Anda di halaman 1dari 22

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebakan
mikoroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit. Menurut anatomis
pneumonia pada anak dibedakan menjadi pneumonia lobaris, pneumonia
interstisialis, dan bronkopneumonia. Bronkopneumonia lebih sering menyerang
bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum
berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering
bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae (PDPI, 2003)
Pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun,
mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta
anak-balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang.
Oleh karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak nomor satu (the
number one killer of children). Berdasarkan data WHO, infeksi saluran nafas
akut bagian bawah pada tahun 2000 menyebabkan 2,1 juta kematian anak di
bawah umur 5 tahun (William, 2000).
Menurut WHO kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan
antara 10%-20% per tahun. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari
penderita pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan. Bila hal ini
benar maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan didapat 250.000
kematian balita akibat pneumonia setiap tahunnya (Depkes RI, 2002).
Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab
kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Menurut Riskesdes 2007
pneumonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% di
antara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap
tahunnya di fasilitas kesehatan. Pneumonia balita merupakan salah satu
indikator keberhasilan program pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan seperti tertuang dalam Rencana Strategis Kementrian Kesehatan
tahun 2010-2014. Ditargetkan presentase penemuan dan tata laksana penderita
pneumonia balita pada tahun 2014 adalah sebesar 100% (Kemenkes RI, 2010).

1
Faktor resiko yang meningkatkan insiden bronkopneumonia yaitu :
pertusis, morbili, gizi kurang, umur kurang dari 2 bulan, berat badan lahir
rendah, tidak mendapat ASI yang memadai, polusi udara, laki-laki, imunisasi
yang tidak memadai, defisiensi Vitamin A, pemberian makanan tambahan
terlalu dini, kepadatan tempat tinggal (Laskmi, 2006).

B. Tujuan
Untuk memahami bronkopneumonia berdasarkan definisi, epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan,
prognosis, dan komplikasinya.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu
peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa
anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia
disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non
infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan
infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan
tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada
anak-anak dan orang dewasa (Bradley et.al., 2011).
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang
melibatkan bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-
bercak (patchy distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut
pada paru yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil
disebabkan oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Bradley et.al., 2011).

Gambar 1. Bronkopneumonia

3
B. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
Organ pernafasan berguna bagi transportasi gas-gas di mana organ-
organ pernafasan tersebut dibedakan menjadi bagian dimana udara mengalir
dari rongga hidung, faring, laring dan trakea serta bagian paru-paru yang
berfungsi melakukan pertukaran gas-gas antara udara dan darah. Sebagian
besar saluran pernafasan (dilalui udara) yaitu bronkus, berada di dalam
paru-paru. Laring juga berguna untuk menghasilkan suara. Organ
penciuman (hidung) mengatur udara yang dihirup, membantu orientasi
dalam lingkungan dan bersama-sama dengan saraf-saraf sensorik mukosa
hidung membantu melindungi manusia. Pernafasan (respirasi) adalah
peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 ke dalam tubuh
serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2
(karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan
udara ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Organ-
organ pernafasan meliputi, hidung, faring, laring, trakea,dan paru-paru.
(Price & Wilson, 2005)
a. Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang
(kavum nasi), dipisahkan dengan sekat hidung (septum nasi). Di
dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu
dan kotoran-kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung. Bagian luar
dinding terdiri dari kulit, lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang
rawan, lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang barlipat-lipat yang
dinamakan karang hidung (konka nasalis).
b. Faring (tekak) merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan
dan jalan makanan. Terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang
rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
c. Laring (tenggorok) merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya.
d. Trakea (batang tenggorok). Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira
ketinggian vertebra torakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi

4
dua bronkus. Yang memisahkan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan
disebut karina. Panjang trakea 9- 11 cm, sebelah dalam diliputi oleh
selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia).
e. Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan terletak
di rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan
beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru
mempunyai apeks (bagian atas paru) dan basis (dasar). Pembuluh darah
paru, bronkial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru
pada bagian hilus dan membentuk akar paru.

Gambar 2. Anatomi Sistem Pernafasan

2. Fisiologi
Bernafas berarti melakukan inspirasi dan ekspirasi secara
bergantian, teratur, berirama dan terus-menerus. Bernafas merupakan gerak
reflek yang terjadi pada otot-otot pernafasan. Reflek bernafas ini diatur oleh
pusat pernafasan yang terletak di dalam sumsum penyambung (medulla
oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan, memperlambat, atau
mempercepat nafasnya, ini berarti reflek bernafas ini juga di bawah
pengaruh korteks serebri. Pusat pernafasan sangat peka terhadap kelebihan

5
kadar CO2 dalam darah dan kekurangan O2 dalam darah. Inspirasi terjadi
bila muskulus diafragma telah dapat rangsangan dari nervus prenikus lalu
mengkerut datar. Muskulus Interkostalis yang letaknya miring, setelah dapat
rangsangan kemudian mengkerut dan tulang iga (costae) menjadi datar
(Syarifudin, 2006).
Bernafas dalam paru-paru terjadi pertukaran zat antara O2 ditarik
dari udara masuk ke dalam darah dan CO2 akan dikeluarkan dari darah
secara osmosis seterusnya CO2 akan dikeluarkan melalui traktus
respiratorius (jalan pernafasan) dan masuk ke dalam tubuh melaui kapiler-
kapiler vena pulmonalis kemudian masuk ke atrium sinistra ke aorta seluruh
tubuh (jaringan-jaringan dan sel-sel) di sini terjadi oksidasi (pertukaran)
sebagai ampas (sisa) dari pembakaran adalah CO2 dan zat ini dikeluarkan
melalui peredaran darah vena masuk ke jantung (atrium dekstra) ke
ventrikel dekstra dan dari sini keluar melalui arteri pulmonaris ke jaringan-
jaringan paru-paru akhirnya dikeluarkan menembus lapisan epitel dan
alveoli. Proses pengeluaran sisa dari metabolism lainnya akan dikeluarkan
melalui traktus urogenetalis dan kulit. Diafragma merupakan otot berbentuk
lengkungan yang membentuk dasar rongga toraks dan memisahkan rongga
tersebut dari rongga abdomen (Price, 2005).

C. Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-
anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di
Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi
pada anak di bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011).
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah
maju.
Di negara maju terdapat 4 juta kasus setiap tahun sehingga total insidens
pneumonia di seluruh dunia ada 156 juta kasus pneumonia anak balita setiap
tahun. Terdapat 15 negara dengan insidens pneumonia anak balita paling
tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih

6
dari setengahnya terdapat di 6 negara, mencakup 44% populasi anak-balita di
dunia (Kemenkes RI, 2010).
Dari tahun ke tahun pneumonia selalu menduduki peringkat atas
penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Menurut Riskesdes 2007
pneumonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% di
antara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap
tahunnya di fasilitas kesehatan. Menurut WHO tahun 2008, insidens
pneumonia anak-balita di negara berkembang adalah 151,8 juta kasus
pneumonia setiap tahun, 10% diantaranya merupakan pneumonia berat dan
perlu perawatan di rumah sakit.Menurut WHO kejadian pneumonia di
Indonesia pada balita diperkirakan antara 10%-20% per tahun. Secara teoritis
diperkirakan bahwa 10% dari penderita pneumonia akan meninggal bila tidak
diberi pengobatan. Bila hal ini benar maka diperkirakan tanpa pemberian
pengobatan akan didapat 250.000 kematian balita akibat pneumonia setiap
tahunnya (Depkes RI, 2002).

D. Etiologi
Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung : (Staf IKA
UNPAD, 2005)
a. Usia
b. Status imunologis
c. Status lingkungan
d. Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)
e. Status imunisasi
f. Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).

Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan


pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan
strategi pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi
Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A,

7
S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri
tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Asih, 2006)
1. Faktor Infeksi :
a. Pada neonatus
Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b. Pada bayi
1) Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
2) Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
c. Pada anak-anak
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV.
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia.
3) Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosi.
d. Pada anak besar dewasa muda
1) Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis.
2) Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis.
2. Faktor Non Infeksi
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi:
a. Bronkopneumonia hidrokarbon yang terjadi oleh karena aspirasi selama
penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur,
minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid biasa terjadi akibat pemasukan obat yang
mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap
keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis,
pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian
makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis
minyak binatang yang mengandung asam lemak.

8
E. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa
ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi
terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al.,
2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris, Pneumonia
interstitiali, Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi yaitu Pneumonia yang didapat dari masyarakat
(community acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang didapat dari
rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri, Pneumonia
virus, Pneumonia mikoplasma, Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu Pneumonia tipikal, Pneumonia
atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia persisten.

F. Patogenesis
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.
Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan
anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme
pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier
aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel (Bradley et.al., 2011):
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas
bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas
bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan
kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar

9
25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

10
Gambar 3. Algoritma Patofisiologi Brokopneomonia (Sectish, 2004).

11
G. Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40C
dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal
penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Garna, 2010).
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda-tanda
itu tidak muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu meliputi nafas cuping
hidung (neonetus), takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu nafas interkosta
dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak
besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk. Tanda pneumonia berupa retraksi
(penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam saat bernafas bersama dengan
peningkatan frekuensi nafas), perkusi redup, fremitus melemah, suara nafas
melemah dan ronkhi (IDAI, 2007).
Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan
fisik, tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung
dan sianosis sekitar mulut dan hidung baru dipikirkan kemungkinan
pneumonia. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis,
otitis media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk dengan nyeri dada (IDAI,
2007 ; PDPI 2005)
Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau tatalaksana. Pengukuran frekwensi nafas dilakukan dalam keadaan
anak tenang atau tidur. Perkusi thorak tidak bernilai diagnostik karena
umumnya kelainan patologisnya menyebar. Suara redup pada perkusi biasanya
karena adanya efusi pleura (IDAI, 2007 ; PDPI 2005).
Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi
basah halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada

12
bayi. Pada bayi dan anak kecil karena kecilnya volume thorak biasanya suara
nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi (IDAI, 2007 ; PDPI 2005).
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan beberapa pemeriksaan :
(IDAI, 2010 ; Behrmann, 2004).

H. Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai
pemeriksaan penunjang.
a) Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului
dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk,
demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada
anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala
non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung.
Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai
muntah.16,17
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi
dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang
ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi,
sianosis, batuk, panas, dan iritabel.17
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk
(non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan
retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat
dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala,
dehidrasi dan letargi.17

13
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :
Pemeriksaan Bakteri Virus Mikoplasma
Anamnesis
Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolah
Awitan Mendadak Perlahan Tidak nyata
Sakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselang
Batuk Produktif Nonproduktif kering
Gejala penyerta Toksik Mialgia, ruam, Nyeri kepala, otot,
organ bermukosa tenggorok
Fisik
Keadaan umum Klinis > temuan Klinis temuan Klinis < temuan
Demam Umumnya 39C Umumnya < 39C Umumnya < 39C
Auskultasi Ronkhi , suara Ronkhi bilateral, Ronkhi unilateral,
Napas melemah Difus, mengi mengi. 14

b) Pemeriksaan Fisik
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal sebagai berikut :
Suhu tubuh 38,5o C
Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Takipneu berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan 60 x/menit
Usia 2-12 bulan 50 x/menit
Usia 1-5 tahun 40 x/menit
Usia 6-12 tahun 28 x/menit
Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine
crackles (ronki basah halus) yang khas pada anak besar bisa tidak
ditemukan pada bayi. Dan kadang terdengar juga suara bronkial.8

14
c) Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam
batas normal. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang
berkisar antara 15.000 40.000/mm3 dengan predominan PMN. Kadang-
kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang
meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan
LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri secara pasti.
1. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan
bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang digunakan
untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang
pemeriksaan radiologi untuk mengetahui spesifikasi pneumonia
karena pneumokokus dengan nilai CRP 120 mg/l dan prokalsitonin
5 ng/ml.
2. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan
hasil yang positif. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat
berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring tidak memiliki nilai
yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.
3. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan
tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi
dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O,
streptozim, atau antiDnase B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase
akut dan konvalesen pada anak dengan infeksi pneumonia oleh

15
Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil
yang memuaskan tetapi tidak bermakna pada keadaan pneumonia
berat yang memerlukan penanganan yang cepat.
4. Pemeriksaan Roentgenografi
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan
dasar diagnosis utama pneumonia. Tetapi tidak rutin dilakukan pada
pneumonia ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia berat
yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki,
dan peningkatan suara pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada
pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis.
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi Anterior Posterior (AP).
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing dan overaeriation. Bila
berat terjadi pachy consolidation karena atelektasis.
Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut
dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang
biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu
tegas dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round
pneumonia
Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri,
atipik, atau virus. Tetapi gambaran foto rontgen toraks dapat
membantu mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan
peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi

16
segmen atau lobar, bronkopneumonia dan air bronchogram sangat
mungkin disebabkan oleh bakteri.

Gambar 4. Gambar Foto Rontgen Bronkopneumonia

I. Diagnosis Banding
a. Bronkiolitis
b. Aspirasi pneumonia
c. TB paru primer

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012;
Bradley et.al., 2011) :
1. Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang
atau PaO2 pada analisis gas darah 60 torr.
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibioti awal.

17
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi.
c. Penatalaksanaan antibiotika (WHO, 2009)
Pemberian antibiotika berdasarkan derajat penyakit
Pneumonia ringan
- Amoksisilin 25 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis sehari selama 3
hari. Diwilayah resistensi penisilin yang tinggi dosis dapat
dinaikan sampai 80-90 mg/kgBB.
- Kotrimoksazol (trimetoprim 4 mg/kgBB sulfametoksazol 20
mg/kgBB) dibagi dalam 2 dosis sehari selama 5 hari
Pneumonia berat
- Beri ampisilin /amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM
setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam
pertama. Bila anak memberi respon ang baik maka diberikan
selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumh atau di
rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali tiga kali
sehari) untuk 5 hari berikutnya
- Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat
keadaan yang berat (tidak dapat menyusu/minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distress pernafasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam)
- Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau
ampisilin-gentamisin.
- Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV
sekali sehari)
- Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila
memungkinkan buat foto dada.

18
K. Pencegahan
Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk mencegah
pneumonia. Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai jenis
vaksinnya. Berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat
mencegah pneumonia (Sectish, 2007):
1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus
(Invasive Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia
adalah PCV-7 dan PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia
2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak vaksin influenza untuk
mencegah influenza
L. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan
datang terlambat untuk pengobatan (Behrman, 2004)
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan
memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-
duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi
memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri (Behrman, 2004)
M. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi
tersering oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau
infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis (tekanan
sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase juga meningkat, dan gagal
jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24
bulan (Said, 2006).

19
III. KESIMPULAN

1. Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan


pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan
juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan
balita
2. Patogen penyebab pneumonia pada anak bervariasi tergantung pada usia
(menentukan jenis bakteri dan virus), status imunologis, status lingkungan,
kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara), status imunisasi,
faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi).
3. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia adalah pemeriksaan rontgen thoraks posisi AP.
4. Penatalaksanaan bronkopneumonia yaitu dengan pemberian oksigen, obat
mukolitik dan ekspektoran, obat penurun panas, dan antibiotik.
5. Komplikasi dari bronkopneumonia yang dapat terjadi meliputi empiema
torasis, perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner
seperti meningitis purulenta.

20
DAFTAR PUSTAKA

Asih, Retno. 2006. Pneumonia. Divisi Respirologi Ilmu Kesehatan Anak.


Surabaya : UNAIR
Behrman, R.E., Kliegman, R.M. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC
Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C.,
Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D.,
Stockwell J.A., and Swanson J.T. 2011. The Management of Community-
Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age :
Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and
the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis.
Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita.
Jakarta : DepKes.
Kemenkes RI. 2010. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Laskmi A. 2006. Pneumonia Pediatric. http://www.emedicine.com (diakses
tanggal 10 Oktober 2015)
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komunitas, Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI.
Price, S., Wilson, L, 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC.
Said, M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Sectish, Theodore C., Prober, Charles G. 2007. Nelson Textbook of Pediatrics :
Pneumonia. 18th edition.WB. Saunders, New York
Staf Iilmu Kesehatan Anak UNPAD. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Kesehatan Anak. Bandung: UNPAD.
Syarifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
William F. 2000. Evidence-Based Pediatrics, Pneumonia and Bronchiolitis.
Canada : University of Toronto

21
WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Jakarta:
World Health Organization;

22

Anda mungkin juga menyukai