Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu Pneumonia tipikal Pneumonia
atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia persisten.

F. Patogenesis
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.
Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan
anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme
pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier
aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel (Bradley et.al., 2011):
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas
bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas
bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar
25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

9
Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

10
Gambar 3. Algoritma Patofisiologi Brokopneomonia (Sectish, 2004).

11
G. Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40C
dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal
penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Garna, 2010).
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Suhu tubuh 38,5o C
b. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,
dan pernapasan cuping hidung.
c. Takipneu berdasarkan WHO:
d. Usia < 2 bulan 60 x/menit
e. Usia 2-12 bulan 50 x/menit
f. Usia 1-5 tahun 40 x/menit
g. Usia 6-12 tahun 28 x/menit
h. Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
i. Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
j. Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada
bayi. Dan kadang terdengar juga suara bronkial
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya
daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya
kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah halus sampai
sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu ( konfluens ) mungkin
pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada
auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar
lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3
minggu (Garna, 2010).
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan beberapa pemeriksaan :
(IDAI, 2010 ; Behrmann, 2004).
1. Pemeriksaan laboratorium

12
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam
batas normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang
berkisar antara 15.000 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-
kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang
meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan
LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.

2. C-Reactive Protein (CRP)


Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan
bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis
daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi
respons terhadap terapi antibiotik.
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang
pemeriksaan radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia karena
pneumokokus dengan nilai CRP 120 mg/l dan prokalsitonin 5 ng/ml.
3. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil
yang positif. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal
dari usap tenggorok, sekret nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti.
Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru.
4. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan
tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase akut dan konvalesen
pada anak dengan infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan

13
Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang memuaskan tetapi tidak
bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan
yang cepat.
5. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar
diagnosis utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia
ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat dan
timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara
pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang
diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah pemeriksaan
posisi Anterior Posterior (AP).
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila berat
terjadi pachy consolidation karena atelektasis.
Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan
pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan
menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik,
atau virus. Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat membantu
mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial, infiltrat
interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia
virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh
bakteri.

H. Diagnosa

14
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai
pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat
didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan
adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau
perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada
bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar
hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun (Said, 2006).
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
serologi, karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila
dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana.
Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan :
(Said, 2006 ; IDAI, 2010)
1. Bronkopneumonia sangat berat
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum, maka anak
harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
2. Bronkopneumonia berat
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,
maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
3. Bronkopneumonia
a. Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat
>60x/menit pada anak usia <2 bulan
b. >50x/menit pada anak usia 2 bulan 1 tahun
c. 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
4. Bukan bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu
dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti dilakukan dengan
identifikasi kuman penyebab:
a. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
Deteksi antigen bakteri

I. Penatalaksanaan

15
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012;
Bradley et.al., 2011) :
1. Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang
atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr.
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibioti awal.
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi.
c. Penatalaksanaan antibiotika
1) Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit
Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3
hari. Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat
dinaikan sampai 80-90 mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB sulfametoksazol 20
mg/kgBB) dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari
Pneumonia berat
- Beri ampisilin /amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM
setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam
pertama. Bila anak memberi respon ang baik maka diberikan
selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumh atau di
rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali tiga kali
sehari) untuk 5 hari berikutnya
- Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat
keadaan yang berat (tidak dapat menyusu/minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distress pernafasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam)

16
- Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol
atau ampisilin-gentamisin.
- Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau
IV sekali sehari)
- Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila
memungkinkan buat foto dada.
2) Pemberian antibiotik berdasarkan umur
Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3

Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)


- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

J. Pencegahan
a. Pencegahan Primer (Garna, 2005).
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor resiko
terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
a) Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT
(Dipteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan
4 bulan.
b) Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada
bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi
pada balita. Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan
anak-anak juga perlu mendapat perhatian.
c) Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan
dan polusi di luar ruangan.
d) Mengurangi kepadatan hunian rumah.

17
b. Pencegahan Sekunder (Garna, 2005).
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi
ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit
dan ternjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
a) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
parenteral dan penambahan oksigen.
b) Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin, atau
amoksisilin.
c) Bukan pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi
antibiotik. Bila demam tinggi diberikan paracetamol. Bersihkan
hidung pada anak yang mengalami pilek dengan menggunakan
lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri
tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.
c. Pencegahan Tersier (Garna, 2005).
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak
munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk
kondisi balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada
pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses
penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan. Upaya yang
dilakukan dapat berupa :
a) Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri
antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila
keadaan anak memburuk.
b) Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan
terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak
menimbulkan kematian

K. Prognosis

18
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan
datang terlambat untuk pengobatan (Behrman, 2004)
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan
memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-
duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi
memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri (Behrman, 2004)

L. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi
tersering oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau
infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis (tekanan
sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase juga meningkat, dan gagal
jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24
bulan (Said, 2006).

19
III. KESIMPULAN

1. Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan


pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan
juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan
balita
2. Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung pada usia
(menentukan jenis bakteri dan virus), status imunologis, status lingkungan,
kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara), status imunisasi,
faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).
3. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia adalah pemeriksaan rontgen thoraks posisi AP.
4. Penatalaksanaan bronkopneumonia yaitu dengan pemberian oksgen, obt
mukolitik dan ekspekroran, obt, penurun panas, dan antibiotik.
5. Komplikasi dari bronkopneumonia yang dapat terjadi meliputi empiema
torasis, perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner
seperti meningitis purulenta.

20
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Retno. 2006. Penumonia. Divisi Respirologi Ilmu Kesehatan Anak.


Surabaya : UNAIR
Behrman, R.E., Kliegman, R.M. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C.,
Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D.,
Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of Community-
Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age :
Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and
the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis.
Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita.
Jakarta : DepKes.
Kemenkes RI. 2010. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Laskmi A. 2006. Pneumonia Pediatric. http://www.emedicine.com (diakses
tanggal 10 Oktober 2015)
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Pneumonia Komunitas, Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI.
Price, S., Wilson, L, 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC.
Said, M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Sectish, Theodore C. , Prober, Charles G. 2004. Nelson Textbook of Pediatrics :
Pneumonia. 17th edition. Saunders.
Staf Iilmu Kesehatan Anak UNPAD. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Kesehatan Anak. Bandung: UNPAD.
Syarifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
William F. 2000. Evidence-Based Pediatrics, Pneumonia and Bronchiolitis.
Canada : University of Toronto

21

Anda mungkin juga menyukai