Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Nama lainnya adalah
batu empedu, gallstones, atau biliary calculus. Batu kandung empedu telah dikenal
sejak ribuan tahun yang lalu dan pada abad ke 17 telah dicurigai sebagai penyebab
penyakit pada manusia. Batu empedu merupakan penyakit yang pada awalnya sering
ditemukan di negara Barat dan jarang di negara berkembang. Tetapi dengan
membaiknya keadaan sosial ekonomi, perubahan menu diet ala Barat serta perbaikan
sarana diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi penyakit empedu di negara
berkembang termasuk Indonesia cenderung meningkat. Di Amerika Serikat, terdapat
lebih dari 20 juta orang dengan batu empedu dan dari hasil otopsi menunjukkan angka
kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada wanita dan 8% pada laki-laki diatas
umur 40 tahun. (1)
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin, yang terdiri dari kalsium bilirubinat dan batu campuran. Di negara barat 80%
batu empedu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen semakin
meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di Asia Timur, lebih banyak batu pigmen
dibanding dengan batu kolesterol.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. H
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 57 tahun
Suku : Sunda
Agama : Islam
Alamat : Hegarsari, Pataruman
Tanggal Masuk RS : 17 Februari 2018
Tanggal Pemeriksaan : 19 Februari 2018

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas

Keluhan Tambahan
Mual, muntah

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 4 hari sebelum
masuk rumah sakit, dengan durasi ± 10 menit setiap kali nyeri. Nyeri dirasakan
tembus hingga ke punggung. Selain itu pasien juga mengeluhkan mual dan
muntah. Pasien mengeluh muntah setiap kali makan. Riwayat demam tidak ada.
Pasien tidak mengeluhkan adanya BAK berwarna seperti teh pekat dan tidak ada
keluhan BAB berwarna dempul.

Riwayat Penggunaan Obat


Pasien belum pernah mengkonsumsi obat sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien pernah mengeluhkan hal yang sama sebelumnya
- Riwayat hipertensi sejak 10 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengeluhkan hal yang sama dengan pasien.

Riwayat Kebiasaan Sosial


Pasien mengaku sehari-hari mengkonsumsi makanan berlemak dan jarang
berolahraga.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Frekuensi nadi : 92 kali/menit
Frekuensi pernapasan : 18 kali/menit
Temperatur : 36,7 0C

Status General
a. Kulit
Warna : kuning langsat
Turgor : kembali cepat
Sianosis : tidak ada
Ikterik : tidak ada
Pucat : tidak ada
b. Kepala
Bentuk : normocephali
Rambut : hitam, sukar dicabut, distribusi merata
Wajah : simetris
Mata : konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-), pupil isokor ϕ 3mm/3mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+)
Telinga : normotia, sekret (-/-)
Hidung : napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)

c. Mulut
Bibir : bibir kering (-), mukosa bibir lembab, sianosis (-)
Lidah : lidah kotor (-)
Tonsil : T1/T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)

d. Leher
KGB : tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-)
Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran

e. Thoraks
Paru
Inspeksi :simetris saat statis dan dinamis
Palpasi :SF kanan = SF kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi :vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictrus cordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra
Auskultasi : BJ I> BJII, reguler (+), bising (-)
f. Abdomen
Inspeksi : simetris, distensi (+)
Palpasi : nyeri tekan (+) regio hipokondriaka dekstra, organomegali (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : peristaltik 3 kali/menit, kesan normal

g. Genitalia
Tidak diperiksa

h. Ekstremitas
Superior Inferior
Penilaian
Kanan Kiri Kanan Kiri
Pucat Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Sianosis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
2.4 Pemeriksaan Penunjang
A. Hasil Laboratorium 17 Februari 2018
Pemeriksaan Hasil

HB 12,6

Leukosit 13,5

Trombosit 446.000

Hematokrit 36,7

MCV 87

MCH 26

MCHC 33

GDS 106
Hasil USG


Kesan : kolelitiasis, tak tampak kolesistitis

2.5 Diagnosis
Kolelitiasis

2.6 Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 tpm - Inj. Ondansentron 3x8 mg
- Inj. Omeprazole 2x1 amp
- Inj. Ketorolac 2x1 amp
- Inj. Hyosin 2x1 amp
- Inj. Ceftriakson 1x2 gr
Tanggal Perjalanan penyakit Instruksi Dokter
18/02/2018 Perawatan hari ke 1 R/
S : nyeri perut kanan atas - IVFD RL 20 tpm
masih dirasakan, mual +, - Inj.Omeprazole2x1
muntah +. amp
O : TD 130/80 - Inj. Ketorolac 2x1 amp
N 88 x/m - Inj. Hyosin 2x1 amp
RR 20 x/m - Inj. Ceftriakson 1x2 gr
S 36.8 - Inj.Ondansentron
A : Kolelitiasis 3x8mg

19/02/2018 Perawatan hari ke 2 R/


S : nyeri perut kanan atas - IVFD RL jaga
masih dirasakan pasien, - Inj.Omeprazole2x1
mual +, muntah -, nyeri amp
ulu hati - Inj. Scopamin 3x1
O : TD 150/80 amp
N 88 x/m - Inj. Antrain 3x1 amp
RR 20 x/m - Inj. Ceftriakson 1x2 gr
S 36.9 - Inj.Ondansentron
A : Kolelitiasis 3x8mg
Gastritis - P.O Sukralfat 4x1 cth
- Rencana USG
Abdomen
20/02/2018 Perawatan hari ke 3 - IVFD RL jaga
S : nyeri perut kanan atas - Inj.Omeprazole2x1
masih dirasakan pasien, amp
mual +, muntah -, nyeri - Inj. Scopamin 3x1 amp
ulu hati, bak terkadang - Inj. Antrain 3x1 amp
perih - Inj. Ceftriakson 1x2 gr
O : TD 140/80 - Inj.Ondansentron
N 94 x/m 3x8mg
RR 20 x/m - P.O Sukralfat 4x1 cth
S 36.6 - P.O UDCA 3x1 tab
A : Kolelitiasis - Konsul dr. Sp. B
Gastritis
21/02/2018 Perawatan hari ke 4 BLPL
S : nyeri perut kanan UDCA 3x1 tab
berkurang, mual +, muntah Asam mefenamat 3x1 prn
-, nyeri ulu hati Domperidon 2x1 prn
O : TD 130/80 Kontrol poli bedah dan
N 72 x/m penyakit dalam
RR 20 x/m
S 36.9
A : Kolelitiasis
Gastritis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Defenisi
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung
empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau
pada kedua-duanya3.

Gambar 2.1. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)

3.2 Anatomi kandung empedu


Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak
tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung nya buntu dari
kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu.
Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu4.
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk
dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus
hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus
membentuk duktus koledokus5.
Gambar 2.1. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)

3.3 Fisiologi
Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya
antara 600-1200 ml/hari6. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml
empedu5. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam
kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer
dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan
natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang
terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-
90%4.
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel
yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel-
sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik
dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan
relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus
biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu
juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari
sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan
empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap
perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah
lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara
menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam6.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal
dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik
yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan3.

3.4 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangka angka kejadian
di Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara
(syamsuhidayat). Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam
kelompok resiko tinggi yang disebut ”5 Fs” : female (wanita), fertile (subur)-
khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun)7.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun,
semakin banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis8,9.
Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Genetik
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk
batu empedu bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering
dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu.
Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit
hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan
Swedia11.
2. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat
sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu
dengan semakin bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk
mendapatkan batu empedu, sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya
adalah satu dari tiga orang3,12.
3. Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu, sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di
Indonesia jumlah penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki10.
4. Beberapa faktor lain
Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu empedu antara lain:
obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, dan nutrisi jangka vena
yang lama10,13.

3.5 Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi
pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung
empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia,
dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat
berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan
deskuamasi sel dan pembentukan mukus5.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu
banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak
sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian
ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis
kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk
alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa
tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu6.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh
striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus3.
3.6 Patofisiologi batu empedu
a. Batu Kolesterol
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi
lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini
merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 %
kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen
empedu, senyawa organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam
empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung
pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik
segitiga (gambar 2.9), yang koordinatnya merupakan persentase konsentrasi
molar garam empedu, lesitin dan kolesterol10.
Menurut Meyers & Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol
terjadi dalam empat tahap:
 Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
 Pembentukan nidus.
 Kristalisasi/presipitasi.
 Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa
lain yang membentuk matriks batu.
b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika
Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu
kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel,
sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut
mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin,
asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak
senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu kalsium bilirubinat dominan dan
merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu. Batu ini lebih rapuh,
berwarna kecoklatan sampai hitam10
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan
mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan
pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris
merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen (Sarr & Cameron, 1996).
Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik),
lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu
kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi bakteri sekunder dalam
batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris
Lumbricoides. E.coli membentuk B-glukoronidase yang dianggap
mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong
pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut14.
c. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu
ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini
bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran
mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol10.

3.7 Manifestasi klinis


A. Batu Kandung Empedu
1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis,
nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual
(Suindra, 2007). Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien
dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah
asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai
batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan
intervensi setelah periode wakti 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu
empedu asimtomatik4.
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan
atas. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris,
nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan
berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam
dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik
biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik
biliaris3,4.
3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang
paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya
diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung
empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum.
Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang
tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya
oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini
bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar
kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah
dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada
pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas
abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas sewaktu
perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam
20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi
terbuka atau laparoskopik4.

B. Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)


Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium
dan perut kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila
terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya
disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya
kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya
kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu
demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi
kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul
5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok,
dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma3.
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius
karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa.
Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen
pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul
kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses
hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula Vateri sewaktu ada saluran
umum diantara duktus koledokus distal dan duktus pankreatikus dapat
menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu dalam
ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif10.

3.8 Pemeriksaan Penunjang


Studi imaging merupakan kunci utama dalam mendiagnosis batu empedu
dan kondisi yang berkaitan. Masing-masing modalitas memiliki kelebihan dan
keterbatasan beserta metode yang bervariasi dengan biaya yang relatif dan risiko
terhadap pasien. Studi imaging yang tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
batu pada traktus biliaris adalah foto polos abdomen. Meskipun berguna untuk
mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen, foto polos abdomen memiliki
keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas. Hanya 50% batu pigmen dan 20% batu
kolesterol yang mengandung cukup kalsium yang dapat terlihat pada foto polos
abdomen. Hal ini terjadi karena 80% batu empedu adalah jenis batu kolesterol
dan hanya 25% yang dapat terdeteksi melalui radiografi sederhana. (3)
a. Ultrasonography (USG)
Dewasa ini US merupakan pencitraan pilihan pertama untuk
mendiagnosis batu kandung empedu dengan sensitivitas tinggi melebihi 95%
sedangkan untuk deteksi batu saluran empedu sensitifitasnya relatif rendah
(2)
berkisar antara 18-74%. Diagnosis batu empedu bergantung pada
terdeteksinya objek echogenik pada lumen kandung empedu yang
menghasilkan bayangan acoustic shadow.

b. Endoscopic Ultrasonography (EUS)


EUS adalah suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen
gastroskop dengan echoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar. EUS
memberikan gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya
diletakkan di dekat organ yang diperksa. Pada satu studi, sensitivitas EUS
dalam mendeteksi batu saluran empedu adalah sebesar 97% dibandingkan
dengan ultrasoud yang hanya sebesar 25% dan CT 75%. Selanjutnya EUS
mempunyai nilai prediktif negatif sebesar 97% % untuk US dan sebesar
75% untuk CT. (2)

c. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)


MRCP adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa
menggunakan zat kontras, instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran
empedu akan terlihat sebagai struktur yang terang karena mempunyai
intensitas sinyal tinggi sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai
intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal
tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu saluran empedu.
Studi terkini MRCP menunjukkan nilai sensitivitas atara 91% sampai dengan
100%, nilai spesifisitas antara 92% sampai dengan 100% dan nilai prediktif
positif antara 93% sampai dengan 100% pada keadaan dengan dugaan batu
saluran empedu. Nilai diagnostik MRCP yang tinggi membuat teknik ini
makin sering digunakan untuk diagnosis atau eksklusi batu saluran empedu
khususnya pada pasien dengan kemungkinan kecil menderita batu. (2)

3.9 Penatalaksanaan
Konservatif
a). Lisis batu dengan obat-obatan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan
mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan
dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul
keluhan umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif. Terapi disolusi
dengan asam ursodeoksilat untuk melarutkan batu empedu kolesterol
dibutuhkan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan monitoring
hingga dicapai disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm
dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun1.
b). Disolusi kontak
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut
kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya
adalah angka kekambuhan yang tinggi2.
c). Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk
pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat10.

Penanganan operatif
a). Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah
kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat
jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru
ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka
pada tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien
kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas
65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %4.
b). Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di
rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier
yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu
tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak
dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis,
bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus
biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat
nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja
kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk
aktifitas olahraga16.
c). Kolesistektomi minilaparatomi.
Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi lebih kecil
dengan efek nyeri paska operasi lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380-4.
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.
3. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
4. Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition. United States
America : McGraw Hill, 2005.826-42.
5. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.
6. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
7. Reeves CJ. Penyakit Kandung Empedu dalam : Keperawatan Medika Bedah. Edisi
Ke-1. Jakarta : Salemba Medika, 2001. 149-51.
8. Clinic Staff. Gallstones. Available from:
http:/www.6clinic.com/health/digetivesystyem/DG9999.htm. Last update 25 Juli
2007 [diakses pada tanggal 16 April 2008]
9. Cholelithiasis. Available from:
http:/www.7.com/healthmanagement/ManagingYourHealth/HealthReference/Diseas
e/InDepth.htm. Last update April 2007 [diakses tanggal 16 April 200].
10. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of
Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123
11. Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery. China:
Elseiver, 2007. 23.
12. Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41.
13. Latchie M. Cholelitiasis dalam : Oxford Handbook of Clinical Surgery. Oxford
University. 1996. 162
14. Bhangu AA et al. Cholelitiasis and Cholesistitis dalam: Flesh and Bones of Surgery.
China: Elseiver, 2007. 123.
15. Kasper DL et al. Cholelitiasis, Cholesistitis, and Cholangitis dalam: Harrisons
Manual of Medicine, McGraw Hill, 2005, 751.
16. Nealon TF. Kolesistektomi Laparoskopi dalam : Ketrampilan Pokok Ilmu Bedah.
Jakarta : EGC, 1996. 394

Anda mungkin juga menyukai